Aku masih diam di sebuah kamar yang kecil, melihat awan dari kisi-kisi jendela ini. Aku lihat semua tampak biasa-biasa saja, tapi mengapa harus terkurung entah sampai kapan. Aku sekali-kali jadi iri dengan sepasang merpati yang kulihat pagi tadi.
***
Minggu-minggu belakangan aku menuai banyak kabar tentang orang meninggal karena covid. Aku menjadi sangat cemas. Si Kiri hingar-bingar di kepalaku, ”Jangan-jangan kamu terkena covid?” Suara itu sangat kasar mencobai diriku. Setelah selesai opera, suatu kebiasaan kerja tangan di novisiat, tubuhku mendadak meriang dan akhirnya jatuh sakit hingga harus bed rest. Setelah jalan dua hari kondisi tidak kunjung membaik.
“Kalau terkena covid bisa mati kamu nanti!” berulang-ulang Si Kiri mengatakannya. Terbuktilah bahwa aku positif covid. Kiri menatapku ”Mengapa kamu harus terkena covid? Itu artinya kamu akan masuk dalam ketidakpastian. Siapa bisa tahu semuanya akan berakhir? Kau akan gagal mengerjakan apa yang telah kau bayangkan sebelumnya!”
Aku kembali memutar memori beberapa hari lalu. Temanku jatuh sakit entah karena apa, terbaring demam di kamarnya. Berita yang dengan gencar menyajikan kondisi pandemi ini, lalu-lalang dalam pikiranku. Data-data itu mengalir dan mulai membentuk mata rantai dalam kepalaku. Kiri tiba-tiba menyapaku ketika aku sedang diselimuti ketidakpastian “Kamu tenang aja, temanmu tidak akan terkena COVID, lagi pula tidak ada orang di sekitarmu yang positif.”
Bisikan Kanan berhembus kuat masuk ke telingaku “Kamu harus tetap hati-hati! Gunakanlah protokol kesehatan dengan baik. Siapa tahu dia positif dari orang yang positif tanpa gejala.” Aku berpikir bahwa jika aku harus menggunakan Pro-Kes berarti aku harus pakai masker. Kiri menepukku “Nah, kamu tidak usah pakai masker. Pakai masker itu sakit. Telingamu jadi merah karena terjepit. Pipi gatal-gatal, dan susah bernafas.” Betul juga itu, buat apa aku merepotkan diri. Aku pun memilih untuk tidak menggunakan masker dan beraktivitas seperti biasa, juga bergaul dengan mereka yang sakit.
Aku tertarik kembali pada realitas saat ini ketika mendengar suara masjid yang begitu mantap mengundang orang untuk berdoa. Rasa sesal menetes di hatiku karena sikap sembrono itu. Pikiranku terbuka, kadang kala ada saat dimana aku perlu untuk mau repot dan bahkan mau untuk rugi, untuk memperjuangkan suatu hal yang lebih besar. Aku ingat dengan patronku yang mau memilih salib, padahal dengan sangat mudah, Ia mampu menghindari itu. Ia memilih salib itu untuk sesuatu yang sungguh besar dan penting. Aku sadar bahwa memilih yang sulit seperti Dia tidak akan membawaku pada kehancuran. Andai aku menyadarinya lebih awal.

Dokumentasi : Arsip Novisiat Girisonta
…
Aku tidak pernah meminta sakit. Nyatanya sehat pun juga kudapatkan, tanpa merengek-rengek kepada Tuhan. Sambil merenung, Si Kanan mendekatiku, ”Jadi kalau kamu kena covid ya udah, nggak apa-apa. Banyak kok yang sembuh. Kamu masih muda, tenang aja. Pasti dirawat juga oleh formator. Tinggal isolasi doang.” Tepat katamu, aku bisa belajar untuk menjadi apa itu lepas bebas dan merdeka. Si Kiri bilang padaku, “Kamu tidak mungkin covid! Kamu itu kuat! Tidak perlu isolasi.” Benar juga, aku tidak mau dilihat lemah. “Lagi pula kalau kena covid kamu akan diasingkan dari komunitas. Teman-teman akan menjauhi kamu apalagi orang-orang yang paranoid dengan covid.” Aku jadi takut. Kanan menyentuh telingaku, sangat lembut katanya, “Kamu harus sadar bahwa ada banyak orang rentan di dekatmu. Kamu harus mau berkorban untuk isolasi dan terlihat lemah demi keselamatan yang lain. Isolasi itu tidak menakutkan. Ada yang akan selalu menemanimu. Perkataan itu membuatku mataku terbelalak. Hal itu menyentuhku hatiku beriringan dengan memori akan Yesus yang ingin aku ikuti. Aku jadi ingat bahwa hal itulah rahmat yang aku mohonkan, yaitu untuk menjadi sakit dan lemah seperti Dia dan mau berkorban demi kebaikan yang lain.
***
Aku mulai batuk-batuk tapi Kiri tak kunjung pergi ”Haduh…tapi kenapa kau harus menanggung semuanya ini? Bukankah lebih baik sehat daripada sakit?” Iya juga, kenapa harus sakit. Aku dibuat oleh covid ini jadi mual-mual, pusing, susah tidur dan bawaannya lemas. Nafsu makanku hilang karena tidak bisa merasakan apapun daripadanya.
Aku memandang pohon kelapa yang bergerak diterpa angin. Saat itu Kanan datang ”Tenang dulu lah. Kau ini terlalu cepat-cepat memutuskan: sakit itu buruk. Tengok dengan mata, dengar dengan lembut, kesetiaan banyak orang dari komunitasmu sendiri, yang merawatmu dengan tulus dan total.” Aku lihat, bahkan mereka yang merawatku ’tidak takut’ bertanya dari dekat tentang kondisi tubuhku setiap harinya. Ada yang murah hati memasakkan makanan. Ada yang mengurusi obat-obatanku. Tak kurang juga ialah mereka yang penuh perhatian mendengarkan sharing kegelisahanku. Sakit ya dilalah malah mengantarku sadar: aku butuh orang lain. Aku ternyata terhubung dengan banyak orang. Ya.. aku melihat Allah bekerja dalam banyak pribadi.
Pintu kamar diketuk. Aku menuju arah suara dan melihat makanan sudah ada di meja seolah menanti untuk dijamah. Aku duduk berhadapan dengan makan siangku seperti hari biasanya. Namun tetap ada yang berubah dari kondisiku. Kiri menggodaku ”Ayo, mengeluh-lah. Kau tak bisa menikmati makanan. Kau tidak bisa lama beraktivitas. Suramilah mukamu itu, sebab kau sakit. Kasihan, kasihan… mencium saja pun sudah tidak bisa.” Ya, aku menyesal dengan semua konsekuensi atas sakit covid ini. Banyak dari ’kepunyaanku’ direnggut.
”Berdoalah. Dengan jujur katakan semua kegelisahanmu. Dia mendengarkan, tetapi sekali lagi, kau mesti jujur. Bawa semua rasa-perasaanmu, apa adanya.” Kanan menanggapi. Selama itu, aku merasakan diajak lahir lagi bersama Yesus yang miskin dan dengan segala susah payah-Nya, berjaga bersama-Nya di padang gurung dan menerima ketaatan dari Bapa-Nya di Getzemani. Dengan kata lain, Tuhan ajak aku untuk untuk berjalan bersama-Nya persis di titik-titik yang paling tidak mengenakkan.
***

Dokumentasi : Arsip Novisiat Girisonta
Beberapa minggu aku terisolasi. Sekarang aku diajak kembali pada realitas formasiku. Aku mulai mengikuti segala macam rutinitas harian novisiat. Aku mampu menatap indahnya alam yang luas dan segala kesibukan yang ada di dalamnya. Aku bisa berjalan kemanapun dan saat aku melihat tempat itu, aku teringat kembali pengalaman beberapa minggu lalu.
Saat itu Kiri menghampiri bersama hembusan angin yang menerpa rambutku “Gimana hidup sendirian dan mengurung diri selama berhari-hari, tidak enak kan? Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak usah karantina. Kasihan kamu kesepian!” Karantina itu menyebalkan. Aku tidak bisa leluasa beraktivitas.
Kanan mendengarku. “Kamu tidak kesepian kok. Coba kamu lihat lagi. Pasti ada banyak orang di sekitarmu. Ada yang selalu mendampingimu dan hadir dalam hal sederhana.” Ujarnya.
“Apakah mungkin dalam masa isolasi aku tetap bisa merasakan kehadiran orang lain? Ya nggak mungkinlah, isolasi kok ada kebersamaan, kamu itu gimana sih!” Kiri datang menghentakku. Kanan menepuk bahuku dengan lembut “Lihat lagi dengan cermat siapa saja yang peduli denganmu.”
Aku berpikir dan meneliti sejenak pengalamanku. Aku menyadari sesuatu yang datang seperti cahaya dalam kegelapan. Aku sadar ada kebaikan dan perjuangan banyak orang demi diriku. Aku ingat bahwa Allah hadir dalam setiap unsur ciptaan-Nya, dan itu termasuk juga orang-orang yang disekitarku. Sakit ya… dilalah yang malah mengantarku sadar: aku butuh orang lain. Aku ternyata terhubung dengan banyak orang.
Kontributor : Beda Holy Septianno, nS.J. – Agustinus Andreas Faja Febrianto Manalu, nS.J. – Christoforus Kevin Hary Hanggara, nS.J.