Indonesianisasi berarti mencari ekspresi imaniah dalam way-of-life Indonesia. Demikian pandangan dari Kardinal Darmoyuwono yang dikemukakannya dalam majalah Tempo (20 Oktober 1973) ketika merefleksikan topik bernama “Indonesianisasi.” Di tengah berbagai situasi yang berkembang saat itu, periode tahun 1960-1970 merupakan periode di mana Gereja Katolik Indonesia sedang menggeliat. Dalam hal ini, Gereja Indonesia dan Provindo mencita-citakan komunitas umat beriman yang bercita-rasa Indonesia.
Minggu malam, 20 Februari 2022, rangkaian webinar 50 tahun Provindo kembali hadir dengan topik Indonesianisasi-Ruwetnya identitas Jesuit Indonesia. Webinar tersebut didasarkan pada studi yang dilakukan beberapa Jesuit muda, yakni Pater Suryanto Hadi, fr. Craver Swandono, fr. Andre Mantiri, dan fr Lambertus Alfred. Dengan moderator Claudia Rosari Dewi, seorang muda pegiat spiritualitas Ignatian, pemaparan hasil studi dilakukan secara padat. Pemaparan itu kemudian dibingkai dengan pandangan dan refleksi dari Pater C. Putranto sebagai penanggap. Sesi tanya jawab pun menjadi hidup ketika Pater Provinsial menyediakan diri untuk menanggapi pertanyaan dari peserta yang hadir.
Tidak dapat disangkal bahwa dinamika Indonesianisasi adalah bagian dari sejarah Provindo. Melalui webinar tersebut, kita disadarkan bahwa benih-benih Indonesianisasi sebenarnya sudah muncul sejak pendirian novisiat S.J. di Indonesia tahun 1922. Sejak itulah dinamika Indonesianisasi terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, beberapa figur memberikan pandangan tentang Indonesianisasi. Gesekan karena perbedaan pandangan pun pernah memperkaya dinamika Indonesianisasi. Misalnya tentang peran Jesuit “asing” dan Jesuit “pribumi.” Di tengah gejolak dinamika yang ada, momen-momen rekonsiliasi menjadi oase yang menyejukkan.
Ruwetnya identitas Jesuit Indonesia adalah bahasa marketing yang digagas panitia dalam promosi webinar. Mungkin saja, bahasa marketing itulah yang kemudian menarik sekitar 145 akun peserta untuk hadir dalam ruang daring Zoom. Selain para Jesuit, hadir pula beberapa kolabolator awam, para pemerhati Serikat, dan para pencinta spiritualitas Ignatian. Maka muncul pertanyaan, apakah memang identitas Jesuit Indonesia ruwet? Ada pro dan kontra. Yang jelas, dalam webinar disadari bahwa Indonesianisasi ternyata memiliki banyak dimensi. Mulai dari dimensi personalia Gereja, dimensi budaya, hingga dimensi teologi. Hadirnya berbagai dimensi tersebut mungkin menjadikan Indonesianisasi menjadi terkesan ruwet.
Kita patut bersyukur bahwa Provindo memiliki pengalaman Indonesianisasi. Sebuah pengalaman yang pada akhirnya berbuah, membentuk identitas, dan semoga menjadi puncta refleksi tentang apa artinya menjadi Jesuit Indonesia.
Kontributor : Andre Mantiri S.J. – Skolastik Teologan Kolsani