Pilgrims of Christ’s Mission

Author name: Komunikator Serikat Jesus

Feature

“Manusia dan Ketahanan Lingkungan”

Refleksi Atas Studi Ekskursi 2024 Pada 30 September hingga 5 Oktober 2024, siswa kelas 10 SMA Kolese de Britto Yogyakarta mengikuti kegiatan formasi studi ekskursi. Pada tahun ini, studi ekskursi yang mengambil tema “Merawat Alam Ciptaan Tuhan Dalam Bingkai Kearifan Lokal,” mengajak para siswa untuk semakin memperhatikan lingkungan yang selama ini ditinggali sambil mengenali kearifan lokal di sekitar. Para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan pengamatan dalam bidangnya masing-masing, baik itu energi, pangan, maupun pengelolaan sampah. Tak hanya mengamati, para siswa juga ikut merasakan usaha mewujudkan kelancaran proses yang ada demi stabilnya kehidupan. Tangan kami menjadi kotor dan raga mengalami kelelahan, namun pengalaman kami terbentuk hingga mampu mengambil pelajarannya.   Melalui pengamatan, kami disadarkan bahwa menghasilkan pangan, menghasilkan energi listrik, dan mengelola sampah yang dihasilkan demi ketahanan kehidupan manusia memerlukan proses yang panjang dan tidak selalu instan. Supaya proses bisa berjalan lancar, diperlukan teknologi yang maju dan didukung oleh sumber daya dan sumber dana yang memadai. Sayangnya, hal tersebut rupanya masih menjadi mimpi yang terlalu jauh bagi para pelaku usaha pemberdayaan pangan, listrik, dan kebersihan lingkungan. Beberapa dari mereka mengalami kekurangan tenaga manusia dan keterbatasan teknologi sehingga hasil maksimal tidak mudah dicapai. Kurangnya dukungan ini juga membuat beberapa pelaku menjadi terancam, contohnya para produsen rambak di Desa Gantiwarno yang berkurang banyak jumlahnya. Dari yang semula berjumlah 15 rumah produksi, turun menjadi hanya 6 rumah produksi dalam waktu 1 dekade.   Kita diundang untuk bisa membantu para pelaku usaha pemberdayaan lingkungan dan ketahanan hidup, setidaknya dengan mendukung usaha pemberdayaan lingkungan. Tak perlu analisis mendalam, kegagalan kita untuk bisa membantu pemberdayaan lingkungan mampu kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Sampah plastik tercecer di mana-mana, sampah makanan menumpuk, suhu yang memanas akibat pemanasan global yang semakin parah. Ini semua menjadi bukti nyata yang dengan mudah kita temui. Justru semua ini terjadi ketika lingkungan semakin tidak stabil. Terjadi krisis pangan, energi, dan kebersihan lingkungan hidup yang semakin diperparah oleh kesulitan para aktivis pemberdayaan lingkungan hidup.   Saya sendiri sering merasa malu karena sedemikian tega terhadap lingkungan yang saya tempati. Sampah tidak saya pilah. Saya mengandalkan plastik sehingga sampah plastik semakin menumpuk. Makanan yang tersisa juga dibuang begitu saja. Saya juga menikmati dinginnya AC hampir sepanjang hari, menghamburkan energi. Manusia mungkin hanya menginginkan kenyamanan. Kita semua juga melakukan hal yang sama dan ini mengajak kita untuk berefleksi, mengapa kita setega itu? Sebagai makhluk yang telah diberi kehendak bebas oleh Tuhan, kita mampu menentukan keputusan sesuai akal budi dan hati nurani. Apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki lingkunganku?   Kontributor: Bumi Praba Murti – SMA Kolese de Britto

Karya Pendidikan

Being Men and Women for and with Others

Pada 2-5 Desember 2024 lalu, sebanyak 23 calon anggota Presidium Kolese Le Cocq d’Armandville mengikuti kegiatan LKI di Biara Susteran Abdi Kristus, Distrik Wanggar, Nabire, Papua Tengah. LKI atau Latihan Kepemimpinan Ignasian bertujuan mempersiapkan para calon anggota Presidium baru untuk menjadi pemimpin yang berkualitas dan berlandaskan pada nilai-nilai Ignatian.   “Being Men and Women for and with Others” menjadi tema LKI kali ini. Melalui tema ini para calon anggota Presidium diharapkan mampu menjadi pemimpin yang peduli, bertanggung jawab, dan terlibat dalam hidup warga sekolah serta masyarakat sekitar. Hidup ini bukan hanya untuk diri sendiri saja melainkan juga untuk melayani sesama, khususnya mereka yang kurang beruntung, terpinggirkan, dan tidak terperhatikan.   Pada 2 Desember 2024, pukul 07.30 WIT, para calon anggota Presidium bersama para pendamping, diantar menuju Wanggar menggunakan truk. Perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam tersebut ditemani oleh Ibu Ester Yanti dan Pater Yakobus Toto Yulianto, S.J.   Setibanya di Wanggar, Fr. Engelbertus Viktor Daki, SJ memimpin Ibadat Pembuka LKI. Dalam renungan singkatnya, Fr. Egi mengundang para calon anggota Presidium untuk sungguh-sungguh mengikuti dinamika LKI dengan hati yang terbuka dan penuh sukacita.   Mengenal Diri Para peserta LKI menerima sejumlah materi menarik. Pada hari pertama Ibu Theresia Kegiye memberikan materi Pengenalan Diri. Para peserta diajak untuk sungguh mengenali diri mereka sebagai pribadi-pribadi yang dikasihi Allah, memiliki sejumlah bakat dan kemampuan yang berguna bagi banyak orang, dan bersedia menjadi pemimpin yang sungguh-sungguh mau melayani.   Kak Magda, salah satu mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang sedang menjalani program Asistensi Mengajar di Kolese Le Cocq turut memberikan materi mengenai Kualitas Seorang Pemimpin. Kak Magda menekankan pentingnya seorang pemimpin memiliki sejumlah kualitas diri yang mumpuni sehingga mampu menjadi inspirasi sekaligus penggerak organisasi. Tak lupa pula, Kak Magda mengajak para peserta untuk berefleksi lebih dalam dan mengenal sosok pemimpin seperti apa dan siapa saja yang menjadi inspirasi bagi mereka.   Selain diajak mengenal diri dan meninjau kualitas pemimpin, Kak Mutiara Kausar, mahasiswi Sanata Dharma yang sedang dalam program Asistensi Mengajar juga ikut memberikan materi mengenai Keterampilan Pemimpin. Para peserta diajak untuk mengenal sejumlah keterampilan dasar apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, seturut dengan semangat Ignatian, seperti keterampilan berdiskresi dan bertindak berdasarkan semangat magis.   Value Based Leadership Pada hari kedua, Fr. Engelbertus Viktor Daki, S.J. mengajak para peserta untuk belajar menjadi pemimpin-pemimpin yang berintegritas, berjalan bersama Tuhan. Mereka diajak untuk melihat tindakan-tindakan Yesus, sang Guru sejati, dalam melayani dan mendampingi para murid.   Dalam pemaparannya, Fr. Egi menjelaskan bahwa dalam dinamika memimpin nantinya, mereka akan senantiasa berada dalam “medan perang” dari waktu ke waktu. Perang akan terjadi antara nilai-nilai kepemimpinan yang mereka junjung tinggi dengan aneka godaan, pertentangan, kerapuhan, dan kelemahan diri. Mereka diajak mengenal diri begitu rupa agar jika nanti godaan itu datang mereka tahu apa yang harus dilakukan agar nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu kejujuran, kerendahan hati, magis, dan ketulusan itu tetap terjaga.   Pada akhirnya, mereka diundang untuk menjadi pemimpin yang memiliki keselarasan pikiran, hati, dan tindakan. Keselarasan ini diharapkan bisa membawa mereka pada pertumbuhan sejati, menjadi pemimpin-pemimpin berpikir, berucap, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai luhur, alih-alih kecenderungan diri, ego, dll.   Relasi Kuasa Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Ketika seseorang didapuk menjadi seorang pemimpin, ia memiliki kuasa untuk menggerakkan orang lain. Pater Rikhardus Sani Wibowo, S.J, sebagai pemateri, mengajak para peserta untuk sama-sama mencermati peran seorang pemimpin dan juga rambu-rambu yang harus diperhatikan agar sungguh menjadi pemimpin bermutu. Salah satunya adalah dengan memilih jalan keteladanan dan bukan ancaman atau pemberian hadiah saat memimpin. Kesadaran akan peran, kuasa, dan rambu-rambu yang perlu diperhatikan diharapkan membuat peserta terhindar dari penyelewengan dan penyalah-gunaan kekuasaan.   Bu Ester Yanti memberi materi mengenai “Membangun Tim dan Kolaborasi.” Dalam pemaparannya, Bu Ester mengajak para peserta untuk mampu bekerja sama. Dengan menjadi anggota Presidium, mereka semua menjadi pemimpin yang bekerja sebagai tim. Tidak ada yang bekerja sendiri. Masing-masing orang memiliki kelebihan yang perlu dikolaborasikan sehingga mampu menjadikan tim Presidium ini bekerja dengan solid. Setiap orang, setiap divisi di dalam Presidium perlu mampu berkolaborasi satu sama lain.   Facing the Giants Para calon anggota Presidium diajak untuk menonton film bersama Facing The Giants. Film ini mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik dan selalu membawa nama Tuhan saat senang maupun susah. Suasana di malam itu begitu seru. Bahkan, pada suatu bagian yang luar biasa di film, para anggota Presidium turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh tokoh pada film tersebut.   Dinamika Luar Ruangan Pada hari ketiga, para peserta diajak untuk menjadi pemimpin yang peduli dengan lingkungan sekitar dan tergerak membantu sesama. Sesudah bangun pagi, mulai dari depan Biara, para peserta diajak untuk memungut sampah yang berserakan di pinggir-pinggir jalan raya hingga Kapel Wanggar dan Pasar Wanggar. Kondisi di sekitar titik-titik yang dibersihkan awalnya kotor dan tidak enak dipandang, setelahnya menjadi bersih dan enak dipandang.   Usai kegiatan membersihkan lingkungan, para peserta menawarkan diri untuk membantu mama-mama di pasar berjualan. Mereka awalnya malu-malu, namun setelah mencoba dan memberanikan diri, mereka akhirnya terlibat dalam menjual barang-barang jualan mama-mama di pasar. Harapannya, para peserta memiliki kepekaan terhadap kebersihan lingkungan dan juga memiliki keberanian, tidak malu untuk melakukan hal-hal baik.   Selain materi-materi, para anggota Presidium diajak untuk rutin melakukan examen conscientiae atau pemeriksaan batin. Examen ini bertujuan untuk melatih kepekaan kita terhadap roh baik dan roh jahat. Dengan examen, para calon anggota Presidium diharapkan dapat mengetahui dorongan-dorongan dari roh baik dan selalu mengikutinya serta mengetahui dorongan-dorongan dari roh jahat dan selalu menjauhinya. Examen dilaksanakan pada siang hari sebelum makan siang dan malam hari sebelum tidur.   Membangun Keakraban Lewat Mini Games Selama kegiatan LKI berlangsung, ada sejumlah mini games yang bertujuan untuk meningkatkan kekompakan dan solidaritas. Melalui games, para calon anggota Presidium diajarkan untuk bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan bersama. Salah satu mini games yang dilaksanakan adalah mengeluarkan bola pingpong menggunakan air dari sebuah pipa yang sudah diberikan beberapa lubang.   Melalui mini games ini, para peserta dituntut untuk bekerja sama dalam mencari solusi agar air yang diisi ke dalam pipa bocor tidak keluar dan bola pingpong yang ada di dalamnya dapat keluar. Ada yang menutup

Penjelajahan dengan Orang Muda

Open House dan Ekaristi Kaum Muda-Mahasiswa Katolik DIY 2024

Bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional di bulan November 2024, Pusat Pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY) mengadakan rangkaian acara untuk memaknai kepahlawanan yang relevan dengan situasi orang muda di zaman ini. Rangkaian acara terdiri dari Open House PPM DIY pada tanggal 9 November dan Ekaristi Kaum Muda yang dilanjutkan dengan talkshow serta pentas seni pada 10 November. Topik yang diangkat adalah mengenai kepahlawanan yang telah diteladankan oleh para tokoh nasional (tak terkecuali para pahlawan nasional yang beragama Katolik) dan aktualisasinya untuk anak muda zaman ini. Kepahlawanan sebagai suatu semangat selalu relevan dan bisa diaktualisasikan terus-menerus.   Untuk itu, dengan gaya bahasa anak muda, kegiatan ini mengambil judul AGAPE: Akrab aGAwe PEnak yang dalam bahasa aslinya (Yunani, “ἀγάπη”) merujuk pada bentuk cinta yang tanpa pamrih, tulus, dan penuh kasih sayang. Dalam konteks ini, agape sering digambarkan sebagai cinta universal atau kasih yang tidak bersyarat, yang mencerminkan keinginan tulus untuk kebaikan orang lain tanpa mengharap-kan balasan. Para mahasiswa Katolik Jogja diajak untuk berani memberikan diri dengan cinta yang tanpa pamrih, tulus, dan penuh kepada siapa pun sebagai bentuk kepahlawanan yang sejalan dengan ajaran Katolik. Akronim dari “Agape” yaitu “akrab agawe penak” mengajak para mahasiswa Katolik untuk menjalin keakraban dengan caranya sendiri dan berjalan bersama sebagai sesama mahasiswa Katolik. Tindakan kepahlawanan di zaman ini pun bisa ditempuh dengan cara anak-anak Generasi Z yang akrab dengan dunia digital. Maka, selain “penak” (fun, menyenangkan) juga bermanfaat untuk banyak orang.    Momen perjumpaan antar mahasiswa Katolik DIY sempat terhenti akibat pandemi beberapa waktu lalu. Maka, kegiatan ini menjadi kegiatan untuk mempertemukan mahasiswa Katolik se-DIY, sejak pandemi usai. Harapannya, dengan kegiatan ini bisa terjalin jejaring dan relasi persaudaraan antara mahasiswa Katolik yang tersebar di berbagai kampus. Di DIY terdapat seratusan lebih Perguruan Tinggi, Akademi, dan Sekolah Tinggi. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini, para mahasiswa Katolik bisa saling mengenal satu sama lain, berbagi cerita, dan menguatkan dalam perjalanan hidup mereka.   Pada hari pertama, dalam acara Open House PPM DIY, para mahasiswa menyediakan layanan cek kesehatan bagi warga di sekitar PPM DIY. Selain itu, ada kegiatan senam bersama, kerja bakti, donor darah, pembagian hadiah doorprize, dan makan siang bersama. Keterlibatan para mahasiswa bagi masyarakat menjadi bentuk kepahlawanan sederhana yang bisa mereka lakukan. Mahasiswa perlu mengenali lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal setiap harinya, sehingga ilmu yang mereka pelajari di kelas tidak berhenti pada pemikiran saja tetapi juga diaktualisasikan untuk kebaikan bersama. Para mahasiswa kedokteran dan ilmu kesehatan misalnya terlibat dalam pelayanan cek kesehatan gratis bagi masyarakat. Selain itu, para mahasiswa juga belajar untuk menjalin jejaring dengan semua pihak yang berkehendak baik, seperti misalnya kelompok Sego Mubeng dari Paroki Kotabaru.   Pada hari kedua, EKM dilaksanakan di kapel Kolese de Britto dan dilanjutkan dengan talkshow serta pentas seni di aula Kolese de Britto. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Rm. A.R. Yudono Suwondo, Pr. selaku Vikaris Episkopal (Vikep) Yogyakarta Barat didampingi Pater Daryanto, S.J. (Pusat Pastoral Mahasiswa), Rm. Setyo Budi Sambodo, Pr (Romo Mahasiswa Kevikepan Semarang), dan Pater Hugo, SJ (Moderator Kolese de Britto, tuan rumah acara). Inilah bentuk sapaan Gereja Katolik kepada orang-orang Muda terutama mahasiswa Katolik di Jogja. Melalui EKM ini mahasiswa juga mendapatkan ruang untuk menghayati Ekaristi dengan cara anak muda, seperti iringan musik orkes, tari-tarian pengiring, renungan yang dibawakan dengan teater, hingga doa dengan berbagai bahasa daerah.   Ada sekitar 800-an mahasiswa Katolik dari berbagai universitas yang hadir pada acara hari kedua. Bukan hanya dari Jogja saja tetapi juga dari Semarang dan Surakarta. Setelah Ekaristi, acara dilanjutkan dengan talkshow yang diisi oleh Pater G. Subanar, S.J. dan Walma Jelena. Pater Banar membagikan kisah kepahlawanan umat Katolik Indonesia pada zaman penjajahan Jepang melalui buku yang baru saja terbit, yakni Kinro Hoshi, Kisah Umat Katolik di Pendudukan Jepang (Kanisius, 2024). Sementara itu, dari perspektif orang muda Walma Jelena yang mempopulerkan mantila di akun media sosialnya (@walmajelena; Your Mantilla Lady) berbagi kesaksian iman di dunia digital.    Setelah talkshow beberapa kelompok mahasiswa mengisi pentas seni. Di antaranya tari-tarian daerah, teater, dan musik. Multikulturalitas mahasiswa Katolik yang ada di DIY akan mewarnai tampilan-tampilan seni ini, mengingat mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Rm Buset (Setyo Budi Sambodo) juga tampil menghibur dengan standup comedy. Selain itu juga ada keterlibatan siswa-siswa SMA Kolese de Britto melalui tampilan musik. Tidak sedikit juga alumni de Britto yang saat kuliah di Jogja terlibat aktif dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik. Maka, inilah bentuk pendampingan berkelanjutan bagi orang-orang muda untuk berjalan bersama membangun masa depan yang penuh harapan.   Kontributor: P Agustinus Daryanto, S.J.  

Penjelajahan dengan Orang Muda

Orang Muda Menunda Menikah?

Akhir-akhir ini kita disuguhi beberapa data dari Badan Pusat Statistik terkait turunnya angka pernikahan orang muda di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan berbagai liputan surat kabar yang memotret kekhawatiran kaum muda untuk menikah atau memiliki keturunan. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan angka perempuan melahirkan dari 70,6% pada tahun 2012 menjadi 66,4% pada tahun 2022 (turun 4,2%).   Menanggapi fenomena ini, Sabtu, 9 November 2024 lalu para skolastik di Kolese St. Ignatius mengajak orang muda untuk berdiskusi bersama dalam acara Dialog untuk Aksi (DIKSI) bertajuk “Keluarga, Masihkah Harta yang Paling Berharga?” Fr. T.B. Pramudita, S.J. sebagai moderator diskusi membuka dengan data pemantik: banyak peserta berpandangan bahwa berkeluarga itu menakutkan karena harus menghadapi berbagai tantangan hidup keluarga (tantangan ekonomi, perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan rumah tangga).   Untuk memahami fenomena ini dengan lebih dalam, dialog ini menghadirkan beberapa pembicara: Rm. Yoseph Aris, MSF, Pak Paulus Eko Ananto (Disdukcapil Bantul), dan pasangan suami istri Pak Albert dan Bu Erna Prajartoro. Dari para pembicara, para peserta belajar bahwa di satu sisi tantangan hidup berkeluarga memang nyata adanya. Di sisi lain, sukacita justru hadir bukan karena kesenangan superfisial, tetapi ketika tantangan itu dihadapi dengan tanggung jawab, kesetiaan, dan komitmen bersama sebagai jalan kekudusan.    Perceraian Sipil: Keprihatinan Gereja Pak Eko memulai diskusi dengan menyajikan analisis Disdukcapil atas data perceraian di Bantul. Sejak tahun 2017 hingga 2024, sudah ada 417 kasus perceraian yang dicatat di Bantul. Faktor terbanyak yang menyebabkan perceraian adalah ekonomi (30%), perselisihan (17%), perselingkuhan (14%), KDRT (13%), dan agama (8%).   Pak Eko sebagai pegawai Disdukcapil juga merasa prihatin karena dari total kasus perceraian di Bantul, 190 (45%) di antaranya dilakukan oleh pasangan yang pernikahannya dilakukan secara agama Katolik. “Sebagai seorang Katolik, awalnya saya merasa ‘berdosa’ saat menerbitkan akta perceraian sipil karena tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik,” ungkapnya.   Menyambung keprihatinan tentang perceraian sipil, Romo Aris menegaskan bahwa tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik. Perceraian yang terjadi secara sipil memang menjadi keprihatinan Gereja. Meski demikian, yang terpaksa telah cerai sipil, “selama tidak menikah lagi atau tidak hidup dalam konkubinat boleh menerima komuni,” ujar Romo Aris. Dalam Gereja Katolik tidak ada perceraian dan yang dikenal adalah pembatalan perkawinan. Namun, pembatalan perkawinan dalam Gereja Katolik bukanlah standar ganda, karena ada sesuatu yang tidak sah dalam hukum Gereja dan dibuat dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa.   Panggilan Menuju Kekudusan Alih-alih terkungkung dalam ketakutan akan perceraian, Romo Aris mengajak orang muda untuk lebih memahami perkawinan sebagai panggilan menuju kekudusan agar tidak melihatnya sebagai hal yang menakutkan. Romo Aris menegaskan, “Perkawinan adalah panggilan Allah yang membutuhkan tanggapan dari pasangan suami-istri dengan bebas, sadar, dan bertanggung jawab.” Sebagai panggilan Allah, perkawinan bertujuan untuk kebaikan suami-istri, keterbukaan pada keturunan, dan pendidikan anak. Yang harus dilakukan orang muda dalam menyiapkan perkawinan adalah mengenal kedalaman pasangan, membangun komitmen bersama, dan jujur dalam berelasi. Komitmen dan kejujuran dalam berelasi harus sungguh dibangun hingga terkait kesepakatan tentang keturunan. Jangan sampai childfree atau menunda berkepanjangan hanya karena alasan pragmatis atau menyalahkan situasi ekonomi.   Saat ini Keuskupan Agung Semarang semakin serius mendampingi calon pasangan suami-istri dengan program Katekese Persiapan Hidup Berkeluarga (KPHB), Discovery (program untuk semakin dalam mengenal pasangan), komunitas Marriage Encounter, Couple for Christ, dan pendampingan setelah perkawinan dengan acara/rekoleksi keluarga dan ulang tahun perkawinan. Berbagai program ini dibuat untuk semakin mempersiapkan dan menemani perjalanan pasangan suami-istri. “Memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi suami/ayah dan istri/ibu. Namun, sekolah yang paling penting adalah pengalaman hidup untuk saling mengenal dan berkomitmen,” kata Romo Aris.   Core Values dan Sejarah Hidup Pak Albert dan Bu Erna selanjutnya membagikan pengalaman hidup berkeluarga yang penuh dinamika. Mereka memulai keluarga baru dengan perjuangan ekonomi dari nol hingga perlahan memperoleh kesejahteraan bagi keluarga. Karena pekerjaan, Pak Albert harus dinas di Merauke dan menjalani long distance marriage selama 20 tahun. Di masa-masa ini ada banyak tantangan di lingkungan pekerjaan yang menguji kesetiaan. “Kesetiaan pahit saat dijalani tetapi manis buahnya,” ujar Pak Albert. Karena komitmen, Pak Albert dan Bu Erna mengusahakan untuk tetap bertemu secara berkala meski dengan harga tiket pesawat yang tidak murah. Tantangan lain muncul saat mendidik anak-anak. Keluarga ini dikaruniai 3 anak. Anak bungsu mereka memiliki kebutuhan khusus dan di masa awal pertumbuhan harus menjalani operasi sebanyak 10 kali. Tantangan juga muncul saat karier Pak Albert dijatuhkan oleh pihak-pihak yang tidak suka padanya karena ia bekerja dengan bersih dan tidak korup. Setelah menjalani berbagai situasi sulit, Pak Albert dan Bu Erna bersyukur karena selalu ada orang baik yang memberikan solusi dan hadir untuk mereka. Situasi sulit dapat mereka hadapi karena kesetiaan mereka pada nilai yang disepakati bersama (core values).    Bu Erna mengatakan bahwa “pasangan harus menyatukan nilai-nilai yang akan dicapai bersama untuk selanjutnya didoakan dan dicetak-dipasang sebagai pengingat kesepakatan.” Kesepakatan terjadi jika pasangan saling menerima dan memahami sejarah hidup. Dengan demikian tidak boleh ada salah satu pihak yang mengalah atau terpaksa karena core values adalah kesepakatan bersama. Beberapa contoh core values yaitu kejujuran, sederhana, tanggung jawab, dan kerja keras. Berkat core values Pak Albert dan Bu Erna dapat menjalani hidup berkeluarga dengan penuh kesetiaan dalam berbagai situasi. Hidup berkeluarga memang tak lepas dari tantangan, tetapi juga banyak pengalaman sukacita. Pengalaman sukacita bukan hanya kesenangan superfisial, tetapi justru ketika sebagai pasangan tetap setia dan mengusahakan core values bersama di tengah berbagai tantangan hidup. Maka orang muda, jangan takut untuk menikah karena ada banyak sukacita dan tanda kehadiran Allah dalam hidup berkeluarga.   Kontributor: Sch. Ishak Jacues Cavin, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Satu Jam Bersama Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J.

Sekian waktu setelah kami menerbitkan buku Berjalan Bersama Ignatius yang berisi percakapan Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. dengan jurnalis Dario Menor, kami mendapatkan kesempatan untuk berjumpa langsung dengan Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. pada 25 Oktober 2024, di sela kepadatan agenda beliau dalam Sinode para uskup di Roma. Sungguh ini merupakan momen yang sangat berharga. Bersama Pater Jose Cecilio Magadia, S.J., asisten regional untuk Asia Pasifik dan Pater Leo Agung Sardi, S.J., pembimbing rohani di Collegio Internazionale del Gesù, kami menikmati perbincangan intens dengan Pater Jenderal tidak kurang dari satu jam di Curia Generalizia, Borgo Santo Spirito 4, Roma.   Isi perbincangan itu sungguh mengesankan, meneguhkan, dan sekaligus menggerakkan. Oleh karena itu, kami ingin membagikannya melalui tulisan ini. Berikut tiga hal penting yang disampaikan Pater Jenderal dalam perbincangan tersebut.   Perutusan Bersama atau Shared mission (la mission compartida) Sebagaimana yang dipaparkan dalam buku Berjalan Bersama Ignatius, Pater Jenderal menjelaskan secara menakjubkan tentang makna Perutusan Bersama. Dalam konteks perbincangan kami, hal ini merujuk secara khusus pada “perutusan bersama para Jesuit dan awam”. Topik ini juga terasa sangat relevan dengan perhatian kami, para awam yang bekerja di lembaga karya milik Serikat Jesus.   Pater Jenderal mengungkapkan bahwa makna “Perutusan Bersama” bukanlah semata-mata membagikan misi Serikat Jesus ke seluruh anggota institusi, atau dapat dicontohkan misalnya dalam bentuk kegiatan sharing misi yang kerap dilakukan antarlembaga karya. Lebih dari itu. Perutusan Bersama berarti para Jesuit dan awam bersama-sama menyadari dan menyediakan diri sebagai instrumen (alat) Allah dalam menjalankan misi-Nya di dunia, yaitu membawa kabar sukacita. Perutusan ini bukan hanya milik Jesuit tetapi untuk Gereja dan seluruh umat Allah yang menjalankan misi Yesus di dunia.   Bagi kami yang selama ini kerap merasa diri sebagai pekerja profesional di lembaga karya milik Serikat Jesus, ungkapan Pater Jenderal terasa menyentak. “Sekadar menyumbangkan kemampuan profesional” dalam dinamika manajemen perusahaan saja tidaklah cukup. Lebih dari itu. Semua anggota karya Serikat sangat perlu mengambil bagian dalam makna karya, identitas khas, dan sumber inspirasi Serikat Jesus. Dengan bekerja di lembaga karya Serikat Jesus, setiap orang tidak boleh hanya menjadi outsider atau bersikap apatis, tetapi mesti menjadi pribadi yang proaktif untuk berjalan bersama sebagai “sahabat-sahabat dalam perutusan”, menjadi saksi keselamatan (companeros en la mission) di dunia melalui pekerjaan sehari-hari.   Kolaborasi (Jesuit-awam) Konsekuensi dari kesadaran akan “Perutusan Bersama” ini adalah terjalinnya kolaborasi antara Jesuit dan para awam di sekelilingnya. Kolaborasi bukanlah sekadar bekerja sama (co-working), melainkan sungguh menyediakan diri bekerja bersama orang lain. Tidak cukup sekadar memiliki banyak kolaborator, namun yang lebih penting adalah adanya keterbukaan, kualitas, kedalaman, dan ketulusan dalam proses bekerja bersama dengan orang lain.   Bagi para Jesuit, kehadiran rekan kerja awam bisa menjadi semacam “vaksin” penangkal klerikalisme atau feodalisme. Bagi para awam, kehadiran Jesuit menjadi semacam “kompas” penunjuk arah dan tujuan. Kedua belah pihak perlu terus berjuang untuk makin terbuka terhadap perbedaan perspektif satu sama lain. Di antara para Jesuit sendiri, perlu terus didorong hasrat untuk berjuang dalam dinamika berbagi misi perutusan dengan rekan kerja awam.   Berjalan Bersama Orang Muda Bagi kami yang menggumuli pergaulan dengan para karyawan muda dari generasi Y dan Z, salah satu tantangan yang tidak mudah adalah mengenalkan mereka pada Spiritualitas Ignatian yang menjadi roh institusi. Dihadapkan pada orientasi sebagian besar karyawan muda yang cenderung lebih tertarik pada hal-hal sekular dan profesional, terkadang Spiritualitas Ignatian terasa “tak begitu menarik” dalam memotivasi kerja mereka. Menanggapi hal ini, Pater Jenderal menegaskan bahwa dalam situasi apapun, terutama yang sangat menantang, tetaplah perlu konsisten menjalankan proses formasi Ignatian. Spiritualitas Ignasian adalah cara untuk menunjukkan jalan menuju Allah. Cara ini tidak perlu dipaksakan kepada orang lain, namun sangat perlu terus menerus ditawarkan dan dikenalkan kepada banyak orang, termasuk kaum muda.   Pater Jenderal mencontohkan, bahwa di semua lembaga pendidikan milik Serikat Jesus, para murid sejak dini dikenalkan pada dasar-dasar Latihan Rohani, seperti examen, refleksi, dan percakapan rohani. Dalam konteks Perusahaan, contoh ini meneguhkan kami agar sejak dini terus mengenalkan para karyawan baru pada dasar-dasar Latihan Rohani. Ungkapan Pater Jenderal menjadi semacam penegasan bagi kami, untuk memperhatikan detail proses dan dinamika formasi Ignatian bagi para karyawan, sejak pertama kali mereka bergabung.   Perjumpaan mengesan ini diakhiri dengan makan malam bersama para anggota kuria generalat. Bersyukur kami bukan hanya dikenyangkan secara jasmani oleh makanan yang sehat, namun lebih-lebih secara rohani oleh pesan-pesan yang disampaikan Pater Jenderal. Malam itu kami pulang dengan membawa konsolasi mendalam.   Kontributor: Mg. Sulistyorini dan Peter Satriyo Sinubyo – PT Kanisius

Provindo

New Gamaliel Award untuk P James Bharataputra, S.J.

Pada Sabtu, 13 Desember yang lalu, Pater James Bharataputra, S.J. menerima penghargaan sebagai New Gamaliel atas usahanya dalam melayani umat di Indonesia, khususnya dengan membangun Taman Doa Maria Annai Velangkanni di Medan.   Seperti yang sudah dikenal secara luas bahwa taman doa ini menggambarkan kehadiran semua agama di Indonesia yang saling membantu dan menolong. Taman doa ini adalah simbol toleransi. Pater James mengatakan bahwa tujuan ia membangun taman doa ini adalah untuk menarik peziarah dari semua lapisan masyarakat. Ada dua hal beliau lakukan, yaitu membantu peziarah untuk berjumpa dengan Tuhan dan pada saat yang sama, mengingatkan semua peziarah bahwa mereka adalah anak-anak dari satu Tuhan, apa pun keyakinan agama mereka. Hal ini mengajarkan sikap saling menghormati dan mengasihi sebagai saudara laki-laki dan perempuan karena semua manusia adalah anak-anak dari Bapa yang sama di Surga. Pater James ingin mewujudkan doa seorang pemazmur, “Betapa indahnya hidup sebagai saudara laki-laki dan perempuan di rumah Tuhan di bumi!”   Penghargaan kepada Pater James Bharataputra, S.J. sebagai “Gamaliel Tamil Nadu Masa Kini” ini diberikan oleh Asian Centre for Cross Cultural Studies. Upacara pemberian penghargaan ini dilakukan di Basilika Vailankanni, India. Pater James terkejut atas apresiasi yang luar biasa dari Uskup Tanjavur dan juga Kardinal Bo dari Myanmar ini.   Apa sebenarnya maksud dari penghargaan ini? Gamaliel adalah seorang guru atau rabi yang sangat dihormati karena pengetahuan mendalam tentang hukum Taurat dan kebijaksanaannya. Kebijaksanaannya terlihat jelas dalam nasihatnya kepada kelompok Sanhedrin, di mana dia menyarankan untuk tidak menghukum para rasul karena jika pekerjaan mereka berasal dari Tuhan, itu tidak bisa dihalangi. Karena pengetahuan, kebijaksanaan, pengaruh, dan peran pentingnya dalam pendidikan, Gamaliel dianggap sebagai salah satu guru terkemuka dan dihormati dalam sejarah Yahudi dan Kristen. Para panitia Asian Centre for Cross Cultural Studies melihat bahwa apa yang dikerjakan oleh Pater James merupakan karya Tuhan. Ia menyelenggarakan sebuah katekese iman lewat gambaran-gambaran visual yang ada di Taman Doa Maria Velangkani Medan agar setiap orang, terutama umat di Medan, dapat melihat Allah secara lebih konkret secara visual.   Pater James menambahkan bahwa pembangunan taman doa ini berawal dari mimpinya untuk mengajak semua orang bertemu Tuhan. “Saya percaya Tuhan memberi tahu saya perincian tersebut melalui mimpi saya. Kadang-kadang saya terbangun dari mimpi saya dan menuliskan beberapa perincian mimpi saya agar saya tidak lupa. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan pengalaman spiritual yang luar biasa ini, seperti Tuhanlah yang mendiktekan rencana-Nya untuk Taman Doa ini secara terperinci saat saya melanjutkan pembangunannya.”   Baginya, seluruh desain arsitekturnya merupakan hasil dari mimpinya ketika merenungkan misteri Inkarnasi di Minggu Kedua Latihan Rohani. Semua direpresentasikan secara artistik melalui lukisan dan patung bergaya Indo-Saracenic. Taman doa ini menggabungkan sisi kebutuhan dasar manusia yang tergambar dalam ruang bagian bawah. Ruang ibadah dan doa berada di lantai tengah. Bagian tentang misteri ilahi atau surga terletak di atas. Ada tujuh tingkatan yang menggambar-kan tujuh tingkatan surga atau tujuh sakramen. Pater James Bharataputra telah memberikan kontribusinya terhadap keragaman religio-budaya dan pariwisata di Medan karena Tempat Suci ini menarik peziarah dari semua agama. Hidupnya telah menjadi berkat bagi banyak orang.   Mari kita berbahagia atas inspirasi dari mimpi-mimpi Pater James yang luar biasa dan telah diapresiasi oleh banyak orang, terutama para umat katolik di Tamil Nadu, India. Pater Sindhunata juga memberikan apresiasinya yang tertuang dalam buku autobiografi Pater James. Ia menulis: “Keagungan dan keindahan tempat suci ini merupakan perwujudan proses inkulturasi antara tanah kelahirannya, Tamil Nadu, dan tanah Sumatera. Tempat suci ini telah menjadi tempat pertemuan surga dan bumi – tempat yang ilahi dan manusia saling berpelukan – tempat Tuhan ingin bertemu umat-Nya, tanpa memandang ras, kepercayaan, dan bahasa.”   Momen yang luar biasa ini menjadi tanda bagi Pater James untuk kembali ke tanah airnya. Dengan momen ini, ia siap meninggalkan Taman Doa Maria Velangkanni yang mengembangkan iman umat di Indonesia dan siap juga mengakhiri masa misionarisnya di Indonesia. Ia telah menjadi misionaris di Indonesia selama 50 tahun dan telah memberikan banyak kontribusi untuk umat dari berbagai agama di Indonesia. Kini, Taman doa ini dikelola oleh RD Gundo Franci Saragih. Semoga impian Pater James untuk membangun iman umat di tanah Medan tetap lestari bersama RD Gundo.   Terima kasih dan Selamat Pater James atas karya luar biasa dari Allah ini di tanah Indonesia. Selamat kembali menghirup udara segar di Tamil Nadu.   Kontributor: P Ignatius Windar Santoso, S.J.

Provindo

PRAKSIS: Langkah Baru Jesuit Indonesia untuk Memajukan Kebaikan Bersama

Pada tanggal 10 Desember 2024, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia sedunia, Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, P Benedictus Hari Juliawan, S.J., meresmikan pendirian PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus). Sebagai karya baru Jesuit Indonesia, pendirian PRAKSIS merupakan pengejawantahan dari Rencana Apostolik Provinsi Indonesia untuk mendirikan “pusat kajian dan advokasi yang menjadi ‘juru bicara’ Serikat Jesus dalam diskusi publik tentang persoalan kemasyarakatan”.    Acara peresmian diawali dengan Perayaan Ekaristi di Kapel St. Petrus Kanisius, Jakarta. Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh Pater Provinsial dengan didampingi oleh Pengurus Yayasan serta Direksi PRAKSIS. Dalam homilinya, Pater Provinsial menyatakan bahwa pendirian PRAKSIS mengacu pada panggilan Yesus dalam kotbah di bukit untuk menjadi terang. Panggilan ini diwujudkan dengan mendirikan lembaga penelitian dan advokasi yang dapat menghadirkan gagasan dan perspektif Katolik dalam upaya bersama mendukung proses demokratisasi di Indonesia.   Acara dilanjutkan dengan pemaparan hasil riset perdana PRAKSIS bertajuk “Mencari Demokrasi yang Memajukan Kebaikan Bersama”. Riset ini menyoroti tantangan demokrasi Indonesia dalam dekade terakhir (2014-2024), seperti penyempitan ruang partisipasi warga dan penyusutan kelas menengah. Laporan PRAKSIS kemudian ditutup dengan rekomendasi yang didasarkan pada Ajaran Sosial Gereja, termasuk di antaranya adalah perlindungan martabat manusia, kebebasan sipil, pemberdayaan masyarakat akar rumput, dan promosi kebijakan ekonomi yang adil.   Menghidupkan Misi melalui Riset, Advokasi, dan Edukasi PRAKSIS dirancang untuk menjadi pusat pengetahuan yang memadukan kekuatan analisis ilmiah dengan wawasan iman Katolik. Tiga pilar utamanya adalah: riset, advokasi, dan edukasi. Melalui riset, PRAKSIS menghasilkan kajian inovatif dan implementatif tentang isu-isu sosial, politik, dan ekonomi. Melalui advokasi, PRAKSIS menyuarakan kebijakan yang mendukung kebaikan bersama kepada pemangku kepentingan. Melalui edukasi, PRAKSIS menyelenggarakan seminar, kursus, dan lokakarya yang memperkenalkan Ajaran Sosial Gereja serta membahas tantangan zaman.   Inisiatif ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Dalam keynote speech-nya saat peresmian PRAKSIS, Ibu Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, menegaskan pentingnya peran lembaga seperti PRAKSIS dalam memperkuat demokrasi.   Program 2025 dan Harapan ke Depan Pendirian PRAKSIS adalah panggilan bagi semua yang berkehendak baik untuk turut serta dalam memajukan kebaikan bersama. Dengan semangat “Fate Chiasso!” atau “Buatlah suara yang menggema!” seperti diserukan Paus Fransiskus, PRAKSIS mengajak Gereja, warga Katolik, dan segenap pihak yang berkehendak baik untuk memajukan kebaikan bersama.   PRAKSIS telah menyiapkan berbagai program untuk tahun 2025. Divisi Riset dan Advokasi akan mengadakan penelitian dengan 4 tema utama, serta secara rutin akan menyelenggarakan Forum PRAKSIS. Sementara itu, Divisi Public Engagement akan menyelenggarakan seminar, kursus, lokakarya, dan retret yang bertujuan untuk menanamkan pemahaman warga Katolik akan iman Katolik, khususnya Ajaran Sosial Gereja. Seminar perdana dari Divisi Public Engagement rencananya akan digelar di bulan Februari 2025. Topik yang diangkat adalah refleksi atas pesan dan dampak Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia pada awal bulan September 2024 yang lalu.   Pendirian PRAKSIS adalah upaya Serikat Jesus untuk berkolaborasi memajukan kebaikan bersama di Indonesia. Persis karena itu, PRAKSIS hendak berkolaborasi dengan semua pihak. Tidak ada kebaikan bersama tanpa keterlibatan bersama.   Kontributor: P Heinrich Angga Indraswara, S.J.

Karya Pendidikan

Pergi, Kobarkanlah Seluruh Dunia!

“I will not have my faith questioned.” Berikut merupakan susunan kata bermakna yang diucapkan oleh Santo Ignatius Loyola pada saat menghadapi pengadilan pertama dari sekian kali pengadilan-pengadilan lainnya, mempertanyakan Latihan Rohani yang ia imani dan hidupi. Kegigihannya sebagai seorang ksatria sebelum kakinya terluka saat berperang membawa dirinya menjadi seseorang yang gigih pula dalam menghidupi peziarahannya. Adegan tersebut merupakan salah satu bagian dari pementasan teater INIGO: Ignatius of Loyola, sebuah drama yang mengisahkan kembali perjalanan hidup Santo Ignatius Loyola yang ditulis oleh Jonathan Moore. Drama tersebut dipersembahkan oleh Komunitas SMA Kolese Gonzaga di Ciputra Artpreneur Theater pada 23 September 2025.     Keselarasan Satu Komunitas dalam Penyelenggaraan Teater INIGO: Ignatius of Loyola Salah satu nilai yang dikembangkan untuk mewujudkan visi dan misi SMA Kolese Gonzaga adalah bekerja sama yang mampu menuntun satu komunitas untuk menjalin kebersamaan dalam semangat persaudaraan. Penyelenggaraan Teater INIGO: Ignatius of Loyola merupakan usaha konkret sekolah dalam mewujudnyatakan nilai yang dikembangkan tersebut. Tentunya, pada teater kali ini, pemilihan naskah kisah hidup nyata dari Santo Ignatius Loyola yang ditulis oleh Jonathan Moore tidak jauh dari identitas SMA Kolese Gonzaga sebagai salah satu sekolah di Indonesia yang dikelola oleh Serikat Jesus. Penyelenggaraan teater ini juga membawa setiap individu yang melibatkan diri di dalamnya untuk berefleksi bersama.   Pementasan teater ini merupakan gagasan langsung dari Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, S.J. M.Ed., Kepala SMA Kolese Gonzaga, yang kemudian langsung diwujudnyatakan melalui proses seleksi para siswa yang tertarik untuk menantang diri dengan terlibat sebagai pemain di dalamnya. Berbekal naskah drama dengan kalimat-kalimat panjang penuh makna yang kemudian dikembangkan dengan ide-ide kreatif hasil kolaborasi bersama dari Pater Emmanuel Baskoro Poedjinoegroho, S.J. sebagai Delegat Pendidikan Serikat Jesus di Indonesia, Bapak Ibe Karyanto sebagai sutradara dan Kak Putri Dewi sebagai asisten sutradara, Kak Janabelia Ayu Tafarannisa sebagai koreografer, bahkan juga melibatkan para siswa, Adiel Uri Zabdianto dan kawan-kawan, yang ikut menjadi komposer musik, serta para guru yang menjalankan peran ganda tidak hanya menjadi pendamping pengembangan karakter siswa di dalam kelas tetapi juga di dalam proses penyelenggaraan kegiatan ini, menjadikan teater ini semakin menarik dengan adanya musik dan tarian yang membuat semakin banyak siswa terlibat di dalamnya misalnya sebagai pemain tambahan yang menari, Suara Gonzaga (Kelompok Paduan Suara SMA Kolese Gonzaga), dan Gonzaga Big Band Orchestra.   Seluruh siswa SMA Kolese Gonzaga yang melibatkan diri dalam proses persiapan teater ini, tidak hanya sebagai pemeran utama dan pendukung, pemusik, penyanyi, dan penari, serta panitia artistik dan produksi, tetapi juga diberi kesempatan untuk menuangkan ide-ide kreatif mereka melalui kegiatan Gonzsale. Kegiatan yang dikoordinasi oleh para senator dan didampingi oleh Pater Yulius Suroso, S.J. sebagai Moderator SMA Kolese Gonzaga, menciptakan lingkungan yang suportif sebagai satu komunitas untuk bersama-sama mencari dana melalui penjualan berbagai produk, seperti suvenir, makanan, dan lain-lain. Intensitas latihan yang semakin tinggi, secara khusus saat sudah mendekati pementasan, menggerakan hati para orang tua siswa untuk saling bahu membahu meluangkan waktu dan tenaga memberikan dukungan baik secara moral dan material. Bahkan, satu hari sebelum pementasan, para orang tua siswa juga membuatkan kukis manis yang dilengkapi dengan tulisan kalimat penyemangat untuk para guru dan siswa yang terlibat di dalamnya.   Ignatius Loyola bersama dengan Isabel Roser. (Dokumentasi: Tim Dokumentasi pementasan teater INIGO: Ignatius of Loyola)   Proses Pembelajaran Holistik melalui Penyelenggaraan Teater INIGO: Ignatius of Loyola Melalui penyelenggaraan teater INIGO: Ignatius of Loyola, para siswa menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan kemampuan serta keterampilan mereka agar menjadi manusia unggul yang mampu diandalkan. Hal ini dikarenakan selama proses persiapan teater ini, para siswa diarahkan untuk lebih mengenal diri secara utuh sehingga semakin siap menjadi agen perubahan dan pembaharuan yang selalu memiliki sikap kerendahan hati untuk belajar sepanjang hayat. Dengan begitu, mereka juga akan bertumbuh dan berkembang menjadi seorang pemimpin yang mampu untuk selalu beradaptasi dan berinovasi tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan. Selain itu, dari segi rohani, mereka juga dapat semakin mendalami Spiritualitas Ignasian yang dikembangkan melalui Latihan Rohani yang disusun oleh Santo Ignatius Loyola, melalui kisah hidup nyata yang digambarkan dalam teater ini. Oleh karena itu, para siswa menjadi semakin mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai pentingnya Examen Conscientiae yang telah dipraktikkan di sekolah setiap harinya. Selanjutnya, mereka juga mampu menumbuhkan dan mengembangkan rasa solidaritas yang tinggi dalam menjalankan tanggung jawab bersama terhadap suatu tujuan yang sama, yaitu menyukseskan teater ini demi kemuliaan Allah yang lebih besar.   Penyelenggaraan teater INIGO: Ignatius of Loyola mampu memberikan tantangan kepada para siswa agar terampil dalam berimajinasi menggunakan bahasa Inggris, terutama dalam kemampuan berbicara dengan penuh kepercayaan diri agar dapat lebih ekspresif dan interaktif. Selain itu, pertunjukan yang mengisahkan perjalanan hidup Santo Ignatius Loyola ini juga mengarahkan para siswa agar semakin mampu memvisualisasikan Latihan Rohani dengan semangat magis dalam mengenali dan mewujudkan kehendak Allah di setiap langkah kehidupan. Teater ini merupakan perwujudan dari pertunjukan seni sastra yang bermula dari suatu teks naskah drama yang ditulis oleh Jonathan Moore dan dikembangkan dengan melibatkan seni musik dan seni tari. Estetika yang tertuang melalui seni rupa yang diciptakan oleh para siswa dan guru juga turut dipamerkan di area depan teater untuk menemani para audiens yang sedang menunggu sebelum dimulainya pertunjukan. Selanjutnya, pertunjukan ini juga telah berhasil untuk tidak hanya menyampaikan namun juga melestarikan dan merefleksikan kisah hidup Santo Ignatius Loyola di masa lampau. Secara garis besar, penyelenggaraan pementasan ini merupakan pembelajaran kontekstual berbasis proyek yang berpusat pada para siswa agar semakin terdorong untuk lebih aktif dalam memecahkan suatu permasalahan kompleks dalam dunia nyata.      Kisah hidup Santo Ignatius Loyola yang dibawakan dalam pementasan ini sungguh memberikan inspirasi tidak hanya bagi berbagai pihak yang terlibat dalam masa persiapan tetapi juga bagi para penonton. Harapannya, pementasan ini mampu mengarahkan setiap individu untuk dapat mencecap kembali apa yang pernah dialami dan dirasakan. Ad Maiorem Dei Gloriam.   Kontributor: Theresia Rianika Septianingtyas, S.Pd. – Guru Kolese Gonzaga