Pilgrims of Christ’s Mission

jesuit indonesia

Feature

Grazie, Francesco!

Homili Kenangan Paus Fransiskus Misa Requiem Paus Fransiskus  Saudara-saudari terkasih,  Petang itu, 13 Maret 2013, setelah beberapa hari melihat asap hitam,  sekitar pukul 19.00 lewat sedikit, saya mendengar lonceng-lonceng  Gereja berdentang bersahut-sahutan. Saya bertanya-tanya, “Sepertinya jam 7 malam baru saja lewat, mengapa lonceng-lonceng  gereja terdengar di mana-mana? Jangan-jangan…” Saya bergegas  mencari tahu dan ternyata benar. Tradisi lonceng semua gereja di  Roma dibunyikan saat asap putih pertanda Paus baru terpilih, sedang terjadi. Tanpa banyak menunggu, kami segera berlari menerjang  gerimis menuju alun-alun Vatikan untuk menyaksikan upacara pengenalan Paus baru, “Habemus papam…”    Kami segera berada di tengah-tengah Piazza San Pietro bersama  dengan ratusan, mungkin ribuan, orang yang mulai menyemut. Di bawah dingin kami berdiri menunggu. Mungkin sejam atau dua jam  kemudian, akhirnya beliau diperkenalkan. Betapa terkejutnya kami  ketika mendengar bahwa Kardinal Bergoglio, salah satu saudara Jesuit kami, terpilih. Sontak euforia pecah. Bersama dengan semua orang di situ kami berteriak kegirangan seperti orang gila mengelu-elukan Paus. Momen yang selalu saya kenang karena selalu membuat merinding adalah kontras yang muncul saat beliau meminta doa dan  berkat dari semua yang ada di situ. Persis ketika beliau  membungkukkan badan saat didoakan, saat itulah keheningan tiba tiba menyapu riuh rendah teriakan peziarah. Semua diam berdoa.  Mereka yang tidak paham bahasa Italia pun ikut larut dalam keheningan itu. Momen hening dalam doa itu, sungguh-sungguh peristiwa yang menggetarkan dan menghangatkan hati. Saat itu saya sungguh terpukau melihat gestur ramah penuh senyum, sederhana, dan  rendah hati dari pimpinan Gereja Katolik. Gestur yang rupanya selalu  mewarnai dua belas tahun masa pontifikatnya.    ***  Saya bukan seorang ahli pengamat Paus; bukan pula pejabat eklesiastik yang sering bertemu dan berelasi dekat dengan beliau. Kenangan dan apresiasi saya bagi beliau berasal dari umat biasa dari  kejauhan, yang merasakan efek, dampak dari apa yang beliau  kerjakan selama ini. Sekiranya tidak berlebihan jika saya mengenang Paus Fransiskus sebagai manusia Paskah: Manusia yang mengalami, mengimani, menghidupi kuasa kebangkitan Kristus dan digerakkan oleh-Nya.  ***  Saudara/i terkasih,  Manusia paskah adalah manusia yang mengalami kerahiman Allah. Kidung Exultet yang kita dengarkan di liturgi malam Paskah  menyampaikan felix culpa, “O kesalahan yang menguntungkan, karena memberikan Penebus yang sedemikian rupa.” Di situlah  sejarah kedosaan di masa lalu dimaknai secara retrospektif dari sudut pandang keselamatan yang dibawa oleh Yesus yang bangkit. Rupanya, itu pula yang terjadi pada Paus kita. Barangkali kita pernah mendengar masa lalu yang tidak mudah, bahkan mengundang  kontroversi, dari Paus kita saat beliau menjadi provinsial Jesuit dan rektor skolastikat Jesuit di Argentina. Beliau mengalami situasi yang  tidak mudah. Saya ingat, setelah diumumkan menjadi Paus, beberapa teman serumah saya yang berasal dari Amerika Latin tidak percaya dan sedikit merasa takut bahwa Bergoglio terpilih menjadi Paus.    Namun, beliau tidak terpenjara oleh kegagalan, kesulitan, dosa manusia. Seperti yang dikatakannya pada homili di Gelora Bung Karno (GBK), September  yang lalu, “Non restare prigioneri dei nostri fallimenti…No, per favore. Non restiamo prigioneri dei nostri fallimenti.” (Janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita. Jangan, saya  mohon, janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita).    Masa lalu yang berat dengan segala kesalahan dan kegagalan yang  dilakukan dimaknai dari sudut pandang kerahiman, pengampunan dan keselamatan dari Yesus yang bangkit jaya.  Jumat Agung dipandang dari sudut pandang Minggu Paskah. Kebangkitan Kristus membebaskan dan memberi kita jaminan agar tidak terpenjara di dalam pengalaman Jumat Agung kita masing masing. Siapa di antara kita yang tidak memiliki drama kehidupan;  tidak memiliki pengalaman gagal dan dosa di masa lalu; tidak  memiliki pengalaman Jumat Agung? Tapi itu semua bukanlah kata  terakhir karena terdapat Minggu Paskah yang menyelamatkan. Saya  yakin, Paus Fransiskus mengalami hal itu dan saya merasa dia mengajak kita untuk memasuki pengalaman ini juga. Pertobatan dan  usaha memperbaiki diri dari sisi manusia bertemu dengan pengampunan dan kerahiman Allah yang berpuncak pada misteri  kebangkitan Kristus.    Mengalami kerahiman, pengampunan, dan pembebasan dari Allah; itulah  juga yang saya rasakan ketika beliau mengajak seluruh Gereja untuk memasuki tahun jubileum kerahiman ilahi pada 2016 yang lalu.  Memang sejak awal masa pontifikatnya, seperti saat itu, di Audiensi  General 17 Maret 2013, beliau mengatakan Tuhan tidak pernah lelah  mengampuni kita! Mungkin kita yang lelah memohon pengampunan dari Allah; tetapi Allah tidak pernah lelah mengampuni. Di Ekshortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injili) §44, Paus  Fransiskus mengingatkan para imam agar ruang pengakuan dosa bukan menjadi ruang interogasi, melainkan ruang untuk bertemu  dengan kerahiman Tuhan Sang Pengampun.      Bertemu dengan Kristus yang bangkit; yang maharahim dan  mengampuni; yang membebaskan kita dari pengalaman Jumat Agung  kehidupan kita, bukan berarti menjadi permisif, laksis terhadap dosa.  Kita memang perlu untuk terus bertobat dan memperbaiki diri. Bertemu dengan Kristus yang bangkit adalah sebuah pengalaman  rohani, pengalaman mistik ketika seseorang dalam  ketidakberdayaannya akibat dosa, kesalahan, kegagalan diangkat  kembali oleh daya kekuatan Ilahi yang memberinya kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bertemu dengan Kristus yang  bangkit dan karenanya menjadi manusia Paskah adalah sebuah pengalaman mistik bertemu dengan wajah Allah yang lembut  berbelas kasih dan memahami; bukan wajah Allah yang keras, kejam, menghakimi. Betapa dunia hari ini memerlukan pengalaman rohani mistik seperti ini! Menjadi saudara satu dengan yang lain yang saling  memahami dan mengasihi, bukan terlalu cepat menghakimi.   ***  Saudara/i terkasih,  Injil yang kita baca kemarin dan hari ini memberi kita inspirasi : kisah  perjalanan dua murid ke Emmaus. Kita melihat suasana batin dua murid yang berjalan itu. Muram. Peristiwa Jumat Agung masih sedemikian menggelayuti mereka. Jiwa mereka kosong karena Tuhan  yang mereka ikuti malahan mati dengan sedemikian tragis di kayu  salib. Mereka putus harapan, sedemikian hingga mereka pergi  menjauh dari Yerusalem tempat semua perkara itu terjadi. Mereka  masih sulit menerima dan memahami kesaksian dari para wanita  tentang Yesus yang telah bangkit.   Dari kisah yang lain, kita melihat pula kekosongan dan keputusasaan  yang sama dari para rasul. Kita ingat kisah dari Injil Yohanes 20, ketika Petrus dan beberapa rasul lain ingin kembali menjala ikan selepas peristiwa Jumat Agung (Yoh. 20). Mungkin mereka ingin  kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan, karena Yesus  yang mereka ikuti malahan mati mengenaskan.     Namun, tepat di jantung kekosongan dan keputusasaan seperti itu Tuhan hadir. Dia berjalan bersama dua murid itu ke Emmaus dan  membuat hati mereka berkobar-kobar. Dia menampakkan diri bagi 

Feature

Paus Fransiskus dan Pesan Perjuangan Keadilan

Sebuah tribute bagi Bapa Suci Paus Fransiskus Berpulangnya Bapa Suci Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio pada Senin, 21 April 2025 dalam usia ke-88, meninggalkan kenangan yang sangat personal dan mendalam. Kami, (Feliks Erasmus Arga dan A. A. Ferry Setiawan)  kembali mengenang salah satu momen audiensi privat bersama para Jesuit pada Rabu, 4 September 2024 ketika melakukan kunjungan apostoliknya di Indonesia. Kunjungannya mewariskan pesan yang sangat mengesan, mendalam, menyentuh, dan menggerakan. Salah satunya, tanggapan orisinil Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang disuarakan dalam kesempatan audiensi privat tersebut. Paus Fransiskus berkata, “Tugas kita adalah menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara (korban pelanggaran berat HAM). Ingatlah, inilah tugas kita: turut memperjuangkan keadilan, seperti para Ibu di Plaza de Mayo di Argentina yang berani menghadapi kekejaman kediktatoran demi kebenaran dan keadilan. Kita harus selalu memperjuangkan keadilan.”    Prakarsa dan Perutusan Pertemuan privat Paus Fransiskus dengan para Jesuit merupakan sebuah pola yang dilakukannya setiap kali melakukan kunjungan apostolik kenegaraan. Di mana ada komunitas Jesuit, Paus Fransiskus selalu meluangkan waktu untuk melakukan pertemuan privat kekeluargaan. Pertemuan dengan para Jesuit ini tentu sangatlah beralasan. Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit dan ia ingin menyapa saudara-saudara se-Serikatnya. Membaca situasi ini, prakarsa untuk menyuarakan Aksi Kamisan di dalam audiensi muncul. Tujuannya sebenarnya sederhana, yakni supaya Paus Fransiskus tahu bahwa di Indonesia ada sebuah gerakan yang terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Plaza de Mayo, Argentina. Paus Fransiskus sangat mengenal gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo karena ia pernah menjadi uskup Buenos Aires, Argentina.   Prakarsa tersebut tidak lepas dari ide Ibu Maria Katarina Sumarsih dan kawan-kawan Aksi Kamisan yang ingin menyampaikan surat kepada Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang terinspirasi dari Plaza de Mayo ini. Setelah Bu Sumarsih menghaturkan ide tersebut, kami berdua sepakat untuk mendiskusikannya dengan Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ. Bukan sebuah kebetulan, dalam peringatan 25 tahun Imamat beberapa Jesuit di Gereja Blok Q, kami bertemu Pater Provinsial dan saat acara ramah-tamah, kami langsung duduk bersama dan mendiskusikan prakarsa tersebut. Kami terkejut ketika tahu bahwa Bu Sumarsih telah mengontak Pater Beni dan berharap surat tersebut dapat diserahkan kepada Paus Fransiskus dalam audiensi. Kami merasa bersyukur karena ide ini sangat didukung oleh Pater Provinsial. Pertemuan singkat tersebut diakhiri dengan perutusan dari Pater Provinsial kepada kami berdua untuk menyerahkan surat yang telah ditulis Bu Sumarsih kepada Paus Fransiskus dalam audiensi privat nanti.   Menyuarakan Aksi Kamisan Pada Rabu, 4 September 2024 di Nunciatura atau Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, kami diminta memberi pengantar sebelum menyerahkan surat kepada Paus Fransiskus. Kami menceritakan bahwa kami hendak memberikan surat dari Bu Sumarsih, seorang ibu yang putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, menjadi korban ketidakadilan tragedi Semanggi I tahun 1998. Bu Sumarsih juga merupakan salah satu pemrakarsa Aksi Kamisan, sebuah aksi yang terinspirasi dari Gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo. Setelah mendengarkan apa yang kami suarakan, Paus Fransiskus menanggapinya dengan sederhana tetapi penuh makna.     Berikut ini kutipan Paus Fransiskus yang ditulis dalam transkrip pertemuan Paus Fransiskus dengan para Jesuit dan dipublikasikan oleh Pater Antonio Spadaro, S.J. dari Italia melalui majalah La Civilta Cattolica. Dalam bahasa Indonesia, tanggapan Paus Fransiskus diterjemahkan secara bebas demikian. “Apakah kalian tahu bahwa presiden gerakan Plaza de Mayo datang menemui saya? Saya merasa terharu dan sangat terbantu ketika berbicara dengannya. Dia memberi saya semangat untuk menyuarakan suara-suara dari mereka yang tidak bisa bersuara. Inilah tugas kita (sebagai seorang Jesuit): menyuarakan suara-suara mereka yang tidak bisa bersuara. Ingat: ini adalah tugas kita. Situasi di bawah kediktatoran Argentina sangat sulit, dan para perempuan ini, para ibu ini, berjuang untuk keadilan. Selalu berusahalah untuk memperjuangkan keadilan!” Setelah menyuarakan Aksi Kamisan dan Bu Sumarsih, Bapa Suci meminta kami berdua maju ke depan untuk menyerahkan surat tersebut. Di luar perkiraan kami, Paus Fransiskus langsung membuka surat tersebut di depan kami dan membacanya sekilas, “Ahh, Marta Taty Almeida. Beliau datang kepada saya sebelum ia meninggal.” Bapa Paus berkata demikian sembari menunjuk nama yang dicantumkan Bu Sumarsih dalam surat tersebut. Seketika, suasana Nunciatura riuh dengan tepuk-tangan dukungan sekitar 200 Jesuit yang hadir dalam audiensi tersebut. Penyerahan surat tersebut diakhiri dengan bersalaman dengan Paus Fransiskus.   Paus Fransiskus, Plaza de Mayo, dan Kamisan Pada akhir tahun 2022, Bapa Suci Paus Fransiskus menulis surat yang ditujukan kepada ibu-ibu Plaza de Mayo untuk memberi penghormatan kepada Hebe de Bonafini, salah satu pendiri Asociación Madres de Plaza de Mayo yang meninggal pada tanggal 20 November 2022. Dalam suratnya, Paus Fransiskus turut mendoakan para ibu Plaza de Mayo sebagai “Mothers of Memory” yang menjaga memori kolektif agar tragedi dan impunitas tidak menjadi warisan di masa depan. Media Vatikan juga memberitakan bahwa dalam surat tersebut, Paus Fransiskus mengekspresikan rasa duka yang mendalam atas meninggalnya pemimpin dan pendiri Plaza de Mayo, Hebe de Bonafini, dengan menuliskan, “Perjuangan dan keberaniannya di kala hening, selalu menghidupkan pencarian akan kebenaran dan merawat memori.”   Kenangan Paus Fransiskus atas Plaza de Mayo sekiranya teresonansi pada Aksi Kamisan. Dengan cita-cita yang serupa, Paus Fransiskus juga mendukung Aksi Kamisan yang diperjuangkan oleh Bu Sumarsih, ibu-ibu lainnya, serta mereka yang berkehendak baik untuk terus menerus merawat memori kolektif dan terus menyuarakan keadilan di tengah rezim yang sedang berjalan di negeri ini. Paus Fransiskus dengan gamblang berpesan untuk melanjutkan perjuangan ini. Kadangkala tak dipungkiri keputusasaan yang terjadi karena rasa-rasanya pemerintah tak pernah mendengarkan seruan-seruan moral serta tuntutan-tuntutan nyata dalam Aksi Kamisan. Akan tetapi, lagi-lagi, Paus Fransiskus melalui bulla “Spes non Confundit” terus mengingatkan kita akan harapan yang tidak pernah mengecewakan. Perjuangan Aksi Kamisan tidak pernah sia-sia, tetapi menjadi asa untuk terus merawat harapan yang bersumber pada cinta.     Paus Fransiskus, Keadilan, dan Kedamaian Paus Fransiskus adalah pribadi yang telah banyak ditempa hidup hingga akhirnya memiliki komitmen pada keadilan. Komitmennya terbentuk melalui jatuh-bangunnya sebagai  Provinsial (1973), Rektor Colegio de San Jose (1975-1985), Uskup Agung Buenos Aires (1998), Kardinal Argentina (2001), hingga bertugas menjadi Paus (2013-2025). Belarasanya pada ibu-ibu Plaza de Mayo (1976-1983) yang berlanjut dalam masa-masa pontifikalnya menunjukkan komitmennya yang semakin jelas pada keadilan. Dalam kunjungan di Indonesia, Paus Fransiskus turut menyapa para migran dan pengungsi serta anak-anak disabilitas. Di negara-negara lain yang Paus Fransiskus kunjungi, pilihan-pilihannya

Feature

Antara Keberanian, Kasih dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus (1936-2025), pemimpin Gereja Katolik Roma pertama dari Amerika Latin dan anggota Serikat Jesus pertama yang menjabat sebagai Paus, wafat pada usia 88 tahun pada Senin, 21 April 2025, di kediamannya di Domus Sanctae Marthae, Vatikan. Kabar duka ini diumumkan oleh Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo Kepausan, pada pukul 09.45 waktu setempat.   Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, Paus Fransiskus dikenal luas karena pendekatan pastoralnya yang penuh kasih, kesederhanaan hidup, dan komitmennya terhadap keadilan sosial. Sejak terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, ia membawa angin segar dalam kepemimpinan Gereja Katolik dengan menekankan pentingnya merangkul kaum miskin, memperjuangkan lingkungan hidup, dan mendorong dialog antaragama.   Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus secara konsisten menyuarakan keprihatinannya terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan krisis kemanusiaan akibat peperangan serta migrasi-paksa. Ia juga mencatatkan langkah penting dalam reformasi internal Gereja, khususnya dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penanganan lebih serius terhadap skandal pelecehan seksual yang menjerat banyak tokoh klerus.   Kesehatan Paus Fransiskus menurun dalam beberapa bulan terakhir akibat pneumonia ganda yang dideritanya. Namun, hingga saat-saat terakhir hidupnya, ia tetap menjalankan tugas-tugas kepausan dengan penuh dedikasi, termasuk penampilan publik terakhirnya saat Misa Minggu Paskah di Lapangan Santo Petrus, sehari sebelum wafatnya.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3–6 September 2024 menjadi tonggak sejarah penting dalam hubungan Vatikan dengan dunia Islam dan negara-negara selatan (Global South). Sebagai Paus pertama yang mengunjungi Indonesia sejak 1989, kehadiran beliau disambut antusias oleh masyarakat lintas iman dan budaya. Dalam pertemuan kenegaraan dengan Presiden Joko Widodo, Paus Fransiskus menekankan bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh hidup bagaimana pluralisme tidak hanya bisa ditoleransi, tetapi dirayakan dan dijadikan fondasi keadilan sosial.   Salah satu momen paling monumental adalah kunjungannya ke Masjid Istiqlal, tempat di mana bersama Imam Besar Nasaruddin Umar, ia turut menyatakan “Deklarasi Bersama Istiqlal” yang menyerukan kerja sama antaragama dalam menghadapi krisis global, mulai dari kemiskinan struktural hingga bencana ekologis. Pesan universalnya tentang kasih sayang dan keadilan ekologis kemudian digaungkan kembali dalam homili di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang dihadiri lebih dari 80.000 umat, di mana ia menyerukan agar Indonesia menjadi “bangsa pembawa harapan” bagi dunia.   Dalam konteks sosial-politik Indonesia, pesan-pesan Paus Fransiskus mengandung makna mendalam. Di tengah meningkatnya politik identitas, pembelahan sosial, dan tren otoritarianisme yang merongrong institusi demokrasi, ajakannya untuk mengedepankan welas asih, penghormatan pada martabat manusia, dan dialog yang tulus menjadi suara profetik yang sangat relevan. Dalam pernyataannya, Paus Fransiskus menekankan bahwa pembangunan harus tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan dan perlindungan atas kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan minoritas agama. Dalam pandangannya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai penyelenggara birokrasi, tetapi harus menjadi pelindung kemanusiaan.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia meninggalkan bukan hanya kesan, tapi warisan yang mendalam, bukan hanya dalam bentuk seremonial atau simbolik, tetapi dalam substansi etis dan moral yang dihadirkannya pada ruang publik nasional. Pesan-pesannya memperkuat komitmen terhadap dialog antaragama, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan, tiga pilar yang saat ini tengah diuji dalam dinamika politik dan pembangunan Indonesia. Di tengah meningkatnya politik dan politisasi identitas, erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara, serta memburuknya kualitas demokrasi deliberatif, kehadiran Paus Fransiskus menjadi pengingat akan pentingnya menempatkan martabat manusia, kesetaraan, dan kasih sebagai fondasi tata kelola yang beradab.   Lebih dari sekadar seruan moral, kunjungan Paus Fransiskus membawa implikasi langsung terhadap arah kebijakan publik. Dalam konteks pembangunan yang kerap meminggirkan suara komunitas adat dan marjinal, ia menggarisbawahi pentingnya model pembangunan yang partisipatif, adil, dan ekologis. Hal ini relevan dengan tantangan Indonesia hari-hari ini: bagaimana memastikan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) termasuk Ibu Kota Nusantara tidak mengulang pola eksklusi, bagaimana perlindungan sosial dan berbagai reformasi publik sungguh menyentuh yang terpinggirkan, dan bagaimana negara melindungi kebebasan beragama serta ruang sipil yang semakin menyempit. Warisan ajaran Paus Fransiskus bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi untuk seluruh warga bangsa: bahwa kepemimpinan sejati ditandai bukan oleh kuasa, melainkan oleh keberpihakan kepada yang lemah. Dan bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun jika keberagaman dirawat, bukan diperalat; jika suara yang kecil didengar, bukan dibungkam.   Sebagai penghormatan atas wafatnya Paus Fransiskus, lonceng-lonceng gereja berdentang di seluruh Roma, dan berbagai negara mengumumkan masa berkabung nasional. Di Italia, seluruh pertandingan sepak bola Serie A ditunda. Jenazah beliau disemayamkan di Basilika Santo Petrus dan akan dimakamkan dalam prosesi agung yang akan dihadiri para pemimpin agama dan negara dari seluruh dunia.   Paus Fransiskus meninggalkan dunia ini yang akan dikenang sebagai pemimpin rohani yang berani, penuh kasih, dan visioner. Seorang Paus yang menyatukan iman dengan tindakan nyata, yang meletakkan kasih sebagai hukum tertinggi, dan yang menjadikan keberpihakan kepada yang tertindas sebagai spiritualitas utama kepemimpinannya. Dunia kehilangan suara nurani yang langka. Namun warisan moral dan perjuangannya akan terus hidup -dalam doa, dalam tindakan, dan dalam semangat zaman yang ia wariskan.   Yogyakarta, 21 April 2025   Kontributor: Yanuar Nugroho

Pelayanan Masyarakat

Tumbuh Dalam Cinta Sejati

Pengalaman melayani anak-anak marginal lewat Komunitas Belajar Realino (KBR) di wilayah Jombor dan Bongsuwung merupakan panggilan yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Ini adalah kesempatan meneladani Yesus yang selalu hadir bagi mereka yang tersingkir, menderita, dan dilupakan masyarakat. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di dalam diri mereka yang tersingkir, kita menemukan wajah Kristus sendiri.   Melayani anak-anak marjinal mengajarkan saya membuka hati dan mata pada realitas ketidakadilan dan penderitaan. Sebagai biarawan SCJ yang menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus, Hati yang terbuka menjadi semangat saya untuk mau menerima semua orang ke dalam hati saya. Selain itu saya juga diundang membagikan kasih Tuhan lewat diri saya kepada mereka tanpa membeda-bedakan latar belakang dan budaya.   Dalam pengalaman pengabdian sosial ini, saya belajar bukan hanya untuk memberi, melainkan juga menerima. Melalui pertemuan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino, saya menyadari bahwa dari mereka saya dapat belajar tentang kekuatan, keberanian, dan pengharapan. Saya belajar melihat manusia bukan dari penampilan luar atau status sosial, melainkan nilai dan martabat yang melekat pada setiap pribadi sebagai ciptaan Allah yang luhur.   Pengabdian sosial kepada anak-anak marjinal ini saya refleksikan sebagai tindakan nyata mengikuti jejak Yesus. Secara khusus ini merupakan bentuk mengikuti Dia memperjuangkan keadilan, memperlihatkan kasih yang nyata, dan memberi harapan. Saya tidak hanya hadir membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga mengingatkan diri saya bahwa keberadaan saya memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan mulia itu adalah menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di dunia ini.   Dalam refleksi ini, penting juga mengingat bahwa pengabdian sosial adalah panggilan mengasihi tanpa syarat. Kasih ini tidak mengharapkan balasan atau penghargaan, melainkan tumbuh dari keinginan melihat orang lain hidup dengan martabat dan sukacita. Setiap kali saya berbagi waktu, perhatian, dan kasih kepada anak-anak dan kaum marginal, saya berpartisipasi dalam misi Kristus di dunia ini. Misi itu adalah membawa terang dan harapan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Let us become a true light.   Akhirnya, pengalaman ini memanggil saya untuk berkomitmen lebih dalam terhadap semangat pelayanan. Saya dipanggil membawa transformasi tidak hanya bagi mereka yang saya layani, melainkan juga bagi diri saya sendiri agar semakin bertumbuh dalam cinta sejati.   Kontributor: Fr. Charles Oktavianus Markus Tada Wadan, SCJ – Volunteer Realino SPM 

Karya Pendidikan

“Pulang ke Rumah”

Tahun 2024 menjadi perjalanan yang sangat berharga bagiku. Aku kembali ke tempat penuh kenangan, tempat yang memberiku ilmu dan membentukku menjadi seperti sekarang. Meski demikian, kini aku datang dengan peran yang berbeda. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku bisa kembali ke tempat itu, terlebih sebagai calon guru.   Rasanya aneh berada di sekolah yang sama, bertemu dengan guru-guru yang dulu kupanggil Bapak dan Ibu guru, kini aku dipanggil dengan sebutan Bu guru, bukan nama panggilan saja. Tempat itu bernama SMA YPPK Adhi Luhur atau Kolese Le Cocq d’Armandville. Saat masih menjadi siswa, aku merasakan bagaimana sekolah ini menerima setiap siswa tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada perbedaan di antara teman-teman, aku tidak pernah merasa terasing. Pengalaman ini membentuk rasa banggaku terhadap sekolah yang tidak hanya memberikan pendidikan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap sesama.   Keraguan dan Pertanyaan Tentu saja, perjalanan untuk menempuh pendidikan di sekolah ini tidaklah mudah. Aku dan keluargaku sempat menghadapi banyak pertanyaan dan keraguan dari masyarakat. Sebagai seorang Muslim yang memilih bersekolah di persekolahan Katolik, aku sempat mendapat banyak pertanyaan. “Apakah kamu siap bersekolah di sekolah Katolik ? Apakah kamu tahu peraturan di dalamnya? Apakah kamu siap melepas hijabmu? Apakah kamu siap terasing?”, merupakan pertanyaan yang sering terdengar.      Meski banyak yang meragukan keputusanku, aku bersyukur memiliki orang tua dan kakak-kakak yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Mereka mendukung pilihanku sepenuhnya dan meyakinkanku bahwa apapun yang dikatakan orang lain hanyalah sebuah pendapat yang belum tentu benar dan untuk mengetahuinya aku harus mengambil jalan tersebut dengan penuh keyakinan. Pesan mereka melekat di sanubari dan menjadi pegangan bagiku untuk melangkah tanpa ragu. Keputusanku terbukti tepat.     Keyakinan yang menjadi Kenyataan Selama bersekolah di Kolese Jesuit ini, aku selalu diperlakukan dengan adil dan mendapatkan hak yang sama seperti teman-teman lain. Aku dapat mengikuti berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik tanpa diskriminasi. Para Romo, Frater, Bruder, Bapak Ibu guru, Bu TU, Pak de Argo (tukang bersih sekolah) hingga teman-teman selalu menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai. Aku tidak pernah dipaksa untuk mengubah keyakinanku. Meskipun mengikuti pelajaran agama Katolik, aku tidak pernah dipaksa berdoa dengan cara yang berbeda dari keyakinanku. Justru, di sekolah ini aku belajar tentang nilai-nilai toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai perbedaan.    Mengenal Katolik Melalui sekolah ini, aku mulai mengenal dan memahami konsep-konsep dalam agama Katolik, seperti misa, komuni, altar, dll. Aku juga belajar membaca Alkitab. Aku juga mengikuti praktik mengajar sekolah minggu yang bukan memiliki tujuan untuk mengubah keyakinanku, tetapi sebagai bagian dari pemahaman terhadap agama lain. Aku bersyukur karena semua ini memperkaya wawasan dan membentuk cara berpikirku agar lebih luas. Sekolah ini juga tidak berfokus pada doktrin agama tertentu, melainkan lebih menekankan nilai-nilai seperti kasih, rasa hormat, dan menghargai.    Salah satu hal yang aku pelajari dari sekolah ini adalah semua nilai dari 4C yaitu, Competence, Compassion, Conscience, dan Commitment. Lewat keempat nilai itu, aku belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang kepintaran secara akademik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang dapat memanusiakan manusia lain.      Asistensi Mengajar Pada bulan Juli hingga Desember 2024 lalu, aku kembali ke SMA YPPK Adhi Luhur sebagai bagian dari program kampus yaitu Asistensi Mengajar. Ini adalah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi asisten pengajar di perguruan tinggi atau sekolah menengah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengajar mahasiswa, memperkaya pengalaman akademik, dan membantu dosen atau guru dalam proses pembelajaran.    Jika dulu sebagai siswi aku ke sekolah tanpa menggunakan hijab, kini aku datang dengan penampilan berbeda, mengenakan hijab. Kendati demikian, sambutan yang kuterima tetap sama seperti saat aku menjadi siswi, yaitu penuh kehangatan, penuh kasih, dan penuh toleransi. Aku juga diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengajar di semua kelas X, mendampingi ekstrakurikuler, mendampingi kepanitiaan acara sekolah, dan bertemu dengan siswa-siswi yang luar biasa.    Nilai yang Terjaga Salah satu siswa yang menarik perhatianku adalah Asyaidah, satu-satunya siswa muslim di angkatannya, sama sepertiku dulu. Aku memperhatikannya dan melihat bahwa perlakuan yang ia terima sama seperti yang dulu kuterima selama bersekolah di sini. Hal tersebut merupakan bukti bahwa semangat toleransi di Kolese Jesuit di ujung timur Indonesia ini tetap terjaga dari generasi ke generasi.   Dalam perjalananku belajar sebagai calon guru, aku tidak hanya belajar dari para Romo, Frater, dan Bapak/Ibu guru, tetapi juga dari siswa-siswi yang memiliki semangat luar biasa dalam belajar. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan memiliki sikap saling membantu serta mendukung yang begitu kuat. Dari mereka, aku belajar bahwa seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar baik dari guru lain maupun dari siswanya.     Bertumbuh Saat program asistensi mengajar hampir berakhir pada pertengahan Desember, aku merasa banyak hal yang kudapat dari pengalaman ini. Sekolah ini telah membantu aku tumbuh, berkembang, dan memberikan masa depan yang lebih baik. Lebih dari itu, aku menemukan makna dari arti kekuatan karena selama ini aku berprinsip untuk tumbuh tanpa membiarkan rasa sedih menguasai diriku. Kedengarannya memang aneh, tetapi prinsip itu terbentuk dari pengalaman yang pernah dialami orang tua dan kakak-kakakku dan pengalaman itu menurutku tidak seharusnya diterima keluargaku. Hal itulah yang membentukku menjadi pribadi yang harus selalu kuat, bahkan cenderung menekan perasaan, dan selalu berusaha untuk menghindari rasa sedih.    Meskipun demikian, melalui pengalaman di sekolah ini, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat bukan berarti menolak rasa sedih. Sebab, rasa sedih bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang kepada orang-orang yang kita sayangi. Aku juga belajar bahwa menjadi manusia, berarti mengizinkan diri untuk merasakan, menghargai, berterima kasih atas setiap pengalaman. Sekolah ini telah menjadi bagian penting dalam hidupku, bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga sebagai rumah kedua yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Aku bersyukur telah menjadi bagian dari SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Dan aku akan selalu membawa pelajaran berharga ini ke manapun aku menjejakkan kaki.   Kontributor: Mutiara Al Kausar – Mahasiswa USD

Karya Pendidikan

Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran

SD KANISIUS TLOGOSARI KULON GELAR BUKA PUASA Tahun ini terasa istimewa karena umat beragama Islam dan Katolik puasa bersamaan di bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan suci untuk menjalankan ibadah puasa dan memperingati wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan bagi umat Katolik, puasa selama masa Prapaskah adalah bentuk pertobatan, penyesalan dosa, dan meneladani pengorbanan Yesus Kristus.  Tema APP (Aksi Puasa Pembangunan) 2025 Keuskupan Agung Semarang adalah Bersekutu dalam Doa, Pertobatan dan Pengharapan. Diharapkan selama masa puasa dan pantang hendaknya seluruh umat sampai pada pertobatan yang bersifat lahiriah dan sosial kemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan Nota Pastoral Arah Dasar Umat Allah KAS 2021-2025 dan Arah Implementasi, “Tinggal Dalam Kristus dan Berbuah: Semakin Katolik dan Semakin Apostolik di tengah Perubahan Masyarakat.”   Harapan Gereja inilah yang menjadikan otak kami gaduh. Apa yang bisa kami lakukan di komunitas pendidikan SD Kanisius Tlogosari Kulon dalam memaknai pertobatan di masa Prapaskah yang bersamaan dengan bulan Ramadhan ini? Kami akhirnya sepakat membuat kegiatan bersama warga RT 05 dan RT 11/RW 07 Kelurahan Tlogosari Kulon (RT sekitar sekolah). Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 20 Maret 2025 di aula SD Kanisius Tlogosari Kulon dan menjadi langkah merawat persaudaraan antar umat beragama. Kami mengangkat tema: Gumregah lan Jumangkah mBangun Paseduluran (Bangkit dan Melangkah Membangun Persaudaraan) sekaligus untuk menghidupi semangat men and women for and with others.   Guru dan siswa berkolaborasi menyambut dan melayani tamu undangan. Antusiasme siswa-siswi SD Kanisius Tlogosari Kulon terlihat sangat tinggi. Mereka membantu para guru menyediakan hidangan bagi para tamu yang akan berbuka puasa dengan minuman segar dan makanan takjil. Acara ini terselenggara atas kerelaan hati para donatur serta dukungan dari  Komisi PSE dan Panitia APP Kevikepan Semarang.   Dalam buka bersama ini kami mengundang Gus Muhammad Abdul Qodir, Lc., M.A., sebagai narasumber untuk sesi siraman rohani. Selain itu juga ada hiburan Rebana Cinta Damai, Tari Sufi dan beberapa penampilan dari siswa-siswi dan guru KB-TK-SD Kanisius Tlogosari Kulon, hingga konsumsi berupa takjil dan nasi.    “Merawat persaudaraan antarumat beragama itu penting karena ini mencerminkan bentuk kesalehan sosial di tengah masyarakat Indonesia. Harapannya, Ramadhan harus dijadikan momen untuk berbuat yang lebih baik. Jangan lagi menzalimi orang, memaksakan kehendak, menang sendiri, dan lain sebagainya,” pinta Abdul Qodir.   Dari 350 orang yang diundang, terdapat sekitar 187 orang hadir dalam acara ini. Sebagai acara yang baru kali pertama diadakan, hal ini merupakan pencapaian yang cukup baik. Ketua RT, Ketua RW, narasumber dan tamu undangan memberikan apresiasi dan harapan semoga kegiatan ini dapat membawa dampak baik bagi hubungan keberagaman di masyarakat. Kami harap kegiatan ini menjadi langkah awal yang baik sebagai sekolah nasrani dalam menjaga kerukunan yang berada di sekitar masyarakat Islam.   Yayasan Kanisius memiliki kekhasan dalam pendidikannya yaitu adanya Paradigma Pedagogi Reflektif. Budaya menemukan kedalaman suatu peristiwa melalui refleksi nampak dari hasil evaluasi para guru pada hari Sabtu, 22 Maret 2025 dan tulisan beberapa siswa yang hadir dalam acara buka puasa tersebut. “Saya menilai bahwa acara kita baik dan berjalan lancar. Dari peristiwa salah satu guru menjemput warga (meskipun sebenarnya warga sudah siap tetapi saling menunggu sehingga membuat acara jadi “molor”) saya menemukan bahwa diperlukan adanya pendekatan personal yaitu menyapa lebih dekat. Inilah yang namanya Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran,” ungkap salah satu guru.   Beberapa murid pun menuliskan sedikit refleksi kegiatan buka puasa bersama ini. “Saya bangga menjadi bagian dari SD Kanisius Tlogosari Kulon yang mengadakan buka puasa bersama warga sekitar. Hal ini menjadi pengalaman baru untuk saya karena saya bisa belajar mengenai agama Islam, tahu Tari Sufi dan makin mengerti akan persaudaraan lintas iman,” ungkap Sharbel. “Saat aku membagikan takjil aku merasa sangat senang karena para warga menerima dan menikmati takjil dan acaranya. Aku senang bisa membuat mereka bahagia,” ungkap Nio. “Ini pertama kalinya buka puasa bersama di sekolah, aku awalnya agak malu “nyalami” para tamu. Tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa. Aku salut dengan teman-teman yang tampil, mereka keren. Saat aku membagikan takjil aku melihat para warga sangat menikmati takjil. Aku sangat senang dan kegiatan ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan,” ungkap Chilla.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani, S.Psi. – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Pelayanan Gereja

Finding God Through the Lens

Canon Community Goes To Paroki Bongsari Sebuah acara yang diprakarsai oleh OMK Paroki Bongsari bekerja sama dengan Canon Indonesia sukses diselenggarakan di Ballroom Grha Argya, Gereja Paroki Bongsari, pada Minggu, 9 Maret 2025. Acara yang mengangkat tema Finding God Through the Lens ini dihadiri oleh sekitar 70 peserta dengan rentang usia mulai dari 10 hingga 70 tahun. Mereka berasal dari berbagai paroki di Semarang dan luar kota Semarang. Fenomena ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap dunia fotografi dan bagaimana seni ini dapat menjadi sarana refleksi iman.   Menemukan Tuhan Melalui Fotografi Sejak pukul 08.00 pagi, peserta telah berkumpul dengan semangat untuk menyelami dunia fotografi lebih dalam. Acara ini menghadirkan dua narasumber profesional, Misbachul Munir dan Angelie Ivone, yang berbagi ilmu serta pengalaman mereka dalam dunia fotografi.   Misbachul Munir membahas teknik dasar fotografi, mulai dari pemahaman pencahayaan, komposisi, hingga pengaturan kamera yang tepat untuk menangkap gambar berkualitas. Sementara itu, Angelie Ivone membimbing peserta dalam memahami fotografi sebagai sarana untuk menangkap keindahan dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.   Melalui konsep Finding God Through the Lens, peserta diajak untuk melihat bahwa setiap momen, keindahan alam, dan ekspresi manusia adalah refleksi kasih Tuhan yang dapat diabadikan melalui kamera. Baik peserta yang masih anak-anak maupun yang sudah berusia lanjut, semuanya menemukan perspektif baru dalam mengamati dunia melalui lensa kamera.   Dari Teori ke Praktik: Mengabadikan Momen dengan Makna Selain sesi teori, peserta juga diajak untuk langsung mempraktikkan teknik yang telah dipelajari. Dalam sesi ini, mereka diberikan tantangan fotografi yang tidak hanya menekankan aspek teknis, tetapi juga mendorong mereka untuk menangkap gambar dengan makna spiritual.   Menariknya, berbagai generasi yang hadir dalam acara ini memberikan sudut pandang yang unik dalam menangkap momen. Anak-anak mencoba mengabadikan dunia dengan keceriaan mereka, kaum muda lebih menonjolkan ekspresi artistik, sementara peserta yang lebih senior banyak mengambil gambar yang merefleksikan pengalaman hidup dan spiritualitas mereka.   Dukungan dari Canon Indonesia dan Datascript Sebagai penyelenggara utama, Canon Indonesia dan Datascript turut menghadirkan berbagai perangkat fotografi yang bisa dicoba langsung oleh peserta. Mereka juga memberikan wawasan tentang perkembangan teknologi kamera terbaru serta cara memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia untuk mendukung hasil foto yang optimal.   Refleksi dan Harapan ke Depan Acara yang berlangsung hingga pukul 16.00 sore ini ditutup dengan sesi tanya jawab serta pemberian sertifikat kepada peserta. Banyak dari mereka mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan belajar yang diberikan dan berharap acara serupa dapat kembali diadakan di masa mendatang.   Dengan adanya pelatihan fotografi ini, diharapkan komunitas Gereja semakin mampu mendokumentasikan setiap momen penting dalam kehidupan menggereja dengan lebih baik. Lebih dari sekadar keterampilan teknis, Finding God Through the Lens menjadi ajang refleksi bahwa fotografi dapat menjadi sarana evangelisasi dan komunikasi iman yang kuat.   Gereja Paroki Bongsari mengucapkan terima kasih kepada Canon Indonesia dan Datascript atas dukungan serta kolaborasi yang telah terjalin. Semoga semangat belajar dan berkarya terus berkembang, membawa terang bagi banyak orang melalui seni fotografi.   Kontributor: Bonaventura Satria Hagi Putra – Panitia

Kuria Roma

Merayakan dan Memajukan Peran Perempuan dalam Serikat Jesus

Tahun ini menjadi momen penting untuk berefleksi dan berkomitmen bagi kita semua dalam Serikat Jesus. Saat Serikat memperingati 30 tahun Dekret 14 dari Kongregasi Jenderal 34 (1995) yang menekankan peran serta perempuan sebagai pusat integrasi iman dan keadilan dan saat dunia memperingati 30 tahun Deklarasi Beijing dan Platform Aksi yang diadopsi oleh Konferensi Dunia ke-IV PBB tentang Perempuan, tema Hari Perempuan Internasional kali ini, “Mempercepat Aksi,” beresonansi secara mendalam dengan suara-suara para perempuan yang telah membentuk perjalanan Serikat dengan penuh harapan dan kemendesakan.   Perempuan dalam Tradisi Ignasian Selama berabad-abad tradisi Ignasian menghargai kebijaksanaan, iman, dan kekuatan perempuan.  Serikat secara khusus mengakui Maria, Bunda Yesus, sebagaimana dalam Magnificat (Lukas 1:46-55) menjadi teladan bagi rahmat Allah yang transformatif. Para perempuan telah memainkan peran integral dalam pendidikan, formasi, karya kerasulan, kepemimpinan, dan menawarkan wawasan yang berakar pada perjumpaan yang mendalam dengan Injil. Kehadiran perempuan telah membentuk Serikat Jesus, mencerminkan keterbukaan dan cinta Maria yang begitu peka. Sejarah ini mengajak Serikat untuk menata kembali struktur dan praktik masa depan yang lebih inklusif.   Sumbangsih perempuan dalam tradisi Jesuit sama sekali bukanlah sekadar pelengkap melainkan justru menjadi dasar pijak. Entah sebagai pendidik, pengelola, pendamping rohani atau pemimpin, maupun dalam peran pendukung lainnya, karya-karya perempuan sangat penting untuk memajukan perutusan yang transformatif dan berakar kuat pada keadilan. Kisah-kisah mereka tentang iman, ketangguhan, kepekaan, dan pelayanan mencerminkan jalan Maria, yaitu jalan yang penuh dengan kontemplasi, keberanian, dan tindakan yang tegas. Sejarah ini menuntut pengakuan akan pentingnya partisipasi perempuan dalam membentuk masa depan Gereja dan Serikat.   Sinodalitas dan Suara Perempuan Gereja yang benar-benar sinodal membutuhkan suara-suara otentik kaum perempuan untuk didengar dan diintegrasikan ke dalam discernment bersama. Pada tahun 2021, Pater Jenderal Arturo Sosa, SJ, membentuk Komisi Peran dan Tanggung Jawab Perempuan dalam Serikat Jesus untuk memastikan bahwa suara perempuan terlibat lebih jauh dalam membentuk perutusan Serikat. Komisi yang beranggotakan enam perempuan awam, satu biarawati, satu pria awam dan lima Jesuit ini telah bekerja untuk menilai pelaksanaan Dekret 14. Salah satu inisiatif yang paling signifikan adalah survei global yang dilakukan pada tahun 2023 yang menjangkau sekitar 1.400 kolaborator sebagai responden. Kemudian dilakukan pengolahan data kualitatif setelah survei di mana survei ini dilakukan dengan wawancara mendalam secara individu dan kelompok dengan awam perempuan dan laki-laki, biarawati, dan para Jesuit, serta diskusi kelompok terarah selesai dilakukan. Semua peserta memiliki pengalaman sebelumnya dengan Serikat dan program-programnya, baik sebagai karyawan maupun sukarelawan. Pertemuan ini diadakan di Roma pada November 2024 untuk melakukan analisis dan percakapan rohani untuk melaksanakan mandat dan membuat rekomendasi. Laporan akhir hampir selesai dan akan dipresentasikan kepada Pater Jenderal pada kuartal ketiga 2025.   Kepemimpinan Perempuan dalam Serikat Jesus Spiritualitas Ignasian tumbuh subur dalam interaksi dinamis antara kontemplasi dan aksi. Para perempuan telah mewujudkan keseimbangan ini, memimpin inisiatif dalam karya pendidikan, formasi, dan karya-karya tapal batas. Kontribusi mereka terus menerangi jalan pelayanan yang inovatif dan penuh kasih. Kepemimpinan, pelayanan, dan proposal mereka bukan hanya panggilan untuk inklusi tetapi juga katalisator untuk misi transformatif. Para perempuan di lembaga-lembaga Jesuit telah memimpin upaya-upaya dalam refleksi teologis, advokasi keadilan sosial, dan pelayanan pastoral. Dari lembaga akademik hingga gerakan komunitas akar rumput, kepemimpinan mereka menunjukkan komitmen terhadap iman dan keadilan yang merupakan inti dari spiritualitas Ignasian. Kemampuan mereka untuk memformasi dan membimbing komunitas telah membantu kebijakan dan struktur yang lebih baik dalam melayani mereka yang tersisih.   Panggilan untuk Berdiskresi dan Berkolaborasi Seiring hampir berakhirnya Komisi ini, Serikat Jesus tetap mendorong adanya keterlibatan yang berkelanjutan dalam refleksi yang mendalam. Keterlibatan perempuan bukan hanya tentang keadilan – tetapi juga tentang memperkaya seluruh perutusan Serikat. Suara, sudut pandang, dan kepemimpinan perempuan merupakan bagian integral dalam menentukan cara terbaik untuk melayani dunia saat ini. Ke depan, tugas Komisi adalah menyoroti pentingnya menciptakan sistem yang memberdayakan perempuan dalam Serikat. Dengan mengakui pengalaman unik mereka dan kekuatan transformatif yang mereka bawa ke dalam pelayanan, pendidikan, dan keadilan sosial, Serikat Jesus bergerak lebih dekat untuk memenuhi panggilannya untuk keadilan, rekonsiliasi, dan karya perutusan bersama.   Mendengarkan Ajakan dan Panggilan Roh Kudus untuk Senantiasa Berdiskresi Ketika Serikat Jesus terus memajukan komitmennya terhadap keadilan dan rekonsiliasi, partisipasi penuh perempuan tetaplah penting. Karya Komisi ini mengingatkan kita bahwa inklusi bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang mengakui kekuatan transformatif dari suara-suara yang beragam dalam membentuk Gereja dan masyarakat yang berakar pada iman dan keadilan. Ajakan ini begitu jelas, yaitu untuk mendengarkan, melihat, dan menanggapi dengan penuh keberanian.   Refleksi Saat merenungkan panggilan ini dan peran perempuan dalam Gereja dan Serikat, Komisi mengajak kita semua untuk membuka Kitab Suci sebagai sumber inspirasi dan bimbingan. Semoga perikop-perikop ini membantu untuk melihat bagaimana Kristus mengajak kita semua berpartisipasi dalam karya perutusan bersama ini. Semoga kita semua mencari kebijaksanaan untuk mengenali kehadiran Kristus dalam perjalanan bersama kita dan menanggapinya dengan iman, kerendahan hati, pengharapan, dan keberanian.   Dengan penuh doa, kita memohon Tuhan agar menolong kita memeriksa batin dan menanggapi peran perempuan bagi dunia, Gereja, dan khususnya Serikat Jesus, dengan menggunakan salah satu dari bacaan berikut ini, baik secara individu maupun bersama-sama. Magnificat (Lukas 1:46-55) – Kidung Maria tentang keadilan, harapan, dan pemberdayaan. Kotbah di Bukit (Matius 5:1-7) – Panggilan untuk transformasi dan nilai-nilai kerajaan Allah. Perjalanan Menuju Emaus (Lukas 24:13-35) – Mengenali kehadiran Kristus dalam perjalanan kita menuju discernment. Perempuan Samaria di Sumur (Yohanes 4:1-42) – Sebuah perjumpaan yang mengarah pada transformasi dan karya perutusan. Sabda Bahagia (Matius 5:1-12) – Ajakan untuk hidup dalam kerendahan hati, belas kasihan, dan keadilan. Penyembuhan Perempuan yang Sakit (Lukas 13:10-17) – Pengakuan dan penegasan Yesus akan martabat perempuan. Yesus Memanggil para Murid (Matius 4:18-22) – Meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti perutusan Kristus. Amanat Agung (Matius 28:16-20) – Panggilan untuk mewartakan Injil dan menjadikan semua bangsa murid-Nya. Kabar Sukacita (Lukas 1:26-38) – Maria menerima rencana Allah dengan iman dan keberanian. Pertobatan Saulus (Kisah Para Rasul 9:1-19) – Perubahan radikal yang mengarah pada perutusan. Panggilan Ketujuh Puluh (Lukas 10:1-12) – Yesus mengutus pergi berdua-dua. Perumpamaan tentang Perempuan Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37) – Panggilan untuk mengasihi secara aktif, inklusif, dan berkeadilan.   Oleh: Komisi Serikat Jesus untuk Peran dan Tanggung Jawab Perempuan Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel