Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Pelayanan Masyarakat

“Mencari dan Menemukan Tuhan dalam Segala”

“Carilah Tuhan dalam segala sehingga seluruh dunia penuh dengan kehadiran cinta.” Mungkin kutipan singkat dari Pater Anthony De Mello, S.J. itu dapat menggambarkan isi pengalaman berharga yang kucari dan kutemukan selama aku melanglang buana bersama rekan-rekan terkasih di Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino, Yogyakarta. Kisah yang kubagikan kali ini akan bercerita mengenai orang-orang hebat yang kutemui saat melakukan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Kali pertama aku memulai perjalanan ini adalah dengan mengambil kesempatan terlibat membantu pendaftaran dan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Secara singkat, beasiswa ini merupakan wadah bagi anak-anak yang mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di sini, aku melihat banyak sekali orang yang sangat antusias mendaftar. Namun, dibalik antusiasme yang terlihat, ternyata mereka menyimpan segudang permasalahan hidup yang akhirnya membawa mereka sampai ke Realino SPM. Kisah pertama adalah ketika hatiku tersentuh mendengarkan cerita perjuangan seorang ibu yang membesarkan anaknya sendirian dengan segala keterbatasan. Sang ibu bercerita bahwa ia berpisah dengan suaminya karena tidak mau meninggalkan iman kepercayaan demi pasangannya. Hatiku sangat tersentuh. Sang Ibu tetap memegang teguh iman meskipun harus melalui banyak kepahitan di dalam hidupnya. Kisah kedua, aku berjumpa dengan situasi seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya yang sudah berpisah. Kedua orang tuanya sudah tidak mau mengurusnya lagi sejak kecil. Beruntungnya, ada paman dan bibi yang mau merawat dan memperhatikannya, meskipun hidup mereka juga sangat terbatas. Dalam kesempatan refleksi, aku melihat bahwa perceraian atau perpisahan orang tua menjadi hal yang sangat buruk dan sedemikian berdampak pada anak dalam keluarga tersebut. Apalagi ketika anak akhirnya juga harus menjadi korban keegoisan orang tuanya. Kisah ketiga lebih menyayat hati. Seorang ibu yang selain berjuang mencari rezeki demi kebutuhan hidup dan pendidikan, dia juga harus kuat menerima kenyataan anaknya menjadi korban pelecehan seksual dan bullying. Beliau menguatkan hati anaknya di saat hatinya juga hancur. Apalagi seringkali anaknya berpikir bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri. Ibu itu berusaha sekuat tenaga mencari sekolah terbaik meskipun sebetulnya tidak sanggup membiayai. Dia punya harapan besar agar anaknya tidak terus-menerus mengalami trauma. Sang ibu, beliau tetap memperjuangkan yang terbaik di tengah segala keterbatasannya. Ketiga kisah di atas adalah pengalaman perjumpaan yang menyentuh pikiran dan hati selama survei beasiswa. Perjumpaan dengan mereka menyadarkanku betapa kuatnya mereka menghadapi dan menjalani hari dengan segala perjuangan jatuh bangun sambil tetap beriman kepada Tuhan. Pada awalnya, aku berefleksi bahwa pasti mereka tidak langsung menerima begitu saja. Namun aku percaya bahwa keikhlasan hati dan kekuatan dari Tuhan menjadikan mereka mampu menerima segala sesuatu yang harus mereka jalani. Sisi pengalaman survei beasiswa lainnya adalah jalur atau rute survei menuju rumah-rumah keluarga calon penerima. Perjalanan survei beasiswa ini tidak selalu mudah dan menyenangkan. Adakalanya kami menemui berbagai tantangan dan kesulitan saat proses survei, seperti harus melewati lokasi yang ekstrem, takut menemui orang jahat, cuaca yang tidak mendukung, jalan yang terjal berkelok-kelok, dan sebagainya. Menariknya ketika hal itu terjadi, dalam refleksiku, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat-Nya dalam wujud sesama manusia untuk menolong kami. Aku memahami itu sebagai bentuk pertolongan Tuhan atas niat baik yang hendak kami lakukan. Sahabatku, Faiz juga selalu menguatkan aku bahwa dengan mengatakan, “Anggaplah ini sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian kita kepada Tuhan.” Selain mendapatkan pengalaman tentang kehidupan, kami juga diajarkan untuk dapat membuat pilihan atau keputusan bagi mereka atas beasiswa ini. Menurutku, “membuat pilihan dan keputusan adalah alasan utama kita datang bertemu mereka dan menemukan kehendak Tuhan di dalamnya.” Semoga keputusan yang telah kami sepakati merupakan kehendak Tuhan atas perjuangan dan doa yang mereka panjatkan selama ini. Aku berpesan untuk kita semua, “Jadilah malaikat untuk orang lain kapan pun kau bisa, sebagai cara untuk berterima kasih kepada Tuhan atas cinta yang diberikan kepada kita.” Perjumpaanku dengan mereka menunjukkan kepadaku bahwa bertemu dengan Tuhan bukanlah sebuah kebetulan atau menunggu waktu yang pas. Kita dapat menemukan Tuhan kapanpun dan di manapun, ketika kita mau mencari dan membuka diri akan kehadiran Tuhan. Kontributor: Anny Angelina S – Volunteer SPM Realino

Pelayanan Gereja

Bersukacita Karena Allah Memberi Sukacita

Misa Natal Anak 2023 Paroki Tangerang Natal selalu membawa sukacita bagi umat Paroki Tangerang, terutama anak-anak, karena dirayakan secara khusus di dalam Misa Natal Anak yang jatuh pada Senin, 25 Desember 2023. Sekitar 2500 anak hadir merayakan misa kelahiran Yesus Kristus yang dikoordinasi oleh kakak-kakak pembina Bina Iman Anak (BIA) dan Bina Iman Remaja (BIR). Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pater Yosef Andi Purwono, S.J. Dalam homili, Pater Andi bersama tiga kakak Bina Iman, selain berinteraksi dengan anak-anak, juga mengajak bergembira dan bernyanyi bersamadisertai permainan kecil. “Kita bersukacita karena Allah memberi sukacita,” kata Pater Andi yang baru pertama kali memimpin misa Natal di Paroki Tangerang. Di hari istimewa ini suasana dalam gereja meriah dan menyenangkan. Saat perayaan Ekaristi berlangsung, mereka tampak tenang dan mampu mengikutinya sampai selesai. Setelah misa, anak-anak dengan tertib keluar dan satu per satu mendapatkan bingkisan Natal yang telah disediakan panitia. Kontributor: Redy – Paroki Tangerang

Pelayanan Gereja

Kelahiran Tuhan Membawa Terang Bagi Dunia

Perayaan Natal tahun ini di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru dirayakan dengan penuh sukacita dan lebih ramai daripada tahun sebelumnya. Tahun 2022, jumlah umat dalam Perayaan Natal masih dibatasi karena masih dalam masa peralihan dari pandemi covid. Tahun ini, umat sudah lebih bebas untuk datang ke gereja. Gereja Kotabaru pun juga menyediakan tenda di jalan utara Gereja untuk digunakan umat. Pada hari Minggu, 24 Desember 2023, Gereja Kotabaru mengadakan tiga kali Perayaan Ekaristi Malam Natal, yakni pada pukul 17.00 WIB, 20.00 WIB, dan 22.30 WIB (EKM). Juga ada tiga kali Perayaan Ekaristi Natal pada hari Senin, 25 Desember 2023, yakni pada pukul 06.30 WIB, 09.00 WIB (EKA), dan 17.00 WIB (EKR). Mengangkat tema dari Injil Yohanes “Terang Itu Bercahaya di Dalam Kegelapan tetapi Kegelapan Tidak Menguasainya”, Perayaan Natal kali ini mengajak umat untuk menyadari bahwa dalam situasi apapun, Allah akan selalu hadir sebagai cahaya yang membawa harapan dan kedamaian. Ada banyak tantangan dari berbagai macam iklim, kita hadapi dengan jalan kita sendiri sebagaimana telah dituntun oleh terang Tuhan,” ucap Pater Mahar, SJ dalam homilinya pada Perayaan I Malam Natal. Poin yang selaras juga disampaikan Pater Hasto, SJ pada Perayaan II Malam Natal yakni, “Kita diundang untuk terus membangun persaudaraan, kita harus bergandeng tangan dalam menghadapi tantangan dan permasalah dunia.” Pada Perayaan I dan II Malam Natal, Gereja Kotabaru mendapat kehormatan kehadiran Kanjeng Pangeran Haryo Purbodiningrat mewakili Kraton Yogyakarta dan Bapak Singgih Raharjo, Penjabat Walikota Yogyakarta. Hal ini juga menambah sukacita umat Kotabaru karena merupakan dukungan dari pemerintah untuk Perayaan Natal. Perayaan III Malam Natal (EKM) sudah tidak seramai perayaan sebelumnya tetapi tetap dipadati umat terutama kaum muda. EKM dengan penuh kreativitas menawarkan refleksi yang sesuai dengan kaum muda, begitu juga dengan EKA dengan refleksi untuk anak-anak, EKR dengan refleksi untuk para remaja. Perayaan Natal pagi dikhususkan bagi umat lansia. Kontributor: Jessica Juliani – Kotabaru Digital Service

JCAP

Kegembiraan dalam Perjumpaan Personal di SBC Meeting 2023

Sekitar 50 Pater, Frater, dan Bruder skolastik yang berasal dari 12 negara berkumpul di Yogyakarta pada 19-28 Desember 2023 dalam pertemuan SBC (Scholastics and Brothers Circle) Meeting di Kampoeng Media, Yogyakarta. Dalam pertemuan kali ini, mereka belajar bersama tentang evangelisasi digital di tengah derasnya platform digital saat ini. Pada misa penutupan SBC Meeting, Pater Riyo Mursanto, S.J., sebagai delegat formasi JCAP, menegaskan bahwa pertemuan semacam ini memainkan peran penting dalam kerja sama antarprovinsi dan Regio/ Misi di JCAP. Pertemuan semacam ini tidak hanya meningkatkan dan mengkonsolidasikan persahabatan para Jesuit muda dalam formasi, tetapi juga menciptakan visi misi Serikat Jesus yang terbuka dan lebih universal. Yogyakarta dan Jawa Tengah dipilih menjadi salah satu tempat misi untuk para misionaris Belanda pertama yang datang ke Indonesia untuk mewartakan Injil. Oleh karena itu, Yogyakarta adalah tempat yang sangat cocok bagi peserta untuk merefleksikan metode tradisional dalam mewartakan Injil dan memperbarui upaya evangelisasi digital saat ini. Kita mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan tradisi Gereja Katolik dalam mengaktualisasikan undangan Yesus Kristus: “Pergilah ke dunia dan beritakan Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15). Misi evangelisasi ini dilokalisasi dalam konteks Gereja di Indonesia. Dalam pertemuan SBC Meeting kali ini, para peserta diajak untuk merefleksikan cara evangelisasi digital di Gereja Indonesia dan juga Serikat Jesus provinsi masing-masing. Beberapa pembicara lokal dan internasional diundang untuk mengisi dan memberikan input pengetahuan serta pengalaman berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan. Paterno Esmaquel II, editor kantor berita Rappler berbasis di Filipina, hadir sebagai pembicara utama. Rappler merupakan kantor berita yang didirikan oleh Maria Ressa, penerima Nobel Perdamaian 2021. Paterno memberikan input pengetahuan tentang evangelisasi digital dari sudut pandang jurnalistik. Sharingnya dimulai dengan memberikan kesadaran akan fenomena loneliness (kesepian) yang dapat muncul di tengah gempuran teknologi AI dan dunia digital saat ini. Selain pembicara internasional, SBC Meeting kali ini juga diisi oleh pembicara lokal dari Indonesia seperti Mateo Jubileo Singgih, orang muda katolik yang aktif di dunia media sosial dan juga sebagai content creator Katolik. Selain melihat dari perspektif Gereja Katolik Indonesia, peserta juga belajar bagaimana kelompok Muslim Indonesia melakukan penyebaran agama Islam di dunia digital melalui sharing dari Savic Ali, pendiri Islami.co dan NU Online. SBC Meeting biasanya diadakan setiap tahun pada masa Adven dan Natal. Dalam pertemuan tahun ini, peserta mendapat kesempatan untuk melihat dan merasakan langsung perayaan Natal di rumah para Guru SD Yayasan Kanisius yang ada di desa-desa di Yogyakarta. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk menyelami tradisi Jawa dalam merayakan Natal di paroki setempat. Kami telah merasakan sukacita Tuhan menyertai kami melalui perjumpaan pribadi dengan masyarakat setempat. Banyak peserta bersaksi bahwa mereka disambut hangat oleh kemurahan hati dan persahabatan orang-orang di sana. Para peserta juga merasakan pengalaman singkat menjadi kelompok minoritas namun tetap merasakan kehangatan dan kerukunan berelasi dengan saudara muslim dan keyakinan lainnya. Mereka juga menimba banyak pelajaran dari kreativitas para Jesuit pertama di Indonesia dalam misi evangelisasi di Jawa Tengah. Selain itu, mereka juga mengagumi semangat inkulturasi evangelisasi di Indonesia yang diwujudkan melalui penggunaan filsafat Jawa dan seni Islam dalam arsitektur gereja yang para peserta kunjungi. Salah satu tujuan penting dari pertemuan SBC Meeting adalah untuk mempererat persahabatan dalam Tuhan di kalangan para muda Jesuit yang berada di wilayah Asia Pasifik. Tuhan selalu memanggil seorang Jesuit dalam suatu komunitas. Bagi Jesuit, komunitas ini adalah komunitas yang menjadi bagian dari tubuh universal, namun terlokalisasi di wilayah tertentu seperti JCAP. Seluruh peserta telah merasakan perjumpaan dengan Tuhan dan sesama sahabat dalam Serikat secara personal dan mendalam. Ini adalah kegembiraan dari perjumpaan pribadi secara langsung, bukan melalui pertemuan zoom seperti yang pernah dirasakan di masa pandemi. Kontributor: SBC Convener

Kuria Roma

Damai di Bumi

Pesan Natal Pater Jenderal Pater Jenderal Arturo Sosa dalam pesan natalnya mengharap doa dan dukungan kita semua bagi upaya-upaya perdamaian yang diusahakan para Jesuit dan para rekan berkarya dalam perutusan. Ia mengajak kita untuk menimba inspirasi dari Fransiskus Asisi, Uskup Romero, Beato Rupert Mayer, dan martir Ignacio Ellacuría beserta rekan-rekannya yang telah berjuang sekuat tenaga melawan ketidakadilan, kekerasan, dan peperangan. Penantian dan nubuat lahirnya “Raja Damai” yang memberi jalan bagi kedatangan Sang Juru Selamat untuk kedua kalinya menjadi kesempatan untuk merefleksikan makna perdamaian dan mengungkapkan kerinduan atas kedamaian sebagaimana dirasakan para Jesuit dan banyak rekan berkarya. Puluhan tahun yang lalu, Paus Pius XII mengatakan, “Perdamaian tidak pernah menghancurkan tetapi segalanya bisa hancur karena peperangan.” Tanpa bosan, Paus Fransiskus selalu mengulangi bahwa perang selalu merupakan kekalahan bagi umat manusia. Ketika kita melihat wajah anak-anak di Afghanistan, atau para wanita di sana yang merindukan pendidikan … Ketika kita melihat wajah anak-anak di Ukraina yang terpisah dari orang tua mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian … Ketika kita melihat wajah anak-anak di Gaza … Ketika kita melihat wajah-wajah anak-anak warga Israel yang terbunuh dalam serangan Hamas … Ketika melihat semua itu, kita harus mengatakan dengan lantang dan jelas, “Semua ini harus dihentikan.” Kapan kita akan belajar bahwa peperangan tidak menghasilkan apa-apa selain menyuburkan kebencian dan dendam serta melahirkan generasi pencinta peperangan berikutnya? Kapan kita belajar bahwa peperangan justru membuat kita semakin sulit memaafkan? Kapan kita bisa belajar bahwa peperangan hanya membuat generasi mendatang sakit hati dan melanggengkan siklus kebencian sepanjang waktu? Kapan kita akan memahami bahwa alih-alih menghabiskan uang miliaran untuk berbelanja senjata, uang itu bisa kita gunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Sepertinya kita memang tidak akan pernah punya uang untuk memberantas kemiskinan, namun selalu mampu menghasilkan uang untuk berperang dan menciptakan banyak senjata. Kapankah kita bisa berkata, “Cukup!” Kapan kita akan bangkit bersama orang miskin, orang yang tersingkir, dan para korban untuk tidak hanya mengecam tumpulnya moralitas, tetapi juga menemukan cara untuk mengubahnya? Kita dapat memetik inspirasi dari orang-orang kudus seperti Fransiskus dari Asisi, Uskup Romero, Beato Rupert Mayer atau para martir seperti Ignacio Ellacuría dan para sahabatnya. Mereka menghadapi begitu banyak ketidakadilan, kekerasan, dan peperangan, merasakan kebencian yang begitu besar sehingga mereka berjuang melawannya dalam semua dimensi. Dalam konteks ini, menjelang Natal, Serikat Jesus ingin bertanya pada diri sendiri tentang apa yang dapat dilakukan, bagaimana memperjuangkannya, bagaimana menggunakan sumber daya apa pun yang dimiliki bagi karya-karya kerasulan Serikat di seluruh dunia demi menyerukan perdamaian. Perdamaian dan keadilan adalah apa yang diserukan dan dirindukan di seluruh dunia. Pada perayaan Natal 2023 ini, semoga Sang Raja Damai menyentuh hati kita, menyentuh hati mereka yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk mengubah situasi, dan membuka diri mereka pada dialog yang mampu membuka jalan menuju perdamaian abadi. Selamat Natal. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Fr Sosa Christmas Plea for Peace” dalam https://www.jesuits.global/2023/12/20/fr-sosa-christmas-plea-for-peace/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 2 Januari 2024.

Feature

Dari Pingit Kami Belajar Melayani

Pingit merupakan tempat yang pasti banyak dikenang oleh seluruh anggota kelompok kami. Bagaimana tidak? Tempat tersebut menjadi destinasi pelayanan yang paling berbeda karena waktu pelayanannya di malam hari dan tentu saja pengalaman-pengalaman kami menghadapi anak-anak di kelas SD besar secara spesifik. Permulaan pelayanan kami bisa dibilang tidak baik. Keterlambatan beberapa anggota mengharuskan anggota lainnya meninggalkan mereka di hotel untuk berangkat lebih dahulu. Tentu keputusan tersebut sulit dilakukan apalagi setelah tahu bahwa anggota-anggota yang terlambat ini sebenarnya berada di belakang bus. Keterlambatan juga tidak hanya terjadi sekali di dalam Mission Trip ini, tetapi lebih dari sekali. Perlu adanya konsekuensi supaya kami semua bisa belajar dari kesalahan-kesalahan dan menumbuhkan sikap disiplin sebagai karakter. Kelas SD besar ini menjadi semacam spotlight bagi kami karena kericuhan yang terjadi di dalamnya. Kelas yang diawali dengan hanya enam orang yang mengurusnya, berubah menjadi hampir sekelompok yang harus turun tangan untuk membantu. Kelas SD besar ini diawali dengan bersih-bersih dan di situlah enam anggota awal mulai merasa kewalahan. Kelas yang harus dibersihkan dipenuhi dengan benturan meja, teriak anak-anak dalam bahasa Jawa, teriakan kata-kata kotor, dan juga bercandaan tidak pantas di dalam kelas. Mungkin tidak dikatakan secara verbal, tetapi tatapan mata dari enam anggota awal itu kepada satu sama lain mengatakan hal yang sama bahwa ini akan menjadi kelas yang sulit. Dengan suara yang sedikit lebih tegas, akhirnya kelas tersebut bisa dikendalikan dan semua sudah mulai tenang. Sejujurnya, kelas tersebut walaupun sudah mulai tenang tetap diisi oleh sahutan dari sana-sini dalam bahasa yang tidak kami mengerti artinya. Ada beberapa kata yang terdengar kasar tetapi tidak bisa juga kami menafsirkan makna asli dari kata tersebut. Perhatian kami tertuju kepada salah satu anak di dalam kelas itu. Ia bernama Adit. Adit tiba-tiba lari keluar kelas saat sedang pengenalan. Jika boleh jujur, tim kami sudah tidak menghiraukannya karena memang dialah si pembuat onar dan susah diatur. Dia pulalah tersangka utama pelaku candaan tidak pantas. Saat Adit kembali, dia membawa kipas angin besar, menempatkan di mejanya, dan menyalakannya. Tentu saja, kelas yang sudah mulai bisa diatur kembali kacau. Anak-anak berlari mengerumuni kipas tersebut, membentur-benturkan meja, dan semua jadi berantakan lagi. Semua anggota tim saling menatap dan bisa ditebak apa yang mereka pikirkan. Akhirnya, tim memulai aktivitas pertamanya, yaitu cerdas cermat. Baru saja memasuki pertanyaan matematika ketiga, kami semua sepakat bahwa anak-anak benar-benar tidak akan menghiraukan kami dan terus berteriak-teriak. Kami tahu bahwa anak-anak lebih menyukai pelajaran IPS. Oleh karena itu, kami berbalik ke arah situ saja. Semua berjalan lebih lancar. Dari menebak negara berdasarkan bendera hingga mengingat Pancasila. Lalu sampailah pada permainan rantai kata. Anak-anak membentuk sebuah rantai dimana setiap orang akan mengucapkan kata menurut kategori yang diberikan. Pertama-tama, kategori yang diberikan adalah kata yang diawali dengan huruf K. Kucing, kancing, keledai hingga sampailah giliran Adit. Dengan santai dan percaya diri, ia menyebut kata tidak sopan dan tidak pantas. Permainan berlanjut dan akhirnya para anggota memutuskan untuk melakukan kategori binatang dalam permainan rantai kata ini. Kucing, babi, burung. Akhirnya kembali lagi kepada Adit. Adit ini menunjuk salah satu anggota dan dengan lantangnya mengatakan anjing tetapi dalam bahasa Jawa kasar. Pada titik itu, sudah banyak dari para anggota kelompok kami yang sudah mengerumuni pintu dan melihat penyebab dari keributan ini sambil siap-siap membantu enam orang anggota tim awal ini. Disambut juga oleh Adit yang melemparkan pakaian dalam di area kelas. Akhirnya, para anggota menegur anak-anak di kelas itu dengan keras. Kami menginginkan mereka tahu bahwa perilaku mereka tidak pantas dilakukan. Anak-anak ini masih muda dan Perkampungan Sosial Pingit ini seharusnya sebuah tempat belajar, tempat mereka mendapat edukasi. Kami menjadi penasaran, hal apa saja yang mempengaruhi mereka sehingga tidak ada rasa hormat atau tata krama, setidaknya kepada kami? Di tempat pelayanan ini, kami benar-benar diajarkan bagaimana caranya bersabar dan tentu banyak pembelajaran yang kami dapatkan. Kami belum pernah menjadi guru. Ketika menjadi guru seperti saat ini, kami jadi tahu perasaan mereka saat menghadapi kelas yang begitu sulit diatur. Kini kami mengerti betapa lelah dan sulitnya mengontrol emosi dengan baik dalam situasi-situasi seperti ini. Selain belajar bersabar, kami juga bisa lebih mengapresiasi guru-guru yang tidak hanya mengelola satu kelas, tetapi banyak kelas dalam waktu delapan jam. Kami juga ingin menyebut nama yang sangat bangga untuk kami tuliskan di sini, Olivia. Olivia adalah salah satu anak kelas SD besar yang sangat ribut dan sulit untuk tenang. Ia tetap diam dan justru menasehati teman-temannya saat mereka berkata kasar atau berperilaku tidak sopan meskipun ia tidak dihiraukan. Ia juga menghampiri anggota-anggota yang bertugas dan menyemangati mereka yang sudah terlihat kewalahan menghadapi anak-anak lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang dipengaruhi lingkungan mereka, tetapi semua kembali lagi kepada sikap dan reaksi individu sendiri atas pengaruh lingkungan. Olivia membuktikan bahwa ia bisa dan tetap tegas kepada karakternya dan tidak menjadi seperti yang lain di dalam kelas itu. Ia membuat kami percaya bahwa kami juga bisa demikian dan tidak membiarkan hal negatif mempengaruhi kami dan menyalahkannya hanya karena lingkungan kami. Sebuah perjalanan naik dan turun melayani Perkampungan Sosial Pingit. Emosi-emosi yang meluap dan juga kejadian-kejadian tidak diduga terjadi di sini. Mungkin ada banyak hal yang bisa dikatakan jika ditanya, “Bagaimana pengalamanmu di Perkampungan Sosial Pingit?” Dari sekian banyak kata yang bisa diungkapkan, seluruh kelompok kami pasti setuju dengan satu kata: mengesankan. Kontributor: Siswa-siswi Universitas Pelita Harapan College

Feature

Kebersamaan, Menghargai dan Menerima Sesama

Toleransi!!! Kata toleransi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentang toleransi ini, pada suatu kesempatan, saya terkesan dengan kalimat sebuah artikel di laman bola.com, “Toleransi mengajarkan kita kebersamaan, menghargai, dan menerima sesama.” Kalimat ini berkesan bagi saya karena negara kita, Indonesia adalah negara dengan dasar Pancasila dan tersusun dari berbagai perbedaan masyarakatnya. Ada perbedaan suku, ras, agama, sosial, ekonomi, pulau, budaya, bahasa, pendapat, dan banyak perbedaan lainnya. Perbedaan itu membuat kita semakin kaya dalam keberagaman. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya mengenai toleransi dan perbedaan, khususnya di Asrama Realino Yogyakarta. Saya seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma. Saya biasa disapa Echa, berasal dari Bomomani, Mapia, Papua. Sejak awal di Yogyakarta, untuk menjalani pendidikan, saya tinggal di Asrama Realino. Sebelumnya, selama menempuh pendidikan sekolah menengah atas saya sempat tinggal di asrama sekolah di Nabire. Saya beranggapan, waktu itu, bahwa saya sudah punya sikap dan jiwa toleransi. Namun, setelah merantau, saya merasa ada yang kurang. Alasannya, lingkungan pergaulan saya hanya sebatas lingkungan asrama, sekolah, dan keluarga yang mayoritas beragama Katolik dan dari daerah yang sama. Memang ada pula kenalan dari daerah lain tetapi itu sedikit sekali. Hati saya agak ketar-ketir ketika mengetahui saya diterima di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Situasi ini mengajak saya keluar dari zona nyaman pergaulan dan bertemu banyak orang dari latar belakang sangat berbeda. Apalagi di Prodi Pendidikan Agama Katolik, saya berjumpa dengan teman-teman dari seluruh nusantara. Saya belajar tentang kebersamaan, menerima, dan menghargai setiap proses perjumpaan dengan teman-teman baru. Tentu hal pertama yang saya lakukan adalah menerima diri sendiri supaya bisa mengalami kebersamaan, menerima, dan menghargai pribadi yang lain. Ketika saya refleksikan lagi, saya ingat frase menerima diri sendiri sebelum menerima orang lain ini dari renungan Pater Setyawan, S.J. saat retret angkatan kami di Syantikara. Beliau menyampaikan, “kalau belum bisa menerima diri bagaimana mau menerima orang lain.” Sama halnya dalam toleransi. Belajarlah kebersamaan, menghargai, dan menerima dirimu sendiri baru kemudian belajar kebersamaan, menghargai, menerima sesama. Pengalaman bertoleransi kemudian semakin nyata saya rasakan di Asrama Realino. Saya sangat bersyukur tinggal di Asrama Realino. Di sini, saya belajar lebih percaya diri dan menerima diri apa adanya lewat perjumpaan dengan pribadi dan kebersamaan di Realino SPM. Saya belajar dan mengalami kebersamaan, menghargai, dan menerima perbedaan di Asrama Realino. Asrama ini unik, menarik, sekaligus menantang saya untuk berkembang. Di sini saya berjumpa dan hidup bersama dengan teman-teman dari suku, budaya, ras, agama, dan latar belakang yang berbeda. Ini berbeda dari pengalaman di lingkungan sebelumnya di Nabire maupun lingkungan kampus. Asrama Realino mendorong saya untuk semakin mengembangkan diri lagi. Saat ini ada 16 teman saya di asrama dengan latar belakang berbeda. Mereka berasal dari Sumatra, Nias, Sleman, Ganjuran, Ketapang, dan Kendal. Ada teman-teman yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Selain teman-teman asrama, kami didampingi para romo, bruder, karyawan Realino, teman-teman bengkel, Komunitas Volunteer Realino, para perawat, dan dokter Klinik Pratama Realino. Hal yang menarik bagi saya adalah ketika makan bersama kami bisa belajar berbagai bahasa daerah. Sesekali kami juga mengenalkan makanan khas daerah masing-masing. Saat memberikan jawaban kepada teman-teman yang bertanya asal dan identitas, saya bisa jujur menjelaskan dan lebih percaya diri. Selain itu, kami belajar bersama untuk saling menghargai dan mengalami toleransi secara nyata. Menarik juga bahwa kadang teman-teman asrama yang beragama Islam atau Kristen sesekali mengingatkan kami yang Katolik untuk misa harian dan misa mingguan di Gereja. Perbedaan yang ada di lingkungan Realino justru telah membentuk saya menjadi pribadi yang bisa menghayati toleransi. Dari situ saya menyadari bahwa saya bukan lagi belajar toleransi namun menjadi pelaku toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih kepada setiap pribadi yang bermurah hati membantu Asrama Realino. Ad Maiorem Dei Gloriam Kontributor: Theresa Kegiye

Pelayanan Gereja

Menjadi Kaum Muda yang 100% Katolik 100% Indonesia

Pada 14 Februari 2024 nanti, negara kita akan mengadakan Pemilu untuk menentukan pemimpin negara yang baru. Dalam rangka menyambut Pemilu ini, Gereja St. Yusup, Gedangan menyelenggarakan Talkshow Kebangsaan dengan tema “Terlibat dan Mewarnai Pemilu 2024”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 13 Oktober 2023 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu P. Benedictus Cahyo Christanto, S.J., Mas Erasmus, Mas Wempy, dan Mas Indra. Sasaran utama dalam Talkshow Kebangsaan ini adalah kaum muda Katolik dengan rentang usia 17-21 tahun atau biasa disebut dengan pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang pada pemilu sebelumnya (tahun 2019) belum bisa menggunakan hak pilihnya karena belum terkategori sebagai pemilih. Pengetahuan mereka masih kurang mendalam dan sebagian besar belum memahami pentingnya hak pilih yang dimiliki demi nasib bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan. Selain itu menjadi keprihatinan dan kekhawatiran bahwa akhirnya para pemilih pemula memutuskan untuk golput (golongan putih) karena kurangnya informasi dan tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Tak jarang para pemilih pemula pun menjadi sasaran untuk dipolitisi para calon demi mendongkrak popularitas dan mengikuti kampanye yang dilakukan. Bisa juga menjadi sasaran dalam politik uang yang terkadang masih terjadi. Dalam talkshow ini, ada 49 peserta yang datang. Secara khusus mereka diajak agar mau terlibat dan mewarnai Pemilu 2024 nanti. Dalam talkshow Kebangsaan ini, Pater Cahyo, S.J. memaparkan tentang Ajaran Sosial Gereja (ASG). Pater Cahyo menegaskan bahwa ASG merupakan ungkapan keprihatinan Gereja Katolik atas persoalan sosial kemasyarakatan. “Kita tidak dapat disebut sebagai orang Katolik sejati kecuali kalau kita mendengarkan dan melaksanakan panggilan gereja untuk melayani mereka yang membutuhkan dan untuk bekerja demi keadilan dan perdamaian,” ujarnya. Mas Erasmus dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) memberikan wawasan kepada peserta mengenai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka berarti menjunjung nilai kebebasan, bersatu dalam arti bersatunya seluruh rakyat Indonesia, adil dalam nilai kesetaraan, serta makmur yang artinya setiap orang harus dapat mencapai hidup sejahtera. Mas Wempy dan Mas Indra perwakilan dari Kevikepan Semarang mengajak kaum muda Katolik mau terlibat dalam kegiatan politik dengan ikut serta dalam Pemilu dan menggunakan hak pilihnya. Mgr. Soegijapranata, Uskup pribumi yang pertama, mencetuskan tentang “100% Katolik, 100% Indonesia”. 100% Katolik berarti kita ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan menggereja dan 100% Indonesia berarti terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Mereka berdua mengatakan kaum muda yang menggunakan hak pilihnya adalah kaum muda yang 100% Katolik 100% Indonesia. Talkshow Kebangsaan membawa angin segar bagi kaum muda. Kaum muda bukan hanya diajak untuk menggunakan hak pilihnya tetapi juga diajak secara sadar menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia. Dengan berbagai materi dari narasumber, kaum muda diharapkan dapat melek politik sehingga mereka menjadi pemilih pemula yang cerdas dan berkualitas. Valen sebagai pengurus misdinar yang mengikuti Talkshow Kebangsaan merasa mendapatkan banyak informasi dan termotivasi untuk ikut serta dalam Pemilu. “Saya harus menggunakan hak pilih saya karena saya mau menjadi 100% Katolik 100% Indonesia,” tegasnya. Kontributor: Fr. Wahyu Mega, S.J.