Pak Banawiratma menyampaikan eklesiologi Milenial yaitu bagaimana Gereja mendisrupsi dirinya dalam diskresi. Dari UAP, no. 3 bukan dari zaman Ignatius. Sedangkan lainnya sudah menjadi perhatian Ignatius sejak dahulu. Pertanyaannya adalah bagaimana Gereja milenial mewujudkan nilai-nilai itu? Beliau mengutip Richard A. Horseley (Jesus in Context, Power, People, & Performance). Intinya, sosok Yesus tertanam dalam tradisi Israel. Yesus lewat tuturan lisan berkonfrontasi dengan penguasa Yerusalem dan penguasa Roma. Yesus peduli pada mereka yang terpinggirkan. Begitu juga seperti yang tertulis dalam buku Petruk Disalibkan, Petruk mewakili orang kecil yang mengalami penderitaan. Pak Bana memperoleh inspirasi Petruk yang disalib dari Ignatio Ellacuria, SJ “The Crucified People.”
Apa sebenarnya ciri khas milenial? Generasi milenial hidup di tengah maraknya otomatisasi dan kecerdasan buatan yang dihasilkan revolusi industri 4.0. Teknologi berkembang pesat menjauhi produk-produk revolusi industri sebelumnya, mulai dari 1.0 hingga 3.0, ketika orang mulai mengenal mesin uap untuk produksi massal hingga baru bersentuhan dengan komputer dan Internet.
Teknologi baru ini menumbuhkan inovasi disruptif, yaitu inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu. Menurut Pak Bana, disruptif inovasi terjadi juga pada Gereja kita. Pada intinya, disrupsi adalah perubahan. Perbedaannya, dalam disrupsi perubahan itu terjadi karena harapan akan masa depan (masa depan ke masa kini), tomorrow is today (Rhenald Kasali). Lalu bagaimana Gereja mendisrupsi dirinya dalam diskresi terus menerus?
Gereja dan pemerintah mengalami pembentukan ulang dalam sarana dan perilaku yang mendukung regenerasi serta pemeliharaan lingkungan alam, ketimbang menciptakan biaya tersembunyi dalam bentuk eksternalitas. Misalnya di China, sudah banyak motor listrik sehingga mengurangi polusi udara.
Mengritisi Kapitalisme Zaman Ini
Kita hidup dalam ketidaksetaraan yang meningkat. Hal ini diperburuk dengan perubahan besar-besaran dalam dunia kerja. Dunia maya menjadi panggung pertemuan sebagaimana daratan, lautan, dan udara di masa lalu. Dalam industri masa kini, kita bisa mengirim barang yang berat sekali pada waktu yang sama. Kapital menjadi ringan, cepat, dan mudah berpindah. Pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari revolusi industri 4.0 adalah para inovator, investor, dan pemegang saham.
Buku Capital in the Twenty First Century (2014) karya Thomas Pikeety lalu menjadi buku terpenting saat ini, setelah Das Capital karya Karl Marx. Ia menunjukkan bahwa kita hidup pada zaman bersistem kapitalis. Keuntungan yang kembali ke private capital dapat luar biasa lebih tinggi dalam jangka waktu lama daripada pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran. Akibatnya, konsentrasi kekayaan ada pada segelintir orang sehingga terjadi ketimpangan kesejahteraan. Bahkan, harus diakui bahwa mengganti sistem ini, dengan membubarkan para penjaganya seperti IMF, World Bank, dan WTO, tidaklah mudah, walaupun yang menginginkannya adalah Jokowi. Ia sendiri hidup di dalam sistem kapitalis.
Kesenjangan sosial dan ekonomi diperparah dengan kesenjangan politis yang dihasilkan oleh politik pascakebenaran (post truth, atau disebut juga sebagai ‘pascafakta’). Di dalam politik pascakebenaran, perdebatan politis lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Akibatnya, lawan politik tidak lagi didengarkan, sedangkan penegasan berkali-kali diberikan pada keinginan diri sendiri belaka.
Penjelajahan bersama kaum muda
Dalam menemani kaum muda, hal yang perlu dilakukan adalah
· Pendidikan kritis
· Literasi media digital
· Verifikasi informasi
· Fungsi kritis media. Contohnya, melalui media Yunarto Wijaya, Direktur Charta Politica, menyampaikan kritik-kritiknya terhadap elit politik, walaupun diancam dengan pembunuhan. Contoh lainnya, pada zaman dulu komunitas Jesuit El Salvador menyampaikan berita dan kritik melalui radio.
Di dalam upaya pendampingan itu, kita juga perlu mempertimbangkan liquid culture yang menjadi ciri zaman ini. Di dalam era modern ada tatanan, stabilitas, dan kepastian. Di dalam era postmodern seperti sekarang ini, yang marak adalah ketidakpastian, keterbukaan, dan perubahan. “Permukaannya” tidak datar-datar saja, tapi bergelombang. Minat orang terhadap suatu topik hanya sebentar.
Konsekuensinya, Gereja juga menjadi cair. Gereja bergerak secara tradisional berkumpul di dunia riil, tempat dan waktu, tapi juga di dunia maya sebagai seri dari hubungan dan komunikasi. Partisipasi dan keterlibatan menentukan keanggotaan nyata Gereja. Misalnya, orang muda Belanda bisa terlibat di Afrika karena komunikasi media. Menurut Pak Bana, membangun Gereja Katolik yang cair tidaklah sulit.
Kebudayaan Hybrid multi-global
Gereja dalam penjelajahan bersama kaum muda mengarungi kebudayaan cair sekaligus hibrid, plural, global, lokal sehingga butuh teman seperjalanan, pendidikan kritis, diskresi berkesi-nambungan, memaknai pengalaman doa dan pengalaman aksi.
Kita perlu memanfaatkan studio audio visual dan media web yang telah kita bangun.
- Kerasulan radio/audio (yang sudah dipelopori Rm. Daniels, SJ dan Rm. Brata, SJ).
- Kerasulan audio visual (dimotori Rm. Ruedi Hofmann, SJ, dilanjutkan Rm. Iswarahadi, SJ dan Rm. Murti, SJ).
- Kerasulan web: website statis, website dinamis, website interaktif, webportal (dikelola Rm. Iswarahadi, SJ, Rm. Murti, SJ, dan yang lain).
Web-web tersebut berbasis dalam paroki dan antar paroki. Keempat preferensi universal SJ dimasukkan ke dalam berbagai web.
Pada tahun 1999, Rm. Mangunwijaya sudah menggagas relasi antar paroki yang melampaui territorial. Maka jaringan lintas karya dalam SJ menjadi penting.
Ag. Winaryanto, SJ