Menemani Rakyat Menuju “Kemerdekaan”
Situasi pelik dan genting di Timor Leste dihadapi oleh setiap Jesuit Provindo yang diutus ke Timor Leste. Namun demikian, keadaan yang menguras emosi itu tak membuat mereka berhenti berkarya. Dengan tetap memperhatikan konteks politik secara cermat, mereka mencoba terus kreatif mendampingi rakyat dan tetap mencari peluang untuk hadir serta terlibat lebih baik lagi. Mereka membangun sikap yang tulus, penuh pertimbangan dan bertindak secara nyata. Totalitas perutusan menjadi modal melakukan perutusan dalam menemani rakyat membentuk identitas mereka sebagai bangsa Timor Leste.
Seri webinar ketujuh dalam rangka 50 Tahun Provindo ini berusaha merekam jejak-jejak para Jesuit Provindo di Timor Leste. Nara sumber webinar kali ini adalah Frs. Klemens Yuris, S.J., Vincentius Doni, S.J., Tiro Angelo, S.J., dan Pater Albertus Bagus Laksana, S.J., Hadir sebagai penanggap seperti Pater Joachim Sarmento, S.J. dan Pater L. Dibyawiyata, S.J. yang berada di Timor Leste. Sedangkan Griselda Carlos Moniz, seorang executive communication pada US INGOs Timor menjadi moderator webinar kali ini. Melalui webinar ini diharapkan Provindo dan umat awam yang hadir secara virtual terbantu untuk memetik buah-buah pembelajaran dari perutusan yang menantang dan kompleks itu. Dalam acara yang diselenggarakan secara virtual tanggal 15 Mei pukul 19.30 WIB itu, hadir 65 peserta termasuk Pater Provinsial, Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J.
Webinar dimulai dengan pemaparan dari Fr. Tiro mengenai proses pembentukan identitas Timor Leste. Fr. Tiro memaparkan bagaimana sejarah singkat dan pembentukan identitas Timor Leste. Penjajahan Portugal selama dua ratus tahun lebih serta invasi Indonesia turut membentuk identitas mereka. Kesadaran identitas nasional tumbuh di dalam sejarah yang penuh konflik dan kekerasan. Xanana Gusmão dalam pidatonya di hadapan rakyat di tahun 1986 mengobarkan semangat memiliki tanah air Maubere atau persaudaraan. Persaudaraan, di mana setiap orang menjadi “saudaraku”, terbentuk dari sejarah perjuangan dalam penderitaan di bawah penindasan.
Pemaparan selanjutnya mengenai memori pengalaman dan keterlibatan para Jesuit Provindo disampaikan oleh Fr. Doni. Dari pemaparannya terungkap bahwa di tengah situasi yang berubah-ubah, para Jesuit tetap setia menggeluti misi di bidang kemanusiaan, pendidikan, pertanian, sosial (pengungsi), dan lain-lain. Situasi yang tidak menentu justru menyebabkan para Jesuit tidak terjebak dalam rutinitas hidup harian mereka sebagai manusia Indonesia, kaum religius yang mengusung nilai-nilai Kristiani, juga manusia biasa dengan seluruh kemanusiaannya. Dengan diskresinya, mereka “masuk” dan “mengakar” dalam perjumpaan dengan rakyat yang menderita dan tertekan. Sikap mau “masuk” ini menjadi pembelajaran penting sebab menjadi wajah pertama yang dilihat rakyat. Di sana ada ketulusan yang akhirnya membuat rakyat di mana Jesuit berada mau mendengarkan suara Jesuit. Sikap ini melahirkan momen-momen perjumpaan sepanjang perutusan yang turut menguatkan hati para Jesuit serta turut membentuk identitas dan kehendak rakyat Timor Leste.

Dokumentasi : Arsip Provindo
Pada sesi ketiga, Fr. Yuris memaparkan bahwa momen-momen perjumpaan itu menghadirkan semangat rekonsiliasi baik pada Jesuit yang diutus dan pada rakyat Timor yang dilayani. Rekonsiliasi yang solid berangkat dari sebuah kedalaman akan kehadiran. Ini adalah usaha dalam rangka mengangkat martabat rakyat. Di samping itu, rekonsiliasi juga berangkat dari inisiatif rakyat yang menjadi korban. Proses tersebut terjadi secara bersama-sama dalam bentuk berbagi perasaan dan rasa kehilangan yang mendalam. Bagi para Jesuit, pemberian diri pada masyarakat yang dilayani mengantarkan pada buah-buah perutusan, yaitu peneguhan untuk terus setia dalam panggilan. Inilah bentuk rekonsiliasi yang autentik yang hadir ketika ada keterlibatan yang penuh. Rekonsiliasi bukan terjadi dalam waktu yang singkat. Yang terpenting adalah keberanian memasukinya sebab akan mengantar rakyat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Tugas inilah yang menjadi tanggung jawab setiap Jesuit.
Sebagai penutup pemaparan sekaligus tanggapan atas beberapa pertanyaan yang didiskusikan bersama, Pater Bagus menggarisbawahi setidaknya dua hal penting, yaitu pentingnya sikap realisme yang mengandalkan diskresi dan belajar menjadi misionaris sejati. Sikap yang mengandalkan diskresi akan melihat konteks yang terjadi di lapangan, nilai-nilai Kristiani, serta realitas kebutuhan Gereja dan masyarakat. Realisme yang mengandalkan diskresi ditunjang oleh kemauan mendengarkan dan peka terhadap budaya serta rasa perasaan penduduk lokal. Dua hal tersebut adalah perangkat penting bagi seorang misionaris sejati. Dalam situasi yang tidak stabil, Pater Bagus menekankan perjalanan misi Provindo di Timor Leste adalah sebuah milestone dalam “perjalanan waktu.” Buah-buah misi tidak bisa dibekukan dalam periode tertentu, tetapi akan menjadi jelas dalam perjalanan waktu. Dalam konteks “waktu dan proses” para Jesuit Provindo belajar memaknai seluruh keterlibatan dengan sikap rekonsiliatif serta menjadi bekal perutusan di masa-masa mendatang.
Sesi tanggapan dan diskusi menjadi sesi berikutnya sekaligus penutup. Para penanggap seperti yang disebutkan di atas memberikan tanggapan atas pemaparan misi Provindo di Timor Leste. Beberapa hal yang digarisbawahi dalam sesi ini adalah Provindo telah menjadi bagian sejarah Timor Leste yang tentunya berperan dalam membentuk identitas mereka sekarang ini. Aspek kemanusiaan yang ditanamkan dalam setiap ranah perutusan menjadi pendorong dalam pembentukan identitas itu. Bagi Provindo sendiri, misi ini menjadi sebuah rekaman sekaligus refleksi bahwa Jesuit Provindo mampu berkiprah dengan totalitas dalam situasi perutusan yang tidak mudah. Tentunya ini menjadi satu pemantik akan kesiapsediaan menyongsong perutusan serupa sambil memperdalam sebuah perancangan matang akan perutusan di masa depan. Di bagian akhir Pater Provinsial Benedictus Hari Juliawan menegaskan bahwa kita sebagai Serikat Jesus Provindo selalu siap diutus kembali ke Timor Leste bila nanti dibutuhkan. Sejarah memang telah terjadi, namun darinya kita belajar bersama-sama menatap hari depan yang lebih baik.
Kontributor : Fr. Vincentius Doni E.S., S.J. – Skolastik SJ