Saat masih remaja, saya pernah menjadi pengungsi bencana erupsi Gunung Merapi di Muntilan selama beberapa bulan. Saat itu, saya melihat banyak orang dari berbagai organisasi datang membantu. Salah satunya adalah Jesuit Refugee Service (JRS). Saya sulit mengingat bantuan barang apa saja yang saya terima, tetapi saya masih dapat mengingat jelas keramahan para relawan JRS yang datang dan menemani para pengungsi saat itu. Meski susah, ternyata saat itu saya bisa menikmati masa pengungsian. Saya menikmati kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh para relawan. Saya merasa sungguh ditemani.
Kini, sebagai Frater Jesuit, saya ikut menjadi bagian dari JRS dalam melayani para pengungsi dari luar negeri. Bagi pengungsi luar negeri, penemanan adalah hal yang sangat berharga. Sebagai pengungsi, hak mereka sangat terbatas. Mereka tidak boleh bekerja dan tidak banyak yang bisa dilakukan selama di Indonesia. Setelah terlibat dalam berbagai pelayanan JRS, saya pun memahami bahwa selain bantuan material, pengungsi pun membutuhkan teman untuk “berjalan bersama.” Sekarang saya dapat mengerti mengapa dulu saat saya mengungsi, saya juga begitu menghargai penemanan yang terjadi. Penemanan adalah pintu agar pengungsi merasa dihargai sehingga bisa semakin percaya diri dan lebih berdaya.
Penemanan di Jesuit Refugee Service
Keutamaan penemanan ini ternyata tidak hanya saya rasakan ketika saya menjadi pengungsi atau ketika saya menjadi bagian dari JRS di Indonesia. Pada Juli 2022, saya mengikuti Pedro Arrupe Summer School tentang pengungsi dan migrasi di Campion Hall, Universitas Oxford. Di sana saya berjumpa dengan beberapa Jesuit muda, para dosen-akademisi, dan peneliti yang berkarya dalam bidang pengungsi. Dari setiap diskusi dan kelas, saya menangkap bahwa keutamaan penemanan ternyata terus dibicarakan dan menjadi napas bagi setiap anggota JRS di berbagai negara.
Seorang teman dari JRS Inggris, Meghan Knowles, bercerita bahwa JRS selalu ingin hadir sebagai teman yang berjalan bersama pengungsi yang menghadapi sistem suaka yang tidak memanusiakan para pengungsi. Dalam sistem yang tidak ramah, “JRS berusaha membangun relasi yang setara dan berjalan bersama pengungsi, tidak hanya sekadar memberikan bantuan,” ujar Knowles.
Kita sadar bahwa selalu ada relasi yang tidak setara antara pemberi layanan dan pengungsi. Namun melalui penemanan dan kerendahan hati, JRS berusaha menempatkan diri sebagai teman yang setara. Nicholas Austin, Direktur Campion Hall, mengungkapkan bahwa penemanan harus dimulai dari usaha untuk membangun relasi saling percaya yang berdasarkan martabat manusia yang sama. Atas dasar martabat yang sama, penemanan mendorong pengungsi agar lebih berdaya dan bisa berkontribusi dalam masyarakat.1
Penemanan vs Capaian
Sebagai seorang teman, kita harus sabar mendengarkan keluhan dan kebutuhan pengungsi. Kita harus siap dengan berbagai curahan hati. Kita harus menghargai setiap waktu yang kita habiskan bersama pengungsi. Dalam praktiknya, terkadang proses penemanan menyita banyak waktu. Mungkin beberapa organisasi bisa saja sekadar memberikan bantuan yang dibutuhkan pengungsi tanpa perjumpaan dan penemanan agar efisien. Namun, JRS tetap memilih perjumpaan dan penemanan.
Dalam kunjungan ke rumah pengungsi, saya bisa berbincang dan mendengarkan kisah pengungsi selama berjam-jam. Ryan Birjoo, seorang frater yang berkarya di JRS Lebanon, juga bercerita bahwa meski butuh banyak waktu, tetapi penemanan JRS adalah hal yang membuat pengungsi di Lebanon diperlakukan secara manusiawi. Dari perspektif pencapaian, mungkin penemanan bukan hal yang efisien. Penemanan harus disertai dengan pemberian layanan dan upaya advokasi, sebagaimana misi JRS.
JRS memilih penemanan dengan tujuan “menciptakan komunitas kasih.”2 Penemanan dapat “mengkomunikasikan cinta kasih dan persahabatan.”3 Penemanan hanya bisa dilakukan lewat perjumpaan. Hal ini sejalan dengan gagasan Paus Fransiskus tentang “budaya perjumpaan.”4 Dalam penemanan terdapat proses timbal-balik memberi dan menerima. JRS tidak hanya ingin sekadar menyalurkan bantuan, tetapi juga ingin memberdayakan dan belajar bersama pengungsi.
Melalui penemanan, JRS tidak ingin mengikuti jejak para “’developmentalists’ dengan merencanakan proyek yang menurut mereka membantu orang miskin dan memobilisasi bantuan untuk sekadar memenuhi kebutuhan.”5 Menurut Maryanne, pengajar di Boston College, kita harus menggunakan pendekatan aspirasional (bottom up) dengan menguatkan komunitas-komunitas di akar rumput.
Selain itu, dengan melihat nilai-nilai dalam Populorum Progressio hingga Fratelli Tutti, penemanan JRS tidak ingin berhenti pada “doing for” tetapi juga “doing and being with.” Melalui penemanan, JRS menempatkan pengungsi sebagai subjek, bukan sekadar mendiktenya sebagai objek penerima bantuan. Pengungsi ditemani untuk mengenali situasi, potensi, keterampilan, dan tujuan hidup mereka. Dengan demikian, pengungsi bisa lebih berdaya, menyadari peran agensinya untuk berkontribusi dalam komunitas, dan berkembang secara integral sebagai manusia utuh.
Kontributor: Ishak Jacues Cavin, S.J. – JRS Indonesia
1 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment”, Theological Studies, 2019, Vol. 80(1), 138, DOI: 10.1177/0040563918819798.
2 Nick Jones, “Cambodia: Accompaniment Creates ‘Communities of Love,’” Jesuit Refugee Service News (March 17, 2016), http://www.jrsap.org/news_detail?TN=NEWS-20160316102931.
3 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment”, 140.
4 Pope Francis, “Morning Meditaion in The Chapel of The Domus Sanctae Marthae: For a culture of encounter”, L’Osservatore Romano (September 13, 2016), https://www.vatican.va/content/francesco/en/cotidie/2016/documents/papa-francesco-cotidie_20160913_for-a-culture-of-encounter.html
5 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment,” 124.