“Salah satu pokok yang paling penting bagi keberadaan Serikat bukan ada di rumah profes tetapi berada di jalan” Kata-kata Nadal tersebut bergema ketika kami membayangkan betapa Serikat tersebar secara global. Lima ratus tahun sesudahnya, kami yang memulai masa novisiat di Indonesia terpukau dengan Serikat Global lewat kegiatan-kegiatan yang kami ikuti secara live streaming. Mata, telinga, dan rasa kami diajak mengelilingi dunia, ketika kami melihat video Pater yang berkarya di JRS Afrika, sampai dengan doa yang dipimpin dengan bahasa Korea. Tidak hanya kegiatan menonton saja, akhirnya kami berpartisipasi dalam JCAP Novices Gathering (JNG) yang diadakan secara daring. Kami akan berbagi kisah dan perjalanan kami mencicipi universalitas Serikat.
Merayakan “Kekalahan” Pendiri Kita
Satu minggu sebelum pembukaan tahun Ignatian pada bulan Mei 2021, kami fratres primi dan secundi diajak untuk membaca Autobiografi “Wasiat dan Petuah St. Ignatius Loyola”. Salah satu titik sentralnya adalah kekalahan Ignatius di Pamplona yang mengubah impian dan rencananya. Kemudian kami melakukan sharing tentang apa yang menjadi cannonball-moment dalam sejarah hidup kami. Dinamika ini dilengkapi dengan partisipasi secara live streaming acara pembukaan tahun Ignatian. Ada dua pesan Paus Fransiskus yang sangat mendalam: conversion is making Christ to be centered in our life and it is involved up and down, dan conversion is dialogue with God, ourselves, and others.
Bertitik tolak dari pesan Paus Fransiskus tersebut, dapat dirasakan bagaimana dinamika St. Ignatius yang pada awalnya memiliki ambisi untuk menyaingi St. Dominikus dan St. Fransiskus setelah membaca Flos Sanctorum, atau bagaimana ketika ia berjuang mati-matian untuk bisa berkarya di Yerusalem. Namun dari waktu ke waktu, ada pemurnian yang semakin mendalam. Ambisi dari St. Ignatius ini bisa merembet pada sebuah pertanyaan sebagai seorang novis: “Apakah mungkin seorang novis Jesuit mempunyai fiksasi akan masa depannya di Serikat?’ Cara unik pertobatan St. Ignatius melibatkan suatu petualangan, yang dia sendiri tidak tahu. Seorang yang berambisi untuk mengabdi Tuhan di Yerusalem pada akhir hidupnya harus terpaku pada satu meja dengan melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di seluruh dunia. Inspirasi dari St. Ignatius ini seakan-akan memantik kesadaran bahwa berserah pada kehendak Allah dalam proses formasi adalah sebuah keharusan. Kami tidak tahu akan menjadi apa dan bagaimana proses pengabdian yang terbaik kepada Allah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berproses dengan penuh keterbukaan hati itu tidak selalu mudah. Akan tetapi ingatan akan kehangatan pertobatan menjadi sebuah kunci. Selalu ada kehangatan, cinta, pengampunan, dan pengampunan Tuhan atas kekelaman hidup sebelumnya. Inilah energi untuk terus mau berjuang dalam formasi.
Pesan sederhana Paus Fransiskus tersebut akhirnya membuat kami terus terbangun dari mimpi dan impian yang kurang tepat serta memunculkan kembali memori tentang dialog pertobatan. Terkadang, kami lebih suka merayakan kemenangan, tetapi perayaan kekalahan St. Ignatius memberi kami pelajaran tentang pertobatan.
Merasakan Kesatuan di Tengah Kesendirian
Pada suatu sore Pater Magister mengajak kami untuk mengikuti doa bersama bagi Myanmar dan India yang diadakan bersama oleh JCAP (Jesuit Conference of Asia Pasific) dan JCSA (Jesuit Conference of South Asia). Pada saat itu, kudeta militer di Myanmar baru saja terjadi, sedangkan di India, virus Covid-19 sedang merajalela. Doa diadakan secara live melalui Zoom dan kami mengikutinya di Kapel Stanis menggunakan proyektor. Di lain kesempatan, kami juga mengikuti acara vigili St. Ignasius pada tanggal 30 Juli 2021.
Melalui kedua acara tersebut, kami diperkenalkan pada Serikat yang lebih luas dan global. Kami merasa berada dalam satu jaringan yang sama dengan mereka karena kami mengerti apa yang terjadi di negara-negara tersebut, apa yang menjadi ciri khas dari mereka dan karya Serikat macam apa yang ada disana.
Doa bagi Myanmar dan India mengajak kami untuk menjadi pribadi yang memiliki empati, terutama bagi mereka yang tersingkir dan sedang dalam kesulitan besar. Saat mengikuti acara tersebut, kami ikut merasa sedih dengan kondisi yang terjadi di dua negara tersebut. Sempat ada perasaan useless karena tidak bisa melakukan apa-apa, tetapi kami juga sadar bahwa memang tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa bagi kedua negara tersebut. Dalam acara doa vigili St. Ignatius, kesatuan hati dan budi sungguh kami rasakan. Bahkan beberapa dari kami sampai bergumam bahwa “ternyata, saya menjadi bagian konferensi ini”.
Rasa menjadi bagian dalam Serikat yang lebih luas menjadi sebuah penghiburan penting bagi beberapa di antara kami. Secara tidak terduga, dalam kurun waktu sebelumnya, beberapa dari kami juga terjangkit virus Covid 19 dan harus menjalani karantina. Rasa kesepian akut sempat menghinggapi kami siang dan malam selama karantina. Apalagi saat itu, walau sudah kembali ke komunitas besar, kami belum bisa sepenuhnya beraktivitas secara normal. Kadang muncul rasa takut menularkan virus ini kepada teman-teman lainnya.
Melalui doa vigili ini, kami merasakan kebersamaan sebagai satu konferensi. Kami bersyukur bahwa kami berada dalam sebuah konferensi yang amat beragam. Kebersamaan dalam doa tersebut menyadarkan bahwa kami tidak pernah sendirian dalam Serikat. Kami akan selalu bekerja bersama Serikat universal dimanapun kami berada, bahkan ketika kami bekerja sendirian.
Bagi kami inilah makna universalitas Serikat. Kami yakin bahwa kami akan terus berada dalam jaringan Serikat Jesus dimanapun kami berada, karena kita sudah dipersatukan oleh bahasa yang sama, yakni Latihan Rohani, Konstitusi dan Autobiografi.
Mengalami Kebersamaan Novis Lintas Negara
Pada tanggal 6 sampai 8 Oktober 2021, kami mengikuti acara Jesuit Novices Gathering (JNG) yang dikemas secara virtual. Sebelumnya, para novis di setiap provinsi diminta untuk menyiapkan gambaran situasi riil novisiat lewat pembuatan presentasi atau video kreatif. Kami memulai persiapan JNG lewat pembuatan video perkenalan novisiat dan acara English Week. Menariknya, para patres Domus Patrum (DP) turut terlibat dan mendukung sepenuhnya program ini. Beberapa dari kami terlihat berjuang keras memaksa diri berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Seiring dengan berjalannya waktu, persiapan kami mengikuti JNG menjadi matang. Kami membuat video yang berisi empat tema berbeda: konteks, program, struktur, dan proses novisiat di Indonesia. Ada yang mengemas dalam bentuk mini talk show, one minute homily, dan presentasi.
Ketika pelaksanaan JNG, ada momen menarik. Saat itu ada seorang novis dari luar Indonesia yang bertanya kepada kami “What is your *blank*”. Kami kebingungan karena tidak bisa menangkap kata-kata yang diucapkan. Kami saling melihat satu sama lain. Kami menduga dan tidak berhasil menebaknya. Akhirnya Pater Magister novis tersebut berteriak di mic “ your happy moment!”. Satu ruangan serentak berbicara “Oh!” lalu, Pater Chris Dumadag tertawa sambil mengetik di kolom chat “I love this meeting”. Ketika merefleksikannya, kami menjadi sadar bahwa mempelajari bahasa, khususnya Bahasa Inggris adalah sebuah keharusan untuk dapat berinteraksi dan bekerjasama secara lebih universal.
Selain bahasa, kami terkesan dengan presentasi dari teman-teman novis Myanmar. Mereka membagikan pengalaman mereka yang tetap melayani sesama yang lebih menderita di tengah konflik yang terjadi. Mereka melayani komunitas difabel dan tetap mengajar anak-anak dalam situasi yang sulit. Kondisi ini berbeda dengan kami yang berada dalam situasi lockdown karena kami harus ikut menjaga banyak nostri sepuh di Girisonta. Semangat melayani yang dilakukan para novis di Myanmar juga menginspirasi kami untuk tetap gembira melayani sesama kami juga.
Dari Zoom Mengalami Universalitas
Kami bersyukur mengalami berbagai perjumpaan dan merefleksikan universalitas keberagaman. Bagi kami, universalitas bukan sebagai kendala tetapi sebagai sebuah kesempatan untuk menjalin kerja sama dan keterbukaan di masa mendatang. Kami bangga bahwa banyak Jesuit Provindo yang berkarya di luar Indonesia dan berkontribusi untuk mengembangkan Missio Dei.
Tepatlah bagi kami pembicaraan para Primi Patres pada tahun 1539 “Kita tidak boleh merusak yang telah dipersatukan dan dikumpulkan oleh Tuhan, tetapi makin hari kita harus membuatnya semakin kuat dan semakin mantap.” Lima ratus tahun sesudahnya, lewat zoom kami merasakan bahwa kesatuan hati dan budi merupakan jalan Serikat yang kami hidupi.
Kontributor : A. Michael Tjahjadi,nS.J. – Feliks Erasmus A., n.S.J. – A. Noven Pratama, nS.J.