Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

Belajar dari Perjumpaan di Asrama

Sebagai mahasiswi perantauan, saya mulanya kurang berinteraksi atau berelasi dengan orang lain. Saya sadar betapa penting kepercayaan diri. Dengan percaya diri, kita berani berproses, mulai berbicara, ikut bergabung untuk belajar, berbagi, dan bahkan mengajar. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman belajar beradaptasi hingga berinteraksi yang menjadi pengalaman menarik yang menumbuhkembangkan saya sebagai pribadi di Asrama SPM Realino. Saya datang ke Yogyakarta pada Januari 2022. Awalnya saya tinggal di kos dekat kampus saya. Singkat cerita, pada Februari saya pindah ke Asrama SPM Realino, tempat saya tinggal sekarang. Awalnya terasa canggung karena belum pernah tinggal jauh dari keluarga, berjumpa orang baru, hingga akhirnya bertemu saudara-saudara yang tinggal bersama di asrama. Asrama SPM Realino adalah bagian kegiatan sosial SPM Realino yang menerima siswa/i atau mahasiswa/i. SPM Realino memiliki program-program lain seperti bengkel latihan kerja, komunitas volunteer, pendampingan anak-anak, klinik, beasiswa pendidikan, hingga asrama. Di asrama, hidup bersama teman-teman asrama memberi dinamika menarik apalagi bila kurang pengalaman dalam berbicara dengan banyak orang yang baru saja ditemui. Akibat kurang percaya diri dan takut berbicara, hubungan sosial saya sempat terbatas. Ini kerugian sangat besar bagi saya. Untuk memperluas pengetahuan dan relasi, tentunya saya membutuhkan teman untuk saling sharing bahkan adu pendapat supaya mendapat wawasan baru. Dari sini saya belajar bahwa manusia saling membutuhkan. Ketika saya di Yogyakarta dan tinggal di Asrama SPM Realino, hal utama yang saya lakukan untuk belajar beradaptasi adalah berani berbicara, belajar, dan berbuat baik kepada orang di sekeliling. Harapannya, orang-orang di dekat saya bisa menerima saya sebagai teman sampai menjadi saudara. Saya mulai mengambil inisiatif bertemu orang-orang baru dan terlibat dalam kegiatan di SPM Realino seperti mengikuti komunitas volunteer, kerja bakti lingkungan asrama, dan jadwal piket harian. Selama tinggal di Asrama SPM Realino, ada banyak pengalaman baru yang saya alami dan tidak akan saya temukan jika berada di luar. Salah satu hal menarik yang saya alami yaitu selama setahun ini, pertengkaran ataupun perselisihan yang terjadi antara saya dan teman-teman di asrama hampir jarang terjadi. Ada suasana saling menghargai dan semakin eratnya hubungan persaudaraan yang kami jalin. Dalam kebersamaan ini ada pembelajaran bagi saya yaitu sikap saling menerima, kejujuran, kepedulian, saling mengasihi sebagai saudara, dan membantu satu sama lain baik antara anak laki-laki maupun anak perempuan. Selama tinggal di Asrama SPM Realino, kadang memang ada masalah yang menyebabkan sedikit konflik antara saya dan teman-teman. Contohnya, seperti perdebatan hal jemuran, siapa yang membantu Mak Sur di dapur saat libur dan masih banyak lagi. Namun saat itu juga kami berusaha menyelesaikannya dengan baik-baik sehingga permasalahan tidak makin besar. Kami juga sering sharing, baik tentang ilmu pengetahuan maupun tentang kehidupan harian. Jika salah satu mengalami persoalan, teman yang lainnya berusaha memberi dukungan agar tidak terlalu tertekan dan merasa sendirian. Hal ini membuat saya menjadi pribadi yang lebih dewasa dan belajar bagaimana cara kita untuk menjadi peduli terhadap sesama dalam hal kecil sekalipun. Pengalaman lain, saya belajar banyak keterampilan baru dari juru masak asrama, Mak Sur. Saya mendapat pengetahuan menu baru yang belum pernah saya masak di Nias, tempat asal saya, membersihkan ruangan yang baik dan benar, mengikuti jadwal harian, dan terbiasa bangun pagi, pukul 04.30 WIB. Kebiasaan ini membuat tubuh lebih segar daripada bangun kesiangan yang bawaannya membuat fisik lemas dan malas. Keterampilan lainnya, saya belajar bermain gitar, menjahit bahkan kegiatan olahraga seperti bersepeda dan badminton. Saya juga menjadi lebih mandiri karena harus merencanakan keuangan dan mengatur waktu dengan baik agar bisa menyeimbangkan antara kuliah, kegiatan asrama, dan kegiatan luar asrama. Di asrama kami juga disediakan fasilitas lengkap dengan maksud supaya bisa belajar dengan baik. Tersedia TV, komputer, mesin jahit, sepeda, raket, serta kamar yang nyaman dan ruang belajar yang memadai. Ada banyak berkat telah saya terima selama tinggal di Asrama SPM Realino. Mereka telah menjadi keluarga kedua bagi saya. Pengalaman saya tinggal di asrama telah membantu saya tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang lebih mandiri, toleran, dan terbuka. Saya merasa bahwa saya telah memperluas lingkungan sosial saya dan mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang-orang yang berbeda dari diri saya. Kontributor: Yuliana Ndruru – Asrama SPM Realino

Feature

“To Make Them Happy”

Oscar Wilde adalah penyair asal Irlandia. Salah satu pandangan penting Wilde yang coba saya lakukan dalam pendampingan anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah tentang cara terbaik membesarkan anak-anak agar menjadi baik. Dia mengatakan, “The best way to make children good is to make them happy.” Artinya cara terbaik membuat anak baik adalah membuat mereka bahagia. Saya menangkap alasan utama di balik pandangan Wilde ini, bahwa anak-anak yang bahagia akan memiliki kecenderungan lebih besar berperilaku positif dan bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Anak-anak yang merasa senang dan bahagia akan cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki pengalaman belajar lebih baik, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Sejak tahun 2021, saya mulai aktif dalam kegiatan relawan mendampingi anak-anak di Jombor dan Bongsuwung yang dinaungi Yayasan Realino SPM. Saya mendampingi anak-anak dengan latar belakang sosial beragam. Anak-anak yang saya dampingi, terutama di Bongsuwung, merupakan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya soal perekonomian, tetapi juga pendampingan kepribadian, pendidikan moral, dan tata krama. Sedangkan, anak-anak di Jombor sedikit lebih baik hidupnya karena sebagian besar mereka menempuh pendidikan formal seperti anak-anak kebanyakan. Sekilas Kegiatan Pendampingan Selama pendampingan setiap hari Sabtu ini, saya dibantu relawan dari berbagai universitas di Jogja. Mereka adalah orang-orang istimewa yang punya hati untuk anak-anak. Di Jombor, materi belajarnya menggunakan bahasa Inggris. Kadang diselingi games atau ice breaking, bernyanyi bersama, kerajinan tangan atau latihan keterampilan. Sedangkan di Bongsuwung, materinya sebagian besar kerajinan atau keterampilan tangan. Anak-anak juga diajar melakukan hal-hal baik yang sederhana, misalnya membereskan barang-barang yang sudah selesai digunakan, mengucapkan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Kegiatan diusahakan menyenangkan, seru, dan kreatif supaya mereka tidak bosan. Harapannya, anak-anak senang belajar, mau sekolah dan punya semangat menggapai cita-cita mereka. Belajar Sabar Pengalaman hampir dua tahun menemani anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah pengalaman berarti dan berharga bagi saya. Saya menemukan banyak kegembiraan, juga pengalaman berkesan dan meneguhkan. Begitu juga banyak hal bisa dipelajari dari anak-anak. Berapa banyak kesabaran yang saya miliki, misalnya. Saya sadari sungguh, dalam dinamika pendampingan anak, kesabaran sangat diperlukan. Suatu ketika, ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 10 tahun menangis karena diusili temannya. Pada saat yang sama, sekelompok anak ribut karena berebut pensil warna. Di sudut lain, ada dua anak sedang berkelahi tanpa sebab. Sedangkan anak-anak yang lain hanya melihat teman-temannya. Kebetulan hari itu relawan yang datang sedikit sehingga cukup kewalahan mendampingi anak-anak. Ketika saya tanya apakah mengerti materi apa yang baru saja saya jelaskan, mereka menjawab tidak mengerti. Saya harus sabar menunggu mereka menyelesaikan masalahnya, melerai dan mengatakan sedikit kalimat bijak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembelajaran. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak pengalaman saat kesabaran saya diuji. Selama ini saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Namun, ada kalanya saya emosi, kadang menegur mereka dengan nada sedikit keras, atau sekedar menatap mereka dengan kesal. Akhirnya mereka diam, tapi karena takut. Perbedaan sangat terasa ketika saya dengan sabar menegur dan mendampinggi, mengatakan dengan halus apa yang salah dan benar, sedikit lebih lama, tapi mereka akhirnya juga mendengarkan. Mereka mengikuti apa yang saya harapkan. Mereka diam dan mendengarkan karena merasa dicintai. Harapan Setiap kali saya ke Jombor dan Bongsuwung, saya pikir hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk anak-anak adalah membiarkan mereka melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, membiarkan mereka menjadi kuat, membiarkan mereka mengalami hidup dengan caranya sendiri, membiarkan mereka berproses, dan membiarkan mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih percaya pada diri sendiri. Selain itu, biarkan mereka merasa didukung dan dicintai, serta biarkan mereka bahagia dengan hidup mereka. Kegiatan-kegiatan pendampingan selama ini, adalah upaya agar anak-anak hidup bahagia karena setiap orang berharga dan layak bahagia. Dengan cara itu, harapannya anak-anak di Jombor dan Bongsuwung menjadi anak-anak yang lebih baik, berperilaku positif, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, pengalaman belajar lebih baik, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Perjalanan mencapai masa depan mereka masih panjang. Masih banyak keringat dan perjuangan yang harus dilakukan. Saya percaya, anak-anak ini punya cita-cita yang ingin mereka kejar. Saya harap seorang anak yang mengatakan ingin menjadi dokter bisa tercapai. Begitu juga yang mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, penari, dsb. Sebelum itu, saya hanya ingin mereka merasakan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun beratnya hidup mereka saat ini. Anak-anak ini adalah harapan dunia. Dunia yang lebih baik ada di tangan mereka. Saya pribadi bahagia bisa menjadi bagian dari hidup mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, terguyur hujan bersama-sama, dan mengenal mereka satu persatu selama dua tahun ini. Kontributor: Fr. Hilarius Panji Setiawan, Pr – Keuskupan Ketapang

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Feature

Pingit!

Yogyakarta, apa yang pertama kali kalian pikirkan ketika mendengar kota ini? Kota Pendidikan? Barang serba murah? Universitas bergengsi? Malioboro? Atau kota metropolitan? Nggak salah sih, tapi tahukah kalian, dengan sebuah perkampungan yang bernama Pingit? Bagi kalian yang sering menuju ke arah Malioboro atau menuju AMPLAS, mungkin sudah tidak asing dengan Pasar Pingit di Jalan Kyai Mojo. Ya, itu pasarnya bukan kampungnya. Untuk mengetahui lokasi kampungnya, kita berjalan sedikit ke arah Jalan Tentara Rakyat Mataram. Di sana kalian akan melihat beberapa bangunan perkantoran dan Universitas Janabadra. Namun tahukah kalian, kalau sebenarnya ada sebuah perkampungan padat penduduk di belakang gedung gedung itu? Yap, betul sekali, itulah Perkampungan Pingit. Kalau dilihat dari sejarahnya, daerah itu awalnya digunakan oleh salah seorang Jesuit dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan keluarganya terutama akibat peristiwa pembersihan yang dilakukan pasca G30S. Oleh karena itu wajar bila kita melihat banyak sekali orang tua atau sepuh yang tinggal di daerah sini. Peran dari Serikat Jesus tak lepas begitu saja setelah “membangun” perkampungan ini. Mereka bekerja sama dengan beberapa mahasiswa sering melakukan kunjungan dan pemantauan rutin ke kampung ini. Bahkan para mahasiswa yang ikut dalam program ini juga selalu mengadakan kegiatan les rutin yang diadakan setiap hari Senin sore. Kegiatan les ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan para anak-anak Pingit. Hebatnya lagi, kegiatan ini gratis dan bebas diikuti oleh semua warga Pingit dari usia TK – SMP. Warga-warga di sini sangat ramah, mereka masih sering terlihat berkumpul bersama. Ya, walaupun hanya sekedar ngumpul untuk saling berbincang, namun ini merupakan sebuah pemandangan yang langka apalagi ini berada di kota Yogyakarta yang mana merupakan kota yang besar. Para warga di sini selalu saling menyapa bila bertemu, bahkan mereka tak segan berbagi jajan atau makanan yang mereka punya. SMA Van Lith Muntilan mengadakan sebuah kegiatan bernama RKKS (Retret Kepekaan Kepedulian Sosial) yang bertujuan agar para siswa menjadi lebih peka dan lebih perhatian terhadap lingkungan sekitar terutama kepada kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Dalam kegiatan ini, saya bersama beberapa teman ditempatkan di Perkampungan Pingit ini untuk merasakan dan menjalankan kegiatan di kampung ini. Kampung Pingit merupakan kampung yang bisa dibilang cukup padat. Kampung ini dihuni warga dengan berbagai macam latar belakang dan usia. Pekerjaan warga di sini sangat beragam. Mulai dari pengangkut sampah, tukang bersih makam, pedagang, angkringan, tukang bumbu dapur, sampai pegawai di kantor depan kampung Pingit. Selama RKKS ini, saya dan teman teman sangat menikmati dinamika di sini. Mulai dari ikut keluarga asuh kami bekerja, berbincang dengan keluarga, bahkan sampai ikut mengajar les untuk anak-anak Pingit. Dalam kegiatan RKKS ini kami mendapat banyak sekali pengetahuan baru, dan bahkan membuka pandangan baru bagi kami tentang kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Selama RKKS, saya menyadari bahwa untuk bahagia itu, caranya sederhana sekali. Hanya dengan berbincang-bincang, bercanda, bahkan melihat pemandangan langit sore dan malam hari, sudah bisa membuat bahagia. Orang-orang Pingit bisa dilihat sangat bersyukur dan bahagia dengan apa yang mereka punya. Walaupun beberapa dari mereka bisa dibilang kekurangan dalam materi atau finansial, tapi mereka terlihat sangat berkelimpahan dalam hal keramahan, rasa syukur, dan kebahagiaan. Selama berdinamika di Pingit, saya sangat bersyukur dan bahagia karena saya disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat. Saya juga mendapat orang tua asuh yang sangat baik dan perhatian kepada saya. Bahkan, ketika saya hendak kembali ke van Lith pun, orang tua asuh saya masih meminta saya untuk datang lagi ke sana. Ketika kami pulang pun, ada beberapa warga yang berkumpul di titik kumpul kami untuk sekedar menyampaikan ucapan perpisahan dan lambaian perpisahan kepada kami. Hal ini benar-benar sangat berkesan bagi saya dan saya sangat menghargai itu. Satu hal yang terus saya ingat dari pesan ibu asuh saya ketika berbincang dengan saya, “Kerja itu harus konsisten, harus terus dijalankan. Tapi, jalankan dengan sepenuh hati, dengan ikhlas, nikmati pekerjaanmu, maka kamu akan senang melakukan pekerjaanmu itu”. Ya… intinya sih yang saya dapat banyak hal tersembunyi di dunia ini. Penampilan dan pendidikan seseorang tidak menjamin karakternya yang sebenarnya. Bahkan seseorang yang terlihat galak pun, sebenarnya punya hati yang sangat baik. Bahkan di sebuah kota yang sangat maju dan ramai pun, masih terdapat kampung yang tersembunyi oleh gedung kantor yang tinggi. Sepertinya cukup ya… cerita dariku tentang pengalamanku di Pingit. Terima kasih telah membaca, kalau kalian ingin berkunjung, warga Pingit akan sangat terbuka untuk kalian. Sampai jumpa! Kontributor: Kelvin Lie – Siswa Kelas XI-IPA SMA PL van Lith Muntilan

Feature

Mengajari Diri Identitas Sendiri

Identitas diri baik sebagai tanda pengenal maupun dalam arti substansial seperti: kemampuan, bakat, karakter dan pola pikir adalah sebuah peziarahan penemuan hari demi hari. Hal ini saya maknai dalam formasi diri, penemuan identitas. Pengertian ini bisa jadi mengena bagi yang yakin bahwa setiap pengalaman adalah guru yang mengajarkan banyak hal. Saya pun diajak untuk terus menemukan pelajaran berharga dalam setiap pengalaman positif maupun negatif. Salah satu pengalaman positif yang berdampak bagi saya sebagai calon religius sekaligus guru dalam Ordo Scholarum Piarum (Skolapios) adalah menjadi relawan SPM Realino di Jombor. Sebelumnya, antara September-Oktober 2021, tidak ingat persisnya, saya beberapa kali ikut kegiatan SPM Realino di Jombor. Akan tetapi karena kesibukan studi dan kuliah, saya tidak melanjutkannya. Di semester berikutnya, setiap Kamis pukul 14.00-16.00 WIB saya bergiat bersama para relawan SPM Realino di Jombor. Saya menikmati setiap dinamikanya dan bersyukur atas pengalaman ini. Kegiatan di Jombor yang saya ikuti adalah pendampingan anak-anak. Dengan kreativitas relawan, anak-anak didampingi melalui tema-tema yang menarik dan bermanfaat bagi mereka. Menurut pengamatan saya selama beberapa pertemuan (September-November 2022), kegiatan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan psikis (mental) maupun kognisi anak-anak dampingan. Dalam perjalanan, saya seringkali merasa kesulitan untuk membagi waktu sebagai mahasiswa sekaligus anggota komunitas Skolapios. Mungkin kesulitan untuk membagi waktu juga dirasakan oleh teman-teman relawan lain, apalagi kegiatan ini tidak berhubungan dengan kampus. Akan tetapi toh para relawan selalu berusaha meluangkan waktu bagi anak-anak di Jombor. Inilah tanda kasih dan perhatian para relawan yang mau berbagi meski ada keterbatasan. Meskipun sibuk dengan urusan kuliah dan komunitas, selalu saja ada hal baru yang saya peroleh dalam setiap perjumpaan. Dalam senyum yang senantiasa mereka berikan, saya merefleksikan waktu yang dilalui tidak sia-sia. Saya justru memperoleh lebih banyak dari yang mampu saya berikan. Dalam beberapa kesempatan saya dipercaya mengisi beberapa pertemuan dan mengajar anak-anak SMP. Dalam proses ini ternyata saya tidak hanya memberi apa yang saya punya tetapi juga menerima apa yang anak-anak punya. Saya juga belajar untuk bersikap santun dan rendah hati. Hal-hal kecil itu jadi pelajaran besar bagi saya. Saya menikmati setiap momen berbagi dalam semangat St. Yosef Calasanz (1557-1648, Pendiri Ordo Scholarum Piarum/ Skolapios). Melalui kegiatan di SPM Realino, saya dibantu untuk lebih mengenal secara mendalam semangat Sang Pendiri: menjadi agen transformasi sosial lewat pendidikan anak-anak dan remaja miskin. Saya belajar untuk menjadi manusia utuh. Walaupun tidak lepas dari kekurangan saya tetap mengupayakan sesuatu yang baik bagi orang-orang di sekitar saya sebagai calon religius Skolapios. Kerelaan memberi adalah pembelajaran paling penting yang saya peroleh. Tidak peduli seberapa banyak yang saya punya, toh dari yang terbatas ini saya masih diperkenankan untuk berbagi. Mengajar anak-anak di Jombor membantu saya untuk melihat lebih jelas identitas masa depan saya. Saya menjadi mengerti dengan lebih baik pengalaman para Skolapios dalam karya misi. Mereka banyak mengajar. Mengajar tidak hanya sebatas mengandung fungsi predikat aktif tetapi juga pasif (kerendahan hati dan keterbukaan belajar). Bukan hanya tentang memberi tetapi juga menerima. Saya belajar banyak dari anak-anak. Jombor. Pertama, kesederhanaan. Mereka datang apa adanya. Tanpa peduli situasi apa yang sedang melanda kebanyakan anak di usia mereka yang sibuk dengan trend-trend medsos, mereka justru tampil apa adanya. Hal tersebut menyadarkan saya melihat lebih jelas kecenderungan diri yang sering hanyut dalam arus trend yang mendistraksi. Kedua, ketaatan. Ketaatan adalah salah satu pilar penting bagi saya. Anak-anak di Jombor memberi saya satu model ketaatan. Ini bukanlah model ketaatan buta. Mereka tahu ada yang baik dan berguna bagi mereka jika dengan rela hati mengikuti arahan relawan SPM Realino. Mereka (anak-anak) mengajarkan saya, segala keputusan dari formator dan pendamping komunitas bukanlah sekadar legitimasi otoritas seperti yang saya pahami. Arahan baik jika ditaati dan dilaksanakan maka akan berdampak positif. Ketiga, kerjasama. Hal ini tergambar dalam banyak aktivitas bersama anak-anak di sana. Mulai dari permainan pembuka kegiatan hingga cara-cara belajar kreatif yang mengkondisikan mereka bekerja sama. Dalam refleksi hidup berkomunitas, saya belajar bahwa berjalan sendiri pasti tidak berhasil. Komunitas memuat bentuk model hidup kolaboratif antar anggota dengan tujuan mewujudkan bonum communae. Jika saya punya kesempatan lagi, dengan senang hati saya akan terus belajar dari dan bersama adik-adik di Jombor. Kontributor: Christiano Kutun Making – Volunteer SPM Realino

Feature

Saluran Rahmat-Nya

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sedang gencar-gencarnya menjalankan Arah Dasar Keuskupan periode 2022-2026 dengan tema “Tidak Jemu-jemu Mengusahakan Kebaikan Bersama.” Demi mewujudkan cita-cita tersebut, tahun ini KAJ mengangkat tema “Kesejahteraan Bersama” yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia dengan cara lebih memperhatikan yang tersisihkan dan berkekurangan. Lebih lanjut, hal ini selaras dengan salah satu poin dalam UAP (Universal Apostolic Preferences) yaitu “Berjalan bersama yang Tersingkir.” Ini juga menjadi tema UAP yang sedang dicoba didalami dan direfleksikan oleh para Skolastik Kolese Hermanum pada tahun 2023 ini. Dalam rangka mewujudkan sekaligus terlibat sebagai pribadi yang berjalan bersama yang tersingkir, Para Skolastik Kolese Hermanum di Unit Pulo Nangka mengusahakan sebuah gerakan. Bekerja sama dengan Bu Fifi, seorang sahabat awam yang begitu murah hati menyumbangkan sebagian dari miliknya, para frater Pulo Nangka membagi-bagikan kupon makanan setiap minggunya. Kupon dengan nilai Rp 10.000 sebanyak 30 buah ini dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar frateran Pulo Nangka. Kupon tersebut dapat ditukarkan dengan seporsi makan siang seharga Rp 12.000, sehingga penerima kupon cukup mengeluarkan uang Rp 2.000 untuk seporsi makan siang mereka. Menghargai hakekat kerja mereka Pada tahap awal perencanaan program ini, kami menemui Bu Nurhayati yang merupakan rekan dari Bu Fifi. Beliau menjalankan program yang sama di daerah sekitar tempat tinggal Bu Fifi. Dalam perbincangan dengannya, para frater mengetahui alasan mengapa para penerima kupon tetap perlu membayar Rp 2.000, yaitu menghargai penerima kupon sebagai manusia yang setara. Keinginan untuk nguwongke dan membuat penerima bantuan tetap memiliki harga diri adalah tujuan dari program ini. Bu Nurhayati bercerita awalnya dia sempat bertemu orang yang tersinggung ketika diberi kupon makan seharga Rp 12.000. Orang tersebut tersinggung karena disangka tidak mampu membeli makanan dan menolak kupon yang diberikan. Dengan penolakan tersebut, Bu Fifi tersadar bahwa yang dibutuhkan orang-orang tersebut bukan hanya makanan, namun juga pengakuan harga diri. Mereka ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja dan berpenghasilkan demi kebutuhan harian mereka. Maka dari itu, mereka tetap diberi kesempatan untuk membayar makanan yang mereka makan. Dengan membayar Rp 2000 mereka tidak menjadi “peminta-minta” yang begitu saja mendapatkan makanan, tetapi menjadi seorang yang tetap mampu membeli makanan untuk mereka. Tema “Berjalan Bersama” dalam hal ini terwujud nyata dalam bagaimana menghargai orang-orang ini sebagai manusia biasa yang mampu bekerja dan membeli makanan dari hasil jerih payah mereka. Program ini telah berjalan sejak bulan Oktober 2022 hingga sekarang. Jumlah total kupon makanan yang telah dibagikan sudah lebih dari 270 buah. Sasaran utamanya adalah para pemungut dan pemilah barang bekas, petugas keamanan, pedagang asongan, penyapu jalanan, penjual buah, penjual mainan, dan orang-orang lain yang melintas di sekitar frateran Pulo Nangka. Menjadi Saluran Rahmat-Nya Ketika merefleksikan kegiatan ini, kami menyadari bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan sederhana yang berahmat. Para penerima kupon setidaknya bisa terbantu dalam biaya satu kali makan. Kami juga melihat pancaran sinar harapan ketika berjumpa dan mendengarkan kisah mereka yang merasa diperhatikan. Di lain sisi, melalui senyuman para penerima kupon, kami semakin bisa bisa bersyukur karena tindakan sederhana ini menjadi perpanjangan tangan dan saluran rahmat-Nya. Kegiatan membagikan kupon semakin membuat kami sadar bahwa sumber rahmat dan kebaikan adalah Allah sendiri yang kerap hadir dalam pribadi-pribadi baik di sekitar kita. Perjumpaan dengan sesama yang lebih membutuhkan juga mengasah kepedulian dan aksi nyata untuk mereka. Rasa syukur ini sekaligus memupuk harapan agar semakin diberi rahmat memiliki rasa merasa Kristus yang begitu mencintai dunia ini sehingga lebih bisa meneladan cara-Nya dalam mengasihi sesama kami. Maukah Anda juga menjadi saluran rahmat Allah bagi sesama di sekitar Anda? Kontributor: Fr. Petrus Guntur Supradana, S.J. – Skolastik Filosofan di Kolese Hermanum Jakarta

Feature

Perjumpaan yang Mengubah

Kisah kasih ini bermula dari berbagai pergumulan hidup yang saya alami, hingga pertemuan saya dengan Pater Pieter, S.J. yang memperkenalkan saya pada komunitas Realino SPM. Di sinilah akhirnya saya menemukan makna diri dan hidup di dalamnya. Singkatnya, Realino SPM menjadi tempat perjumpaan saya dengan Tuhan yang menolong saya lewat mereka yang terkasih — Anak-anak Bongsuwung dan Jombor. Perjalanan dimulai dengan kegiatan pendampingan yang saya lakukan di Jombor dan Bongsuwung setiap hari Kamis dan Sabtu. Di sana saya berkenalan dengan anak-anak dengan keunikan dan keaktivannya masing-masing. Anak-anak yang beraneka ragam umur, tingkah laku, hingga latar belakangnya. Kegiatan pendampingan yang kami lakukan adalah membuat prakarya dan belajar Bahasa Inggris. Selain itu, kami juga mengajarkan hal-hal yang membentuk kepribadian baik bagi mereka, contohnya sopan santun. Kami juga memberikan motivasi bagi mereka dan mengarahkan mereka jika mereka melakukan hal-hal yang kurang berkenan. Dalam prosesnya, banyak suka-duka yang menjadi bumbu dalam perjalanan ini. Terkadang, ada anak yang kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan, berkelahi dengan temannya, malas mengerjakan tugasnya, dan lain sebagainya. Di samping itu, saya menghargai dan salut dengan perjuangan mereka untuk hadir dan belajar bersama kami. Saya dan rekan-rekan volunteer memahami bahwa semua yang dilakukan anak-anak merupakan bentuk keunikan yang mereka miliki. Komunitas Realino serta anak-anak dampingan menjadi babak baru dan warna baru dalam perjalanan hidup saya. Di komunitas ini, hal yang saya syukuri adalah saya dapat bertemu dengan orang-orang seperti Pater Pieter, S.J. dan mbak Luci, rekan-rekan volunteer, serta anak-anak dampingan. Mereka semua adalah orang-orang hebat yang mau membuka diri dan memberikan diri mereka untuk saling bekerja sama dan menjadi teman perjalanan bersama. Dalam perjalanannya, saya menemukan bahwa anak-anak bukan hanya menjadi tempat kami menyalurkan pengalaman tetapi menjadi tempat kami memperoleh pengalaman. Kami dan anak-anak belajar untuk saling berbagi, saling memahami, dan saling mengembangkan. Saya juga belajar menjadi pribadi yang lebih sabar dan mau memahami kondisi orang lain. Berjalan bersama anak-anak Jombor dan Bongsuwung bukanlah hal yang mudah. Namun, perlahan saya mulai dengan memahami apa, mengapa, dan bagaimana mereka terlihat berbeda. Dari situlah saya dapat memaknai bahwa segala sesuatu yang telah berjalan, merupakan suatu keterlibatan yang didasari oleh “semangat kasih” yang mendalam. Dari dasar yang saya temukan, saya pun menyadari bahwa setiap pribadi memiliki martabat yang luhur” terlepas dari latar belakang yang mereka miliki. Pada akhirnya, cinta dan kasih itu tumbuh dalam bentuk “teman perjalanan.” Teruntuk anak-anak Jombor dan Bongsuwung, terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku dan kami semua. Terima kasih telah menjadi ungkapan hidup dari kebaikan hati Tuhan. Warna yang kalian pancarkan dan senyuman yang kalian tebarkan menjadi semangat langkahku melanjutkan hidup dan memaknai proses kehidupan ini dengan lebih baik. Semoga kedepannya, kalian semua dapat tumbuh menjadi pribadi yang berhasil dan tidak pernah melupakan kami dalam perjalanan hidup kalian. Teruntuk rekan-rekan volunteer, Pater Pieter, S.J. dan mBak Luci, terima kasih untuk segala penerimaan, nasihat, bimbingan, dan kebersamaan di hari-hari kemarin. Semoga apa yang kalian tabur menjadi kebaikan yang kalian tuai di kemudian hari. Semoga ke depan, kalian semua dapat terus bertumbuh menjadi ungkapan hidup dari kebaikan hati Tuhan. Kontributor: Anny Angelina S – Volunteer Realino SPM

Feature

Bersama Tuhan Mencinta dan Melayani

Tulisan ini menyajikan ajakan berefleksi mengenai misteri Tuhan yang menjadi manusia dari perspektif spiritualitas Ignatian1 sebagaimana termuat di dalam Latihan Rohani St. Ignatius Loyola. Di dalam refleksi ini diikuti kesadaran bahwa iman Kristiani dihayati di tengah dunia karena penjelmaan Tuhan atau inkarnasi terus berlangsung dan menyejarah. Memeluk inspirasi inkarnasi berarti bersama Tuhan terus mencinta dan melayani dalam peristiwa-peristiwa kehidupan manusia. Dalam inspirasi inkarnasi ini, hidup di tengah dunia adalah perpanjangan  komitmen illahi Tuhan untuk memperbaiki dan memulihkan tata kemanusiaan yang rusak oleh dosa dan kejahatan. Jerih payah bersama-Nya (mecum laborare) dalam mencinta dan melayani adalah wujud syukur dan kekuatan yang lahir karena ambil bagian dalam perutusan bersama Tuhan untuk dunia. Tulisan ini juga menunjukkan keutamaan-keutamaan Ignatian dalam inkarnasi yang terus berlangsung dalam situasi baru dengan budayanya. Keutamaan-keutamaan ini meyakinkan kita bahwa  beriman dan beragama yang sejati menghadirkan solusi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan hidup bersama, bukan sebaliknya merusak serta menjadi penyebab permasalahan. Semua ini, dalam konteks Latihan Rohani, berpijak dari pengandaian visi iman Kristiani tentang penciptaan, kejatuhan manusia dan penebusannya.  INKARNASI: ALLAH  YANG TIDAK MENGURUNG DIRI  Dalam pengalaman iman St. Ignatius, dengan jalan turun miskin, hina dan rendah hati (LR 146), inkarnasi adalah komitmen cinta Ilahi terhadap persoalan manusiawi. Ini merupakan bagian dari iman tentang siapa Allah. Dalam misteri inkarnasi, Allah tidak mengurung diri dalam keabadian-Nya, tetapi melibatkan diri dalam cinta tanpa ada batas ukuran. St. Ignatius Loyola menyajikan hal ini dalam kontemplasi inkarnasi untuk mengawali latihan rohani Minggu Kedua Latihan Rohani (LR 101- 109). Di dalam kontemplasi ini St. Ignatius mengajak memohon rahmat “pengertian yang mendalam tentang Tuhan yang telah menjadi manusia bagiku, agar lebih mencintai dan mengikuti-Nya” (LR 104). Rahmat ini memiliki peranan kunci serta strategis dan dimohon sepanjang Minggu Kedua, mulai dari penjelmaan Tuhan hingga menjelang sengsara dan kematian-Nya. Tiga kata “mengerti, mencinta dan mengikuti” Tuhan yang menjadi manusia memiliki peranan strategis untuk membangun kebersatuan afektif dengan Tuhan yang bermuara pada cara Tuhan merasa, mengerti, menalar serta mencinta dan melayani. Dalam hal ini, kontemplasi inkarnasi tidak saja membantu menyerap ajaran iman mengenai Allah yang mencinta dan menyelamatkan tetapi juga menyajikan inspirasi Allah memandangi dunia, menimbang-nimbang, serta berkomitmen mewujudkan cinta penyelamatan-Nya.  Dari dinamika Latihan Rohani, kontemplasi inkarnasi dilakukan setelah kontemplasi Panggilan Raja dengan rahmat  yang dimohon “siap siaga dan penuh minat melaksanakan kehendak Allah sebagai Sang Raja Abadi (bdk. LR 91) serta kesanggupan untuk berjerih payah bersama Tuhan (mecum laborare) di dalam kehendak luhur-Nya, yaitu keselamatan manusia (bdk. LR 95). Dalam hal ini bisa dimengerti dari kenyataan bahwa  Sang Raja Abadi ini adalah Allah yang menjelma (LR 101-109) dan lahir menjadi manusia (LR 110-117). Demikian inkarnasi mewujud di dalam jerih payah Tuhan untuk keselamatan dan karena itu St. Ignatius pun memasukkan perspektif jerih payah ini  kontemplasi kelahiran Tuhan: “Mengamat-amati dan menimbang-nimbang apa yang mereka lakukan: perjalanan dan susah payah mereka, agar Tuhan dilahirkan dalam puncak kemiskinan. Sesudah menderita sedemikian banyak, mengalami lapar, haus, panas dan dingin, kelaliman dan penghinaan, Dia akhirnya wafat di salib; dan semua itu untuk diriku” (LR 116) Selanjutnya, ciri kerja dan jerih payah serta memberi diri sampai tuntas ini, dalam bagian akhir  Latihan Rohani “Kontemplasi Mendapat Cinta” (LR 230-237) dihadirkan lewat permenungan mengenai Allah tinggal di dalam ciptaannya (LR 235) dan Allah bekerja untuk diri kita (LR 236). Dalam arti ini inkarnasi terus berlangsung dan hidup ini merupakan perpanjangan inkarnasi Tuhan.  DUNIA SEBAGAI SASARAN KEPEDULIAN CINTA TUHAN Apa pun itu kondisi dan wajahnya, dunia dan pribadi-pribadi di dalamnya menjadi sasaran kepedulian cinta Tuhan yang menyelamatkan. Pun ketika orang dalam kondisi frustasi rangkap, yaitu objektif karena dunia rusak oleh dosa dan kejahatan, dan subjektif karena tidak mampu mengatasi perilaku buruk dalam hidupnya sendiri, cinta Tuhan terus berlangsung. Demikian ketika St. Ignatius di dalam pendahuluan kontemplasi inkarnasi menyebutkan Ketiga Pribadi illahi memandang seluruh permukaan dan keliling bumi penuh dengan manusia (LR 102) dengan segala situasi dan keberagamannya (LR 106). Sebagai sasaran kepedulian cinta Tuhan, ketika dunia ini menampakkan wajah luhur dan indahnya, kita terlibat untuk terus merawat dan mengambangkan. Sementara itu ketika dunia menampakan wajah buruknya kita terlibat bersama Tuhan terus mencintai dan memperbaiki.   Serikat Jesus di jaman ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Jenderal Serikat, P. Arturo Sosa, S. J.2,  menggambarkan dunia masa ini ditandai oleh perubahan demografis yang tidak terduga dengan jutaan imigran dan pengungsi yang disebabkan oleh konflik, kemiskinan dan bencana alam. Juga diwarnai oleh ketidaksamaan yang terus berkembang oleh karena sistem ekonomi global sehingga jarak antara yang miskin dan yang kaya bertambah dan jumlah orang-orang yang dipinggirkan juga meningkat. Dunia juga memperlihatkan berkembangnya polarisasi karena perang, konflik, kekerasan, intoleransi dan terror. Sebagai “rumah bersama” dunia mengalami krisis ekologi. Sementara itu “ekosistem digital” meluas dengan perkembangan internet dan media social (ICT – Information and Communication Technologies) dan  mengubah cara berpikir, mereaksi, berkomunikasi dan berinteraksi. Berkenaan dengan situasi politik, politik sebagai sarana untuk mencari dan memperjuangkan kebaikan bersama melemah.  Demikianlah keadaan dunia ini menjadi sasaran kepedulian cinta Tuhan.  Tentang “ekosistem digital”, disadari bahwa keberelasian manusia telah dibentuk ulang oleh media digital.  Rasa perasaan terhadap dunia, persepsi dan reaksi terhadap situasi dipengaruhi oleh media digital3. Dunia telah terdigitalisasi dan menjadi penuh dengan pelbagai kemungkinan. Salah satu dari kemungkinan tersebut adalah menghindari dari perjumpaan-perjumpaan dengan menarik diri masuk ke ruang sendiri lalu berelasi secara virtual dengan ambil bagian atau berbagi topik-topik dan pilihan yang ada di dalam daftar dalam bentuk yang disederhanakan4. Demikian ini secara antropologis boleh jadi menjadi miskin dan sebagai akibatnya dari perspektif inkarnasi, perjumpaan juga menjadi miskin. Kenyataan ini tidak bisa dan tidak perlu ditolak, sebaliknya dibuka juga untuk inkarnasi Tuhan karena petunjuk orang ke kamar menikmati bentuk relasi digital tersebut senyatanya adalah juga manifestasi kebutuhan manusiawi untuk terus berelasi5.  Mengingat pesan utama dari inkarnasi adalah rekonsilitasi atau pendamaian, “Allah mendamaikan dunia dengan  Diri-Nya di dalam Kristus “ (2 Korintus 5:19), rekonsiliasi tersebut juga berlaku dalam dunia dan hidup yang terdigitalisasi. Berkenaan dengan rekonsiliasi ini, Serikat untuk melibatkan diri di dalam tiga rangkap rekonsiliasinya: dengan Tuhan, sesama dan ciptaan.  Perwujudan iman dalam tiga rangkap rekonsiliasi ini membawa cara beriman dan menghayati agama sebagai bagian dari solusi persoalan, dan tidak menciptakan masalah dalam gerak perjuangan rekonsiliasinya.