Pilgrims of Christ’s Mission

jesuit indonesia

mahasiswa atmi menjelaskan kebiasaan-kebiasaan dalam kolese
Karya Pendidikan

KONSEP “TEGAS NAMUN HUMANIS” DALAM PPS 52 POLITEKNIK ATMI SURAKARTA

Pada 3 s.d. 10 Agustus 2019 di kampus ATMI diselenggarakan Pengenalan Program Studi (PPS) bagi mahasiswa baru (maba) angkatan 52 sejumlah 233 orang. Kemudian pada 12 Agustus diadakan misa pembukaan tahun perkuliahan 2019/2020 sekaligus kuliah perdana. Berbeda sedikit dari tahun sebelumnya, PPS kali ini mengusung agenda memperkenalkan konsep tegas namun humanis. Konsep pembelajaran yang mulai diperkenalkan sejak PPS ini akan terus diintegrasikan menjadi model pembelajaran selama kuliah bengkel dan teori. Dengan upaya panitia PPS sengaja menggarisbawahi konsep ini, bukan berarti pada tahun-tahun sebelumnya belum ada sama sekali metode pembelajaran ini. Metode itu sudah ada, namun belum diterapkan secara menyeluruh di setiap lini section/bengkel yang ada di ATMI. Konsep ini mulai dipikirkan berawal dari temuan-temuan problem yang dihadapi mahasiswa selama proses perkuliahan. Dari proses pendampingan beberapa mahasiswa tersebut, tim konseling kemahasiswaan menemukan beberapa hal yang menyebabkan mereka sulit mengikuti dinamika perkuliahan yang berat dan ketat. Belum lagi, mereka punya konsep sendiri tentang instruktur atau dosen idaman sehingga mudah menimbulkan gesekan akibat ketidakcocokkan. Tentu saja bila sudah ada gesekan maka dinamika kuliah dirasa semakin berat lagi. Maka, tim konseling mulai memetakan akar penyebabnya. Ternyata hal itu berkaitan dengan terjeratnya anak muda untuk cenderung mengambil apa saja yang serba baru dari teknologi, padahal kebaruan teknologi ini akan diiringi dengan kecepatan informasi yang cenderung mudah berubah-ubah. Teknologi baru itu semakin memanjakan sedangkan informasinya berdampak pada tersedot dan mudah teralihkannya perhatian manusia. Tidak hanya anak muda yang terpengaruh, para orang tua pun menjadi cenderung mengikuti tren ini. Rupa-rupanya tenaga pengajar pun tidak luput dari tren yang berkembang ini. Hadirnya teknologi yang disikapi dengan tidak bijak, pelan-pelan mengikis kebiasaan fokus dan kerja keras. Akhirnya ketika proses perkuliahan mewajibkan mahasiswa mengasah skill dengan tekun, disiplin, dan setia, mahasiswa menjadi tidak siap, orang tua pun terkaget-kaget sebab mereka tidak kenal dengan mendalam bagaimana proses ATMI mendidik dan menyiapkan para mahasiswanya. Jelas, jika tidak segera disikapi akan menyulitkan ATMI dalam menjaga komitmen metode pembelajarannya. Maka, lahirlah konsep tegas namun humanis. Tentu sebelum dipraktikkan, konsep ini dijelaskan dan disosialisasikan pada jajaran dosen struktural dan dosen muda pendamping PPS. Tim kemahasiswaan sengaja membuka kesempatan duduk bersama untuk mematangkan konsep ini. Konsep ini tetap sejalan dengan spirit 4C (Compassion, Conscience, Competence, Commitment) namun dibahasakan kembali dengan cara lugas, yaitu tegas dan humanis. Ketegasan akan membentuk karakter disiplin, namun sisi humanisme yang menghargai martabat manusia tetap tidak ditinggalkan. Praktiknya, kedisiplinan itu tidak hanya menegur dengan keras namun yang terpenting tegas. Tegas artinya yang menegur juga perlu meneladani dengan tindakan yang benar. Tegas juga diartikan keputusan yang dibuat tidak semena-mena, sesuai dengan peraturan yang ditetapkan serta melibatkan hati nurani. Untuk itu, dalam belajar-mengajar, kita harus berani “dekat” dengan mahasiswa supaya kita mengetahui siapa dan bagaimana mereka. Akhirnya, kita mempunyai opini yang jelas tentang mahasiswa tersebut. Dengan demikian, sebagai pengajar, kita menjadi pribadi yang mempunyai rasa memiliki anak didik kita. Kita terbuka namun tetap punya arah yang jelas. Karena anak muda sekarang cukup kritis, maka ketika kita menegur karena mereka keliru, kita harus sampai menjelaskan dan akhirnya sadar mengapa keliru. Dengan demikian untuk selanjutnya ia tahu bagaimana harus memilih yang baik. Cara pembelajaran ini tidak mudah karena seringkali sudah terbentuk “jarak” antara pengajar dan yang diajar. Tentu inisiatif mendekati, pertama-tama harus datang dari tenaga pengajar agar kecanggungan menjadi cair. Dengan demikian tidak ada sekat tinggi antara pengajar dan yang diajar. Selain itu, dalam PPS tersebut, panitia menekankan pentingnya rasa memiliki angkatan. Seluruh anggota angkatan menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Ini menjadi cara membumikan pendidikan karakter 4C sekaligus menjadi sarana bantu konsep tegas namun humanis berjalan. Rasa memiliki angkatan akan berimbas pada rasa memiliki ATMI. Maka mereka akan menjadi pioneer yang mampu memelihara angkatan, mengajak angkatan, dan menjadi rekan diskusi dosen demi kemajuan dan konsistensi ATMI. Praktisnya, dipilihlah beberapa anak yang siap dan mau terlibat mengkoordinasikan angkatannya. Mereka akan mengawali dan membuka jalan teman-teman yang lain untuk memperhatikan temannya yang kurang mampu beradaptasi dengan budaya ATMI. Mereka juga menjadi teman tenaga pengajar dan tim konseling dalam berbagi diskusi mengenai dinamika pembelajaran di ATMI. Masih dalam rangka menumbuhkan rasa memiliki, panitia PPS mengawali terbentuknya jaringan relasi melalui tugas kelompok, pembentukan grup angkatan melalui media social, dan pendampingan angelus dari panitia ke maba. Angelus akan menjadi teman sharing saat dinamika kelompok, memberi penjelasan tugas, dan mengajari berbagai metode pembelajaran di bengkel seperti pengukuran. Namun saat tugas tidak dikerjakan dengan tuntas, maka dengan tegas panitia memberi sanksi berupa jam kompensasi yang senilai dengan jenis kerja sosial tertentu dan mahasiswa tetap diwajibkan menyelesaikan tugasnya itu. Akhirnya, semoga dengan berani mengawali dan menegaskan konsep ini, kita menjadi tahu bahwa di satu sisi tetap berpikiran positif bahwa teknologi menjadi sarana bantu melatih kemampuan manusia menuju pada kesempurnaan. Namun di sisi lain juga perlu hati-hati bahwa bisa jadi teknologi akan membentuk relasi manusia hanya seperti jaringan kabel-kabel bahkan mungkin maya. Alih-alih selalu memikirkan bagaimana memperbaharui teknologi, nampaknya filosofi 4C harus menjadi prinsip “hanya satu saja yang perlu” sehingga dikedepankan dan dikuatkan dulu. Semoga konsep tegas namun humanis mampu menjawab fenomena yang berkembang ini. V. Doni Erlangga, SJ

ngobrol perdamaian di bongsari
Pelayanan Gereja

NGOPI (Ngobrol Perdamaian Indonesia)

Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan rahmat yang pantas disyukuri dan dijaga terus-menerus oleh seluruh komponen bangsa dan Negara Indonesia.Untuk itu, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Kevikepan Semarang,Komisi Kepemudaan Kevikepan Semarang bekerja sama dengan Persaudaraan Lintas Agama Kota Semarang,Gusdurian mengadakan acara Ngopi Srawung Orang Muda Lintas Agama. Kata “Ngopi” diartikan sebagai Ngobrol Perdamaian Indonesia. “Srawung” merupakan kata dari bahasa Jawa yang artinya bergaul akrab. Dari acara ini diharapkan orang-orang muda lintas agama dari berbagai tempat dapat bergaul akrab untuk selalu memperhatikan perdamaian Indonesia. Dalam acara “ngopi” itu, orang-orang muda lintas agama tersebut bertekad bulat untuk menjaga persatuan,merawat kebhinekaan dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan karya-karya nyata yang memajukan bangsa dan negara. Acara “Ngopi” tersebut dilaksanakan di halaman Gereja St Theresia Bongsari Semarang pada Sabtu, 17 Agustus 2019.Upaya membangun keakraban dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba permainan yang menarik seperti karet wajah, estafet karet gelang,makan krupuk dan balap karung.Setelah lomba-lomba keakraban,para peserta berbincang dalam sarasehan dengan pembicara Dewi Prasida,sosok yang dikenal sebagai gadis berjilbab yang bersalaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan ketika belajar soal kerukunan beragama dan Setyawan Budi. Dewi mengungkapkan perjuangan untuk membangun kerukunan penuh tantangan. Ia pun tidak lepas dari kecurigaan dan komentar negatif atas aktivitas bersama dengan umat beragama lain. Ia minta bagi kita yang masih bisa berpikir waras mengajak orang muda terus mengembangkan semangat toleransi. Rm Eduardus Didik Chahyono SJ selaku Pastor Kepala Paroki Bongsari sekaligus Ketua Komisi Hubungan antarAgama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang menyatakan, “Acara ini dapat dijadikan upaya mendukung fokus pembangunan pemerintah saat ini yang ingin mengembangkan Sumber Daya Manusia agar menjadi unggul sehingga Indonesia makin maju. Kegiatan ngobrol perdamaian Indonesia diharapkan dapat mencerdaskan orang-orang muda dalam menghayati agama dan mendewasakan dalam pergaulan dengan teman-temannya yang menghayati agama berbeda.Dengan kecerdasan beriman,kedewasaan dan kematangan diri,harapannya orang muda dapat lebih berkontribusi membangun Indonesia.” Acara “Ngopi” makin terasa meriah karena ada tampilan rebana dari Pondok Pesantren Raudhatul Solihin Sayung Demak, nyanyian dari Vitalen, Remaja Gereja Bongsari dan Tari Sufi dari Pondok Pesantren Al-Islah.Hadir dalam acara itu Bambang Suranggono mewakili Walikota Semarang, tokoh lintas agama, Mahasiswa mahasiswi IAIN Kudus, pemuda Hindu, Budha, Katholik, Kristen dan warga masyarakat. Sebelum mengakhiri pertemuan Jimmy, pengelola E-Coffee, berkesempatan untuk berbagi pengalaman dan informasi terkait dengan kopi, minuman yang sedang digemari banyak orang. Jimmy mengajak minum kopi secara sehat. E. Didik Cahyono, SJ

tersiat provinsi indonesia di girisonta
Formasi Iman

TERTIAT PROVINSI INDONESIA

Konstitusi Serikat Yesus dan Norma Pelengkap merumuskan apa itu masa Tersiat sebagai berikut:”…mereka melatih diri lebih saksama dalam sekolah hati (affectus) dan mengutamakan hal-hal rohani dan pekerjaan jasmani, yang membawa kemajuan dalam kerendahan hati dan pengingkaran seluruh cinta jasmani…