Unit Wisma Dewanto, bagian dari Komunitas Kolese Hermanum Jakarta, memang sudah kita kenal dari waktu ke waktu sebagai rumah Serikat yang asri sekaligus antik. Aslinya sebuah rumah Belanda yang dibangun pada tahun 1909 oleh arsitek P. A. J. Moojen, Wisma Dewanto sekarang dihuni oleh dua pater unit, lima skolastik Indonesia, dua skolastik Myanmar, dan dua anjing ras Kanaan.
Wisma Dewanto dan lingkungan Kramat VII sekitarnya menawarkan atmosfer yang kontras dengan jalan-jalan sibuk yang mengelilinginya. Rumah ini tampil mencolok dengan lingkungan hijau beserta karakteristik bangunannya yang sederhana tetapi klasik nan anggun. Tidak seperti kebanyakan rumah di Jakarta yang menutup semua lahan kosong dengan beton, Wisma Dewanto mempertahankan sebuah halaman dengan rumput dan aneka tumbuhan. Sebatang pohon flamboyán besar berdiri tegak di tengah halaman dan sering berbunga merah yang gugur menaburi halaman secara indah. Sejak wabah Covid-19 merebak, sisi timur dari halaman disulap menjadi kebun sayuran kecil yang berisi cabai, kelor, pak choy, jahe, selada, kemangi, dan kangkung; sebagian ditanam di tanah, sebagian di hidroponik, dan sebagian dalam polybag. Selain itu, juga dipelihara kurang lebih 300 ekor lele dalam lima ember ukuran 100-liter yang ditata sedemikian rupa untuk sekaligus mensirkulasi air hidroponik.
Wisma Dewanto dan lingkungan Kramat VII sekitarnya menawarkan atmosfer yang kontras dengan jalan-jalan sibuk yang mengelilinginya.
Rm. Nugroho Widiyono (Rm. Nugie) dan Fr. Craver Swandono (Upet) memprakasai usaha ini di bulan-bulan awal pandemi. Permulaannya sangat sederhana. Sistem hidroponik awalnya dibuat dari pipa-pipa PVC yang tidak digunakan dari unit Johar Baru dan rangka untuk menopangnya diambil dari besi bekas di bengkel STF Driyarkara. Satu set hidroponik terdiri dari enam pipa dengan masing-masing pipa memiliki 12 lubang untuk menanam sayuran.
Proyek sayuran kemudian meluas dengan memanfaatkan sebuah lahan sempit 10m x 0.5m di sepanjang pagar. Lahan yang mulanya hanya berisi tanah kering dan sisa material sekarang telah ditanami sayuran dari ujung ke ujung. Ruang tambahan bahkan diadakan dengan membuat tatakan sepanjang 6m yang digantung pada pagar untuk tanaman-tanaman yang dalam polybag dan gelas plastik bekas. Tanaman-tanaman kecil tersebut juga sering kali dibagikan sebagai oleh-oleh bagi tamu-tamu yang mampir di Wisma Dewanto. Pernah juga, umat sekitar yang berminat dipersilakan datang untuk mengambil kemangi-kemangi yang sudah tersedia dalam polybag.
Tak lama kemudian, ide untuk membudidayakan lele pun muncul. Yang mulanya hanya satu ember kemudian cepat berkembang menjadi lima ember dalam tiga bulan. Tidak mudah memang pada awalnya karena angka kematian yang tinggi dan ukuran lele yang kerdil. Akan tetapi, Rm. Nugie dan Fr. Upet segera menemukan selah-nya dan pertumbuhan lele membaik. Sejak itu, lele sudah dipanen selama delapan kali.
Wisma Dewanto telah menjadi semacam landmark di daerah Kramat. Sebagai rumah Belanda kuno yang paling terpelihara di daerah ini, Wisma Dewanto telah menarik perhatian dari pasangan yang ingin foto pre-wedding, anak-anak sekolah yang membutuhkan tempat pengambilan gambar untuk gerak dan lagu, sampai pengamat bangunan-bangunan bersejarah Jakarta. Kerindangan pohon-pohon di sekitar Wisma Dewanto juga menciptakan suasana ideal bagi seorang penjual mie ayam di depan rumah yang mana para pelanggan bisa menikmati istirahat makan siang di bawah angin sepoi-sepoi.
Kendati demikian, sumbangan paling utama dari ruang hijau di Wisma Dewanto tentu adalah pertama-tama tersedianya lingkungan yang sehat bagi para Jesuit penghuninya. Hal ini makin terasa manfaatnya di tengah situasi pandemi dengan kuliah-kuliah dan kegiatan-kegiatan daring yang mengharuskan duduk berjam-jam di depan layar. Sekadar berjalan-jalan di halaman yang rindang di sela-sela kelas daring selalu dapat memberikan kesegaran dan ketenangan tertentu. Lingkungan Wisma Dewanto membuat rasa dekat dengan alam tetap mungkin bahkan di tengah kota Jakarta yang padat dan penuh polusi. Kita berharap rumah ini dapat menjadi inspirasi—bahkan budaya tandingan terhadap budaya urban Jakarta yang sering kali mengabaikan ruang terbuka hijau.
Kontributor: Teilhard Aurobindo Soesilo, SJ