Pilgrims of Christ’s Mission

September 16, 2019

br norbert bersama anak-anak papua
Karya Pendidikan

PAPUA di dalam HATI Br. Norbert

Papua. Awalnya tidak terbayang tentang Papua. Dan, sebagai seorang bruder Serikat Jesus, saya tidak ingin mengidolakan sesuatu, termasuk tempat perutusan. Semuanya mengalir saja dan saya hanya mengikuti apa yang dibutuhkan Serikat. Dari diri saya, dengan keterbatasan dan keyakinannya, berusaha memasukkan diri dalam rangka gerak Serikat mau ke mana. Ini adalah sebuah ketaatan dan semangat ini merupakan sebuah transformasi. Dalam keluarga, kami diajarkan untuk tidak terpaku pada satu hal saja. Bagi kami, hidup adalah hidup, mengalir begitu saja sesuai kehendak orangtua. Sejak kecil, saya sudah diajarkan tentang bekerja. Bahkan, hampir tidak ada waktu untuk bermain seperti teman-teman saya waktu kecil. Contoh kecil: sebelum sekolah, teman-teman menghampiri, mengajak ke sekolah bareng, Jika tidak selesai pekerjaannya, saya belum boleh berangkat ke sekolah. Maka, dalam diri saya muncul rasa takut untuk merencanakan atau mengidolakan sesuatu. Saya takut apa yang saya idolakan malah tidak tercapai, maka saya taat saja dan menyelesaikan yang diminta. Itu saja. Simpel. Selain ketaatan, ada pula kepercayaan, yaitu dari Pater Provinsial, Superior, dan teman-teman seperutusan. Itu sangat membuat tenang. Saya mendapat kepercayaan untuk berbuat sesuatu di Papua. Ketika diutus Provinsial ke Waghete, saya senang saja karena saya pikir itu di Jawa. Namun, setelah paham, saya kaget dan bingung. Kok Papua? Apa yang saya bisa lakukan di Papua? Di sinilah saya mendapat jawaban kalau saya dipercaya untuk berkarya di Papua. Awal di Papua memang membuat shock. Pergi ke Papua dengan pesawat kecil, hanya bertiga di dalam pesawat dengan barang seadanya. Perjalanan benar-benar menegangkan. Tiba di Papua, juga semakin tegang, karena melihat umatnya… kok seperti ini? Mereka berpakaian compang-camping, sanitasi buruk sekali, cuaca juga dingin. Namun, yang menguatkan saya adalah mereka itu orang-orang sederhana yang tidak tahu kesehatan, tapi bisa hidup. Juga, mereka adalah orang-orang yang akan terus hidup di tempat seperti ini. Semuanya berbeda dengan saya yang bisa hidup teratur dan kapan saja, suatu saat, bisa pindah. Maka, muncul semangat dalam diri saya. Saya harus bisa melakukan sesuatu. Dengan bekal S1 Bimbingan Konseling, saya melakukan berbagai hal hingga saat ini di Papua. Itu membesarkan hati saya bahwa saya harus bisa hidup di tempat ini. Akhirnya saya menikmati berada di Waghete dan tidak terasa di sana selama 9 tahun. Setelah itu, saya melanjutkan berkarya di Nabire. Sebelum pindah, saya diminta untuk mengurus beberapa hal terlebih dahulu, yaitu rumah susteran karena mereka akan melanjutkan karya pendidikan TK yang sudah saya mulai. Bapak Uskup sangat menginginkan karya TK itu tetap berjalan sehingga beliau meminta suster-suster PMM untuk melanjutkan karya yang sudah saya mulai. Maka dari itu, saya diminta menyiapkan tempat tinggal untuk mereka. Kemudian, saya juga diminta menyiapkan pastoran di stasi pemekaran dari paroki waghete dan harus sudah selesai sebelum saya pindah. Rutinitas di Papua Selama di Waghete, saya bangun jam 05.30. Itu pun sudah termasuk pagi. Setelah bangun tidur, biasanya saya langsung bekerja, mencangkul untuk mencari keringat. Biasanya, sebelum bekerja, saya memukul-mukul cangkul sehingga keluar bunyi teng-teng-teng. Karena kebiasaan itulah kemudian umat tahu bahwa jika ada suara itu, berarti sudah pagi. Saya bekerja di ladang biasanya hingga jam 09.00 kemudian saya mandi dan sarapan. Di Waghete dingin sekali dan pagi hari bisa sampai 8°C. Sewaktu di Waghete, di pedalaman, memang saya bergabung menjadi tim pastoral paroki. Namanya tim pastoran, jadi seolah-olah harus bisa menjawab kebutuhan yang mestinya dikerjakan paroki. Di situ ada seksi pendidikan, rumah tangga, kesehatan, pemberdayaan umat. Nah, karena situasi miskin dan tertinggal, maka saya membayangkan, kalau saya tidak memulai, bagaimana saya bisa makan, bisa mendapatkan obat, lalu bisa mempraktikkan kesejahteraan ibu dan anak-anak TK. Jadi praktis saya harus bisa memulai,supaya kalau saya memulai, pasti umat akan tahu, bahwa Bruder saja mengerjakan. Jadi di sini sisi keteladanan sangat penting. Di sini sebagai seksi paroki tugasnya tidak hanya menunjuk, melainkan juga harus ada gerak sendiri. Falsafah hidup orang Papua adalah do, gai, ekowai. Do itu artinya melihat. Jadi sebagai orang baru, apa yang saya lakukan selalu diperhatikan. Apalagi bisa muncul pertanyaan dari masyarakat, Bruder itu buat apa? Mereka melihat apa yang saya kerjakan. Kemudian gai yang artinya berpikir. Setelah melihat, umat kemudian berpikir, “Ooo, ternyata Bruder ada di sini.” Dan, terlihat jelas apa yang diperbuat sehingga mereka berpikir dan muncul keinginan untuk berbuat demikian. Bruder ternyata datang ke Papua dengan tulus, tanpa pamrih, bukan untuk merampas kekayaan Papua. Yang terakhir adalah ekowai yang artinya bekerja. Setelah melihat, berpikir kemudian melakukan kerja. Jadi di sini bisa dikatakan orang Papua bisa memahami dan bisa meneladani apa yang baik dari yang saya kerjakan. Contohnya adalah seperti dulu ketika saya membuat TK di sana. Awalnya saya hanya mendirikan Sekolah Minggu untuk anak-anak. Mereka melihat apa yang saya lakukan bermanfaat baik. Anak-anak tidak keliaran di mana-mana melainkan terkumpul dan bisa terpantau oleh orangtua juga. Mereka juga menjadi paham dengan kebersihan, karena belajar sikat gigi, mau membersihkan area vital untuk kesehatan, dan juga menjadi tempat untuk belajar bahasa Indonesia. Apa yang mereka lihat ternyata berguna bagi mereka hingga akhirnya dari mereka sendiri mau menjadi guru untuk anak-anak ini. Kegiatan di TK juga tidak hanya untuk anak-anak, melainkan juga untuk orangtuanya, yaitu pembinaan membuat makanan bergizi, bagaimana merapikan rumah dan menjadikannya sebagai rumah sehat huni. Di SMA Adi Luhur, Nabire, anak-anak sudah ingin mengembangkan diri, yaitu orang-orang yang mau meningkatkan kemampuan dirinya. Mereka orang-orang yang mau meningkatkan cara belajar dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Lalu yang dibuat di Nabire adalah meningkatkan yang belum sempat dilakukan di pedalaman, yaitu bagaimana mereka menjaga kebersihan. Tidak hanya membuat tempat menjadi bersih namun mau merawat dan menjaganya. Praktik yang harus dilakukan di asraPraktik yang harus dilakukan di asrama misalnya anak ini mandi atau tidak, kalau mandi pakai sabun atau tidak, menyikat gigi apakah sudah menggunakan odol atau belum. Jadi yang saya lakukan di sana memang konkret sekali. Begitu juga dengan cara belajar. Ternyata anak-anak pedalaman yang sudah SMA juga belum pandai membaca, belum lancar menulis dan menghitung. Bagi mereka yang tidak sadar diri, tidak mau belajar mengembangkan, mereka akan frustasi. Maka, saya sendiri mengajak untuk menyeimbangkan agar mereka tidak stress dengan pelajaran misalnya mengajak mereka ngarit, memberi makan sapi dan babi. Jadi mereka, kalau tidak sungguh-sungguh mau, mereka akan frustasi. Ini terjadi terutama untuk

Pelayanan Spiritualitas

RETRET AUDIO VISUAL YAYASAN ST. LOUISA KEDIRI

Berdasarkan ilmu yang diperoleh di CREC-AVEX Lyon Prancis, Rm. Iswarahadi dan Rm. Murti puluhan kali mengampu retret audio-visual atau symbolic way. Para peserta retret biasanya berasal dari kalangan siswa-siswi SLTA, para guru, biarawan-biarawati dan aktivis Gereja. Baru-baru ini ada kesempatan lagi untuk mendampingi retret semacam itu. Sebanyak 40 orang dari Yayasan St. Louisa Kediri (14 suster dan 26 kepala sekolah/guru) menjadi peserta “retret audio-visual atau symbolic way” di SAV Puskat Sinduharjo pada 9 -11 Agustus 2019. Mereka datang dari Surabaya, Mojokerto, Kediri dan Jombang. Tema umum yang menjadi orientasi dasar dari retret selama 3 hari ini adalah “Kepemimpinan Kristiani yang Relevan di Era Digital.” Setelah kedatangan mereka pada hari pertama sore hari, mereka selama satu jam diajak untuk mengadakan ziarah makna dengan merenungkan cerita-cerita yang terlukis di beberapa bangunan yang ada di kompleks SAV Puskat Sinduharjo. Inilah bagian dari komunikasi pola Yesus, metode naratif eksperiensial. Lukisan yang direnungkan antara lain kisah musafir dan anjing (Islam), kisah musafir dan kelinci (Budha), Sinta Tundhung (Hindu), Bima dan Dewa Ruci (Hindu/Kejawen), dan Joko Tarub-Nawang Wulan (Jawa). Dalam sesi refleksi setelah ziarah makna para peserta saling mengungkapkan pengalaman batin mereka. Kisah-kisah itu sebetulnya sudah pernah mereka dengar. Namun sore hari itu kisah-kisah itu sangat menyentuh, menggugah emosi dan ingatan mereka akan pengalaman hidup yang mereka miliki. Mereka telah menemukan simbol yang menyentuh batinnya. Malam harinya mereka diberi pengantar tentang symbolic way yang akan dijalankan pada pagi hari berikutnya. Pada hari kedua pagi-pagi buta, dalam silentium magnum mereka diantar ke lembah Kali Kuning di lereng Merapi (eksodus). Mereka dilepas untuk mengembara sendiri-sendiri dalam keheningan di lembah itu selama satu jam. Setelah itu, sambil pulang ke Sinduharjo mereka mengadakan refleksi pribadi atas pengalaman eksodus, kemudian pengalaman itu dibagikan dalam kelompok kecil. Kelompok kecil mengadakan pengolahan dengan mengintegrasikan teks kitab suci lalu menyampaikan laporan dalam pertemuan pleno. Setelah ditanggapi oleh pembimbing, empat kelompok kecil diberi tugas untuk memperdalam refleksi mereka dan menyiapkan presentasi yang diintegrasikan dalam Ekaristi pada petang harinya. Sesuai dengan dinamika dan isi dari pengalaman setiap kelompok, masing-masing kelompok mendapatkan tugas presentasi pada bagian-bagian yang berbeda. Ada yang mengolah bagian pembukaan sampai bagian ibadat tobat, ada yang mengolah bagian ibadat sabda, ada pula yang mengolah bagian persembahan, dan ada yang mengolah bagian komuni sampai bagian penutup. Sejak dari sharing kelompok, kami sebagai pembimbing sudah bisa mendeteksi bahwa pengalaman mereka hari itu luar biasa. Kami berharap selebrasi mereka selama Ekaristi juga akan mengesankan. Dan betul, perayaan Ekaristi yang diselenggarakan petang itu sangat mengesankan. Indah dan penuh makna. Mereka mengekspresikan pengalaman iman dalam aneka bentuk (puisi, tarian, drama, musik) dengan memakai kostum dan properti yang tersedia. Dalam refleksi sesudahnya mereka memetik buah-buah rohani. Pada pagi hari ketiga, para peserta berlatih doa kesadaran dalam kesejukan pagi yang diiringi dengan suara angin, air sungai yang mengalir, suara binatang, suara kegiatan manusia di kejauhan, dan alunan musik lembut. Sesi berikutnya adalah berefleksi berdasarkan film “Sahabat Sejati” yang diproduksi oleh Komsos KWI dan SAV Puskat. Film yang disutradarai Rm. Murti ini diilhami oleh pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial se-Dunia ke-53 yang bertema “Berawal dari Jaringan Sosial menuju Komunitas Insani.” Para peserta mampu menemukan nilai-nilai kepemimpinan kristiani yang terkandung dalam film ini. Mereka sangat tersentuh dan diperkaya oleh film ini. Pada sesi terakhir, sebelum misa penutup, masing-masing peserta diberi tugas untuk mengekspresikan niat-niat pertobatan mereka berdasarkan pengalaman selama retret. Ungkapan diwujudkan dengan melukis topeng selama 1 jam. Topeng-topeng itu dipersembahkan dalam misa penutup. Pada kesempatan misa itulah mereka mengungkapkan niat-niat mereka berpangkal pada topeng yang sudah mereka lukis. Saat pulang dari retret ini para peserta merasa lebih berbahagia. Mereka telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang menyapa mereka secara pribadi dan dengan cara yang unik. Mereka sangat bersyukur boleh mengalami retret yang “gue banget” ini. Sudah seringkali mereka mengadakan retret. Namun retret kali ini sangat-sangat unik dan menyentuh hati. Hidup menjadi lebih hidup, dan mereka siap untuk diutus. AMDG. Iswarahadi, SJ

mahasiswa atmi menjelaskan kebiasaan-kebiasaan dalam kolese
Karya Pendidikan

KONSEP “TEGAS NAMUN HUMANIS” DALAM PPS 52 POLITEKNIK ATMI SURAKARTA

Pada 3 s.d. 10 Agustus 2019 di kampus ATMI diselenggarakan Pengenalan Program Studi (PPS) bagi mahasiswa baru (maba) angkatan 52 sejumlah 233 orang. Kemudian pada 12 Agustus diadakan misa pembukaan tahun perkuliahan 2019/2020 sekaligus kuliah perdana. Berbeda sedikit dari tahun sebelumnya, PPS kali ini mengusung agenda memperkenalkan konsep tegas namun humanis. Konsep pembelajaran yang mulai diperkenalkan sejak PPS ini akan terus diintegrasikan menjadi model pembelajaran selama kuliah bengkel dan teori. Dengan upaya panitia PPS sengaja menggarisbawahi konsep ini, bukan berarti pada tahun-tahun sebelumnya belum ada sama sekali metode pembelajaran ini. Metode itu sudah ada, namun belum diterapkan secara menyeluruh di setiap lini section/bengkel yang ada di ATMI. Konsep ini mulai dipikirkan berawal dari temuan-temuan problem yang dihadapi mahasiswa selama proses perkuliahan. Dari proses pendampingan beberapa mahasiswa tersebut, tim konseling kemahasiswaan menemukan beberapa hal yang menyebabkan mereka sulit mengikuti dinamika perkuliahan yang berat dan ketat. Belum lagi, mereka punya konsep sendiri tentang instruktur atau dosen idaman sehingga mudah menimbulkan gesekan akibat ketidakcocokkan. Tentu saja bila sudah ada gesekan maka dinamika kuliah dirasa semakin berat lagi. Maka, tim konseling mulai memetakan akar penyebabnya. Ternyata hal itu berkaitan dengan terjeratnya anak muda untuk cenderung mengambil apa saja yang serba baru dari teknologi, padahal kebaruan teknologi ini akan diiringi dengan kecepatan informasi yang cenderung mudah berubah-ubah. Teknologi baru itu semakin memanjakan sedangkan informasinya berdampak pada tersedot dan mudah teralihkannya perhatian manusia. Tidak hanya anak muda yang terpengaruh, para orang tua pun menjadi cenderung mengikuti tren ini. Rupa-rupanya tenaga pengajar pun tidak luput dari tren yang berkembang ini. Hadirnya teknologi yang disikapi dengan tidak bijak, pelan-pelan mengikis kebiasaan fokus dan kerja keras. Akhirnya ketika proses perkuliahan mewajibkan mahasiswa mengasah skill dengan tekun, disiplin, dan setia, mahasiswa menjadi tidak siap, orang tua pun terkaget-kaget sebab mereka tidak kenal dengan mendalam bagaimana proses ATMI mendidik dan menyiapkan para mahasiswanya. Jelas, jika tidak segera disikapi akan menyulitkan ATMI dalam menjaga komitmen metode pembelajarannya. Maka, lahirlah konsep tegas namun humanis. Tentu sebelum dipraktikkan, konsep ini dijelaskan dan disosialisasikan pada jajaran dosen struktural dan dosen muda pendamping PPS. Tim kemahasiswaan sengaja membuka kesempatan duduk bersama untuk mematangkan konsep ini. Konsep ini tetap sejalan dengan spirit 4C (Compassion, Conscience, Competence, Commitment) namun dibahasakan kembali dengan cara lugas, yaitu tegas dan humanis. Ketegasan akan membentuk karakter disiplin, namun sisi humanisme yang menghargai martabat manusia tetap tidak ditinggalkan. Praktiknya, kedisiplinan itu tidak hanya menegur dengan keras namun yang terpenting tegas. Tegas artinya yang menegur juga perlu meneladani dengan tindakan yang benar. Tegas juga diartikan keputusan yang dibuat tidak semena-mena, sesuai dengan peraturan yang ditetapkan serta melibatkan hati nurani. Untuk itu, dalam belajar-mengajar, kita harus berani “dekat” dengan mahasiswa supaya kita mengetahui siapa dan bagaimana mereka. Akhirnya, kita mempunyai opini yang jelas tentang mahasiswa tersebut. Dengan demikian, sebagai pengajar, kita menjadi pribadi yang mempunyai rasa memiliki anak didik kita. Kita terbuka namun tetap punya arah yang jelas. Karena anak muda sekarang cukup kritis, maka ketika kita menegur karena mereka keliru, kita harus sampai menjelaskan dan akhirnya sadar mengapa keliru. Dengan demikian untuk selanjutnya ia tahu bagaimana harus memilih yang baik. Cara pembelajaran ini tidak mudah karena seringkali sudah terbentuk “jarak” antara pengajar dan yang diajar. Tentu inisiatif mendekati, pertama-tama harus datang dari tenaga pengajar agar kecanggungan menjadi cair. Dengan demikian tidak ada sekat tinggi antara pengajar dan yang diajar. Selain itu, dalam PPS tersebut, panitia menekankan pentingnya rasa memiliki angkatan. Seluruh anggota angkatan menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Ini menjadi cara membumikan pendidikan karakter 4C sekaligus menjadi sarana bantu konsep tegas namun humanis berjalan. Rasa memiliki angkatan akan berimbas pada rasa memiliki ATMI. Maka mereka akan menjadi pioneer yang mampu memelihara angkatan, mengajak angkatan, dan menjadi rekan diskusi dosen demi kemajuan dan konsistensi ATMI. Praktisnya, dipilihlah beberapa anak yang siap dan mau terlibat mengkoordinasikan angkatannya. Mereka akan mengawali dan membuka jalan teman-teman yang lain untuk memperhatikan temannya yang kurang mampu beradaptasi dengan budaya ATMI. Mereka juga menjadi teman tenaga pengajar dan tim konseling dalam berbagi diskusi mengenai dinamika pembelajaran di ATMI. Masih dalam rangka menumbuhkan rasa memiliki, panitia PPS mengawali terbentuknya jaringan relasi melalui tugas kelompok, pembentukan grup angkatan melalui media social, dan pendampingan angelus dari panitia ke maba. Angelus akan menjadi teman sharing saat dinamika kelompok, memberi penjelasan tugas, dan mengajari berbagai metode pembelajaran di bengkel seperti pengukuran. Namun saat tugas tidak dikerjakan dengan tuntas, maka dengan tegas panitia memberi sanksi berupa jam kompensasi yang senilai dengan jenis kerja sosial tertentu dan mahasiswa tetap diwajibkan menyelesaikan tugasnya itu. Akhirnya, semoga dengan berani mengawali dan menegaskan konsep ini, kita menjadi tahu bahwa di satu sisi tetap berpikiran positif bahwa teknologi menjadi sarana bantu melatih kemampuan manusia menuju pada kesempurnaan. Namun di sisi lain juga perlu hati-hati bahwa bisa jadi teknologi akan membentuk relasi manusia hanya seperti jaringan kabel-kabel bahkan mungkin maya. Alih-alih selalu memikirkan bagaimana memperbaharui teknologi, nampaknya filosofi 4C harus menjadi prinsip “hanya satu saja yang perlu” sehingga dikedepankan dan dikuatkan dulu. Semoga konsep tegas namun humanis mampu menjawab fenomena yang berkembang ini. V. Doni Erlangga, SJ

ngobrol perdamaian di bongsari
Pelayanan Gereja

NGOPI (Ngobrol Perdamaian Indonesia)

Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan rahmat yang pantas disyukuri dan dijaga terus-menerus oleh seluruh komponen bangsa dan Negara Indonesia.Untuk itu, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Kevikepan Semarang,Komisi Kepemudaan Kevikepan Semarang bekerja sama dengan Persaudaraan Lintas Agama Kota Semarang,Gusdurian mengadakan acara Ngopi Srawung Orang Muda Lintas Agama. Kata “Ngopi” diartikan sebagai Ngobrol Perdamaian Indonesia. “Srawung” merupakan kata dari bahasa Jawa yang artinya bergaul akrab. Dari acara ini diharapkan orang-orang muda lintas agama dari berbagai tempat dapat bergaul akrab untuk selalu memperhatikan perdamaian Indonesia. Dalam acara “ngopi” itu, orang-orang muda lintas agama tersebut bertekad bulat untuk menjaga persatuan,merawat kebhinekaan dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan karya-karya nyata yang memajukan bangsa dan negara. Acara “Ngopi” tersebut dilaksanakan di halaman Gereja St Theresia Bongsari Semarang pada Sabtu, 17 Agustus 2019.Upaya membangun keakraban dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba permainan yang menarik seperti karet wajah, estafet karet gelang,makan krupuk dan balap karung.Setelah lomba-lomba keakraban,para peserta berbincang dalam sarasehan dengan pembicara Dewi Prasida,sosok yang dikenal sebagai gadis berjilbab yang bersalaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan ketika belajar soal kerukunan beragama dan Setyawan Budi. Dewi mengungkapkan perjuangan untuk membangun kerukunan penuh tantangan. Ia pun tidak lepas dari kecurigaan dan komentar negatif atas aktivitas bersama dengan umat beragama lain. Ia minta bagi kita yang masih bisa berpikir waras mengajak orang muda terus mengembangkan semangat toleransi. Rm Eduardus Didik Chahyono SJ selaku Pastor Kepala Paroki Bongsari sekaligus Ketua Komisi Hubungan antarAgama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang menyatakan, “Acara ini dapat dijadikan upaya mendukung fokus pembangunan pemerintah saat ini yang ingin mengembangkan Sumber Daya Manusia agar menjadi unggul sehingga Indonesia makin maju. Kegiatan ngobrol perdamaian Indonesia diharapkan dapat mencerdaskan orang-orang muda dalam menghayati agama dan mendewasakan dalam pergaulan dengan teman-temannya yang menghayati agama berbeda.Dengan kecerdasan beriman,kedewasaan dan kematangan diri,harapannya orang muda dapat lebih berkontribusi membangun Indonesia.” Acara “Ngopi” makin terasa meriah karena ada tampilan rebana dari Pondok Pesantren Raudhatul Solihin Sayung Demak, nyanyian dari Vitalen, Remaja Gereja Bongsari dan Tari Sufi dari Pondok Pesantren Al-Islah.Hadir dalam acara itu Bambang Suranggono mewakili Walikota Semarang, tokoh lintas agama, Mahasiswa mahasiswi IAIN Kudus, pemuda Hindu, Budha, Katholik, Kristen dan warga masyarakat. Sebelum mengakhiri pertemuan Jimmy, pengelola E-Coffee, berkesempatan untuk berbagi pengalaman dan informasi terkait dengan kopi, minuman yang sedang digemari banyak orang. Jimmy mengajak minum kopi secara sehat. E. Didik Cahyono, SJ