Pilgrims of Christ’s Mission

pelayanan pendidikan

Karya Pendidikan

Kehangatan Kasih dari Mereka yang Tersingkir

Compassion Week Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para Jesuit di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Salah satu kekhasannya adalah memiliki nilai-nilai dasar (core values) yang dikenal dengan istilah 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment). Nilai-nilai dasar tersebut juga dirumuskan dalam profil pelajar SMK Katolik St. Mikael Surakarta. Dalam rangka pengembangan core values 4C yang berkelanjutan dengan berfokus pada pengolahan hati nurani dan belarasa siswa terhadap sesama, SMK Katolik St. Mikael Surakarta mengadakan kegiatan Compassion Week yang dilakukan oleh siswa-siswi kelas XI dengan tujuan untuk melatih dan mengembangkan kepekaan siswa dalam bersimpati serta berempati terhadap orang-orang yang kurang mendapatkan perhatian. Pada kegiatan ini, siswa dan siswi dikirim ke tempat-tempat karya sosial yang berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti SLB Karya Bhakti (Purworejo), Hellen Keller Indonesia (Yogyakarta), School of Life (Semarang), Pangon Utomo (Surakarta), Adullam Ministry (Sukoharjo), Panti Wredha (PW) Dharma Bhakti (Wonogiri), PW Salib Putih (Salatiga), PW Maria Sudarsih (Ambarawa), SLB Dena Upakara (Wonosobo), dan lain lain.   Compassion Week tahun 2024 ini dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama diadakan pada 5-9 Agustus 2024 dan gelombang kedua akan diadakan pada 11-15 November 2024. Selama kegiatan itu, para siswa tidak diperkenankan membawa alat komunikasi apapun agar mereka dapat fokus dan masuk ke dalam dinamika tempat mereka diutus. Pada kesempatan kali ini, penulis mendapatkan kesempatan melakukan Compassion Week gelombang pertama yang bertempat di The School of Life, Semarang. School of Life merupakan rumah sekaligus sekolah untuk orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dan orang-orang terbuang. Banyak pengalaman luar biasa yang didapatkan penulis selama mengikuti Compassion Week. Pengalaman-pengalaman itu sangat berharga bagi kami dan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyelami lebih dalam (duc in altum) lingkungan sosial di sekitar kita. Selain itu, muncul pula pergulatan batin dalam diri kami selama mengikuti Compassion Week yang ternyata tanpa sadar menumbuhkan rasa peduli terhadap orang-orang yang tersingkir.   Di School of Life, kami berjumpa dengan Ibu Priskilla Smith Jully yang merupakan pendiri tempat ini. Ibu Priskilla banyak bercerita kepada kami mengenai kisah hidupnya yang sangat inspiratif. Kami sangat terkesan dengan Ibu Priskila yang meskipun tunanetra sejak lahir namun memiliki banyak prestasi yang luar biasa. Kami terinspirasi oleh dedikasi dan keberanian beliau dalam membangun School of Life.     Di awal kedatangan, kami diajak berkeliling memasuki kamar teman-teman disabilitas yang ada di sana. Awalnya kami merasa sedikit takut. Namun setelah masuk, berkenalan, dan bersalaman dengan mereka, pandangan kami mulai berubah. Ternyata mereka tidak mengerikan seperti yang kami bayangkan. Mereka merupakan pribadi-pribadi yang menyenangkan dan unik.   Selama lima hari tinggal di sana, kami banyak berdinamika dengan para penghuni School of Life. Kami membantu merawat para penghuni, memandikan, menyuapi, dan membimbing mereka dalam membaca Alkitab. Kegiatan harian dimulai sejak pagi hingga malam hari. Awalnya kami merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas yang ada di panti, terutama karena harus berinteraksi dengan para penghuni yang membutuhkan perlakuan khusus. Aroma kurang sedap di kamar mereka dan lingkungan yang berbeda dari biasanya membuat kami merasa tidak nyaman. Namun, seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dan menemukan kebahagiaan dalam membantu mereka. Selain itu, kami juga membantu berjualan sembako dan pakaian di halaman depan panti. Hasil dari penjualan tersebut nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para penghuni School of Life. Di malam terakhir, kami tidur bersama mereka di satu ruangan yang sama tanpa adanya pembatas. Hal itu menjadi pengalaman berkesan bagi kami dan tidak terlupakan. Bukan kami yang berbagi dengan mereka melainkan merekalah yang berbagi dengan kami.   Compassion Week ini mengajarkan kami banyak hal, terutama mengenai arti dari compassion. Kami belajar bagaimana memberikan hati dan waktu untuk mereka yang membutuhkan dan juga menerima orang lain tanpa melihat perbedaan. Kami juga banyak belajar dari Ibu Priskilla yang memiliki keterbatasan namun dapat berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Kami pun juga belajar arti sebuah keluarga dari para penghuni School of Life. Mereka saling membantu satu sama lain dan berkegiatan bersama dengan mencuci piring, mengepel, dan menyapu ruangan bersama. Mereka hidup bersama layaknya satu keluarga. Kami bersyukur atas perjumpaan kami dengan para penghuni School of Life yang penuh kasih dan kehangatan. Perjumpaan ini sangat singkat, namun sangat bermakna bagi hidup kami yang masih panjang.   Kontributor: Pamela Desiana Christy dan Muhammad Dafa Raditia –  SMK Kolese Mikael Surakarta

Karya Pendidikan

“Berguru di Pegunungan Seribu”

Live-in Kolese Gonzaga 2024 Mentari mulai merekah di ufuk timur ketika tujuh bus yang membawa rombongan siswa kelas XI SMA Kolese Gonzaga mulai mendaki Bukit Pathuk dan melewati slogan bertuliskan Gunung Kidul – Handayani. Panorama indah kota Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang seakan menyambut para peserta live-in, yang terlihat masih menyimpan rasa kantuk namun juga penasaran tak sabar ingin segera sampai di lokasi.    Kerja sama Sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari Live-in Kolese Gonzaga merupakan kegiatan rutin sekolah bagi siswa kelas XI. Pada tahun 2020, sebenarnya Kolese Gonzaga juga merencanakan live-in di Gunung Kidul, namun dua hari menjelang keberangkatan, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19, sehingga live-in Kolese Gonzaga saat itu, terpaksa harus dibatalkan.    Tahun ini live-in Kolese Gonzaga yang diselenggarakan pada 8-13 September 2024, mengambil tema “Peduli Lingkungan, Peduli Sesama, Peduli Diri Sendiri.” Live-in tahun ini terselenggara berkat kerjasama antara sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari, Gunung Kidul. Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr. dan Romo Yohanes Riyanto, Pr. yang merupakan pastor paroki memberikan izin penyelenggaraan live-in Kolese Gonzaga, sehingga 275 siswa dan 18 pendamping dapat berkegiatan di 14 lingkungan yang berada di desa Gunungsari, Trengguno, Kalangbangi, Nitikan, Kwangen, Semanu, Pokdadap, Jati, Petir, dan Cuwelo.     Live-in sebagai Sarana Formasi Karakter  Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan sekolah untuk mengimplementasikan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) dengan tujuan untuk membentuk Pelajar Pancasila yang beriman, berkebhinekaan global, mampu bergotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Hal ini terwujud lewat penanaman core values sekolah yakni Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Humility serta Integrity dalam  live-in.    Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi live-in karena konteks masyarakatnya yang beragam, agraris, dan cukup terbuka. Mereka terlibat dalam dinamika harian keluarga dan masyarakat desa. Pada bulan September di wilayah Gunung Kidul yang sistem pertaniannya tadah hujan, tidak ada aktivitas penanaman. Pekerjaan pertanian yang ada adalah memetik kacang hijau, menggemburkan tanah ladang, mengolah hasil pertanian, seperti membuat gaplek, mengupas kacang, memipil jagung, membuat keripik-keripik singkong, dan mencari pakan ternak.    Berkegiatan bersama keluarga dalam masyarakat pedesaan menghadapkan para siswa dengan suatu pengalaman merasakan perjuangan para penyedia bahan pangan bagi banyak orang. Nasi, sayur, buah, dan lauk pauk yang tersaji di meja makan sesungguhnya adalah hasil proses yang panjang. Petani dan peternak menempati garda depan di dalamnya yang menguras peluh dan kadang juga air mata. Mereka tak pernah takut bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Ada berbagai perbincangan yang terjadi saat para siswa diajak wedangan bersama keluarga asuh. Perbincangan tentang bagaimana mengatasi kegagalan panen, menghadapi kemarau panjang dan kekeringan, bagaimana bertahan saat harga hasil panen anjlok di pasaran, maupun saat terjadi wabah tetelo ataupun anthrax pada ternak.       Setiap malam, siswa merefleksikan berbagai peristiwa yang mereka alami sepanjang hari tersebut. Ada banyak hal menyentuh dari hasil refleksi para siswa. Banyak yang merasa tertampar dengan apa yang mereka saksikan. Betapa selama ini ada banyak kenyamanan hidup yang mereka nikmati di kota, baik akses transportasi yang mudah, kamar ber-AC yang sejuk, makanan yang sudah tersaji, serta berbagai kemudahan lainnya. Tiara dan Abel yang menempati rumah Mbah Rubiyem, tekun membantu mbah Rubiyem membuat tempe. Mereka membungkus kacang kedelai yang sudah direbus dan diberi usar dengan daun jati serta daun awar-awar. Meskipun tangan mereka bekerja, namun pikiran dan hatinya tertuju pada sosok Mbah Rubiyem yang sudah berumur 80 tahun yang tak pernah mau berdiam diri. Beliau masih mengurus ladang dan ternak, meskipun anak-anaknya di perantauan mengirimkan uang setiap bulan.     Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, SJ. selaku Kepala Sekolah dan Pater Yulius Suroso, SJ. selaku moderator Kolese Gonzaga, secara terpisah mengunjungi siswa secara acak dari desa ke desa dan berdialog dengan siswa. Aradea dan Aquinas menyatakan rasa syukurnya ditempatkan di rumah Keluarga Hartono di Dusun Pokdadap yang berjarak 15 km dari kota Wonosari. Mereka belajar dari keluarga tersebut mengenai arti kebahagiaan di tengah situasi “Adoh ratu, cedhak watu”. “Adoh Ratu” artinya jauh dari pemerintahan sehingga fasilitas terbatas, sedangkan “cedhak watu” atau dekat bebatuan. Di Gunung Kidul memang banyak batu. Bukit-bukitnya pun berupa bukit batu kapur sehingga tidak semua lahan dapat dipakai untuk bercocok tanam.    Dalam live-in ini para siswa juga mengikuti pertemuan lingkungan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), dan berlatih seni budaya. Ada berbagai kesenian yang diperkenalkan dan dipelajari, antara lain tari Reog, Jathilan, tari Nawang Jagad, bermain gamelan, mewiru kain dan mengenal busana adat Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengolah rasa, dan menanamkan kecintaan akan budaya tanah air. Ada tradisi-tradisi yang kemudian diperkenalkan juga kepada para siswa untuk menjaga lingkungan, misalnya Tradisi Rasulan atau memetri desa dan tradisi Gugur Gunung yang dilakukan secara berkala untuk membersihkan lingkungan desa.      Live-In sebagai Sarana Formasi Intelektual  Alam dan masyarakat adalah sumber belajar dan laboratorium yang sangat bagus. Live-in, tidak hanya untuk mem-formasi karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan intelektual siswa dengan penerapan metode ilmiah. Sebelum berangkat live-in, para siswa diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal terkait Gunung Kidul, baik kondisi geografis, sosial ekonomi budaya, keberagaman masyarakat, ekologi maupun keanekaragaman hayatinya. Mereka juga belajar menggunakan analisis SWOT dan design thinking secara sederhana. Saat berada di lokasi live-in, mereka melakukan observasi sederhana, melakukan konfirmasi teori yang telah mereka pelajari, serta melakukan analisis terhadap berbagai fenomena yang mereka temukan.    Sepulang live-in, kelompok-kelompok kerja mengumpulkan berbagai informasi hasil observasi dan melakukan diskusi. Permasalahan-permasalahan yang mereka temukan saat live-in dikumpulkan, lalu setiap kelompok memilih satu permasalahan yang kemudian dibahas secara ilmiah untuk menemukan alternatif-alternatif solusinya. Alternatif solusi ini kemudian diwujudkan dalam ide rancangan prototype. Permasalahan yang paling banyak dipilih oleh siswa adalah masalah keterbatasan air untuk pertanian. Berbagai ide yang muncul antara lain adalah penggunaan sistem drip irigation, desalinasi air laut, dan penangkapan uap air. Banyaknya anak muda yang meninggalkan desa merupakan masalah sosial yang teramati dengan jelas. Petani yang ada saat ini mengolah lahan pertanian sebagian besar adalah lansia. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan krisis sumber daya manusia di bidang pertanian yang berujung pada krisis pangan di masa depan. Ide-ide yang muncul sebagai solusi antara lain, bagaimana mengubah image petani agar menarik anak muda menjadi petani keren berteknologi tinggi dengan penggunaan AI, drone untuk penyemprotan hama, dan

Karya Pendidikan

Menggapai Excellence melalui Pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar

“I don’t know how to love Him, I don’t see why He moved me….” Demikian kalimat yang diucapkan oleh Maria Magdalena ketika merasakan ada perubahan telah terjadi dalam dirinya setelah mengenal Yesus. Kalimat ini merupakan bagian dari salah satu lagu yang masih terngiang-ngiang di komunitas Kolese Gonzaga setelah pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar karya Andrew Lloyd Webber and Tim Rice, 6 April 2024 lalu di Artpreneur Theater Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.   Kerja Kolaboratif dalam Penyelenggaraan Pementasan Jesus Christ Superstar Salah satu misi Kolese Gonzaga adalah menyelenggarakan pendidikan karakter dan pembelajaran yang inovatif, kompetitif, dan integratif secara efektif dan efisien dengan menggunakan paradigma pedagogi Ignatian. Kolese Gonzaga secara konsisten berusaha mewujudkan misi tersebut dengan berbagai kegiatan pembelajaran baik akademik maupun non akademik. Sebagai sekolah Katolik, tentunya dua momen penting dalam kehidupan Yesus, yakni Natal dan Paskah, wajib dimaknai komunitas secara khusus dan lebih mendalam. Di akhir Semester Gasal TP 2023/2024, sebelum libur Natal 2023, Kolese Gonzaga menyelenggarakan Christmas Carol Concert, sembari mempersiapkan pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar dan pameran seni rupa yang dilaksanakan setelah libur Paskah 2024.     Casting untuk para pemeran utama sudah dilakukan sejak bulan Desember 2023. Proses seleksi yang detail langsung didampingi oleh penggagas kegiatan ini yakni Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, S.J. M.Ed., dan Pater Emmanuel Baskoro Poedjinoegroho, S.J., serta sutradara pementasan yakni Mas Rangga Riantiarno dan co-sutradara Mas D. Perthino Sebastian dari Teater Koma. Pater Edu dan Pater Baskoro serta para guru beralih peran menjadi pemandu bakat untuk mencermati talenta-talenta siswa. Para siswa yang memiliki kemampuan bermain musik juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi. Di awal Januari 2024 para siswa yang lolos seleksi sudah menjalani latihan. Para siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler Paduan Suara Suara Gonzaga atau dikenal dengan Surga, serta para siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler dance mulai berlatih juga. Intensitas latihan semakin bertambah mendekati hari pementasan.   Para siswa yang tidak menjadi pemeran, pemusik, penyanyi, maupun penari, diberi kesempatan untuk terlibat dalam kepanitiaan sebagai support system pementasan. Moderator, Pater Yulius Suroso, S.J., mengatur kegiatan-kegiatan pendukung acara pementasan sehingga semua tetap terdampingi dengan baik. Setiap kelas diberi kesempatan berpartisipasi mencari dana dengan kreativitas masing-masing. Ada yang menjual makanan, pernak-pernik, kaos, dan lain-lain secara bergantian melalui kegiatan Gonz Sale. Kegiatan pendukung ini pun ditanggapi secara antusias oleh para siswa dengan sedikit nuansa kompetitif tetapi tetap suportif. Promosi pertunjukan Jesus Christ Superstar dilakukan melalui berbagai platform, baik secara digital melalui media sosial, maupun promosi lewat paroki-paroki, dan melalui Opera Komedi Samadi. Tak jarang saat melakukan promosi penjualan tiket ke paroki-paroki para siswa ini diminta menunjukkan kepiawaiannya bernyanyi di hadapan para umat di halaman gereja.     Pembelajaran Sisi Akademik dan Non Akademik dalam Penyelenggaraan Kegiatan Melalui kegiatan ini, sekolah memberikan praktik olah rasa melalui seni pertunjukan, seni musik, seni suara, seni tari, seni sastra, dan seni rupa. Di sana juga ada praktik langsung leadership, entrepreneurship, keterampilan berkomunikasi, dan manajemen waktu. Secara akademik, kegiatan ini juga menjadi sarana project based learning mata pelajaran Bahasa Inggris, Sejarah, Sosiologi, Seni, dan Agama, serta Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Seluruh dialog yang dinyanyikan dalam pementasan terdiri atas 25 lagu berbahasa Inggris. Hal ini menuntut semua pemeran mampu mengucapkan setiap kata dengan vokal dan pelafalan yang benar dan mengungkapkannya dengan ekspresi mimik dan gerak tubuh yang sesuai. Sementara para siswa lainnya wajib mengasah kemampuan memahami dialog dan maknanya. Dalam pembelajaran integratif Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diharapkan mampu menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan Yesus Kristus, termasuk kondisi politik, sosial, dan budaya pada masa itu, serta peran kekuasaan Romawi. Mereka diharap mampu mengidentifikasi alasan di balik penyaliban Yesus oleh penguasa Romawi dan otoritas Yahudi pada masa itu, dengan menyajikan konteks politik dan religius yang mempengaruhi keputusan penyaliban Yesus. Dari sisi pembelajaran Ekonomi, siswa diharap mampu menganalisis motif ekonomi yang melatarbelakangi perbuatan murid yang berkhianat, dan konsep pertukaran uang dengan produk dalam peristiwa murid yang “menjual” Yesus. Support system kegiatan pementasan ini pun menjadi sarana pembelajaran ekonomi yang berkaitan dengan strategi promosi, penjualan tiket, perhitungan kebutuhan, dan dana yang dibutuhkan. Dari sisi pembelajaran Sosiologi, siswa diharap mampu menunjukkan pemahaman yang kuat tentang konsep dasar teori konflik, ketidaksetaraan kekuasaan, dan pertentangan antar-kelompok dalam konteks sosial, termasuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat, sumber konflik, dan dampaknya terhadap dinamika sosial.     Pementasan Jesus Christ Superstar sebagai Ekspresi Talenta Panggung Artpreneur Theater Ciputra Kuningan, menjadi saksi proses latihan berbulan-bulan seluruh pihak yang terlibat. Pemeran, pemain musik, paduan suara, dancer, kerja keras panitia guru, dan siswa, serta dukungan orang tua siswa, Yayasan Wacana Bhakti, dan berbagai pihak lainnya bersama terlibat untuk menghasilkan pertunjukan yang luar biasa baik. Rasa lelah dan kerja keras selama persiapan seakan terbayar dengan banyaknya apresiasi dari para penonton yang memenuhi gedung teater berkapasitas 1240 orang tersebut. Lagu-lagu yang dinyanyikan tidaklah mudah. Johanes Bhre yang memerankan Yesus harus menyanyikan lagu dengan penuh kharisma. Lagu-lagu yang dinyanyikan Alonzo Nathaniel dan Aaron Miguel yang berperan sebagai Judas cukup banyak. Beberapa bernada tinggi dan bertempo cepat. Lagu-lagu yang dinyanyikan Gavriel Martahan pemeran Kayafas memiliki range nada yang sangat rendah, sehingga menuntut penyanyi bertipe vokal bas yang mantap. Sementara lagu-lagu yang dinyanyikan Raina dan Diana pemeran Maria Magdalena mengekspresikan kasih, perhatian, penyesalan, dan harapan. Wesley yang memerankan Raja Herodes bermain sangat ekspresif. Para pemain musik yang keren dan Paduan Suara “Surga” yang kompak serta para penari lincah yang sesekali melakukan salto, menampilkan suatu ekspresi multi talenta anak Gonzaga. Gambar-gambar latar yang disiapkan tim multimedia yang ditayangkan pada setiap peristiwa dalam layar LED ukuran 12×6,5 meter juga sangat mendukung suasana yang dikisahkan.     Pendidikan Ignatian dalam Pementasan Jesus Christ Superstar Melalui kegiatan pementasan Jesus Christ Superstar, seluruh komunitas Kolese Gonzaga sejatinya mengalami pembelajaran menggapai excellence dalam pengembangan diri yang berkaitan dengan core values sekolah. Nilai-nilai seperti Competence, Conscience, Compassion, dan Commitment bermuara pada Integrity dan Humanity. Dialog-dialog dalam opera ini menunjukkan sisi-sisi kemanusiaan dari diri Yesus. Orang-orang yang berada di sekelilingnya adalah manusia yang memiliki kelemahan dan mudah jatuh dalam dosa. Yudas, misalnya adalah seorang yang egois dan oportunis, mudah ingkar dan mencari keselamatan diri seperti yang ditunjukkan oleh Petrus. Namun yang terpenting adalah

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Karya Pendidikan

Bakti Alumni PIKA 2023

Pada tanggal 1 Mei 2023 Gereja merayakan Pesta St. Yosef Pekerja yang juga bertepatan dengan hari Buruh Internasional. Pada hari ini pula keluarga besar SMK PIKA yang dimotori oleh para Alumni PIKA merayakannya dengan mengadakan kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi para alumnus dengan para guru, karyawan, dan juga para pensiunan yang pernah berkarya di PIKA. Jasa para guru dan karyawan tentunya sangat penting bagi sejarah Pendidikan dan kesuksesan yang diraih oleh para alumni PIKA. Acara ini juga dilengkapi dengan Perayaan Ekaristi dalam rangka Pesta Nama St. Yosef yang dipimpin oleh Pater Vincentius Istanto, SJ. Dalam homilinya Pater Istanto menyampaikan nilai-nilai keteladanan yang dapat dicontoh dari St. Yosef, yaitu ketulusan, kemurnian, kejujuran, ketaatan, kecermatan, dan kesederhanaan. Pater Istanto, S.J. berharap semoga kita dapat meneladani nilai-nilai keutamaan yang dimiliki oleh St.Yosef dalam kehidupan sehari-hari melalui pekerjaan, pelayanan, dan panggilan kita masing-masing baik sebagai siswa, guru, karyawan, pensiunan dan tentunya para alumni di dunia kerja. Perayaan Ekaristi dan kegiatan Bakti Alumni ini dihadiri kurang lebih 100 orang yang terdiri dari para guru, karyawan, pensiunan, dan juga para pengurus Keluarga Alumni PIKA (KAPIKA). Gregorius Hans (Angkatan 35) dalam kesempatan ini memberikan sambutannya sebagai ketua panitia pelaksana kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Ia menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas jasa-jasa para guru dan karyawan yang telah mendidik para alumnus semasa sekolah. Grego juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada para donatur baik alumni perorangan maupun perusahaan-perusahaan alumni yang berkenan memberikan sponsorship dalam acara tersebut sehingga acara BAKTI ALUMNI ini dapat berjalan dengan lancar. “Pada momen ini KAPIKA ingin mewujudkan syukur dengan berbagi kebahagiaan bersama dengan orang-orang yang kami sayangi dan yang telah berjasa bagi kami para alumni yaitu para guru dan karyawan PIKA. Bakti Alumni juga menjadi salah satu program KAPIKA yang terus mendorong perkembangan SMK PIKA dan keluarga besarnya. Sekaligus menjadi tali asih antara alumni dengan keluarga SMK PIKA”. – Gregorius Hans (alumni Angkatan 35) Pak Ardian Sugito selaku Ketua Pengurus KAPIKA juga menyampaikan ungkapan terima kasih seraya memohonkan maaf mewakili alumni dengan membungkukkan badan di hadapan para guru dan karyawan apabila semasa sekolah dulu para alumni sering menyusahkan para guru dan karyawan melalui kenakalan-kenakalan yang mungkin menyakiti dan mengecewakan bapak-ibu guru dan karyawan. Pak Ardian juga menyampaikan bahwa melalui didikan dan pengajaran yang diberikan oleh bapak-ibu guru para alumni sekarang ini dapat meraih kesuksesan dan keberhasilan di dunia pekerjaan. Bakti Alumni PIKA 2023 ini juga diisi dengan pelayanan cek darah, konsultasi dokter, pengobatan gratis, dan penyerahan tali asih berupa bingkisan bahan pangan. Dalam penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan ini, panitia bekerja sama dengan Klinik Pratama Yayasan Sosial Soegijapranata – Keuskupan Agung Semarang. Kami bersyukur atas antusiasme dan respon positif yang diberikan oleh para guru, karyawan dan pensiunan dalam acara ini. Beberapa pensiunan juga berterimakasih karena merasa terbantu dengan adanya acara BAKTI ALUMNI PIKA ini. Para alumni berharap agar ke depannya acara ini dapat diikuti lebih banyak lagi pensiunan maupun eks guru dan karyawan yang pernah mengajar dan memberikan baktinya kepada para alumni semasa sekolah. Para pengurus juga berharap agar lebih banyak lagi rekan rekan alumni yang dapat terlibat baik secara moril maupun material demi kesuksesan acara BAKTI ALUMNI yang akan datang. Harapannya pada perayaan St.Yosef di tahun yang akan datang acara yang serupa dapat terlaksana dengan lebih baik dan lebih meriah sehingga semakin menjadi wujud nyata cinta almamater yang lebih besar. Ad Maiorem Dei Gloriam “KAPIKA Rumah Kita Bersama” Kontributor: Johanes Chaesario Octavianus – Sekjend KAPIKA 2022 – 2025