“Yakin??? Semoga tetap selamat!” Inilah yang dikatakan beberapa orang kepada kami sebelum terbang ke Lahore. Sebagai tetangga Afghanistan dan pendukung “undang-undang penistaan agama” yang keras, Pakistan memiliki reputasi yang menakutkan bagi para wisatawan. Dengan mencoba mengesampingkan citra tersebut, pada 30 Oktober hingga 6 November 2022, saya bersama PP Tony Moreno, S.J. dan Kuntoro Adi, S.J. mengunjungi Pakistan sebagai bagian dari proses diskresi peralihan Misi Pakistan dari Provinsi Sri Lanka ke Provinsi Indonesia dan JCAP.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Loyola Hall, Lahore, rumah para Jesuit di Pakistan. Kami disambut oleh P Juan Carlos, superior misi, P Noel Ajanthan, direktur rumah kandidat, dan S Petras George, seorang TOKer. Mereka adalah para Jesuit yang berada di Pakistan saat ini. Satu komunitas yang terdiri atas Jesuit asal Peru, Sri Lanka, dan Pakistan sendiri. Selain mereka, Pakistan memiliki lima orang skolastik yang sedang belajar di Indonesia, dua skolastik sedang dalam Program Juniorate di Sri Lanka, satu Novis di UK, dan satu imam di Roma. Untuk sebuah negara di mana jumlah Katolik hanya kurang dari 1% total populasi, ini menunjukkan adanya panggilan yang sedang tumbuh.
Kehadiran Jesuit di Lahore dimulai pada tahun 1961 ketika P Alphonsus Schockaert, Jesuit Belgia yang bekerja di Darjeeling, untuk memulai karya misi Jesuit di kota tersebut. Setelah itu datang bergabung P H. Schultz, misionaris Jerman di Poona, P Robert Bütler, seorang misionaris Swiss di India, dan F de Meyer, bruder Jesuit asal Belgia. Ini merupakan periode ketiga kehadiran Jesuit di Pakistan. Periode pertama yaitu atas undangan Kaisar Akbar dari Dinasti Mughal (1579-1760) dan periode kedua ketika Jesuit bekerja di Karachi dan Hyderabad (1860-1935). Dalam periode-periode yang berbeda itu, karya-karya yang ditampilkan secara dominan adalah karya-karya di bidang dialog antaragama, pendidikan, dan pembinaan kaum awam.
Saat ini para Jesuit Pakistan menjalankan berbagai program pembinaan religius dan awam di Loyola Hall. Tempat ini menjadi pusat yang menarik banyak cendekiawan muslim untuk berkunjung dan melakukan penelitian di perpustakaan serta mengadakan seminar-seminar. Loyola Hall dikenal sebagai ruang netral di mana setiap orang dapat merasa aman dan terdorong untuk mengungkapkan pikiran mereka. Kami mendengar kesaksian ini di suatu sore dengan banyak jamuan chai atau teh susu untuk para pemimpin dari beberapa tarekat religius. Di tempat ini, mereka menemukan rumah untuk pertumbuhan iman. Mereka juga mengungkapkan sebuah harapan agar lebih banyak Jesuit yang dapat memberikan retret, kursus spiritualitas dan pembinaan, dan bimbingan spiritual. Harapan senada ternyata juga digaungkan oleh Uskup Agung Sebastian Francis Shaw, OFM dari Keuskupan Agung Lahore ketika kami mengunjunginya. Para seminaris diosesan membutuhkan pembinaan yang berkualitas, baik secara intelektual maupun spiritual. Mereka percaya, para Jesuit dapat memberikan banyak hal dalam bidang-bidang tersebut.
Di luar tembok Loyola Hall, para Jesuit menjalankan dua sekolah menengah dan satu Taman Kanak-kanak. Kami bertemu dengan para guru dan para siswa di ruang kelas mereka. Di sekolah ini banyak siswa Muslim dan Katolik. Mereka datang didorong oleh pendidikan yang berkualitas dan biaya terjangkau. Mayoritas siswa berasal dari keluarga pra-sejahtera dan sekolah disubsidi secara besar-besaran oleh misi. Karena kenyataannya, orang-orang Katolik di negara itu terpinggirkan secara ekonomi. Banyak anak yang buta huruf di sana karena akses ke sekolah negeri sangat kecil. Pemerintah menerapkan sistem kuota untuk kaum minoritas. Sementara itu di Pakistan, tidak ada Universitas Katolik selain sejumlah kecil sekolah pra-universitas. Dengan demikian, mobilitas sosial menjadi tidak mungkin dan pendidikan formal yang berkualitas hanyalah milik orang-orang yang mampu saja. Permohonan yang sama ternyata juga ditekankan oleh Uskup Agung Benny Travas dari Keuskupan Agung Karachi dan Uskup Samson Shukardin, OFM dari Keuskupan Hyderabad dalam suatu pertemuan saat kami mengunjungi mereka.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi berbagai model pemandangan, mulai dari hiruk pikuk kota besar seperti Lahore dan Karachi, hingga gurun tandus yang mengelilingi Hyderabad. Juga komunitas yang luar biasa, hasil perpaduan dari berbagai kelompok etnis, terlihat dari wajah dan kostum mereka, melukiskan gambaran warna-warni dari bangsa multikultural. Sepanjang perjalanan kami merasa sangat aman, lepas dari ketakutan saat awal. Kepandaian orang-orangnya benar-benar luar biasa dan kehangatan mereka dengan cepat menghilangkan kekhawatiran awal yang kami alami sebelum kedatangan. Faktanya, P Juan Carlos, seorang misionaris Pakistan selama sepuluh tahun dan seorang veteran misi di Chad di Afrika Tengah, merasa lebih aman di Pakistan daripada di negara asalnya Peru. Kami benar-benar mendapat pengalaman visitasi yang tak terlupakan. Semoga ini akan membuka pintu baru untuk keterlibatan kita lebih lanjut.
Kontributor: P Benedictus Hari Juliawan, S.J.