capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Mengenang Rm. Dewanto, SJ dan Rm. Albrecht, SJ

Date

Dengan mereka ini, Rm Tarcisius Dewanto, S.J. dan Rm Karl Albrecht Karim Arbie, S.J., saya memiliki kenangan yang sangat mendalam. Bulan September 1999–2019, itu berarti dua puluh tahun yang lalu. Namun bagi saya, kenangan itu selalu hadir hingga kini. Sejak tahun 1999, bulan Agustus dan September selalu memberikan makna istimewa bagi saya. Dalam dua bulan tersebut, Timor Timur melaksanakan jajak pendapat atau referendum. Dan dalam rentang dua bulan tersebut, dua saudara kita, bersama dua suster Kanosian, dua imam diosesan yang saya kenal sangat baik, dan banyak rakyat Timor Timur lainnya tewas terbunuh. Namun demikian, dengan referendum tersebut, akhirnya Timor Timur menjadi negara merdeka.
Saya ditugaskan di Timor Timur sejak minggu pertama Desember 1995 hingga Juli 2004. Tugas pertama saya adalah menjadi Kepala Sekolah SMA Kolese St. Joseph dan kemudian, saya menjadi Superior Nostrorum in Diaspora Timor Timur. Para Jesuit di Timor Timur saat itu berkarya di SMA Kolese St. Joseph, Seminari Bunda Maria Fatima di Balide, Pusat Pelatihan Pertanian dan Rumah Retret di Dare, dan juga karya-karya pastoral lainnya.

Romo Tarcisius Dewanto SJ
Pertengahan Agustus 1999 atau sekitar tiga minggu setelah tahbisannya, saya meminta Rm Dewanto untuk belajar bahasa Tetun selama tiga bulan. Tetun (Terik dan Praca) merupakan salah satu bahasa lokal orang Timor Timur. Uskup Felipe Carlos Belo, SDB waktu itu meminta saya untuk mengirim Rm Dewanto ke Suai, sebuah daerah yang cukup terpencil, berjarak sekitar 100 km dari Dili, dan dekat dengan perbatasan Indonesia. Beliau mengatakan bahwa orang Suai sehari-hari menggunakan bahasa Tetun Terik. Di sana ada sebuah paroki yang digembalakan oleh dua imam diosesan, Rm Hilario dan Rm Francesco Soares, dan dibantu oleh dua suster Kanosian. Waktu itu suasana keamanan dan politik sedang tidak menentu tetapi Mgr. Belo meyakinkan saya bahwa kondisi tetap aman, apalagi bagi para imam Katolik. Katanya, “ Hingga sekarang imam-imam kami tetap aman!” Akhirnya antara tanggal 17-20 Agustus Rm Dewanto dijemput oleh Rm Hilario …
Dalam salah satu pertemuan Komunitas pada bulan Agustus 1999, saya mengumumkan penugasan baru Rm Dewanto, yaitu belajar bahasa Tetun di Suai. Komunitas memutuskan untuk tetap tinggal di Timor Timur bersama umat dan rakyat Timor Timur, apapun yang terjadi. Waktu itu Rm Albrecht ditugasi oleh Pater Provinsial menjadi Direktur JRS Timor Timur.
Pada 30 Agustus 1999 dilaksanakanlah referendum di bawah pengawasan PBB. Pada 4 September 1999 hasil referendum diumumkan. Sebanyak 78.5 % rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia. Sesaat kemudian kerusuhan pecah hampir di seluruh wilayah Timor Timur dan mereda saat Pasukan Keamanan PBB di bawah Australia datang pada akhir Oktober 1999.
Pagi hari, 8 September 1999 setelah misa, Sr. Rosa, Fd.C.C. datang dan memberi kabar bahwa kediaman Uskup diserang dan dibakar. Uskup diselamatkan dan dibawa ke Baucau tetapi akhirnya kami tahu bahwa ia dievakuasi ke Australia, Portugal, dan Roma. Dia meminta untuk menyelamatkan diri kita masing-masing. Para Jesuit di seminari (PP Dibyawiyata, Rutten, dan Maryono) bersama para suster Fransiskan menyuruh para seminaris untuk mengungsi ke Timor Barat Indonesia. Lalu PP Felguieras, Martins, dan Filomeno Jacob pergi ke Dare untuk tinggal bersama para pengungsi di Seminari Menengah Dare. Rm Tan tinggal di Puslawita Dare bersama para pengungsi asing dan juga pengungsi lokal. Rm Ratu Dapo dan Frater Bagus Laksana tetap tinggal dan melayani para pengungsi di Sekolah dan Seminari. Rm. Albrecht dan saya tinggal di Pastoran Taibesi, Dili, sambil tetap melayani para pengungsi di rumah itu. Sore sekitar pukul lima atau enam, saya mendapat telepon dari Rm. Peter Hoskin, seorang Jesuit Australia yang bekerja menangani trauma psikologis dengan PBB. Dia bertanya keberadaan Rm. Dewanto. Ia, berdasar informasi yang kuat, mencoba memberi tahu saya bahwa pada 6 September 1999, Gereja Suai diserang oleh para milisi dan ketiga pastor bersama sejumlah pengungsi tewas terbunuh. Salah satu pastor yang dibunuh adalah Rm Dewanto. Lalu saya memberikan telfon itu kepada Rm Albrecht yang saat itu bersama saya. Ia mencoba menguatkan saya, katanya, “Rm Dewanto menyerahkan nyawanya demi melindungi umatnya di Suai. Para pembunuhnya telah menegaskan kepada kita atas karya kita bagi orang Timor Timur. Sekarang setidaknya kita telah memiliki seorang perantara di hadapan Tuhan.” Pagi harinya, saya berkeliling untuk memberi tahu rekan-rekan Jesuit lainnya mengenai kabar duka itu.
Pada November 1999, dengan bantuan Komnas HAM, Kontras (yang didirikan dan dipimpin oleh Munir), PMI, Uskup Atambua, dan tim dari JRS Indonesia (waktu itu Fr. Andre Sugijopranoto, Fr. Edi Mulyono, dll.), akhirnya ditemukanlah lokasi makam para korban kerusuhan Suai, yaitu di Malaka Bai, Atambua. Di sana ditemukan tulang-belulang Rm Dewanto, Rm Hilario, Rm Francisco Soares, dan lebih dari 25 rakyat sipil Suai. Sehari setelahnya, kami membawa beberapa jenazah ke Dili, sementara yang lainnya ke Suai. Jenazah Rm Dewanto dimakamkan di kompleks Pastoran Jesuit di Taibesi, bersebelahan dengan pusara Rm Albrecht.

Romo Karl Albrecht Karim Arbie, S.J.
Rm Albrecht dikirim ke Timor Timur sekitar 1989. Di sana ia ditunjuk sebagai Superior Nostrorum in Diaspora Timor Timur dan menjadi Rektor Seminari Menengah Bunda Maria Fatima, Dili. Dia memindahkan dan membangun Seminari itu dari Lahane ke Balide sehingga dekat dengan SMA Kolese St. Yoseph. Pada Januari 1996, ia mengambil cuti dan pulang ke Jerman. Lalu Pater Provinsial menugaskan saya untuk menggantikannya sebagai Superior dan Rm Dibyawiyata menggantikannya sebagai Rektor Seminari.
Sekitar Agustus-September 1995, sekembalinya dari Jerman, Rm Albrecht mendirikan CU di Timor Timur. CU merupakan bagian baru dari karya kerasulan sosial di Timor Timur. Selama tiga tahun ia berkeliling di wilayah Timor Timur untuk mengenalkan karyanya tersebut sekaligus memberi pendidikan finansial kepada rakyat Timor Timur. Ia memiliki motto, “orang per orang,” yang berarti bahwa setiap orang hendaknya bekerja sama dan saling membantu. Dengan membantu orang lain, berarti ia juga membantu dirinya sendiri.
Pagi hari, sekitar akhir bulan November 1998, saya memberi tahu bahwa ada pengungsi lokal di sekitar Liquica dan tempat-tempat lainnya. Ia pun berangkat untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Sore harinya, ia meminta saya untuk membuat program baru yang bertujuan membantu para imam dan umat agar bisa melayani dan membela orang-orang yang menderita. Maka saya mencoba mengontak Pater Provinsial agar menugaskan Rm Albrecht menjadi Direktur JRS Indonesia. Ia mengubah semua karya sosialnya dan memfokuskan diri untuk membantu dan membela para pengungsi atau orang-orang terbuang di sana. Kebanyakan dari mereka ini adalah korban kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat. Bulan Januari 1999 pemerintah Indonesia setuju untuk mengadakan jajak pendapat di bawah pengawasan PBB. Pada waktu itu, keadaan menjadi sangat mencekam.
Beberapa suster dan juga orang awam mulai bergabung untuk membantu karya baru Rm Albrecht. Akhirnya bisa terbentuk tim yang sungguh bagus dan solid. Pemerintah dan pihak keuskupan akhirnya mengetahui keberadaan karya ini. Keuskupan sepenuhnya mendukung dan sebaliknya, pemerintah terkesan mengawasi gerak-gerik kegiatan karya ini.
Rm Albrecht semakin mengintensifkan pelayanannya. Pada 6 September 1999 seharusnya ia merayakan pesta emasnya (50 tahun) sebagai Jesuit. Tetapi itu tidak pernah terjadi! Malam hari tanggal 6 September 1999, sekitar pukul 21.30, kami mendengar kegaduhan di sekitar kompleks pastoran. Tiba-tiba terdengar tembakan keras. Saya mencoba keluar dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Keadaan gelap dan listrik padam. Rupanya ada perusuh merangsek ke kompleks pastoran. Waktu itu Rm Albrecht terbangun lalu keluar membawa senter dan obor. Saya mencoba mencegahnya untuk tidak keluar rumah tetapi rupanya sia-sia. Dia nekat keluar dan berhenti di depan garasi yang terbuka. Dia mengarahkan senternya kepada penyusup-penyusup itu. Ia berteriak dalam bahasa Indonesia, “Siapa kalian dan mau apa?” Dua kali ia berteriak dan disahut, “Matikan lampunya!” Tiba-tiba terdengar dua kali tembakan. Satu tembakan mengenai tubuhnya dan ia roboh. Tak sadarkan diri namun masih bernapas. Saya mendekatinya lalu meletakkan kepalanya di kaki saya … dan memberinya absolusi. Menggunakan mobil pastoran dan dibantu tiga orang, saya membawanya ke klinik militer di Dili. Tetapi ia meninggal ketika masih dalam perjalanan.
Esok harinya, saya mengirim beberapa orang untuk mengabarkan kepada para Jesuit bahwa Rm Albrecht tewas ditembak. Sore harinya, kami memakamkan Rm Albrecht di kompleks Pastoran Taibesi, Dili. Dan dua bulan selanjutnya, jenazah Rm Dewanto juga dimakamkan di tempat yang sama, persis di sebelah pusara Rm Albrecht.

Ambillah dan terimalah, ya Bapa …

J. Ageng Marwata, SJ

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *