Pilgrims of Christ’s Mission

universitas sanata dharma

Karya Pendidikan

Menulis Bab Baru Pendidikan Tinggi Jesuit

IAJU Assembly 2025 Bogotá, Kolombia – International Association of Jesuit Universities (IAJU) Assembly 2025 telah diselenggarakan pada 30 Juni hingga 3 Juli 2025 di Pontificia Universidad Javeriana, Bogotá, Kolombia. Pertemuan tiga tahunan ini menjadi momentum penting bagi Universitas Sanata Dharma (USD), bersama 170 universitas Jesuit dari seluruh dunia, untuk membangun strategi bersama dalam menjawab tantangan pendidikan tinggi global.   Mengangkat tema “Our Mission in Challenging Times: Let’s Write the Next Chapter of Jesuit’s Higher Education History,” pertemuan ini dibuka dengan pidato inspiratif dari Pater Jenderal Arturo Sosa SJ. Dalam pidato tersebut, ia menekankan pentingnya universitas Jesuit menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma Ignasian.    ”Universitas Jesuit harus menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma kita,” tegasnya.    Pater Jenderal juga menyampaikan tiga pilar utama yang harus menjadi fondasi pendidikan tinggi Jesuit: Charism (karisma), Context (konteks), dan Way (jalan).    Pesan ini disampaikan kepada lebih dari 300 peserta dari lima benua, termasuk delegasi dari Universitas Sanata Dharma yang diwakili oleh Rektor Albertus Bagus Laksana SJ dan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Caecilia Tutyandari. Dalam berbagai sesi dan diskusi, USD menunjukkan komitmennya untuk memperkuat jaringan global pendidikan tinggi Jesuit dan menghadirkan pendidikan yang transformatif, kontekstual, serta berdampak sosial.     Salah satu sesi pleno IAJU 2025 di Javeriana Pontifical University, Bogota, Kolombia ini, secara khusus mengangkat tema tantangan sekularisme bagi pendidikan tinggi Katolik, sebuah tantangan yang kompleks dan semakin nyata. Rektor USD, Pater Bagus, tampil sebagai panelis dalam sesi bertema “Contextual Intercultural Engagement.” bersama dengan Mgr Carlo Maria Polvani,  Sekretaris pada Dikasteri untuk Budaya dan Pendidikan, dan Dewan Kepausan untuk Budaya, Tahta Suci.    Sekularisme dan sekularisasi terjadi dalam pelbagai bentuk yang tidak sama dan seragam dalam pelbagai konteks. Msgr Polvani menekankan peran terdepan dan  strategis dari  universitas Katolik untuk  berhadapan langsung dengan fenomena sekularisasi. Beliau mengajak para peserta untuk mempelajari dengan seksama gejala dan tantangan sekularisme pada konteks masing-masing, juga bagaimana  agama menghadapi sekularisasi.   Dalam tanggapannya, Pater Bagus menjelaskan bahwa sekularisasi di Indonesia memiliki dinamika yang berbeda dengan di Barat. Di Indonesia, terutama di kalangan muda perkotaan, ada kecenderungan mengambil jarak dari institusi agama, namun tanpa sepenuhnya meninggalkan pencarian makna spiritual. Identitas keagamaan menjadi lebih cair, terbuka, dan sering kali hibrid, seiring dengan tumbuhnya budaya plural dan tantangan global.   “Fenomena ini menantang kita untuk menghadirkan wajah agama yang otentik, terbuka, dan kontekstual—bukan yang kaku dan menghakimi, tetapi yang mendampingi dan menumbuhkan,” ujar Pater Bagus.     Menurutnya, tantangan utama bukan datang dari represi terhadap iman Katolik, tetapi dari melemahnya nilai-nilai Katolik dalam kehidupan publik. Pengaruh mekanisme pasar, sistem pendidikan yang kompetitif, serta tawaran budaya instan menjadi kekuatan sekular yang perlahan mengikis nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan spiritualitas dalam masyarakat.   Pater Bagus menawarkan pendekatan berbasis human flourishing atau perkembangan manusiawi sebagai kerangka alternatif yang menyatukan aspek religius, etis, dan sosial secara kreatif. “Human flourishing memberi jalan bagi kita untuk tetap relevan di tengah pluralitas dan sekularisasi, sekaligus menghidupi misi Jesuit untuk membentuk pribadi yang berpikir kritis, peduli, dan terbuka terhadap yang lain,” ungkapnya.   USD sendiri telah mengintegrasikan kerangka human flourishing dalam tridarma perguruan tinggi, antara lain melalui kerja sama dengan Australian Catholic University (ACU) dan Universitas Gadjah Mada. Sebuah konferensi internasional tentang topik ini baru saja digelar di kampus ACU di Roma, menghadirkan peneliti dari Harvard, Baylor University, dan delegasi pemerintah Indonesia.   Pater Bagus juga menekankan peran penting universitas Jesuit seperti USD dalam menciptakan ruang dialog antarbudaya dan antariman, mendampingi mahasiswa dalam pencarian makna hidup, serta membentuk kepemimpinan publik yang berakar pada keadilan dan belas kasih. Dalam konteks ini, sekularisasi tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperbarui iman dan spiritualitas secara otentik dan kontekstual.     Selama empat hari pelaksanaan, IAJU Assembly 2025 membahas berbagai isu penting lainnya seperti dampak kecerdasan buatan terhadap pembelajaran, keadilan lingkungan sebagai respons terhadap penderitaan bumi dan kaum miskin, serta kesejahteraan mental mahasiswa melalui pendekatan spiritualitas Ignasian. Selain itu, para peserta juga berdiskusi tentang isu migrasi, pengungsi, kolaborasi jejaring antaruniversitas Jesuit, serta tantangan demokrasi dan identitas di tengah dunia yang semakin kompleks.   Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 menegaskan perannya sebagai bagian dari Association of Jesuit Colleges and Universities Asia Pacific (AJCU-AP). Menurut Wakil Rektor Caecilia Tutyandari, keikutsertaan ini mencerminkan komitmen jangka panjang USD dalam membangun pendidikan yang yang menjadi ruang formasi integral yang mendorong kolaborasi internasional.   “Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 merupakan bagian dari komitmen jangka panjang universitas dalam mengembangkan pendidikan yang holistik dan transformatif, memperkuat identitas Jesuit-Katolik dalam konteks Indonesia, berkontribusi pada solusi global melalui pendidikan tinggi, dan membangun solidaritas dengan universitas Jesuit sedunia,” ungkapnya.   IAJU Assembly 2025 diharapkan menghasilkan penguatan visi bersama pendidikan tinggi Jesuit global, strategi konkret menghadapi tantangan zaman, dan perluasan jaringan kolaborasi lintas negara dalam bidang pendidikan dan riset. Momentum ini semakin mengukuhkan USD sebagai salah satu universitas Jesuit terkemuka di Asia Tenggara yang terus berkontribusi dalam membangun dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh harapan.   Kontributor: Antonius Febri Harsanto – Humas Universitas Sanata Dharma

Karya Pendidikan

Audiensi dengan Paus Fransiskus dalam Building Bridge Across Asia Pacific

Kamis, 20 Juni 2024, Maria Anita, mahasiswa Magister Psikologi USD dan Helen Vyanessa Ribca Oroh (Mekatronika ATMI Surakarta) berkesempatan mewakili Indonesia untuk melakukan audiensi dengan Paus Fransiskus dalam program Building Bridges Across Asia Pacific. Program yang diinisiasi oleh Loyola University Chicago ini mempertemukan Paus Fransiskus dengan para mahasiswa di Asia Pasifik secara daring untuk membicarakan tantangan yang dihadapi orang muda dan Gereja di dunia modern.   Acara dialog ini berlangsung pada Kamis, 20 Juni 2024 pukul 19.00 WIB dan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Building Bridges Initiative. Dialog ini pertama kali diinisiasi oleh Loyola University Chicago pada tahun 2022 sebagai respons terhadap panggilan sinodal Paus untuk sinodalitas yang mempromosikan dialog lintas budaya dan lintas iman.   Mahasiswa dari berbagai universitas di Filipina, Australia, Selandia Baru, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia berkesempatan melakukan dialog dengan Bapa Suci. Paus juga menyambut partisipasi dari mahasiswa-mahasiswa dari Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini, negara-negara yang akan dikunjunginya September mendatang.   Persiapan audiensi dengan Paus Fransiskus dilakukan selama satu bulan. Indonesia masuk dalam satu regio bersama dengan Timor Leste dan Singapura. Dua mahasiswa di regio ini diwakili oleh Maria Anita (Magister Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) dan Helen Vyanessa Ribca Oroh (Mekatronika ATMI Surakarta). Dalam persiapan audiensi ini, keduanya dibimbing para fasilitator Indonesia, yaitu Pater Heri Setyawan, S.J., (dosen Sejarah USD) dan Pater Lucianus Suharjanto, S.J. (dosen Pendidikan Bahasa Inggris USD).   Dalam kesempatan audiensi bersama Paus Fransiskus pada Kamis yang lalu, Maria Anita menyampaikan masalah interfaith relationship yang terjadi di Indonesia.   ”Generasi muda di Indonesia menghadapi dilema interfaith relationship, antara meninggalkan Gereja atau membangun keluarga dengan latar belakang agama berbeda. Oleh karenanya, dibutuhkan bimbingan Gereja untuk pembentukan iman yang sesuai dengan perkembangan kehidupan dan konteks interfaith dan interreligious,” ungkapnya.   Sementara Helen Vyanessa Ribca Oroh menyampaikan keprihatinan bagaimana teknologi dan sosial media bisa menjadi tempat yang aman untuk berbagi dan saling mendukung dalam masyarakat.   “Orang muda mempunyai keprihatinan bagaimana membangun teknologi yang mampu mendorong mereka untuk tetap aktif dan bertumbuh dalam iman di komunitas basis Gereja yang terbuka. Selain itu orang muda berharap media sosial dapat menjadi wadah komunikasi antar masyarakat untuk membangun rasa kebersamaan dan menguatkan masyarakat,” tuturnya.     Maria dan Helen juga mengungkapkan keprihatinan tentang masalah kesehatan mental orang muda. Mereka berharap Gereja dapat merespons dan memberikan dukungan untuk menjaga kesehatan mental generasi muda.   ”Masalah kesehatan mental sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang muda. Hal ini terkait dengan masalah komunikasi dan masalah ekonomi dalam keluarga. Keduanya berdampak besar pada kehidupan kaum muda, terutama dalam akses pendidikan dan fasilitas kesehatan yang memadai,” tutur Maria.   “Bagaimana media sosial dapat mendukung kesehatan mental orang muda dan bisa menjadi tempat yang aman untuk saling untuk berbagi dan bertanya. Penting untuk merefleksikan bagaimana kita dapat membangun platform interaktif dan informatif bagi generasi muda agar bisa bertumbuh bersama di dalam masyarakat yang saling mendukung,” ungkap Helen.   Setelah mendengar ungkapan dari keduanya, Paus Fransiskus memberikan tanggapan hangatnya dan menyadari betapa sulitnya kaum muda Katolik untuk berpartisipasi dan memiliki sense of belonging di masyarakat. Bapa Suci mendorong kaum muda untuk berpegang teguh pada iman dan menjaga hati mereka tetap terhubung dengan doa. Dengan melakukan hal ini, kata Paus, akan membantu dialog antar iman dan memungkinkan orang muda untuk selalu berinteraksi dengan orang lain secara lebih efektif.   Bapa Suci juga menekankan pentingnya mempertahankan keyakinan yang teguh meskipun menghadapi tekanan lingkungan serta menjaga rasa memiliki untuk melindungi dari kerentanan. Beliau menyoroti isu identitas, martabat manusia, kesehatan mental, diskriminasi, dan stigma sosial yang menghambat inklusivitas sambil menegaskan bahwa perempuan memiliki peran unik dan tidak boleh dianggap sebagai warga kelas dua.   Di hadapan para mahasiswa Asia Pasifik, Paus Fransiskus membahas pentingnya pendidikan yang holistik. Beliau mengajak semua pihak untuk menolak ideologi konflik dan perang, serta membangun harmoni dan dialog antarbudaya demi perdamaian di dunia yang penuh ketidakpastian.   Paus Fransiskus mengakhiri acara ini dengan mengucapkan terima kasih kepada para mahasiswa atas partisipasi dan refleksi mereka yang telah membantu beliau memahami lebih dalam situasi kaum muda Katolik, terutama dalam persiapan beliau untuk perjalanan apostolik ke Asia dan Oseania pada bulan September 2024 mendatang.   Kontributor: Antonius Febri Harsanto – Kepala Humas Universitas Sanata Dharma

Penjelajahan dengan Orang Muda

Menemani Orang Muda di Karya Kerasulan Jesuit

Nama saya Anton, seorang bapak usia 40-an. Saat ini saya bekerja di Universitas Sanata Dharma (USD), sebuah universitas Jesuit di Yogyakarta. Ketika redaksi INTERNOS menghubungi saya untuk menjadi salah satu kontributor tulisan edisi khusus tentang Orang Muda, saya merasa sangat senang. Rasa senang tersebut hadir bukan karena saya merasa mempunyai banyak pengalaman bersama-sama dengan orang muda, namun karena dari pengalaman-pengalaman tersebut saya belajar dan tumbuh sebagai manusia dewasa. Oleh karenanya, tulisan sederhana ini hanyalah sekadar sharing atas refleksi pribadi saya yang pernah menjadi orang muda, berjumpa dengan para Jesuit, dan sekarang menemani orang-orang muda serta bekerja sama dengan para Jesuit dalam tugas saya sehari-hari di perguruan tinggi. Menjadi Orang Muda, Menjumpai Allah yang Berkarya Lewat Pengalaman Hidup Jika ditanya perasaan dominan saya mengemban tugas perutusan melayani orang muda bersama para Jesuit, tentu jawabannya adalah perasaan bersemangat. Sebelum bekerja di USD, saya pernah menjadi orang muda yang didampingi oleh seorang Jesuit dan pengalaman tersebut sangat mengesankan. Sekira 25 tahun yang lalu, saat saya menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri, saya bertemu dengan seorang pastor Jesuit yang caranya memandang dunia dan cara hidupnya banyak mempengaruhi hidup saya. Dari beliaulah, di kemudian hari saya mengenal yang disebut sebagai cara bertindak seorang Jesuit. Saya menjadi orang muda di tengah situasi perubahan besar dalam kehidupan bangsa ini: krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis demokrasi. Melalui mata kuliah agama Katolik saya bertemu dengan mendiang Pater Joseph Adi Wardaya, S.J. Saya disadarkan pentingnya ikut serta memperbaiki situasi dengan terlibat lebih jauh pada permasalahan sosial masyarakat dan bagaimana itu semua menjadi perwujudan iman dalam hidup sehari-hari. Saya belajar tentang Analisis Sosial, Gerakan Non-Violence, dan Teater Rakyat sebagai media konsientisasi. Saya terpukau oleh bagaimana iman sangat erat kaitannya dengan keprihatinan hidup masyarakat. Namun lebih daripada itu, saya belajar darinya tentang memelihara iman, menemukan Allah melalui pengalaman dalam hidup sehari-hari, dan refleksi sebagai unsur penting dalam setiap aksi. Sampai akhir hidupnya, Romo Adi, begitu saya biasa memanggilnya, tidak pernah mengatakan – setidaknya secara langsung kepada saya – bahwa cara bertindaknya didasari oleh spiritualitas tertentu. Cara hidupnyalah yang menuntun saya pada akhirnya untuk mencari dan menemukan sendiri dari mana semua itu berasal. Di akhir masa muda saya, saya menemukan bahwa yang menggerakkan semua itu adalah apa yang disebut sebagai Spiritualitas Ignasian. Di masa muda, saya bersyukur karena mengalami perjumpaan dan didampingi oleh seorang Pastor Jesuit sehingga saya bisa menemukan bahwa menjadi (orang) muda adalah sebuah rahmat dari Allah, rahmat untuk terlibat memperbarui situasi hidup bermasyarakat yang juga pada akhirnya membuat dunia selalu menjadi muda. Rahmat Keterbukaan: Keberanian untuk Melangkah Lebih Jauh dan Melompat Lebih Tinggi Bekerja di Universitas Sanata Dharma memungkinkan saya untuk lebih terlibat dan bekerja sama dengan para Jesuit dan orang-orang muda. Kebetulan sebelum di Biro Humas, selama 10 tahun saya bertugas di Campus Ministry dan Asrama Sanata Dharma Student Residence. Jika ditanya suka duka menjadi pendamping orang muda, tentu lebih banyak sukanya, lebih banyak kegembiraan, dan sukacitanya. Di Campus Ministry saya bertemu dengan berbagai komunitas mahasiswa berbasis agama. Pernah dalam sebuah kesempatan camping yang kami laksanakan di bulan Ramadhan, saya sangat tersentuh dengan inisiatif beberapa teman muda Katolik yang ikut menyiapkan menu sahur bagi teman-teman muslim yang sedang berpuasa. Demikian juga ketika persiapan Tri Hari Suci di Kapel Bellarminus, teman-teman lintas iman banyak terlibat. Saya ingat sekali, dalam Tablo Jumat Agung di tahun 2018, banyak teman muda dari berbagai agama ikut menjadi pemeran dan tim produksi. Saya juga belajar banyak dari teman-teman di Asrama Sanata Dharma yang dengan segala kesulitannya beradaptasi di tengah situasi pandemi. Selama dua tahun, asrama kami yang diisi hampir dua ratusan mahasiswa yang berasal dari Papua, Nias, Kalimantan, dan NTT bertahan dan mendisiplinkan diri. Beberapa dari mereka harus menjalani isolasi karena terkena covid, yang lainnya harus menjaga mobilitas, menjaga jarak, menjaga kesehatan, dan terus menjalani kuliah secara online di tengah segala keterbatasannya. Saya sangat memahami bahwa sebagai orang muda mereka mempunyai mobilitas tinggi dan hasrat yang besar untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Namun, hal-hal tersebut di atas tidak mengurangi kehendak mereka untuk bisa mendisiplinkan diri selama kurang lebih dua tahun dengan tidak keluar sembarangan dari lingkungan asrama, beradaptasi dengan perkuliahan online, dan saling membantu sebagai sesama anak perantauan. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini? Saya merasa bahwa orang-orang muda mempunyai kemampuan yang luar biasa di dunia yang terus bergerak dan berubah dengan cepat. Melalui orang muda saya banyak belajar tentang keberanian dan keterbukaan terhadap dunia yang terus berubah. Mereka berani melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Tantangan terbesar orang muda? Tidak dipahami dan dipercaya oleh orang tua. Menemani Orang Muda di Zaman Ini untuk Sebuah Pengharapan di Masa Depan Orang-orang muda di zaman ini adalah mereka yang lahir ketika dunia bergerak sangat cepat berkat teknologi informasi. Mereka banyak disebut oleh para ahli sebagai generasi Z, sebuah generasi yang memiliki karakteristik sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, termasuk generasi saya. Mereka di satu sisi memang sangat terbuka dan toleran dengan perbedaan budaya. Gen Z juga adalah penduduk asli era digital yang tumbuh dengan teknologi, internet, dan sosial media sehingga sering distigma sebagai generasi pecandu teknologi dan cenderung anti sosial. Akrab dengan teknologi dan internet, membuat mereka kaya akan informasi. Namun, ketergantungan terhadap teknologi membentuk karakter yang konon cenderung keras kepala, menyukai sesuatu yang instan, terkesan terburu-buru, dan senang mengumbar hal-hal privat di ranah publik. Sebagai orang yang yang tidak lagi ‘tergolong muda,’ tentu saya harus menerima teman-teman muda ini dengan segala keunggulan dan kelemahannya. Kerendahan hati saya untuk mendengarkan aspirasi mereka dan memahami dunia serta pilihan-pilihan mereka sangatlah dibutuhkan. Orang muda perlu dipercaya. Bahwa dengan segala potensinya mereka bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa (lagi) dilakukan oleh orang-orang tua. Kekuatan utama orang muda adalah kemampuan mereka untuk mengeksplorasi banyak hal. Mereka tidak takut salah, berani terus mencoba dan berusaha. Mereka perlu percaya pada diri, percaya pada kemampuan dirinya, dan terbuka terhadap situasi dunia, serta terhadap rahmat-rahmat Allah yang bekerja dengan caranya sendiri. Sebagai orang yang tidak lagi muda, saya merasa tugas saya adalah menjadi teman seperjalanan mereka. Menemani mereka dalam proses pertumbuhan manusiawi sebagai manusia dewasa agar pada saatnya nanti para pemilik masa