capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Berani Membela Kehidupan

Date

Sebanyak tiga kali kita mendengarkan kisah sengsara Yesus dalam masa Pekan Suci. Pertama, saat Perayaan Ekaristi Minggu Palma. Kedua saat mengikuti Ibadat Jalan Salib, dan ketiga dalam Ibadat Jumat Agung. 

Hampir semua orang merasa trenyuh setiap kali membaca, mendengarkan, atau bahkan menonton kisah sengsara ini. Pada Paskah tahun ini, ada dua hal yang menyadarkan saya dari kisah sengsara Yesus. Pertama, kematian Tuhan Yesus diselimuti oleh kekerasan. Pemaknaan ini saya ambil dari dalam homili Ibadat Jumat Agung dari Pastor Rekan Paroki Blok B, Gereja St. Yohanes Penginjil, Pater Aluisius Pramudya Daniswara, S.J.

Imam Jesuit yang akrab disapa Pater Pram ini seakan mengetuk kesadaran kita bahwa kisah sengsara Yesus merupakan tragedi kekerasan. Andaikan kita sadar, sekarang ini kasus kekerasan sudah seperti makanan sehari-hari, dalam arti, kerap terjadi. 

Pater Pram membeberkan bahwa sepanjang tahun 2019, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat terdapat lebih dari 430.000 kasus kekerasan. Angka ini naik 6% dari tahun sebelumnya. Ada lagi, Amnesty International Indonesia mencatat juga adanya tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan jurnalis yang semakin meningkat. Belum lagi kita disodorkan berita hoax yang berserakan di media sosial yang memperkeruh suasana hidup bermasyarakat.

Dekorasi Gua Kubur Batu menggunakan kertas semen bekas yang dibuat oleh Panitia Paskah 2022 Wilayah VI Paroki Blok B di Lobby Gedung Yohanes.
Dok. Panitia Paskah 2022 Paroki Blok B

Bunda Maria, para murid, dan sejumlah orang dalam kisah sengsara Yesus merupakan saksi atas kekerasan di masa lampau. Bagaimana dengan kita yang menjadi saksi Kristus di zaman sekarang ini?  Apakah kita hanya diam ketika tindak kekerasan terjadi?

Kedua, kisah sengsara Yesus kerap dianggap menjadi suatu kekelaman. Wafat Yesus mengakibatkan para murid-Nya mengalami mental breakdown.  Pater Pram mengingatkan, melalui kisah sengara Yesus, bahwa kita jadi mengenal Tuhan yang merangkul sejarah hidup manusia dalam segala kesengsaraan dan harapannya. Artinya, wafat Yesus merupakan bukti cinta Tuhan kepada manusia tanpa batas. Tuhan yang mau berkorban. 

“Tuhan yang menyapa kesedihan manusia dan rela memberikan dirinya sampai sehabis-habisnya!” tegas Pater Pram.

Di akhir homilinya, Pater Pram mengajak kita sebagai murid Kristus untuk memaknai kisah sengsara sebagai tanda pemberian diri Tuhan Yesus sampai tuntas. Kita dipanggil untuk melanjutkannya, berjerih payah untuk memperbaharui, merawat, dan membela kehidupan.  

Yang bisa saya rangkum dari Paskah tahun ini, berdasarkan makna yang saya temukan dari kisah sengsara Yesus, adalah sebuah pertanyaan,. Maukah kita memberikan diri kita sehabis-habisnya dan memberanikan diri demi membela kehidupan? 

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Yohanes 15: 12-13

Kontributor : Karina Chrisyantia – Komsos Paroki Blok B

More
articles

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *