Hingga sekarang, situasi di Myanmar tidak ada kemajuan berarti untuk pulih kembali sebagai negara yang demokratis dan damai. Sejak 1 Februari 2021, ketika junta militer melakukan kudeta dan menahan Konselor Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint, rakyat Myanmar hidup dalam situasi genting, tidak aman, dan mengalami kekerasan dari junta militer. Aksi-aksi protes damai ditanggapi dengan kekerasan dan pembunuhan. Mereka bagaikan domba tanpa gembala. Seruan untuk menghentikan kekerasan dan pembunuhan dari lembaga-lembaga dan badan dunia serta para pegiat hak-hak asasi manusia serta kelompok-kelompok religius tidak dihiraukan sama sekali oleh junta militer. Puluhan ribu orang terpaksa mengungsi ke tempat yang aman. Baru-baru ini diberitakan bahwa ada sekitar sekitar 25 ribu orang dari etnis Karen yang mengungsi ke Thailand, karena dibombardir lewat udara oleh militer.
Untuk membantu mencari solusi atas situasi di Myanmar ini, Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Jakarta, pada tanggal 24 April 2021 yang lalu. Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah KTT ini. Salah satu agenda pertemuan tersebut adalah mendiskusikan solusi krisis yang sedang terjadi di Myanmar. Pemimpin junta militer yang menggulingkan pemerintahan yang syah, Jendral Min Aung Hlaing diundang untuk menghadiri pertemuan ini. Sementara itu National Unity Government of Myanmar (NUG) yang baru saja dibentuk mewakili rakyat Myanmar tidak diundang. Hal ini menimbulkan kekecewaan rakyat Myanmar dan reaksi keras dari para pegiat hak-hak asasi manusia, komunitas lintas-iman, masyarakat sipil dan individu-individu yang mempunyai perhatian atas kondisi di Myanmar.
Pada tanggal 21 April, saya mendapatkan pesan WA dari teman-teman Myanmar, meminta bantuan warga Indonesia untuk membuat sesuatu dalam menanggapi KTT ASEAN tersebut. Pesan itu “menggelisahkan” saya yang selama ini tidak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan solidaritas kami dengan rakyat Myanmar. Hal yang langsung muncul di benak saya adalah berdoa bagi mereka. Setiap hari kami memang selalu memasukkan intensi misa untuk rakyat Myanmar dalam misa komunitas. Namun cukupkah itu? Bagaimana agar doa itu bisa didengar tidak hanya oleh Tuhan tetapi juga oleh masyarakat lebih luas? Maka berburu waktu agar tidak kehilangan kesempatan, saya langsung menghubungi jaringan individu dan lembaga-lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap penderitaan rakyat Myanmar. Gayung pun bersambut! Sepuluh lembaga masyarakat sipil dan lembaga sosial keagamaan serta individu-individu bersepakat untuk membuat doa bersama lintas agama secara online.

Dalam waktu singkat, sepuluh lembaga non pemerintah dan lembaga-lembaga sosial keagamaan serta puluhan individu bersepakat untuk mengadakan doa bersama dengan platform zoom pada malam sebelum perhelatan KTT dilaksanakan, yakni 23 April 2021. Kegiatan doa dapat dilihat dalam link berikut: https://youtu.be/NEBHM36LZLk.

Intensi doa untuk mengungkapkan solidaritas dengan rakyat Myanmar yang ditinggalkan oleh Negara-negara Asia Tenggara dengan tidak mengundang perwakilan mereka, sebaliknya malah mengundang jenderal junta militer yang melakukan kekerasan dan represi terhadap mereka. Doa dihadiri oleh enam puluh orang dari perwakilan sepuluh lembaga dan individu-individu lain yang mendukung. Sebagai inisiator utama, saya memberikan kata pembukaan dan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan dari wakil lembaga-lembaga pendukung dan memuncak pada doa dari tujuh agama dan kepercayaan (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan Sunda Wiwitan). Ada lima poin tuntutan yang diungkapkan dalam doa tersebut, yakni:
- Menolak kehadiran wakil junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing dalam KTT ASEAN dan meminta mengundang perwakilan dari National Unity Government of Myanmar sebagai wakil syah rakyat Myanmar;
- Mendesak Junta militer untuk melepaskan dengan segera dan tanpa syarat Aung San Suu Kyi dan Win Myint serta tahanan politik lainnya;
- Mendesak junta militer dengan segera mengakhiri segala bentuk kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat Myanmar, termasuk masyarakat rohingya;
- Memberikan akses bagi delegasi ASEAN dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ke negara Myanmar untuk melakukan monitoring, menghentikan kekerasan junta militer dan membantu bernegosiasi untuk menemukan solusi secara demokratis, damai, dan inklusif yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Disamping kegiatan doa, pada tanggal 24 April, saat berlangsung KTT, juga diadakan aksi damai yang bertajuk “Gowes for Democracy”, yang diinisiasi oleh Komunitas “Milk Tea Alliance Indonesia” dan didukung oleh lembaga-lembaga masyarakat sipil dan lembaga sosial berbasis agama serta individu-individu lainnya. Kegiatan ini diikuti sekitar 70 pesepeda dari berbagai lembaga dan kelompok masyarakat. Acara dimulai dari kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat menuju tempat perhelatan KTT di kantor Sekretariat ASEAN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Acara dibuka dengan konferensi pers untuk membacakan pernyataan bersama yang isinya tuntutan-tuntutan seperti yang dinyatakan dalam doa lintas iman di atas. Foto kegiatan dapat dilihat di link berikut: https://drive.google.com/drive/folders/1mJCupS8fcMuGqWokNVY3JtsYktR_ChC_?usp=sharing

Aksi gowes tersebut sempat dihentikan polisi tiga kali. Penghentian ketiga terjadi di Jalan Sudirman dekat Patung Pemuda Membangun. Di situ sempat terjadi ketegangan antara polisi dan peserta aksi, yang videonya sempat viral di twitter @Idmilktea. Video tersebut saya ambil di tempat kejadian, dapat dilihat dalam link berikut: https://youtu.be/U6mz6_lEbCM
Atas situasi Myanmar, KTT ASEAN menelurkan lima kesepakatan, yakni:
- Kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri;
- Dialog konstruktif antara semua pihak yang terlibat harus dimulai untuk menemukan solusi damai demi kepentingan rakyat Myanmar;
- Utusan khusus ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN;
- ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan lewat AHA Centre.
- Utusan khusus dan delegasi ASEAN akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak yang berkepentingan.
Ada berbagai tanggapan atas hasil kesepakatan ASEAN ini. Rakyat Myanmar dan para aktivis kemanusiaan tidak puas karena rakyat Myanmar tidak terwakili dalam KTT tersebut. Di samping itu juga tidak ada pernyataan yang menuntut junta militer untuk melepaskan sesegera mungkin dan tanpa syarat para tahanan politik. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia dan Singapura sebenarnya menuntut pembebasan para tahanan politik ini, namun tidak masuk dalam hasil keputusan akhir.
Ada juga tanggapan lain bahwa hasil kesepakatan KTT ASEAN ini sangat kuat dan secara terang-terangan disampaikan di depan jenderal junta militer yang hadir dalam KTT tersebut. Namun demikian, Jenderal Min Aung Hlaing tidak jelas komitmennya untuk menjalankan kesepakatan itu. Bahkan sehari setelah kesepakatan ASEAN keluar masih terjadi kekerasan dan pembunuhan empat rakyat Myanmar yang mengadakan protes damai. Selain itu dua hari setelah KTT tersebut juga terjadi pecah konflik antara militer etnik Karen dengan junta militer yang menyebabkan sekitar 25 ribu lebih warga Karen mengungsi ke Thailand.
Sementara itu, lewat twitter Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa menanggapi hasil KTT ASEAN sebagai sebuah langkah maju yang menggembirakan untuk memecahkan masalah krisis Myanmar. Dengan nada halus, ia mengkritik hasil konsensus bahwa perlu menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat bagi para tahanan politik dan sungguh-sungguh melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, tersmasuk NUG, dalam mengupayakan dialog damai dan konstruktif.
Tanggapan Perdana Menteri NUG, H.E. Mahn Winn Khaing Thann, atas kesepakatan ASEAN menarik untuk disimak. Disamping mengucapkan terima kasih kepada Presiden RI, Perdana Menteri Malaysia dan Singapura yang secara tegas menuntut junta militer membebaskan tahanan politik, mereka kecewa dengan tidak hadirnya wakil dari pemerintahannya yang mewakili rakyat Myanmar. Dengan demikian peserta KTT tidak mendapatkan informasi yang benar dan imbang, selain hanya untuk justifikasi apa yang dilakukan oleh junta militer. Maka NUG merekomendasikan enam poin sebagai syarat agar hasil kesepakatan KTT ASEAN tersebut bisa diwujudkan secara adil dan inklusif. Dialog yang konstruktif hanya bisa dilakukan bila ada pembebasan tanpa syarat para tahanan politik. Isi pernyataan NUG secara detail dapat dilihat dalam link berikut ini: https://drive.google.com/drive/folders/1mJCupS8fcMuGqWokNVY3JtsYktR_ChC_?usp=sharing
Perjalanan untuk menemukan solusi damai di Myanmar masih panjang. Disamping komitmen junta militer untuk melaksanakan hasil kesepakatan KTT tersebut tidak jelas, pihak-pihak yang mewakili rakyat Myanmar tidak dilibatkan dan didengarkan sehingga bisa menjadi tantangan untuk implementasinya. Ditambah pula rakyat Myanmar yang menyatakan menolak hasil kesepakatan KTT ASEAN. Peran ASEAN dalam menemukan solusi damai di Myanmar diuji dan kepemimpinan Presiden R.I. Joko Widodo sebagai inisiator utama KTT ASEAN dipertaruhkan untuk bermain di kancah regional. Sementara itu, krisis ekonomi, kesehatan dan gelombang pengungsian di Myanmar semakin berat. Mereka hidup dalam ketakutan, ketidakpastian dan tidak aman. Upaya damai tampaknya masih sulit diwujudkan. Para militer dari etnik-etnik bersatu menabuh genderang perang melawan junta militer. Kalau tidak segera menemukan solusi, perang saudara di Myanmar tidak akan terelakkan. Menghadapi situasi yang memprihatinkan seperti ini, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali ikut bersuara atas nama rakyat Myanmar. Kalaupun suara itu tidak didengarkan oleh para pengambil kebijakan, sekurang-kurangnya saudara-saudari kita di Myanmar tidak merasa sendirian. Kita terus berdoa untuk kedamaian di Myanmar!
Oleh Rm. Adrianus Suyadi, SJ