Papua. Awalnya tidak terbayang tentang Papua. Dan, sebagai seorang bruder Serikat Jesus, saya tidak ingin mengidolakan sesuatu, termasuk tempat perutusan. Semuanya mengalir saja dan saya hanya mengikuti apa yang dibutuhkan Serikat. Dari diri saya, dengan keterbatasan dan keyakinannya, berusaha memasukkan diri dalam rangka gerak Serikat mau ke mana. Ini adalah sebuah ketaatan dan semangat ini merupakan sebuah transformasi.

Dalam keluarga, kami diajarkan untuk tidak terpaku pada satu hal saja. Bagi kami, hidup adalah hidup, mengalir begitu saja sesuai kehendak orangtua. Sejak kecil, saya sudah diajarkan tentang bekerja. Bahkan, hampir tidak ada waktu untuk bermain seperti teman-teman saya waktu kecil. Contoh kecil: sebelum sekolah, teman-teman menghampiri, mengajak ke sekolah bareng, Jika tidak selesai pekerjaannya, saya belum boleh berangkat ke sekolah. Maka, dalam diri saya muncul rasa takut untuk merencanakan atau mengidolakan sesuatu. Saya takut apa yang saya idolakan malah tidak tercapai, maka saya taat saja dan menyelesaikan yang diminta. Itu saja. Simpel.
Selain ketaatan, ada pula kepercayaan, yaitu dari Pater Provinsial, Superior, dan teman-teman seperutusan. Itu sangat membuat tenang. Saya mendapat kepercayaan untuk berbuat sesuatu di Papua. Ketika diutus Provinsial ke Waghete, saya senang saja karena saya pikir itu di Jawa. Namun, setelah paham, saya kaget dan bingung. Kok Papua? Apa yang saya bisa lakukan di Papua? Di sinilah saya mendapat jawaban kalau saya dipercaya untuk berkarya di Papua.
Awal di Papua memang membuat shock. Pergi ke Papua dengan pesawat kecil, hanya bertiga di dalam pesawat dengan barang seadanya. Perjalanan benar-benar menegangkan. Tiba di Papua, juga semakin tegang, karena melihat umatnya… kok seperti ini? Mereka berpakaian compang-camping, sanitasi buruk sekali, cuaca juga dingin. Namun, yang menguatkan saya adalah mereka itu orang-orang sederhana yang tidak tahu kesehatan, tapi bisa hidup. Juga, mereka adalah orang-orang yang akan terus hidup di tempat seperti ini. Semuanya berbeda dengan saya yang bisa hidup teratur dan kapan saja, suatu saat, bisa pindah. Maka, muncul semangat dalam diri saya. Saya harus bisa melakukan sesuatu. Dengan bekal S1 Bimbingan Konseling, saya melakukan berbagai hal hingga saat ini di Papua. Itu membesarkan hati saya bahwa saya harus bisa hidup di tempat ini. Akhirnya saya menikmati berada di Waghete dan tidak terasa di sana selama 9 tahun.

Setelah itu, saya melanjutkan berkarya di Nabire. Sebelum pindah, saya diminta untuk mengurus beberapa hal terlebih dahulu, yaitu rumah susteran karena mereka akan melanjutkan karya pendidikan TK yang sudah saya mulai. Bapak Uskup sangat menginginkan karya TK itu tetap berjalan sehingga beliau meminta suster-suster PMM untuk melanjutkan karya yang sudah saya mulai. Maka dari itu, saya diminta menyiapkan tempat tinggal untuk mereka. Kemudian, saya juga diminta menyiapkan pastoran di stasi pemekaran dari paroki waghete dan harus sudah selesai sebelum saya pindah.
Rutinitas di Papua
Selama di Waghete, saya bangun jam 05.30. Itu pun sudah termasuk pagi. Setelah bangun tidur, biasanya saya langsung bekerja, mencangkul untuk mencari keringat. Biasanya, sebelum bekerja, saya memukul-mukul cangkul sehingga keluar bunyi teng-teng-teng. Karena kebiasaan itulah kemudian umat tahu bahwa jika ada suara itu, berarti sudah pagi. Saya bekerja di ladang biasanya hingga jam 09.00 kemudian saya mandi dan sarapan. Di Waghete dingin sekali dan pagi hari bisa sampai 8°C.
Sewaktu di Waghete, di pedalaman, memang saya bergabung menjadi tim pastoral paroki. Namanya tim pastoran, jadi seolah-olah harus bisa menjawab kebutuhan yang mestinya dikerjakan paroki. Di situ ada seksi pendidikan, rumah tangga, kesehatan, pemberdayaan umat. Nah, karena situasi miskin dan tertinggal, maka saya membayangkan, kalau saya tidak memulai, bagaimana saya bisa makan, bisa mendapatkan obat, lalu bisa mempraktikkan kesejahteraan ibu dan anak-anak TK. Jadi praktis saya harus bisa memulai,supaya kalau saya memulai, pasti umat akan tahu, bahwa Bruder saja mengerjakan. Jadi di sini sisi keteladanan sangat penting. Di sini sebagai seksi paroki tugasnya tidak hanya menunjuk, melainkan juga harus ada gerak sendiri.
Falsafah hidup orang Papua adalah do, gai, ekowai. Do itu artinya melihat. Jadi sebagai orang baru, apa yang saya lakukan selalu diperhatikan. Apalagi bisa muncul pertanyaan dari masyarakat, Bruder itu buat apa? Mereka melihat apa yang saya kerjakan. Kemudian gai yang artinya berpikir. Setelah melihat, umat kemudian berpikir, “Ooo, ternyata Bruder ada di sini.” Dan, terlihat jelas apa yang diperbuat sehingga mereka berpikir dan muncul keinginan untuk berbuat demikian. Bruder ternyata datang ke Papua dengan tulus, tanpa pamrih, bukan untuk merampas kekayaan Papua. Yang terakhir adalah ekowai yang artinya bekerja. Setelah melihat, berpikir kemudian melakukan kerja. Jadi di sini bisa dikatakan orang Papua bisa memahami dan bisa meneladani apa yang baik dari yang saya kerjakan.
Contohnya adalah seperti dulu ketika saya membuat TK di sana. Awalnya saya hanya mendirikan Sekolah Minggu untuk anak-anak. Mereka melihat apa yang saya lakukan bermanfaat baik. Anak-anak tidak keliaran di mana-mana melainkan terkumpul dan bisa terpantau oleh orangtua juga. Mereka juga menjadi paham dengan kebersihan, karena belajar sikat gigi, mau membersihkan area vital untuk kesehatan, dan juga menjadi tempat untuk belajar bahasa Indonesia. Apa yang mereka lihat ternyata berguna bagi mereka hingga akhirnya dari mereka sendiri mau menjadi guru untuk anak-anak ini. Kegiatan di TK juga tidak hanya untuk anak-anak, melainkan juga untuk orangtuanya, yaitu pembinaan membuat makanan bergizi, bagaimana merapikan rumah dan menjadikannya sebagai rumah sehat huni.

Di SMA Adi Luhur, Nabire, anak-anak sudah ingin mengembangkan diri, yaitu orang-orang yang mau meningkatkan kemampuan dirinya. Mereka orang-orang yang mau meningkatkan cara belajar dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Lalu yang dibuat di Nabire adalah meningkatkan yang belum sempat dilakukan di pedalaman, yaitu bagaimana mereka menjaga kebersihan. Tidak hanya membuat tempat menjadi bersih namun mau merawat dan menjaganya. Praktik yang harus dilakukan di asraPraktik yang harus dilakukan di asrama misalnya anak ini mandi atau tidak, kalau mandi pakai sabun atau tidak, menyikat gigi apakah sudah menggunakan odol atau belum. Jadi yang saya lakukan di sana memang konkret sekali.
Begitu juga dengan cara belajar. Ternyata anak-anak pedalaman yang sudah SMA juga belum pandai membaca, belum lancar menulis dan menghitung. Bagi mereka yang tidak sadar diri, tidak mau belajar mengembangkan, mereka akan frustasi. Maka, saya sendiri mengajak untuk menyeimbangkan agar mereka tidak stress dengan pelajaran misalnya mengajak mereka ngarit, memberi makan sapi dan babi. Jadi mereka, kalau tidak sungguh-sungguh mau, mereka akan frustasi. Ini terjadi terutama untuk anak-anak yang belum mandiri. Maka, di asrama yang penting adalah bagaimana kita membina anak-anak, yaitu bagaimana mereka bisa jujur dan tidak menipu ketika ada kesalahan.
Harapan untuk Papua
Apakah saya melihat mereka punya harapan atau tidak? Saya mendidik mereka seperti ini dan ke depannya saya membayangkan mereka menjadi orang dengan pendidikan karakter sesuai dengan yang saya berikan.
Memang ada anak yang langsung mengerti apa yang saya ajarkan. Namun juga ada anak yang tahunya kemudian. Contohnya saja, ada anak yang baru saja selesai kuliah di Jogja trus kembali ke Papua dan kemudian ingin berwirausaha dengan mengembangbiakan babi. Ada juga anak yang paham maksud dari pendidikan yang saya berikan, yaitu bagaimana mereka mengatur hidup mereka menjadi lebih baik misalnya bagaimana bergaul dengan orang lain secara sopan, antara lain dengan rajin mandi dan sikat gigi. Juga bagaimana mereka paham untuk berjerih payah, bahwa untuk bisa makan enak berarti harus berani merawat babi dan sapi. Mereka mendapatkan inspirasi bahwa untuk bisa sukses, berarti perlu kerja keras dan perencanaan yang baik.
Harapan lainnya adalah banyak anak Adi Luhur yang diterima menjadi PNS. Artinya, pemerintah percaya bahwa lulusan Adi Luhur adalah orang-orang yang memang pantas untuk mengembangkan Papua. Mengapa demikian? Karena saya percaya lulusan Adi Luhur itu lulusan yang ditanamkan semangat Ignatian yaitu magis, yang mau berbuat sesuatu yang lebih, yaitu berani melakukan sesuatu lebih baik dari hari ini. Selain itu, anak-anak yang dari Adi Luhur lebih dipercaya ketika ada acara gabungan dengan sekolah lain. Misalkan seperti rapat atau kepanitiaan tertentu. Pasti anak-anak Adi Luhur akan mendapat posisi penting dan yang dari sekolah lain hanya menjadi pelengkap saja.
Cinta Papua
Orang yang sungguh-sungguh bilang cinta Papua adalah orang-orang yang sungguh-sungguh pernah hidup dengan orang-orang Papua, bukan orang yang ada di seberang sana. Mencintai Papua berarti mencintai juga alamnya, yang luas dan perlu diberi perhatian lebih. Karena alam yang indah ini jika tidak diberi perhatian hanya akan menjadi rumput saja. Maka orang yang mencintai Papua berarti orang itu mau bekerja keras di Papua dan memberikan teladan yang baik kepada orang-orang Papua. Juga, orang yang mencintai Papua adalah orang yang setiap berbicara selalu diterima mereka. Kuncinya adalah bersikap tidak mencela, tidak merendahkan. Jadi bagaimana kita bersikap optimis dengan mereka dan tidak merendahkan atau membodohi mereka.
Mencintai juga tidak hanya menyuruh mereka atau hanya dalam berkata-kata, melainkan bagaimana kita mengembangkan mereka untuk tidak pesimis dengan hidup ini. Kita harus berani turun kepada mereka dan menunjukkan secara konkret dalam bentuk tindakan. Cinta terwujud ketika saya merasa bangga melihat alumni yang mau terlibat dan mau memperhatikan adik-adiknya di Adi Luhur.
Panggilan Raja dan Simon dari Kirene
Konteks Panggilan Raja memang tampak sekali terlihat dalam berkarya di Papua karena di sana, saya dituntut untuk berjerih payah dan fisik juga harus prima, walau saya jauh dari dokter. Prinsipnya adalah saya memiliki semangat kalau saya mampu, yaitu saya mampu hidup bersama mereka, tidak jijik dengan mereka dan berani masuk ke dalam hidup mereka. Panggilan Raja sangat dibutuhkan di sana untuk bisa maju dan mau hidup seperjalanan dengan orang-orang Papua.
Saya juga punya keyakinan bahwa selagi kebutuhan pokok orang-orang Papua belum terpenuhi, maka kreativitas mereka sendiri akan sulit teraktualisasi. Sebelum lima kebutuhan pokok mereka belum terpenuhi berarti kita akan sulit mengajak mereka berkembang. Maka, saya sendiri dengan semangat Panggilan Raja mengupayakan tempat tinggal di asrama yang baik dan sehat. Juga ketika mengurus TK di Waghete saya sendiri membuat mainan untuk anak-anak. Tidak hanya satu atau dua, melainkan berjenis-jenis mainan. Semuanya dikerjakan sendiri dari triplek atau kayu lunak.
Selain itu, juga ada semangat seperti Simon dari Kirene yang tanpa berpikir panjang langsung terlibat membantu Yesus. Ia pun yakin bahwa yang ia lakukan adalah hal baik, bukan karena ketakutan terhadap penguasa. Maka, terdukung oleh Simon dari Kirene, saya tanpa berpikir panjang berani hidup bersama mereka tanpa jijik dan penolakan, melainkan setia merangkul mereka. Saya yakin, jika saya mau memanggul salib, jika saya mau susah-susah, pasti nantinya akan menemukan kepuasan dan kenikmatan. Contohnya, saat sore ketika lelah dan ber-examen akan situasi satu hari itu. Adanya hanya bersyukur saja. Banyak inspirasi dan keputusan dibuat saat ber-examen setelah melihat situasi seluruh hari, misalnya bagaimana membuat keputusan ketika di asrama ada permasalahan, entah anak yang berkelahi ataupun pendamping asrama yang memiliki masalah.
Pesan untuk Mereka yang Belum Tahu Papua atau yang Akan ke Papua
Pertama, tidak perlu mengotak-otakan mereka. Sebagai Jesuit, masuk saja. Nikmati dan dalami suasana Papua. Orang-orang Papua itu sama seperti kita. Mereka memiliki hati, butuh dikasihi, punya jati diri dan juga harga diri. Maka, ketika saya tidak mau memperhatikan harga diri orang Papua pasti saya akan memiliki masalah. Ujung-ujungnya orang yang seperti itu akan tidak tahan berada di Papua, yaitu dengan selalu menggambil berbagai alasan yang intinya menolak atau berusaha ambil jarak dengan orang-orang Papua. Bahkan, sikapnya bisa selalu merendahkan orang-orang Papua, tanpa ia sadari.
Kedua, kemauan untuk bersama. Dalam hal ini seorang Jesuit tidak akan pernah kesulitan. Ini hanya masalah waktu dan kesempatan untuk mau hidup bersama, yaitu mau hadir dan terlibat bersama mereka.
Ketiga, ada kesabaran untuk mengingatkan berkali-kali “mbok kamu jangan seperti itu”. Kita mengajak mereka untuk berani berubah dan kita mau terus-menerus mengingatkan mereka agar lebih baik lagi dan tidak melakukan keburukan-keburukan lagi.
Mengenai pengetahuan mereka, saya percaya lambat laun mereka akan mengerti. Namun yang utama adalah memberi teladan karakter yang baik untuk mereka. Mendidik karakter di Papua bukan dengan memberi arahan melainkan kita bertindak seturut karakter yang baik yang akan dicontoh oleh mereka. Ketika mereka memiliki karakter yang baik, mereka akan berusaha belajar mengejar ketinggalan pengetahuan.
Br. Norbertus Mujiana, SJ