“Klonteng… klonteng… klonteng…” bel berbunyi menandakan jam opera dimulai. Seorang novis bergegas menuju ke papan opera untuk melihat jadwal opera hari itu. “Yah… Aku opera sendiri, di gang lagi. Tiap hari aja opera gang. Gimana sih bidelnya?” Itulah secuil litani sambat (Jw. keluhan) yang keluar. Dengan berat hati, dia mengambil gagang pel, ember, dan sapu, menuju ke gang novisiat dan mulai membersihkannya. Tanpa diduga, siang harinya Pater Magister menemuinya dan berkata, “Wah, gang novisiat jadi kinclong nih. Makasih ya!” Seketika itu juga rasa nggrundel (Jw. menggerutu) yang ada dalam hatinya sebelum opera tadi menjadi hilang. Rasa itu berubah menjadi sukacita dan kesadaran, “Oh ternyata, operaku berguna bagi orang lain.”
Nah, contoh di atas adalah sebagian kecil dari kisah para novis yang ber-opera-ria. Apa sih opera itu? opera adalah kerja tangan untuk membersihkan atau merapikan ruangan atau bagian tertentu. Ada banyak bagian di rumah novisiat yang perlu dibersihkan.
RUMAH KITA BERSAMA (OUR COMMON HOME)
Apa itu rumah bagi Anda? Rumah adalah tempat tinggal kita, juga alam semesta. Banyak peristiwa terjadi di dalam rumah itu. Rumah kita bersama menjadi fokus Gereja akhir-akhir ini. Serikat Jesus melalui Universal Apostolic Preferences (UAP), juga menjadikan rumah kita sebagai salah satu fokus preferensi apostolis ini. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si mengungkapkan bahwa “Ibu bumi sedang menangis karena kerusakan yang kita buat melalui penggunaan tidak bertanggung jawab dan penyalahgunaan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Inilah mengapa planet bumi, yang kini semakin berbeban berat dan terabaikan, menjadi salah satu yang paling terabaikan dan teraniaya di antara orang miskin. Ia ‘merintih dalam keluh dan kesusahan’ (Roma 8:22).”
Kerusakan alam terjadi di sana-sini, kemunduran ekologis terjadi karena penggunaan yang tidak bertanggung jawab oleh manusia, seperti terjadi pembakaran hutan, alih fungsi lahan, dan perusakan lingkungan lainnya. Tindakan semena-mena dan tidak peduli itu berakar dari sikap mager (males gerak) atau bodo amat yang tercermin dalam tanggapan kita terhadap lingkungan di sekitar kita, seperti kebersihan kamar, keberadaan sampah yang berserakan, atau lantai yang kusam dan berdebu. Gaya hidup inilah yang mesti kita perbarui. Kita harus memulai dari hal-hal kecil di rumah kita masing-masing. Pemahaman itulah yang membawa kami untuk juga fokus terhadap rumah kami, rumah novisiat ini.
Sebelum berangkat ke novisiat, rumah kami adalah tempat tinggal kami masing-masing. Akan tetapi kini, rumah kami adalah di Novisiat Girisonta. Rasa-rasanya, ungkapan hic et nunc tepat menggambarkan kesadaran itu. Hic et nunc berarti di sini dan saat ini. Kesadaran itulah yang mendasari kami dan juga para novis, bahwa sekarang rumah kami adalah di novisiat ini. Kesadaran itu juga membawa kami kepada suatu pemaknaan bahwa rumah novisiat ini tidak hanya terdiri dari “aku” saja, tapi terdiri dari “kami”. Banyak pribadi hadir di rumah novisiat ini, maka pemaknaan kata “bersama” berangkat dari pluralitas atau keberagaman ini. Pun kami juga sadar bahwa perlu ada hubungan timbal-balik antara rumah yang kami tinggali dengan kami yang sekarang tinggal di rumah ini. Maka, kesadaran dan pemahaman akan rumah kita bersama ini membawa kami pada suatu antusiasme untuk mengenal, merawat, dan pada akhirnya membangun suatu ekosistem kehidupan yang saling menghidupkan di novisiat ini.
Pengenalan
Ada sebuah ungkapan yang sangat umum bagi kita semua, “tak kenal, maka tak sayang”. Begitu juga dengan rumah kita bersama, pengenalan itu sungguh dibutuhkan. Bagaimana kita mau merawat, memelihara, dan mencintai rumah kita, kalau kita belum mengenalnya?
Suatu rahmat yang patut disyukuri bahwa di novisiat, dalam masa pandemi, kami mendapat kesempatan untuk camping di dalam rumah. Sekalipun kegiatan ini sulit diadakan saat pandemi, kami berkesempatan mengalaminya di rumah kami bersama, novisiat. Adanya sawah dan lahan perkebunan yang cukup luas di novisiat menjadi tempat yang sangat cocok untuk camping. Camping ini diadakan dalam rangka mendalami UAP. Tepat memasuki poin ke-4 UAP di mana “merawat rumah kita bersama” itulah yang bergema dalam camping ini. Tinggal di sawah dan di kebun selama tiga hari dua malam sungguh menantang sekaligus menggembirakan. Makanan kami olah sendiri, dan begitu bahan makanan habis, apa yang tersedia di alam itulah yang kami makan. Daun pepaya, kangkung, tomat, bahkan juga ikan yang ada di kolam sawah, menjadi sasaran bahan makanan yang akan kami olah. Hal yang paling utama bukanlah nikmatnya masakan, melainkan kebersamaan untuk menikmati dan bersahabat dengan apa yang tersedia di alam.
Mengambil dan memakan apa yang tersedia di alam bukan berarti memperdayakan alam. Melalui kegiatan yang sederhana, mengambil dan memakan, kami memulai sebuah proses pengenalan. Membiasakan diri untuk akrab dengan alam, membuat kami semakin mengenal dan bersahabat dengan lingkungan sekitar. Kesadaran-kesadaran baru seperti, “O… ini tho sawah, O… ini tho kebun, O… ini tho tanaman-tanaman sawah yang bisa dimasak, O… ini tho rasanya tinggal di alam lepas..!” dan “O…” lainnya, membuat kami semakin menyadari bahwa alam dan lingkungan telah senantiasa memberi kehidupan bagi kami dan kami pun bergantung padanya. Dengan menyadari hal itu, apakah kami hanya bisa diam saja terus diberi kehidupan, tanpa juga mau memberi kehidupan bagi alam? Mungkin kalau tidak ada camping ini, kami para novis tidak akan mengenal apa saja yang ada di sawah dan di kebun, serta bagaimana rasanya tinggal di sana. Lebih parah lagi kalau kami sampai tidak mengenali sawah dan kebun luas di novisiat.
Suatu berkah pula bahwa magister kami, Pater Sunu, adalah Jesuit yang sungguh memberi perhatian khusus pada alam. Magister kami mempunyai perhatian khusus pada alam dan lingkungan sekitarnya. Sudah layak dan sepantasnya kalau para novisnya diajari untuk mempunyai perhatian dan minat pula dalam merawat dan mengolah tanaman serta lingkungan sekitar.
Dalam beberapa kesempatan, kami diajak oleh magister kami untuk mengolah tanaman dan media tanamnya. Kami diajak untuk berkeliling ke sawah, melihat berbagai tanaman yang ada di sana, buah-buahan dan sayur-sayuran, seperti pepaya, stroberi, kangkung, buncis, tomat dan lain sebagainya. Di samping itu, kami juga mempunyai green house yang menyimpan berbagai jenis sayuran. Setiap sore, pasti ada satu novis yang memanen sayuran di green house untuk dijadikan salad pada makan malam harinya. Kami pun dikenalkan dan diajari cara membuat dan mengolah pupuk. Pupuk kompos dan hoagland (larutan unsur-unsur anorganik yang dipakai sebagai nutrisi tanaman), itulah yang telah mengisi dan memberi makanan sebagian besar tanaman sayur dan buah baik di sawah, maupun di green house. Dalam pembuatan pupuk kompos, kami tak ragu untuk memegang kotoran ayam dan babi yang dicampurkan pada sampah daun yang sudah dicacah untuk dijadikan pupuk kompos. Kami tinggalkan keengganan kami pada sesuatu yang tidak mengenakkan (kotoran), yang nyatanya menghidupkan. Dengan bekal dan pengenalan semacam itu, sebagian besar novis ikut “tertular” untuk berinovasi dan berinisiatif menanam tanaman dan merawat lingkungan.
Pengenalan yang sama juga kami terapkan di dalam kompleks novisiat. Di dalamnya, kami mempunyai sebuah taman yang juga diisi oleh berbagai tanaman, seperti stroberi, tomat, cabai, mawar, jahe, anggrek, dan lain sebagainya. Melalui aneka kegiatan, kami menyadari ada banyak bagian di dalam rumah kami yang perlu dirawat. Bukan hanya taman, tetapi juga bagian lainnya seperti tritisan, selokan, langit-langit, lantai, tembok, jendela, jalan setapak, dan…. Oh ternyata, banyak juga yang perlu diopera, justru karena kami menyadari semuanya itu. Dengan begitu, pengenalan akan lingkungan itu penting. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, “tak kenal maka tak sayang”, kini bila “tak kenal, kita perlu kenalan”.
MEMULAI DAN MENGHIDUPI OPERA
Kesadaran dan pengenalan akan rumah kita bersama membawa kami menyadari pentingnya merawat rumah, yakni dengan opera dan dengan aneka macam peralatan. Merawat lantas menjadi kegiatan yang kami akrabi setiap harinya. Selalu ada waktu bagi kami untuk memperhatikan rumah novisiat. Ada keleluasaan di dalamnya karena dilakukan paling tidak selama 60 menit sehari pada saat opera atau pada hari tertentu ditambah 2 jam lagi melalui kegiatan manualia (kegiatan yang menerampilkan kerja tangan). Kami berusaha membangun antusias dalam menjalankan opera, dengan mengimajinasikan sekaligus melakukan bagaimana agar opera bisa selesai tepat waktu dan mengadakan keindahan di rumah kami. Dalam opera itu pula, ada hal khusus yang perlu segera kami tanggapi, namanya Task Force (tugas khusus), seperti rumput kebun yang sudah tinggi, parit yang sudah penuh dedaunan, maupun merapikan inventaris peralatan makan. Siapa pun punya hak, sekaligus berkewajiban memperhatikan rumah, dengan ikut serta menuliskan hal yang perlu segera di-Task Force dan menjalankannya.
Opera menjadi sesuatu yang dekat karena terbiasa dilakukan dan dihidupi sebagai budaya. Seperti keutamaan, opera juga punya tantangan yang lebih sulit. Menyapu dan mengepel dalam satu kali opera tentu biasa, tapi hal itu bisa menjengkelkan kalau ter-pacak (dijadwalkan) seperti itu tiga hingga empat kali seminggu. Rasanya ingin juga “melabrak” bidelnya (orang yang bertanggung jawab dalam pemacakan opera). Kami dihadapkan pada kejenuhan, sekaligus pada ruang untuk menumbuhkan ketaatan pada pacakan dan kesetiaan merawat rumah dengan berbagai macam caranya. Tidak hanya di situ, kegiatan membuat atau mengadakan sesuatu yang baru seperti menanam stroberi, cabe, jahe dan anggrek, menuntut juga kesediaan dan konsistensi untuk merawat. Terkadang yang menanam satu orang, tetapi yang merawat semua orang. Konsekuensi inilah yang perlu diterima dengan jiwa besar, bila kita hidup bersama. Kami memang tidak secara langsung bersentuhan dengan tumbuhan itu. Namun kami menikmati pula manfaat keberadaannya, misalnya sebagai sambal organik di meja makan kami, keindahan lingkungan rumah, atau secara lebih indah lagi udara yang kita hirup dari padanya.
Opera bisa dimulai dari diri sendiri. Perhatian bisa dibangun dari apa yang ada dihadapan kita seperti meja kita, lemari kita, dan kamar kita. Hanya dengan pembiasaan itu tangan kita akan terampil dalam opera. Intuisi untuk memperhatikan rumah kemudian akan tumbuh dengan pembiasaan ini. Kita dapat dengan mudah menghidupi sense of belonging (rasa memiliki) secara aktual bukan hanya akan rumah, namun juga anugerah-anugerah lain yang kita miliki dan terima.
Kontributor : Stefanus Dominico F.T., nS.J. – Agustinus Satria Bagus D.S., nS.J. – Iridious Yuhan F.A.P., nS.J.