Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Masyarakat

Pelayanan Masyarakat

“Mencari dan Menemukan Tuhan dalam Segala”

“Carilah Tuhan dalam segala sehingga seluruh dunia penuh dengan kehadiran cinta.” Mungkin kutipan singkat dari Pater Anthony De Mello, S.J. itu dapat menggambarkan isi pengalaman berharga yang kucari dan kutemukan selama aku melanglang buana bersama rekan-rekan terkasih di Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino, Yogyakarta. Kisah yang kubagikan kali ini akan bercerita mengenai orang-orang hebat yang kutemui saat melakukan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Kali pertama aku memulai perjalanan ini adalah dengan mengambil kesempatan terlibat membantu pendaftaran dan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Secara singkat, beasiswa ini merupakan wadah bagi anak-anak yang mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di sini, aku melihat banyak sekali orang yang sangat antusias mendaftar. Namun, dibalik antusiasme yang terlihat, ternyata mereka menyimpan segudang permasalahan hidup yang akhirnya membawa mereka sampai ke Realino SPM. Kisah pertama adalah ketika hatiku tersentuh mendengarkan cerita perjuangan seorang ibu yang membesarkan anaknya sendirian dengan segala keterbatasan. Sang ibu bercerita bahwa ia berpisah dengan suaminya karena tidak mau meninggalkan iman kepercayaan demi pasangannya. Hatiku sangat tersentuh. Sang Ibu tetap memegang teguh iman meskipun harus melalui banyak kepahitan di dalam hidupnya. Kisah kedua, aku berjumpa dengan situasi seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya yang sudah berpisah. Kedua orang tuanya sudah tidak mau mengurusnya lagi sejak kecil. Beruntungnya, ada paman dan bibi yang mau merawat dan memperhatikannya, meskipun hidup mereka juga sangat terbatas. Dalam kesempatan refleksi, aku melihat bahwa perceraian atau perpisahan orang tua menjadi hal yang sangat buruk dan sedemikian berdampak pada anak dalam keluarga tersebut. Apalagi ketika anak akhirnya juga harus menjadi korban keegoisan orang tuanya. Kisah ketiga lebih menyayat hati. Seorang ibu yang selain berjuang mencari rezeki demi kebutuhan hidup dan pendidikan, dia juga harus kuat menerima kenyataan anaknya menjadi korban pelecehan seksual dan bullying. Beliau menguatkan hati anaknya di saat hatinya juga hancur. Apalagi seringkali anaknya berpikir bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri. Ibu itu berusaha sekuat tenaga mencari sekolah terbaik meskipun sebetulnya tidak sanggup membiayai. Dia punya harapan besar agar anaknya tidak terus-menerus mengalami trauma. Sang ibu, beliau tetap memperjuangkan yang terbaik di tengah segala keterbatasannya. Ketiga kisah di atas adalah pengalaman perjumpaan yang menyentuh pikiran dan hati selama survei beasiswa. Perjumpaan dengan mereka menyadarkanku betapa kuatnya mereka menghadapi dan menjalani hari dengan segala perjuangan jatuh bangun sambil tetap beriman kepada Tuhan. Pada awalnya, aku berefleksi bahwa pasti mereka tidak langsung menerima begitu saja. Namun aku percaya bahwa keikhlasan hati dan kekuatan dari Tuhan menjadikan mereka mampu menerima segala sesuatu yang harus mereka jalani. Sisi pengalaman survei beasiswa lainnya adalah jalur atau rute survei menuju rumah-rumah keluarga calon penerima. Perjalanan survei beasiswa ini tidak selalu mudah dan menyenangkan. Adakalanya kami menemui berbagai tantangan dan kesulitan saat proses survei, seperti harus melewati lokasi yang ekstrem, takut menemui orang jahat, cuaca yang tidak mendukung, jalan yang terjal berkelok-kelok, dan sebagainya. Menariknya ketika hal itu terjadi, dalam refleksiku, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat-Nya dalam wujud sesama manusia untuk menolong kami. Aku memahami itu sebagai bentuk pertolongan Tuhan atas niat baik yang hendak kami lakukan. Sahabatku, Faiz juga selalu menguatkan aku bahwa dengan mengatakan, “Anggaplah ini sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian kita kepada Tuhan.” Selain mendapatkan pengalaman tentang kehidupan, kami juga diajarkan untuk dapat membuat pilihan atau keputusan bagi mereka atas beasiswa ini. Menurutku, “membuat pilihan dan keputusan adalah alasan utama kita datang bertemu mereka dan menemukan kehendak Tuhan di dalamnya.” Semoga keputusan yang telah kami sepakati merupakan kehendak Tuhan atas perjuangan dan doa yang mereka panjatkan selama ini. Aku berpesan untuk kita semua, “Jadilah malaikat untuk orang lain kapan pun kau bisa, sebagai cara untuk berterima kasih kepada Tuhan atas cinta yang diberikan kepada kita.” Perjumpaanku dengan mereka menunjukkan kepadaku bahwa bertemu dengan Tuhan bukanlah sebuah kebetulan atau menunggu waktu yang pas. Kita dapat menemukan Tuhan kapanpun dan di manapun, ketika kita mau mencari dan membuka diri akan kehadiran Tuhan. Kontributor: Anny Angelina S – Volunteer SPM Realino

Pelayanan Masyarakat

Rekonsiliasi dengan Ciptaan melalui Permakultur

“All my life, we have been at war with nature. I just pray that we lose that war. There is no winner in that war,” kata Bill Mollison pendiri gerakan permaculture (permanent agriculture). Melalui pengalamannya, Mollison melihat bahwa manusia dalam sejarah peradabannya telah berusaha keras “menaklukkan” atau berperang melawan alam. Ia berharap bahwa tidak ada pemenang dalam perang itu. Bagi Mollison, alam punya cara untuk mengorganisir dirinya sendiri. Bagi kita, yang saat ini bahkan tanpa sadar “berperang” melawan alam, kiranya perlu menyadari peran kita di alam ini. Yang pasti, kita perlu melakukan rekonsiliasi dengan alam tersebut dan seluruh ciptaan yang ada di dalamnya. Lantas, apa wujud nyata yang dapat dilakukan? Gerakan permaculture bisa jadi salah satu caranya. 10 tahun yang lalu saya menerima sebuah buku tebal dengan judul Permakultur: Menuju Hidup Lestari dari seorang teman Jesuit. Saya tidak sungguh membaca buku tersebut karena saat itu sedang fokus kuliah Pendidikan Biologi. Tahun ini, setelah 10 tahun, saya berjumpa dengan orang-orang muda yang secara khusus mendalami permaculture. Rasa ingin tahu tentang gerakan itu pun terpicu kembali. Kebetulan, saat ini saya berkecimpung di bidang kursus pertanian dan menjadi delegasi perdamaian dengan ciptaan. Kesempatan pun datang secara khusus, saya ditawari oleh Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. sebagai Koordinator Reconciliation with Creation JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific). Gayung pun bersambut, dengan senang hati saya mengikuti Permaculture Design Course (PDC) yang diadakan di Alhibe Permaculture, Cebu, Filipina pada tanggal 6-16 September 2023. Dalam kegiatan PDC di atas, ada dua orang Jesuit yang terlibat, yaitu saya sendiri dan seorang romo Jesuit dari Myanmar: Pater Paul Tu Ja, S.J. Sebelumnya, pada bulan Februari yang lalu, Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. juga sudah mengambil kursus yang sama. Bersama kami ada 14 orang peserta lain yang datang dari berbagai daerah di Filipina. Secara umum, kegiatan kursus dikemas dengan baik dan suasana yang menyenangkan serta penuh dengan kekeluargaan. Permaculture sendiri adalah konsep yang positif dan terbuka dengan berbagai macam informasi tentang kelestarian dan teknik-teknik ekologis yang selaras dengan alam. Maka, saya sendiri sangat tersentuh dengan bagaimana kita mesti sadar dan membangun hubungan yang erat dengan alam. Tanpa hubungan dengan alam yang erat, saya tidak yakin bahwa seseorang bisa sungguh memiliki opsi dan perhatian dengan alam itu sendiri. Konektivitas dengan alam, bagi saya adalah kata kunci saat kita mesti berbicara tentang rekonsiliasi dengan ciptaan. Alam adalah tempat terdekat bagi kita untuk berinteraksi dengan ciptaan lain, entah itu tumbuhan, hewan atau bahkan mikroorganisme yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan jelas. Desain dalam permaculture menjadi salah satu hal yang pokok. Desain yang dimaksud tentunya adalah desain yang berasal dari alam sendiri. Untuk sungguh mengaplikasikan permaculture di sekitar kita, kita bisa belajar dan mengadopsi tatanan yang secara khusus terdapat di alam, misalnya adalah ekosistem hutan. Hutan sendiri memiliki pola-pola ekologis yang secara teratur membuat ekosistem tersebut lestari. Melalui pola-pola yang ada, suatu ekosistem dapat menyimpan atau melepaskan energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang mungkin terdapat di dalamnya. Melalui pola-pola yang sama, suatu lingkungan hutan bisa melepaskan atau menahan air yang dibutuhkan oleh lingkungan hutan tersebut dan masih banyak lagi peranan pola-pola yang terdapat di alam. Di akhir kegiatan PDC, para peserta diminta untuk mempresentasikan desain-desain permaculture yang dimiliki. Saya sendiri juga sudah membuat desain permaculture yang nantinya akan saya terapkan di Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga (KPTT Salatiga). Dalam desain itu, saya menambahkan unsur edukatif. Saya mencita-citakan permaculture yang akan dibuat di KPTT bisa menjadi desain permaculture yang bisa dipelajari oleh banyak orang. Saya merasa optimis, di KPTT sendiri penguasaan terhadap dasar-dasar dan pengembangan pertanian organik sudah lebih baik. Dengan dasar ilmu pertanian yang ada, saya yakin permaculture dapat diintegrasikan dengan lebih mudah. Perpaduan antara permaculture dan pertanian organik ini, saya harapkan bisa menjadi jalan untuk mewujudkan secara nyata perdamaian dengan ciptaan. Saya juga berharap, KPTT nantinya dapat pula menjadi pusat dan rujukan untuk belajar tentang pendidikan ekologis dengan bentuk-bentuk penerapanya yang kreatif. Kontributor: Br. Dieng Karnedi, S.J. – KPTT

Pelayanan Masyarakat

Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan

Ulang Tahun KPTT ke-58 Pada 1 September 2023 kemarin, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga berusia genap 58 tahun. Perayaan HUT KPTT Salatiga tahun ini mengangkat tema “Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan.” Serangkaian acara dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun KPTT ini, mulai dari diskusi bertema lingkungan dengan para pegiat lingkungan di Salatiga dan dinas terkait, seminar untuk meningkatkan kompetensi karyawan, perayaan syukur, edufair, jobfair, dan eco camp untuk kaum muda. Perayaan syukur ulang tahun KPTT dilaksanakan pada 2 September 2023. Hadir dalam acara tersebut antara lain Bapak Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. (Pj. Walikota Salatiga), Bapak Dance Ishak Palit, M.Si. (Ketua DPRD Kota Salatiga), perwakilan Jesuit Provinsi Indonesia, Forkompincam, para pegiat lingkungan Salatiga, sekolah, universitas rekanan, perusahaan rekanan, dan para tamu undangan. Dalam sambutannya, Ketua DPRD mengapresiasi peran KPTT di Salatiga pada khususnya selama 58 tahun ini. “Saya mengapresiasi sumbangsih KPTT terhadap masyarakat tentang cara bertani dengan cerdas, dengan teknologi. Sudah banyak hal yang sudah dikerjakan oleh KPTT, bukan hanya khotbah. Semoga dengan adanya KPTT kita lebih menghayati kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita”, ungkap Pak Dance. Penjabat Walikota Salatiga, Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kontribusi KPTT yang tiada henti dan ternyata menembus batas. “Tidak lagi pada sekat-sekat yang sifatnya eksklusif, tapi pada menghidupi kata migunani. Kalau kata anak millennial, tidak peduli dari mana kamu berasal, yang penting ke arah mana kamu menuju. Harapannya jangan pernah berhenti menyebarkan virus kebaikan dan migunani ini,” ujar beliau. Sejenak kilas balik, berdirinya KPTT Salatiga diprakarsai oleh Ikatan Petani Pancasila (badan sosial), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (lembaga Pendidikan), dan Panitia Waligereja Indonesia (badan sosial keagamaan). KPTT Salatiga didirikan pada 1 September 1965 dan bernaung di bawah Yayasan Taman Tani. Tujuan awal berdirinya KPTT adalah memajukan perkembangan sosio-ekonomi khususnya di bidang agraria dengan menyelenggarakan kursus pertanian untuk membantu para petani dengan cara baru serta menjadikan petani-petani tersebut menjadi kader yang kompeten, mandiri, peduli, dan berhati nurani. Sampai saat ini, KPTT Salatiga menjadi salah satu rujukan untuk belajar modern farming, tidak hanya di bidang pertanian namun juga peternakan. KPTT menerapkan budidaya organik dan kembali ke alam. Salah satu contoh penerapannya adalah KPTT membuat sendiri dan menggunakan pupuk yang diperkaya dengan trichoderma untuk mengatasi bencana fusarium yang melanda tanaman-tanaman di KPTT. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Yayasan Taman Tani, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dalam sambutannya. Kala tahun 2017, KPTT dibuat pusing karena bencana fusarium ini. Pisang dibelah, dalamnya hitam. Bahkan jika membelah pohon pisang yang terkena fusarium, maka akan kita temukan bagian dalam batang yang juga menghitam. Lalu KPTT mencoba mencari teknologi tepat guna untuk melawan bencana fusarium ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fusarium bisa dilawan dengan jamur juga, yakni trichoderma. Sejak saat itu, KPTT mulai belajar mengekstrak jamur trichoderma dari bahan alami kemudian ditambahkan ke dalam pupuk untuk merawat tanaman. KPTT terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Direktur KPTT, Pater F.A. Sugiarta, S.J., mengajak kita semua untuk mendengar dan menanggapi seruan ciptaan. Sesuai dengan ajakan pemerintah Indonesia menuju Indonesia Maju 2045, saat ini KPTT sedang merancang profil manusia ekologis untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Sesuai dengan tema ulang tahun saat ini, KPTT mengajak kita untuk menjadi manusia ekologis. Apa itu manusia ekologis? Manusia ekologis adalah manusia yang mempunyai hubungan harmonis dengan Tuhan, lingkungan alam, dan sesama. Diharapkan KPTT bisa menjadi salah satu pusat pendidikan ekologis, secara khusus di Salatiga dan Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan memberkati niat baik ini. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Pelayanan Masyarakat

“Rumah Pelepas Kejenuhan”

Circle Volunteer Perkampungan Sosial Pingit Circle muncul sebagai wadah untuk para volunteer PSP untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain, mulai dari volunteer baru hingga volunteer lama yang masih aktif. Setelah wacana sebelumnya, Circle akhirnya bisa kembali dilaksanakan dengan sangat baik. Bersama para frater dan para volunteer, kami bermalam di Omah Jawi, Kaliurang. Suasana dingin mulai menyambut ketika kami datang. Setiap orang datang sendiri-sendiri karena belum terlalu mengenal satu sama lain. Selesai menaruh tas di kabin masing-masing, kami pergi makan kudapan ringan sambil berbincang. Kegiatan ini merupakan upaya pembekalan para volunteer di Sekolah Pingit dengan keterampilan mendampingi anak-anak sekaligus mempererat ikatan persahabatan sesama volunteer. Sesi dari Ko Edwin, salah satu pemateri dari Universitas Mercu Buana cukup menarik. Ia memberikan wawasan tentang “kreativitas tanpa batas”. Setiap orang bisa menjadikan kreativitas sebagai sebuah inovasi tersendiri terlepas dari banyak tantangan dan kelemahan yang dimilikinya. Kami diberi kesempatan untuk mengembangkan games dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan seperti sedotan, karet, bol pingpong, kelereng dan sejenisnya. Setelah pembekalan ini, para volunteer dibagi dalam kelompok untuk mempersiapkan materi-materi pembelajaran bersama anak-anak di Sekolah Pingit. Hasil persiapan itu kemudian dipresentasikan di hadapan kelompok lain untuk mendapat masukan, saran dan perbaikan yang perlu. Dengan cara ini, setiap volunteer bisa memahami dan menemukan cara baru yang kreatif dalam memberikan materi ajar kepada anak-anak di Sekolah Pingit. Acara ditutup dengan misa bersama Pater Pieter Dolle, S.J. Circle Volunteer menjadi tempat para volunteer merasakan ikatan kebahagiaan bersama bahwa Pingit adalah tempat melepas kejenuhan dengan segala kegiatan yang dilakukan. Pingit menjadi rumah untuk para volunteer agar bisa kembali menemukan diri mereka, mengalami kegembiraan tanpa memikirkan beban yang ada sebelumnya. Pingit menjadi rumah candu bagi volunteer, rumah berbagi kisah dan pengalaman, dan rumah yang akan menjadi tujuan akhir bila kami merasa penat dengan kehidupan yang dijalani. Saya berharap agar saya pribadi bisa sungguh tetap berusaha ada dan hadir untuk Sekolah Pingit. Kontributor: Lidwina Paskarylia Shinta – Volunteer PSP, Mahasiswa Fakultas Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Pelayanan Masyarakat

Memelihara Bumi itu Menyenangkan

Laudato Si Kids Eco Camp Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa bumi, rumah kita bersama bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita. Saudari kita ini menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan padanya. Oleh karena itu, Bapa Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang berjudul Laudato Si mengajak setiap orang untuk menjaga Saudari Bumi, rumah kita Bersama. Ensiklik ini sudah dipublikasikan sejak 18 Juni 2015, namun gaungnya masih kurang mengena bagi sebagian besar umat Katolik; terutama anak-anak dan orang muda. Oleh karena itu, KPTT Salatiga bekerjasama dengan Komunitas Bhumi Svarga menyelenggarakan sebuah Kids Eco Camp pada tanggal 8-9 Juli 2023 yang bertempat di Pusat Pastoral Pendidikan Ekologis KPTT, Salatiga. Laudato Si Kids Eco Camp dikemas dengan acara yang menyenangkan melalui berbagai macam permainan dan penugasan yang sesuai dengan tema serta dunia anak & remaja. Kemah ini diikuti oleh 37 anak dan remaja yang berasal dari beragam paroki, antara lain: Paroki Antonius Padua Purbayan, Paroki Stanislaus Kostka Girisonta, Paroki St. Yusup Ambarawa, Paroki Paulus Miki Salatiga, dan Paroki Kristus Raja Semesta Alam Tegalrejo. Dalam kemah hari pertama, anak-anak diajak untuk lebih mengenal ensiklik Laudato Si. Dengan lebih mengenal ensiklik ini, terbersit harapan supaya anak-anak ini bisa menjadi perpanjangan tangan Allah dalam memelihara bumi, melalui tindakan nyata sederhana yang bisa dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Ensiklik Laudato Si memang harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan nyata. Pada hari berikutnya, anak-anak diajak untuk membuka mata terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Anak-anak ini berkeliling di lingkungan sekitar Area 3 Pusat Pastoral KPTT untuk melihat masalah sampah yang mencemari daratan, sampah yang mencemari saluran air di dekat KPTT; serta masalah polusi dari industri besar yang ada di sekitarnya. Ada satu hal yang menarik: ketika sekelompok anak memunguti sampah di sungai, secara kebetulan mereka bertemu dengan salah satu pegiat lingkungan disana. Beliau bercerita bahwa pada tahun 2020 lalu; ada sekitar 3-4 ton sampah yang masuk ke saluran air itu setiap harinya. Sekelompok anak yang lain merasakan langsung polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik karena limbah yang berbau tidak sedap serta polusi suara yang ditimbulkan dari dampak aktivitas pabrik. Kelompok yang lain menemukan begitu banyak sampah plastik yang susah sekali terurai di tanah dan mengakibatkan pemandangan yang tidak sedap. Di penghujung kemah, anak-anak ini berkomitmen untuk menciptakan surga surga bagi semua makhluk hidup yang hidup di bumi. Tujuan ialah agar melalui keberadaannya, setiap makhluk di bumi bisa memuliakan nama Tuhan dengan caranya masing-masing dan menciptakan bumi yang baik seperti ketika Allah menciptakannya. Komitmen ini ditegaskan oleh Pater Agustinus Wahyu, S.J. dalam Misa Alam sebagai puncak perutusan dari keseluruhan acara ini. Pada akhirnya, Alam – Manusia dan Tuhan adalah satu kesatuan utuh yang saling terkoneksi. Melalui ensiklik ini, kita diajak untuk hidup lebih bijaksana, berpikir lebih mendalam dan mencintai dengan tulus hati. Santo Fransiskus dari Assisi menunjukkan kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Pelayanan Masyarakat

Rumah untuk Kembali

Rumah bagiku adalah tempat ternyaman untuk beristirahat setelah bergelut dengan berbagai kesibukan yang menguras energi. Aku menemukan “rumah” keduaku, tempat menenangkan pikiran sejenak setelah satu minggu berkutat dengan angka serta rumus yang memenuhi memoriku. Realino, itulah rumah keduaku yang aku kenal sejak Februari 2023 lalu. Sebenarnya masih terlalu awal untuk mengatakan Realino sebagai rumah kedua, namun itulah yang aku rasakan selama kurang lebih tiga bulan ini. Bermula dengan postingan feeds Realino saat itu melewati beranda eksplore Instagram pribadiku. Postingan itu menarik mataku dan membuat jariku mulai membuka profil serta menelusurinya lebih dalam. Tanpa berpikir panjang dan hanya bermodal nekat, aku langsung mendaftarkan diri menjadi volunteer. Singkat cerita, aku akhirnya bergabung setelah bertemu dengan Pater Fransiskus Pieter Dolle, S.J. dan Mbak Luci. Pertemuan awal itu saja sudah membuatku yakin bahwa aku akan berada di tempat ini. Hari-hari mengajar selalu berlangsung menyenangkan bagiku. Melihat anak-anak yang menyambut kedatangan para volunteer di tempat mengajar membuatku sumringah. Mereka selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan apa pun. Suatu waktu, salah satu anak bersemangat menghampiriku, memegang lenganku kemudian bertanya “Mbak, hari ini kita mau ngapain? Seru-seruan lagi kan?” Luar biasa, pertanyaan sederhana itu mampu membuat energiku penuh kembali untuk menghadapi berbagai peristiwa yang akan datang. Tingkah laku iseng anak-anak selalu mewarnai Jombor di sore hari. Tanpa mereka, Jombor hanya tempat mengajar biasa yang membosankan. Hal-hal kecil yang dilakukan anak-anak itu membuatku ingin kembali ke sana setiap minggunya, bertemu mereka. Tidak hanya anak-anak yang membuat Realino ini aku tetapkan sebagai rumahku. Realino mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa yang sebelumnya tidak aku duga akan dapat bertemu. Orang-orang itu yakni Pater Pieter, Mbak Luci, para volunteer, dan mereka yang mampir untuk berbagi kebahagiaan. Mereka adalah orang yang mampu membuatku semangat meng-upgrade diri karena aku merasa “ditemani” berproses bersama mereka. Dari mereka aku belajar banyak hal tentang hidup secara tidak langsung. Di tempat ini aku bertemu orang-orang yang bersedia meluangkan waktu di sela kesibukan demi memberikan tenaga melayani orang lain dengan penuh kasih. Dalam keadaan apapun; hujan-panas, siang-malam mereka meluangkan waktu berkumpul di Jalan Mataram yang selalu sibuk itu. Terkadang keluh kesah terdengar, namun senyum mereka tetap terkembang di wajah lelah mereka. Mereka yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang “berjodoh” dengan Realino dan segala isi di dalamnya. Terima kasih Realino. AMDG! Kontributor: Aurelia Pradhita Nareswari Pangarso

Pelayanan Masyarakat

Kenangan dan Pembelajaran sebagai Kekayaan Rohaniku

Februari ini, usia saya 58,5 tahun, usia pra-manula. Sudah sewajarnya berhenti bekerja di institusi formal. Saya akan banyak di rumah. Tak ada lagi pertanyaan dari tetangga atau teman saat berjumpa di kompleks perumahan, “Sekarang tugas di mana, Pak?” Tentu saya sangat berterima kasih kepada JRS Indonesia yang telah memberi saya kesempatan untuk bergabung, sejak pasca Tsunami, Displacement Prevention Program, Need Assessment untuk Returnee Papua, Be Friend with Refugee sampai Journey with de Facto Refugee di Bogor dalam rentang waktu sekitar 16 tahun. Apa Rencana setelah Purna Kerja? Memasuki masa purna kerja, tentu saya akan memasuki ritme baru dalam aktivitas hidup keseharian, dari yang semula bekerja dengan rule of game yang jelas dan tertib, masuk jam 8 dan pulang jam 5 sore, mulai Senin sampai Jumat, dan tinggal di perantauan, kemudian saya akan tinggal di rumah dengan kegiatan yang diatur dan disusun sendiri, tanpa rutinitas berangkat dan pulang. Bangun pagi itu pasti, namun setelah terjaga dan mulai beraktivitas, apalagi yang mesti dikerjakan, nyuci, masak, bersihin rumah atau pekerjaan domestik lainnya, lalu mau ngapain lagi ya? Tentu ritme hidup dengan aktivitas di seputaran rumah BTN yang kecil dan tak ada lahan pekarangan akan sangat membosankan. Belum ada gambaran aktivitas yang bersifat olah pikir atau intelektual, atau kerja meja, mungkin saya sudah nggak mampu. Saya berharap, masih bisa bekerja, meski bekerja kasar, turun ke sawah misalnya, jadi petani penggarap. Alat saya adalah cangkul dan sabit, dan tubuh saya siap dibakar matahari yang terik. Kebernilaian manusia adalah bekerja, meski hanya untuk diri sendiri, dan mungkin tampak tak berguna bagi orang lain, yang penting adalah niat, sehat, dan semangat untuk tetap beraktivitas. Dengan tetap beraktivitas, badan dan pikiran tidak statis sehingga menjadikan badan dan pikiran tetap seiring dan sejalan. Jika banyak bengong tanpa aktivitas, bisa jadi badan duduk atau rebah di mana, pikiran lari ke mana, terlalu banyak melamun adalah awal ketidakberdayaan. Pekerjaan dan Hidup Saya Sepanjang hidup, sudah banyak pekerjaan yang saya jalani. Mulai dari reporter saat koran lagi booming pada akhir tahun 1980an. Usia 25 tahun, saya bergabung dengan koran baru anak usaha Kompas-Gramedia Group di Jawa Timur. Itulah awal saya masuk dunia kerja formal. Lalu pada tahun 1993 selesai kuliah, saya bergabung dengan LSM yang masih ada kaitan dengan dunia pers dan pelatihan reporter di Yogyakarta. Pernah juga jadi kuli pabrik di Korea Selatan akhir dekade 1990-an (semata-mata ingin cari uang setelah krismon). Lalu saya kembali gabung LSM yang berfokus pada penelitian dan bermitra dengan LIN (Lembaga Informasi Nasional) untuk penelitian tentang potensi integrasi dan potensi konflik di beberapa daerah. Saya pernah ke perbatasan Aceh, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumut pada tahun 2002, ke Tapanuli Utara (Tarutung) pada 2003, dan ke Aceh Utara dan Kabupaten Jayapura, Papua pada tahun 2004. Barulah pasca Tsunami, 2005, tepatnya bulan Juli saya bergabung dengan JRS di Aceh. Saya berangkat ke Medan pada 09 Juli 2005 dan selanjutnya ke Meulaboh pada 12 Juli. Saat itu Aceh masih konflik. Setelah Respons Tsunami Aceh selesai 2007, JRS merambah ke wilayah Aceh Selatan untuk Program Displacement Prevention, dengan proyek andalan Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) setelah UU Penanggulangan Bencana disahkan tahun 2007 ((UU NO 24/Tahun 2007). Saya bergabung sejak need assessment sampai jadi IAO untuk untuk Proyek Komunitas. Pertengahan 2011, saya berhenti dan pulang ke Yogyakarta. Saya sempat berkuliah Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma selama 3 semester. Lalu pada awal 2013, saya bergabung lagi dengan JRS selama enam bulan untuk melakukan need assessment kepada para returnee yang berada di kabupaten perbatasan Provinsi Papua dan Papua Nugini (New Guinea). Saya sempat ke Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura, juga ke Kabupaten Merauke. Saya menemani Bung Doni (Donatus Akur) yang sebelumnya juga sebagai koordinator di Proyek Komunitas Program Displacement Prevention di Aceh Selatan. Bulan Oktober dan November, saya ditugasi lagi oleh JRS untuk kembali ke Aceh Selatan untuk penjajagan evaluasi proyek Displacement Prevention setelah ditutup dua tahun. Dua kali saya ke Aceh Selatan, pertama dengan Mbak Elis untuk penjajagan evaluasi eksternal dan yang kedua dengan Bung Enggal (mantan IAO Proyek Aceh Selatan) untuk menemani para evaluator eksternal. Kembali ke JRS Saya mulai aktif bergabung kembali sebagai staf JRS sejak 2014 untuk proyek Be Friend with Refugees, untuk para pencari suaka yang ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya, tepatnya di Bangil, Kabupaten Pasuruan. Saya bertugas sebagai Information and Advocacy Officer (IAO) dan juga caregivers untuk para refugee yang ditahan di Rudenim dengan memberikan kegiatan psikososial. Di Rudenim ada tiga lembaga yang bertanggung jawab, yaitu Imigrasi, IOM, dan UNHCR. JRS ikut memberikan pelayanan psikososial untuk para pencari suaka. Pernah suatu waktu, seorang pencari suaka mengatakan bahwa UNHCR ibarat ayah karena melindungi pencari suaka, IOM ibarat Ibu karena memberi makan dan fasilitas lainnya, dan JRS hanyalah teman. Tapi pencari suaka paling dekat dengan teman, karena JRS lah yang mau mendengar dan memenuhi yang pencari suaka minta, seperti kegiatan psikososial antara lain turnamen futsal, turnamen bola voli, berenang, berkebun dan juga piknik ke taman Safari di Pandaan Pasuruan. Tiga tahun saya mendampingi pengungsi di Rudenim Surabaya. Setelah itu, awal 2017 saya ditugasi untuk mencoba program yang sama di Rudenim Pontianak, Kalimantan Barat namun tidak dapat terlaksana. Kemudian Program Psikososial untuk deteni di Rudenim dipindahkan ke Rudenim Medan, Sumatera Utara. Di Rudenim Medan, saya jalankan kegiatan psikososial sampai akhir 2018. Pada tahun ini, ada kebijakan Rudenim tidak lagi menahan para pencari suaka sejak Maret 2018 dan pelan-pelan semua pencari suaka yang sudah ditahan dikeluarkan kemudian dipindah ke Community Housing. Praktis Rudenim kosong sampai akhir 2018. Kemudian pada 2019 saya ditugaskan ke PSS (Psychosocial Support) selama tiga tahun, dan pada 2022 ditugaskan sebagai IAO pada proyek Journey with de facto Refugees. Praktis total saya bergabung dengan JRS hampir 16 tahun, hampir setengah dari masa kerja saya. Tentu banyak kenangan dan dinamika yang dirasakan selama kurun waktu tersebut. Selain mengenal teman-teman sekerja dari berbagai latar belakang, saya juga mengenal beberapa Pater dari Serikat Jesus, mulai dari Pater Edy Mulyono, S.J.; Pater Adrianus Suyadi, S.J.; Pater Thomas Aquinas Maswan Susinto, S.J.; Pater Peter Benedicto Devantara SJ, dan direktur baru JRS Pater Martinus Dam Febrianto, S.J. Saya

Pelayanan Masyarakat

Sumunar ing Jiwa kang Samar*

Refleksi Tumpu | SMA Kolese de Britto dan Realino SPM Barang siapa menanam akan menuai. Sama halnya dengan dunia masa depan yang merupakan hasil jerih payah masa sebelumnya. Setiap tindakan yang dilakukan akan memberikan efek pada lingkungan sekitar maupun efek bagi masa depan. Kami percaya bahwa Tuhan menghendaki kami turut berperan dalam memberi efek dan daya ubah bagi lingkungan sekitar. Salah satunya adalah keterlibatan kami dalam organisasi pemimpin pengabdi bernama Tumpu. Tumpu bermakna sebagai tempat berpijak atau fondasi yang berfungsi sebagai tumpuan benda agar stabil atau aman. Tumpu mengajak para volunteer,salah satunya beberapa siswa SMA Kolese de Britto, untuk berani terjun langsung dalam kegiatan pelayanan kepada sesama, yaitu mengajar anak-anak yang tidak pernah bersekolah. Salah satu kegiatan tersebut berlokasi di Bong Suwung, sebuah sanggar yang dikelola Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino dan terletak di sebelah barat Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta. Ngrembug Kami bergabung dengan Tumpu sebagai volunteer. Kami akui, ketika masuk dan berjumpa dengan Tumpu, kami cukup kebingungan menentukan aksi yang akan dilakukan. Pada awal kegiatan ini dilaksanakan, sebenarnya kesungguhan dan kemauan melayani secara murni belum timbul dalam diri kami, terutama karena kegiatan ini hanyalah semata tugas dari mata pelajaran Pendidikan Nilai. Beruntunglah, kebingungan ini tidak bertahan lama karena selang beberapa hari, anggota Tumpu berkumpul dan mengadakan pertemuan secara daring membahas segala hal yang akan dikerjakan. Setelah pertemuan itu, semuanya menjadi lebih jelas. Para siswa SMA Kolese de Britto dibagi menjadi dua tim. Ketika saatnya berdiskusi, kebingungan muncul kembali. Materi apa yang akan disampaikan? Lantas muncul banyak pertanyaan lainnya. “Siapa koordinatornya?” “Ini kita ngajar anak-anaknya di mana?” “Ngajarnya entar pake materi apa? Kita yang buat?” “Eh tim kita bagian apa sih?” Seraya mendiskusikan bahan pengajaran, muncul berbagai perasaan bingung, cemas, hingga khawatir. Mengapa hal ini muncul? Karena inilah pengalaman pertama kami untuk mengajar. Kami lebih terbiasa dengan peran siswa dibandingkan dengan peran sebagai guru. Kebingungan ini akhirnya membawa kami pada keputusan untuk melakukan peninjauan dahulu ke calon tempat kegiatan. Secercah Ketersentuhan Perjalanan menuju sanggar Bong Suwung bisa dikatakan merupakan pengalaman yang unik bagi kami. Ini adalah kali pertama kami pergi ke sebuah area permukiman yang berada di bantaran rel kereta dan yang biasanya hanya dilihat melalui TV. Ketika sampai di sanggar, kami melihat-lihat keadaan sekitar. Sanggar tersebut berada di pinggir rel kereta tetapi tentu tidak terlalu dekat. Ruangannya cukup nyaman dengan dominasi warna coklat dan diisi dengan perabotan-perabotan lainnya. Suara kereta yang sangat keras dan berisik seringkali mengejutkan kami karena jarak yang cukup dekat dengan jalur mereka dan mereka sering muncul dengan tiba-tiba. Dalam kesempatan ini, tak sengaja, kami malah bertemu dengan salah satu dari anak-anak sanggar ketika hendak melangkah pergi dari sana. Awalnya kami mengira bahwa dia akan mengabaikan kami namun ternyata sebaliknya. Dia justru begitu antusias dan bertanya kepada salah satu dari kami, “Mas, ini mau mulai? Kok masnya pada balik?” Dari nada bicaranya, terlihat bahwa anak itu bersemangat untuk belajar namun sayangnya saat itu kami hanya melakukan peninjauan tempat saja. Sesi Pengajaran Hari pengajaran pun datang. Selama dua minggu berturut-turut, kami mempersiapkan materi yang akan diajarkan pada anak-anak. Kami juga harus pergi ke sana-sini untuk menyiapkan bahan dan materi pendukung. Ternyata cukup melelahkan dan membuat pusing terutama karena harus menghitung dana dan membuat berbagai laporan pertanggungjawaban. Ternyata tantangan belum usai. Ada kendala di luar dugaan kami. Kami tidak bisa menggunakan mesin lem tembak di sana karena keterbatasan daya listrik. Kejadian tersebut sungguh membingungkan dan membuat seluruh anggota tim kecewa dan kalut. Materi yang sudah dipersiapkan hampir saja gagal karena bahan utamanya tidak bisa digunakan. Situasi ini diperkeruh dengan suara anak-anak yang ribut. Namun kendala ini bukanlah halangan tetapi justru menjadi tantangan bagi kami. Kami berusaha mengatasinya dengan membeli lem di warung terdekat. Hal ini cukup berhasil dalam mengatasi masalah sehingga materi dapat berjalan meskipun terjadi penundaan begitu lama. Dari sesi pertama, banyak sekali emosi dan perasaan yang didapatkan, sekalipun didominasi oleh rasa kecewa.Kecewa karena materi yang dipersiapkan gagal dan kecewa karena semuanya tidak berjalan mulus. Namun dari sini kami belajar bahwa rencana yang sudah dipersiapkan dengan matang pun memiliki potensi gagal. Meski demikian, pertemuan pertama sudah mengajari kami cara berkomunikasi dengan anak-anak, memahami perilaku mereka yang enerjik, dan lainnya. Ada satu hal yang cukup menampar kami, yaitu kebahagiaan mereka. Di balik kondisi dan situasi yang dialami, mereka selalu bisa tersenyum dan tertawa. Cukup heran rasanya. Pada pertemuan kedua, kami menyiapkan materi mosaic origami. Dalam kesempatan ini, kami berusaha untuk mempersiapkan materi dengan lebih baik. Secara khusus, kami berusaha untuk terus berkomunikasi dengan pihak volunteer lainnya agar tidak ada salah komunikasi lagi. Anak-anak antusias untuk mencoba materi kedua yakni mosaic origami. Antusiasme mereka menjadi angin segar bagi kami. Seolah-olah semua kerja keras yang dilakukan terbayar lunas oleh senyuman dan antusiasme anak-anak di sanggar. Kami senang karena bisa bahagia bersama kebahagiaan mereka. Sejenak Merefleksikan Terkadang kami terlalu fokus dengan tujuan sampai melupakan proses yang seharusnya dirasakan. Dalam pengajaran ini, terdapat banyak emosi, baik antusiasme, kebahagiaan, kebingungan, maupun kelucuan. Kami pada awalnya masih belum bisa memahami mereka. Namun, perlahan-lahan kami belajar untuk memahami dan membuat senyum terus bertahan di muka dan hati mereka. Dari pengalaman-pengalaman ini, kami juga belajar banyak hal baru: Bagaimana menghadapi anak-anak, berkomunikasi dengan mereka, memahami mereka, merasakan dan menanggapi emosi yang mereka tunjukkan. Hal ini menjadi pengalaman yang begitu bermakna bagi kami. Meskipun kami kebingungan pada permulaan, tetapi perlahan-perlahan kepuasan, rasa bahagia, dan keberhasilan bisa kami dapatkan. Segala perasaan seperti capek, bingung, pusing, lelah, ketidakberdayaan, kecewa dan lainnya, terbayar sudah dengan kebahagiaan. Kami menyadari bahwa kehidupan yang harus mereka alami begitu keras, bahkan mungkin lebih sulit dari hidup yang kami miliki. Mungkin masa depan mereka lebih samar dibandingkan masa depan kami. Namun, dengan sarana Tumpu, kami mencoba untuk belajar bersyukur serta menyumbangkan diri kami lewat berbagi ilmu dengan harapan dapat menjadi secercah terang di tengah jiwa yang samar. Kami bersyukur atas dinamika ini. Kami bersyukur boleh berupaya menjadi wujud terang kasih Allah bagi sesama. Sama seperti lilin yang harus terbakar untuk menjadi terang bagi yang lain, kami pun bersyukur karena bisa belajar berkorban entah waktu, tenaga, pikiran, maupun perasaan. Lilin itu adalah kami, yang