Pilgrims of Christ’s Mission

people smuggling

Feature

Jalan Sutra Perdagangan Manusia di Thailand

Sore hari saat bersepeda menuju kediaman saya di sebuah perumahan, saya tiba-tiba dicegat seseorang bersepeda motor. Saya didekati sambil dipaksa mengangkat telepon saya. Yang bersangkutan berusaha meyakinkan bahwa sayalah orang yang dicari. Saya baru dilepas setelah yakin bahwa saya bukanlah yang dicari. Ini terjadi di Mahachai, sebuah kota pelabuhan ikan yang terbesar di Provinsi Samutsakhon, Thailand. Ratusan ribu pekerja imigran asal Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam dipekerjakan baik secara legal maupun ilegal di berbagai perusahan penangkapan dan pengolahan ikan dan makanan laut. Sampai saat itu, Thailand masih menjadi negara pengekspor makanan laut kedua terbesar di dunia. Para imigran khususnya para imigran gelap dijanjikan pekerjaan dan gaji yang besar. Mereka biasanya didatangkan oleh agen atau broker asal Myanmar dan dihubungkan dengan broker di Thailand atau pihak kedua sebelum diserahkan ke perusahaan atau employers. Karena status hubungan kerja yang sangat labil, mereka kemudian sangat mudah ‘diperjualbelikan’ dari satu employer ke employer lain dengan melewati jejaring broker–broker yang lainnya pula. Kasus penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan para nelayan yang berasal dari provinsi Timur (Isan), utara Thailand dan terkhusus imigran Myanmar baik yang terjadi di laut maupun di daratan harus dipahami dalam konteks perdagangan buruh kerja. Perdagangan buruh kerja bisa dikatakan bagian ‘hilir’ dari aliran perdagangan manusia yang diantaranya menghulu dari daerah-daerah perbatasan antara Thailand dan negara-negara tetangga di sepanjang semenanjung Indocina. Pengusutan kasus perdagangan manusia dalam industri perikanan mulai serius ditanggapi hanya setelah WTO dan US Department of State men-downgrade Thailand ke level 2 pada tahun 2015 pasca laporan beberapa LSM seperti EJF (Environmental Justice Foundation) dan Seafarers. Menanggapi sanksi tersebut, pemerintah Thailand berusaha membenahi diri dengan mencabut izin operasi semua perusahan penangkapan ikan sampai investigasi setiap kasus selesai. Kurang lebih selama dua tahun, industri perikanan Thai mengalami paceklik serius. Pemerintah berusaha meyakinkan dunia bahwa negaranya bukan lagi menjadi terminal perdagangan manusia dan beroperasinya sindikat penangkapan ikan ilegal di dunia. Selain itu pemerintah kerajaan Thailand meratifikasi perjanjian Organisasi Internasional untuk Buruh Kerja/ILO (protokol nomor 29 tentang kerja paksa) – yang menjanjikan perlindungan terhadap buruh kerja dan sanksi kepada para pelanggar – dan perjanjian tentang Pekerjaan dalam Industri Perikanan yang menetapkan standar fundamental untuk para pekerja dalam industri perikanan. Sayang sekali inisiatif pemerintah ini tidak diimbangi dengan penerapan yang terpadu di semua provinsi-provinsi pelabuhan karena kompleksnya jaringan sindikat perdagangan manusia yang sudah terlanjur merembes dalam struktur-struktur birokrasi lokal. Inisiatif-inisiatif yang disebutkan diatas seringkali berhenti pada taraf formal dan publisitas dengan tujuan mengembalikan kepercayaan pasar. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perdagangan buruh tetap terjadi meski dalam taraf yang lebih invisible daripada sebelumnya. Alasan utamanya tidak lepas dari prinsip ekonomi, yaitu modal sekecil-kecilnya, keuntungan sebesar-besarnya. Tentu perusahan-perusahan penangkapan ikan lokal tetap ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara merekrut buruh-buruh murah yang didapatkan dari jaringan perdagangan dan penyelundupan manusia. Pengalaman saya bersentuhan dengan realitas perdagangan buruh ini terjadi awalnya semata-mata dari pengalaman hidup selama enam bulan di tengah perumahan buruh imigran Myanmar di Ban Uea Athorn, di sekitar Mahachai. Sambil menekuni tahun belajar bahasa Thai, saya berusaha memahami realitas yang ada di depan mata saya, yaitu anak-anak buruh migran yang miskin, para buruh imigran legal yang hidup berdesak-desakan di kontrakan bersebelahan dengan kontrakan saya. Melalui sebuah meetup group untuk para peneliti independen tentang masalah-masalah sosial di Bangkok, saya akhirnya terdorong membuat penelitian kasus kecil tentang buruh-buruh migran di perusahan perikanan Thailand. Atas permintaan, seorang teman saya pernah diminta mencari kabar seorang nelayan asal Indonesia yang dikabarkan hilang di Selatan Thailand. Pencarian terhadap seorang nelayan yang hilang ini tanpa dibayangkan justru mengantar saya pada penemuan yang lebih besar. Ada sekitar sepuluh nelayan asal Indonesia dan tujuh nelayan asal Filipina yang ditahan pihak imigrasi Thailand di Phuket atas tuduhan illegal fishing. Mereka pada saat itu ditahan di dalam kapal mereka yang disita – sambil menunggu proses hukum. Dengan bantuan seorang nelayan Indonesia di selatan, saya mulai mengatur proses advokasi mereka. Mengingat otoritas diplomatik Indonesia terkesan lamban membantu proses advokasi saat itu, akhirnya saya berhasil meminta bantuan Seafarers Thailand dan EJF untuk memfasilitasi proses legal dan bantuan kemanusiaan sampai pada proses pemulangan mereka yang berlangsung selama lebih dari setahun. Dalam proses pendampingan itu, saya memilih bekerja undercover mengingat kompleksnya jaringan perdagangan manusia yang bahkan bisa menjalar ke otoritas diplomatik. Misalnya broker asal Indonesia yang mengontrol perdagangan buruh nelayan asal Indonesia adalah seorang yang dikenal baik oleh otoritas diplomatik Indonesia dan juga oleh aparat hukum Thailand. Kenyataan bahwa meskipun orang yang bersangkutan sudah diberi red notice oleh interpol, buktinya dia tetap tidak ditahan. Bekerja undercover adalah pilihan yang cukup aman untuk tetap memonitor kerja mereka. Sampai saat ini saya tetap bekerja undercover menjadi konsultan organisasi lokal dan internasional untuk kasus perdagangan manusia. Pemahaman saya tentang skala dan kompleksitas perdagangan manusia mulai sungguh-sungguh terbentuk setelah saya tinggal di Utara Barat Daya di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Maesod, Maesai, Maehongsong, Chiangmai, Ranong, Kanchanaburi dan Prachuabkirikhan yang merupakan pintu masuk imigran Myanmar baik legal maupun ilegal ke Thailand. Belum dihitung lagi pintu-pintu masuk yang sifatnya natural dan liar sepanjang hutan-hutan perbatasan. Perlu diketahui bahwa jika ditarik garis lurus dari Utara Barat Daya hingga Selatan Barat daya Thailand, terdapat Karen State atau Provinsi Etnik Karen yang sebagian besar dikuasai oleh Gerakan Separatis Karen yang sudah berseteru dengan Pemerintah Myanmar lebih dari tujuh puluh tahun. Imigran ilegal jika ingin masuk melalui pintu imigrasi di kota-kota di atas harus membayar dua kali lipat dari tarif normal. Sementara imigran ilegal harus menempuh resiko yang besar dan biaya yang juga tidak kecil melewati hutan-hutan sebelum tiba di Thailand dan dibawa oleh calo-calo atau broker kerja ke tujuan akhir. Instabilitas politik di Myanmar yang melemahkan ekonomi negara, kemiskinan, dan perang sipil biasanya menjadi faktor pemicu migrasi orang Myanmar ke Thailand. Disebut pemicu karena kalau ketiga hal tersebut absen, orang Myanmar tentu enggan ke luar negeri mencari hidup yang lebih baik. Situasi ini menjadi ladang pancingan para calo kerja, traffickers, and smugglers. Faktor pendorong dan penarik umumnya adalah kondisi kehidupan imigran pendahulu yang lebih baik. Dengan gaji yang besar mereka bisa menopang hidup keluarga di Myanmar. Gaya hidup kosmopolitan seperti Bangkok, Kualalumpur, dan Malaysia adalah faktor yang ikut mendorong

Feature

Mereka yang Martabatnya Dirampas

“Kita merasa apa yang kita lakukan tak lebih hanya ibarat setetes air di lautan. Tetapi lautan itu sendiri merasa kurang tanpa adanya tetesan yang hilang itu.” Bunda Teresa Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kutipan Ibu Teresa di atas dan bagaimana beliau memberi pelajaran jatuh bangun menemani orang-orang kecil yang seakan-akan sia-sia. Di awal beliau memulai pelayanannya, ia dan para suster tidak dipercaya dan bahkan ditertawakan karena dianggap sebagai pelayanan yang tidak masuk akal. Saat saya memulai tugas pastoral anti human trafficking, saya bingung mau melakukan apa. Saya memulainya dengan memanfaatkan beberapa data yang saya miliki. Persoalan trafficking dan pekerja migran tidak dapat dipisahkan terutama ketika bertemu para pekerja non-prosedural di lapangan. Acapkali mereka menjadi korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis bahkan meninggal dunia. Meskipun beberapa waktu lalu sudah ada kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo untuk melindungi para pekerja migran dan menangkap pelaku perdagangan manusia, kondisi saat ini cenderung memburuk. Saya pribadi belum melihat adanya upaya penanganan serius untuk memerangi perdagangan manusia. Lima tahun belakangan ini, jenazah-jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang merantau di negeri jiran cenderung meningkat setiap tahunnya. Per 31 Juli 2023, sudah ada 82 jenazah pekerja migran non prosedural yang tiba di bandara El Tari Kupang. Saya membantu mengurus dan mendampingi jenazah-jenazah pekerja migran yang tiba. Di awalnya orang-orang memandang miring karya ini karena dirasa sangat sia-sia. Tidak hanya jenazah saja yang saya dampingi namun juga mereka korban yang hidup. Tiga tahun terakhir selama melakukan pendampingan, saya menemukan beberapa jenis kekerasan yang dialami pekerja migran seperti kekerasan fisik, seksual, verbal dan diskriminasi dalam penanganan kesehatan. Pengalaman seperti ini membuat pekerja migran kadang sampai ke titik terendah dalam hidup mereka dan tidak dapat menolong diri mereka sendiri. Ada faktor-faktor lain yang, sejauh pengamatan saya, memperburuk situasi, seperti keberangkatan yang bermasalah (lewat calo), ketidaktahuan para pekerja migran akan hak-hak mereka, lemahnya posisi tawar mereka karena sangat tergantung kepada majikan dan calo, dan tidak sabar untuk menjalani proses resmi (prosedural) untuk bekerja di negara asing karena urusannya dirasakan panjang, ribet, dan susah. Pekerja migran menjadi korban yang mengalami kekerasan saat tinggal di penampungan maupun di tempat kerja. Mereka (korban) yang tidak tahan akan melarikan diri mencari tempat perlindungan. Ketika mendapat tempat perlindungan, mereka akan ditampung dan didampingi selama beberapa hari. Bila korban mengalami depresi parah mereka bisa didampingi sampai lebih dari tiga bulan. Mereka akan diantar kembali ke Indonesia setelah mulai membaik. Saya dan tim biasanya akan melanjutkan proses pendampingan setelah mereka sampai di Indonesia dan sebelum dipulangkan ke rumah orang tua mereka. Korban yang mengalami depresi parah kami dampingi sesuai proses pendampingan di shelter terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke keluarganya. Bila ada permasalahan dengan hukum sebisa mungkin kami juga akan mendampingi baik saat BAP maupun persidangan di pengadilan. Ada satu peristiwa yang sampai saat ini masih menjadi keprihatinan saya. Seorang cucu dari sebuah keluarga sudah lebih sepuluh tahun tidak diketahui keberadaannya. Berita terakhir yang diperoleh oleh keluarga ialah bahwa sang cucu pamit ke Kupang untuk merayakan pesta ulang tahun temannya. Ternyata ia dibawa calo untuk dipekerjakan di Malaysia dan sampai sekarang tidak ada kejelasan nasibnya. Berhadapan dengan kasus seperti ini saya biasanya menanyakan foto terakhir orang yang dicari untuk melakukan penelusuran dan pencarian. Keluarga itu hanya punya foto ijazah SD cucu mereka. Mereka juga tidak punya informasi di wilayah Malaysia bagian mana sang cucu itu berada. Kalau kami punya sedikit informasi lebih, kami bisa perlahan-lahan untuk menemukan titik terang keberadaan orang yang dicari. Sejauh ini, ada sepuluh orang yang bernasib seperti ini dalam data kami. Selalu mengiang kata-kata keluarga mereka “Suster saudara saya, cucu saya, anak saya, suami saya tidak ada kabar beritanya sampai saat ini, entah hidup atau meninggal.” Pekerja migran perempuan sangat rentan mengalami kekerasan ketika mereka kehilangan posisi tawar mereka. Saat dokumen mereka dipegang oleh majikan atau calo yang membawa mereka, praktis mereka tidak punya kekuatan tawar apapun. Mereka hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh majikan. Perlawanan akan berakibat penganiayaan seperti dipukul, ditampar, dan bahkan ditendang yang bukan hanya berakibat kesakitan tapi juga meregang nyawa. Yang lebih mengerikan ialah ada di antara pekerja migran perempuan yang dituduh membunuh dan difitnah sehingga mereka harus mendekam di penjara seperti kasus Wilfrida Soik, Nirmala Bonat, dll. Beberapa korban yang mengalami kekerasan hingga meninggal dunia kebanyakan perempuan yang tak berdaya untuk dapat membela dirinya sendiri. Pekerja migran non prosedural laki-laki terkadang masih bisa membela diri atau lari. Namun tak jarang pula, mereka mengalami kekerasan saat ditangkap polisi di negara asing. Beberapa bahkan menjadi korban perdagangan organ tubuh manusia. Saat ini kami sedang menangani para migran yang dideportasi dari Malaysia Timur dan Barat. Lingkungan dan makanan di rumah detensi sangatlah jelek sehingga para deportan ini sakit. Ketika sakit, mereka harus membayar sendiri pengobatan mereka. Karena tidak punya uang, mereka kerap dieksploitasi dengan memberi pinjaman uang untuk membeli obat. Kami bekerjasama dengan komunitas migran yang punya keprihatinan untuk menangani para deportan di daerah Sabah, Tawau dan Sandakan (Malaysia Timur). Meskipun demikian mereka yang sudah dipulangkan biasanya akan kembali lagi dengan jalur non-prosedural untuk bekerja di luar negeri. Seluruh upaya sosialisasi untuk migrasi yang aman tampaknya berhadapan dengan realitas di lapangan di mana orang-orang memilih jalur non-prosedural yang dianggap lebih mudah dan cepat. Belum lagi situasi kemiskinan memaksa orang-orang untuk mencari kebutuhan hidup. Jika kamu ingin pergi dengan cepat, berjalanlah sendiri tetapi jika kamu ingin pergi jauh, berjalanlah bersama orang lain. “Janganlah biarkan persaudaraan kita dirampas.” Pendampingan korban kasus human trafficking atau human smuggling tidak bisa sendirian. Kami membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, baik keluarga, pemerintah, maupun lembaga masyarakat baik di dalam maupun luar negeri. Pendampingan yang seringkali kami lakukan pertama kali adalah membangun kepercayaan dengan korban melalui komunikasi yang menjunjung tinggi martabat manusia. Menjadi teman dan saudari ketika mereka mengalami ketakutan, kebingungan, dan ketidakberdayaan. Kami mencoba merangkul dan mendengarkan keluh kesah mereka. Ketika sudah aman dan nyaman baru kami melakukan proses pendampingan. Bila korban sudah siap maka kami antar ke kampung halamannya. Dalam proses dialog, kami akan memberikan bekal keterampilan dengan kursus sesuai keinginan korban, jika masih memungkinkan. Jika yang kami dampingi

Feature

Perdagangan Manusia dan Perpindahan Paksa

Ketika seseorang yang terpaksa pindah diperjualbelikan atau dieksploitasi, misalnya oleh sindikat yang menyelundupkannya, ia menjadi sekaligus pengungsi dan korban perdagangan manusia. Di sinilah isu pengungsi dan perdagangan manusia bersinggungan. Pada akhir Mei yang lalu, atas undangan Direktur Caritas Indonesia, Romo Fredy Rante Taruk, saya menghadiri pertemuan jaringan Caritas se-Indonesia di Batam. Perdagangan manusia menjadi salah satu isu utama yang dibicarakan dalam pertemuan ini. Kami berkesempatan untuk mendengarkan langsung sharing Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkalpinang, terkait praktik penyelundupan dan perdagangan orang, yang masif terjadi di Kepulauan Riau, serta usaha-usaha perlindungan terhadap korban yang telah dilakukan. Mendapati keterlibatan oknum aparat untuk melanggengkan praktik perdagangan orang, pada Januari lalu Romo Paschal mengirimkan surat pengaduan kepada 12 instansi pemerintah dan penegak hukum terkait praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kepulauan Riau. Tindakan ini sempat membuatnya dilaporkan ke kepolisian oleh Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Kepulauan Riau dengan tuduhan menyebarkan berita bohong dan melakukan pencemaran nama baik, meskipun kemudian dicabut setelah pelaporan ini menjadi keprihatinan publik. Romo Paschal berkarya di Batam yang merupakan salah satu pintu utama pengiriman pekerja migran non-prosedural. Selama 13 tahun belakangan ini ia berupaya menyelamatkan para korban dan berjuang agar praktik perdagangan orang dihentikan. Namun, usaha ini tidak mudah karena praktik ini telah menjadi kejahatan terorganisasi yang melibatkan aparat penegak hukum. Menurutnya, sindikat perdagangan orang tidak hanya menyelundupkan pekerja migran tanpa dokumen melalui pelabuhan gelap atau pelabuhan tikus, namun juga menyelundupkan mereka melalui pelabuhan resmi yang bekerja sama dengan aparat. Sejak Mei 2022, sedikitnya 200 pekerja migran non prosedural setiap hari diberangkatkan dari pelabuhan internasional di Batam ke Tanjung Pengelih, Malaysia. Romo Paschal bersama dua orang frater yang tengah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP), telah “mencoba” jalur resmi penyelundupan ini dengan menumpang kapal yang membawa penumpang resmi sekaligus pekerja migran tanpa dokumen. Dua frater tadi sempat masuk ke bagian kapal yang menampung calon pekerja migran dan berbincang secara sembunyi-sembunyi dengan beberapa dari mereka. Menurut para frater ini, suasana di ruangan itu dan wajah para penumpangnya tampak tegang. Mereka tidak tahu akan dibawa ke mana sesampainya di Malaysia, sementara paspor dan telepon genggam mereka telah disita “petugas” kapal. Pengungsi dan Tindak Perdagangan Orang Saya harus mengakui bahwa sebagai Jesuit yang berkarya di JRS (Jesuit Refugee Service), isu perdagangan manusia bukanlah area yang saya libati sehari-hari. Namun, bukan berarti tidak ada persinggungan antara isu pengungsi dan isu perdagangan manusia. Sebagaimana diketahui, JRS bekerja di antara para pengungsi dan orang-orang yang terpaksa pindah lainnya dengan menemani, melayani, dan membela hak-hak mereka. JRS tidak secara khusus menangani kasus tindak perdagangan manusia dalam konteks Indonesia yang menjadi korban umumnya adalah para pekerja migran. Namun, perlu dicatat bahwa dalam perjalanan meninggalkan negara asal dan tinggal dalam situasi tidak menentu, para pengungsi rawan menjadi korban penipuan, pemerasan, dan berbagai bentuk eksploitasi yang termasuk dalam kategori perdagangan orang. Pertama-tama perlu dibedakan antara penyelundupan manusia (human smuggling) dan perdagangan manusia (human trafficking), meskipun keduanya saling terkait. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa penyelundupan manusia, meskipun mengandung risiko besar terhadap keselamatan jiwa, sifatnya sukarela (voluntary), sedangkan perdagangan manusia sifatnya paksaan (involuntary) dan para korbannya dieksploitasi. Suatu tindakan penyelundupan manusia dapat menjadi tindakan perdagangan manusia apabila para korbannya dieksploitasi, misalnya ditahan demi memperoleh tebusan atau dipaksa bekerja (pada banyak kasus sebagai pekerja seks) demi membayar hutang kepada penyelundupnya. Sekadar untuk diketahui, Protokol PBB mengenai perdagangan manusia mendefinisikan perdagangan manusia sebagai: “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penggelapan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau manfaat untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya, eksploitasi melacurkan orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.” (UN Trafficking Protocol (n 6,) art 3(a)) Mengapa para pengungsi dan orang-orang terpaksa pindah lainnya rawan menjadi korban perdagangan manusia? Ketika orang meninggalkan negeri mereka karena keterpaksaan, mereka tidak hanya meninggalkan rumah dan kehilangan kampung halaman, namun juga sering kali kehilangan komunitas yang mendukung mereka. Mereka terisolasi baik secara sosial maupun kultural, kesulitan dalam mengakses kebutuhan dasar, kesempatan bekerja atau memperoleh penghasilan, dan juga kehilangan status sebagai warga negara. Situasi seperti ini membuat pengungsi rawan menjadi target sindikat perdagangan manusia, yang mengeksploitasi situasi sulit mereka. Selain itu, mereka yang meninggalkan negeri mereka karena konflik, penganiayaan, atau kekerasan terpaksa memakai cara-cara tak resmi untuk mencari perlindungan di negeri lain. Para pengungsi sering kali terpaksa menggunakan jasa penyelundup manusia. Dengan memakai jasa penyelundup, para pengungsi menjadikan diri mereka rentan untuk diperdagangkan atau jatuh menjadi korban kejahatan serius terhadap kemanusiaan. JRS tidak memiliki mandat secara spesifik untuk menangani korban penyelundupan atau perdagangan orang, sehingga saya katakan sebelumnya bahwa kami sehari-hari tidak terlibat dalam isu ini. Namun demikian, sebagai lembaga yang berkarya di antara orang-orang terpaksa pindah—yang rentan menjadi korban perdagangan manusia—kami mesti menyadari dan menaruh perhatian terhadap fenomena perdagangan manusia. Para pencari suaka atau pengungsi yang berpotensi atau telah menjadi korban pemerasan atau perdagangan manusia patut mendapat perhatian khusus dalam pelayanan kami. Belum lama ini, JRS di Jakarta telah merespons permintaan bantuan dari sejumlah pencari suaka asal Suriah yang diduga menjadi korban perdagangan orang atau setidaknya mengalami pemerasan dari para penyelundup mereka. Bersama dengan umat Paroki St. Perawan Maria Ratu Blok Q, Lembaga Daya Dharma (LDD), Kongregasi FMM, OFM, dan beberapa komunitas Katolik atau Kristiani lainnya, kami mengusahakan rumah aman dan fasilitas yang diperlukan bagi para pencari suaka tersebut. Kami ingin mengamankan mereka dari jerat sindikat penyelundup yang berpotensi mengeksploitasi mereka dalam berbagai bentuk demi meraup keuntungan finansial, sekaligus berkoordinasi dengan UNHCR agar status mereka menjadi lebih jelas. Kelindan Isu Pengungsi, Pekerja Migran, Penyelundupan, dan Perdagangan Manusia Awal Juni lalu, Tim Gabungan TNI AL dan BAIS TNI menggagalkan penyelundupan empat pengungsi Rohingya dan satu calon pekerja migran Indonesia yang hendak berangkat ke Malaysia di sekitar pedalaman hutan bakau Kelurahan Pelitung, Dumai. Empat orang Rohingya ini terdiri dari 3 perempuan dan 1 anak laki-laki. Sebelumnya, pada

Feature

Nexus Buruh Migran dan Pengungsi Lintas Batas

Mengurai Benang Kusut Migrasi Paksa: “Migrasi hari ini bukanlah fenomena yang terbatas pada beberapa wilayah di planet ini. Migrasi mempengaruhi seluruh benua dan tumbuh menjadi situasi tragis dengan skala global. Hal ini tidak hanya menyangkut mereka yang mencari pekerjaan yang layak atau kondisi hidup yang lebih baik, tetapi juga laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan harapan mendapatkan keselamatan, kedamaian, dan rasa aman.”1 Tak kurang-kurang kita mendengarkan kisah pilu buruh migran dari Indonesia dan keluarganya yang kehilangan martabat dan haknya sebagai manusia. Sebagian berakhir di peti mati. Kemarin, kita bahkan disuguhi upaya kriminalisasi pekerja kemanusiaan, di Kepulauan Riau, ketika berjuang menyampaikan aduan terkait praktik koruptif oknum pemerintah dalam melindungi sindikat perdagangan manusia. Begitu sulit kita membayangkan perjalanan yang harus dialami para buruh migran. Apalagi bagi mereka yang tidak melalui jalur resmi. Pertanyaannya, apakah dalam kondisi dan konteks yang dialami buruh migran tersebut, tersedia pilihan yang lebih baik di negaranya selain bermigrasi? Sementara, ada pula kehadiran pengungsi lintas batas, yang di Indonesia disebut sebagai pengungsi dari luar negeri (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut “pengungsi”). Mereka datang karena mendapatkan ancaman di negaranya. Mereka dapat tinggal bertahun-tahun tanpa kejelasan waktu dalam mendapatkan solusi jangka panjang. Umumnya, para pengungsi dan migran menghindari penangkapan. Namun, pada tahun 2018 dan beberapa tahun sebelumnya, kita menyaksikan para pengungsi berkemah menyerahkan diri di trotoar Jakarta agar ditahan dan mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Meski demikian, tak jarang pula pertanyaan kepada buruh migran ditanyakan kepada mereka, dapatkah mereka pulang saja dan mengambil pilihan hidup yang lebih baik di negaranya? Bahasan mengenai buruh migran dan pengungsi kerap didominasi perspektif legalistik. Fokusnya tak jarang mengenai status subjek hukumnya dan cara mereka berpindah. Hal ini mengawali dikotomi para subjek di dalam perpindahan paksa, termasuk buruh migran dan pengungsi lintas batas. Di Indonesia, masih jarang ditemui uraian mengenai kemiripan alasan mereka pergi, terbatasnya pilihan-pilihan hidup yang tersedia di negaranya, dan pengalaman yang sama seputar kekerasan dan eksploitasi. Dengan bermigrasi tanpa jalur resmi, ukuran kemanusiaan mereka akhirnya kerap direduksi sebatas status paspor, visa, dan secarik kertas lainnya. Apakah tanpa adanya identitas resmi maka hak dan martabat mereka sebagai manusia layak dibedakan dengan kita? Unsur Keterpaksaan pada Alasan Bermigrasi Perpindahan (displacement), perantauan atau migrasi sudah berlangsung sejak sangat lama. Kisah dalam kitab suci bahkan tak kurang-kurang diwarnai dengan peristiwa perpindahan paksa dan persekusi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kebebasan berpindah adalah hak asasi manusia. Di tahun 1951, perjanjian internasional yang mengatur mengenai status pengungsi dilahirkan. Konvensi ini berangkat dari konteks perang dunia kedua yang kemudian menghasilkan perpindahan paksa. Konvensi ini menegaskan bahwa mereka yang berpindah paksa wajib dilindungi. Dalam konteks Gereja, bulan September tahun ini, kita akan memperingati hari migran dan pengungsi sedunia yang ke-109. Artinya peringatan ini juga diawali di sekitar tahun 1914. Tahun dimana lagi-lagi memiliki konteks perang dunia. Perpindahan paksa (forced displacement) dalam konteks pengungsi memiliki definisi yang jelas dalam konvensi internasional maupun peraturan di Indonesia, khususnya Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 mengenai penanganan pengungsi dari luar negeri. Perpindahan ini terjadi pada orang asing yang berada diluar wilayah negaranya karena disebabkan ketakutan yang beralasan (well founded fear) akan persekusi. Persekusi ini didasarkan karena ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang berbeda. Hal ini membuat mereka tidak menginginkan atau tidak mampu mendapatkan perlindungan dari negara asalnya. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa perpindahan ini memiliki unsur keterpaksaan (forced). Jika tidak ada persekusi terhadap suku dan agamanya, tidak adanya perang, adanya perlindungan hak asasi manusia di negaranya serta kebebasan dalam berpolitik, maka pengungsi mungkin tidak perlu meninggalkan negaranya. Bagaimana dengan buruh migran? Di tataran internasional, International Labor Organisation (ILO) menerbitkan beberapa konvensi awal di tahun 1949 dan 1975 yang berfokus pada kondisi kerja buruh migran. Konvensi mengenai perlindungan buruh migran secara komprehensif dengan perspektif HAM lahir di tahun 1990. Konvensi ini baru mulai efektif 23 tahun kemudian setelah 20 negara meratifikasinya. Indonesia meratifikasi di tahun 2012 dan tercatat pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Hingga saat ini, buruh migran tidak dianggap sebagai pengungsi dalam narasi dan peraturan internasional. Alasan perpindahannya dianggap murni karena mencari kesempatan ekonomi tanpa adanya unsur keterpaksaan. Padahal, dalam kisah-kisah perjumpaan kelompok masyarakat sipil dengan buruh migran, narasi ini tak sepenuhnya tepat. Alasan kesempatan ekonomi pun dalam beberapa konteks dapat menimbulkan unsur keterpaksaan dan pada akhirnya eksploitasi. Sebagian contohnya adalah kemiskinan, terbatasnya opsi mendapatkan pekerjaan di negara asal, rendahnya gaji yang membuat kebutuhan rumah tangga tidak terpenuhi, dsb. Hal inilah yang kerap membuat publik sering membedakan istilah antara expatriate, istilah bagi buruh migran dengan pekerjaan kerah putih yang berkelas atas dengan buruh migran, yang identik dengan pekerjaan kerah biru seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik, korban eksploitasi di sektor prostitusi, perjudian dan sebagainya. Ukuran keterpaksaan ini memang akan menjadi sangat kasuistis tergantung situasi seseorang yang berpindah. Namun, hari-hari ini kita melihat bahwa dikotomi terkait alasan perpindahan antara persekusi dan ekonomi semakin buram dan kompleks. Khususnya bagi buruh migran yang menjadi korban eksploitasi. Belum lagi, saat ini kita juga dihadapkan pada fenomena perpindahan paksa karena perubahan iklim dan kondisi lingkungan hidup. Kompleksitas ini ditangkap secara internasional dan melahirkan New York Declaration for Refugees and Migrants di tahun 2016. Deklarasi ini kemudian berlanjut dengan Global Compact on Refugees dan Global Compact for Migration di tahun 2018. Terbatasnya Akses terhadap Jalur Resmi Alasan seseorang meninggalkan negaranya untuk berpindah tentu bisa sangat beragam, antara lain untuk mendapatkan pendidikan tingkat lanjut, bekerja, berkumpul bersama keluarga, membangun kehidupan yang lebih baik, dsb. Dengan globalisasi, kita melihat arus perpindahan ini semakin masif. Sebuah perusahaan di Amerika Serikat, bisa memiliki kantor di Singapura dengan pabrik di Filipina serta buruh dari Indonesia. Idealnya, seluruh proses migrasi ini dilakukan dengan dokumen perjalanan yang resmi, diantaranya paspor dan visa. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap jalur resmi ini, diantaranya sebagian buruh migran dan tentunya pengungsi. Pertama, keterbatasan akses terhadap jalur resmi ini terkait informasi. Tidak sedikit buruh migran yang baru menyadari bahwa dokumennya tidak resmi ketika sudah berada di perjalanan atau mengalami eksploitasi. Tanpa adanya informasi, pilihan akan diambil tanpa pertimbangan konsekuensi yang