Pada 2017 silam, saya berkesempatan mengikuti MAGIS JCAP 2017 yang diadakan di Siem Reap, Kamboja yang diikuti berbagai negara dan penuh kehadiran anak muda. Tahun ini, saya kembali mendapat kesempatan mengikuti pertemuan JCAP yaitu JCAP Youth Ministry di Macau, bertemu dengan para youth ministers dari berbagai negara, bersama Romo John & teman-teman dari Indonesia.

Awalnya saya mengira pertemuan ini bertujuan untuk mempresentasikan dan melaporkan perkembangan dari setiap negara saja, tetapi saya melihat dan menemukan banyak hal melaluinya. Saya hadir untuk mempresentasikan perkembangan salah satu youth ministry di Indonesia yang saat ini dikoordinatori oleh Romo John, yaitu komunitas MAGIS Indonesia bersama teman saya, Amanda. Ketika mengikuti sesi presentasi, saya merasa terkagum-kagum dan terinspirasi dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh setiap negara; bagaimana menyesuaikan modul komunitas MAGIS yang telah dibagikan sebelumnya dengan kondisi mereka yang unik satu dengan lainnya. Negara tersebut ialah China dengan komunitasnya yang bertumbuh pesat karena kerjasamanya dengan diosesan; Myanmar, yang telah mengadakan immersion experiment bagi anggota formasi yang semakin bertumbuh; Kamboja, yang memberi ruang bagi penganut kepercayaan lain/aspiran untuk mengikuti kegiatan rutin mereka; Timor Leste yang jumlah anggotanya bertumbuh pesat; serta bagaimana Australia dengan social entrepreneurship The Cardoner Project yang selama hampir 10 tahun ini berjuang di tengah masyarakat yang skeptis dengan Gereja, menjadi sarana volunteering dan menanamkan nilai-nilai kristiani kepada anak muda sebelum memasuki dunia kerja. Rasa sedih pun hadir ketika melihat tidak adanya dukungan maupun peserta untuk membentuk Ignatian youth community di Jepang dan kesulitan mempertahankan anggota sebagai komunitas di Korea yang bersifat kompetitif sejak sekolah.
Baru saja Universal Apostolic Preferences diumumkan oleh Pater Jendral Serikat Yesus, terutama #4: Journeying with Youth – Accompany young people in the creation of a hopeful future, dan hal ini terus bergema selama pertemuan berlangsung, terutama dengan adanya diskusi antar negara dan contemplative dialogue di setiap akhir hari dalam kelompok kecil. Sekarang saya menyadari penuh, bahwa pendampingan yang dilakukan oleh para youth ministers (baik anggota serikat maupun awam) amat membutuhkan kehadiran dan keterlibatan anak muda, baik yang sedang menjalani formasi maupun yang sudah melaluinya. Jika ada semangat untuk pendampingan tetapi tidak ada yang didampingi, tidak bisa jalan. Begitu pula jika banyak yang ingin didampingi, tetapi tidak memiliki pendampingan di daerahnya.
Sesi Ignatian Pedagogy & Paradigm amat menarik bagi saya yang belum mengenalinya. Saya merasa hal ini menguatkan saya untuk mempraktekkannya dalam keseharian, terutama dalam bekerja dan berkomunitas. Dalam contemplative dialogue dan perbincangan personal dengan para youth ministers, saya sendiri merasa terdorong untuk lebih terlibat lagi dalam pendampingan orang muda ini, dan bertanya, sekiranya apa yang dapat kulakukan—sebagai seorang awam—untuk komunitasku saat ini dan yang akan datang? Bagaimana saya menjadi & mempersembahkan keseluruhan diri yang sejati?
Berikut ini beberapa kesimpulan juga yang ditarik oleh kelompok kecilku:
Connection keeps us hopeful. Kami merasakan pentingnya menjaga relasi antar negara agar terciptanya kolaborasi dan agar harapan akan apa yang kita lakukan ini, tetap menyala dalam diri, dan tidak merasa berjuang sendirian. Semua punya tantangannya tersendiri yang dapat dihadapi bersama, dengan belajar, mengadaptasi maupun berdiskusi dengan yang lainnya.
Accompaniment with zeal leads us beyond fear. Segala ketakutan menghadapi tantangan dapat dilalui jika pendampingan dilakukan dengan semangat melayani. Untuk selalu mengingat bahwa apa yang kulakukan sebaiknya berasal dari iman akan Tuhan dan demi kemuliaanNya yang lebih besar.
Terakhir, saya merasa amat bersyukur dan merasa tersentuh dengan seluruh rangkaian pertemuan ini serta perjumpaan dengan jiwa-jiwa penuh cinta & passion yang amat dalam akan kerasulan ini. Saya juga amat tertarik jika ke depannya terbuka kesempatan berkolaborasi antar negara maupun ada fasilitas yang memungkinkan kita saling belajar dari satu sama lain. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. (Ef 2:10)
Yenny Lestari (Magis Jakarta)