Pilgrims of Christ’s Mission

Volunteer Realino SPM

Realino SPM

Menjadi Sahabat: Pendengar dan Utusan Kasih

Saya dan teman seangkatan memilih pengabdian sosial (pengabsos) di Yayasan Realino, pendampingan anak-anak Komunitas Belajar Realino (KBR) Bongsuwung dan Jombor. Pengalaman sebagai volunteer di Realino Seksi Pengabdian Masyarakat (Realino SPM) membawa saya pada refleksi mendalam tentang hidup. Sebagai volunteer, saya tidak hanya bertindak sebagai pendidik, tetapi juga teman, pendengar, dan pemberi kasih tulus. Pengalaman ini mengingatkan saya pada semangat dan dedikasi pendiri kongregasi saya, Pater Leo John Dehon. Dia memperjuangkan kehidupan kaum buruh dan orang miskin. Pater Dehon merupakan teladan bagi kami, para Dehonian dalam memperhatikan dan menyelesaikan masalah sosial. Saya berusaha meneladan semangatnya, terutama dalam mengabdi masyarakat dan Gereja.   Mengajar anak-anak di KBR Bongsuwung dan Jombor bukanlah tugas mudah. Di tengah keceriaan dan semangat mereka, saya sering menemukan tantangan. Banyak anak-anak terpengaruh budaya toxic yang menjauhkan mereka dari nilai kesopanan dan penghormatan pada sesama. Saya menyaksikan antara mereka berperilaku kurang sopan, kadang-kadang dengan kata-kata menyakitkan. Di sisi lain, ada pula kebahagiaan selama pengabsos. Saya bangga dan bahagia bisa berbagi, mendapat pengalaman baru, menjalin relasi dengan sesama volunteer dan anak-anak KBR. Kerja sama mengajar dan mendampingi anak-anak menyatukan komunitas volunteer dan membangun solidaritas satu sama lain. Kami saling mendukung untuk terus berkomitmen memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Momen-momen lucu penuh tawa bersama menciptakan kenangan tak terlupakan. Saya merasa terhormat jadi bagian hidup mereka.   Anak-anak KBR Bongsuwung dan Jombor sangat aktif dan periang. Mereka punya semangat luar biasa dan imajinasi tak terbatas ketika saya mengajak membuat handycraft bahan-bahan alam, seperti terrascape tumbuhan hidup atau kapal pesiar daun pisang kering (klaras). Mereka antusias mengerjakan dan memberikan ide-ide kreatif. Saya menyadari mereka membutuhkan bimbingan, perhatian, dan kasih sayang. Banyak dari mereka kurang diperhatikan orang tua yang mungkin terjebak kesibukan tuntutan hidup harian. Saya terpanggil memberikan dukungan sebagai sahabat. Saya belajar jadi pendengar, memberikan perhatian penuh saat mereka berbicara, menciptakan lingkungan aman tempat mereka merasa diterima, dihargai dan dicintai.   Sebagai mahasiswa Teologi, saya belajar bahwa Teologi pun bersuara tentang bagaimana saya menciptakan dampak positif di masyarakat, khususnya bagi yang terpinggirkan. KBR Bongsuwung dan Jombor jadi ruang penghayatan nilai-nilai teologis dan manusiawi, aneka pengalaman perjumpaan kesedihan dan kebahagiaan yang kerap berjalan beriringan. Ada masa saya merasa sedih dan lelah karena terik panas dan habis energi. Namun, ada saat pula ketika saya merasa terinspirasi semangat anak-anak. Saya mensyukuri setiap pengalaman, suka maupun duka. Saya berkomitmen terus berjuang menghargai setiap pribadi dan perhatian pada mereka yang kecil. Sebagai frater SCJ, lewat semangat Pater Dehon, saya berniat memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi mereka yang terpinggirkan dan memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar. Saya belajar tidak hanya menjadi pendamping, tetapi juga sahabat yang dapat dipercaya.    Pengalaman menjadi volunteer di Realino SPM telah menjadikan saya lebih peka pada kebutuhan sosial di sekitar saya. Saya lebih sadar akan berbagai isu yang dihadapi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Ini mendorong saya berpikir lebih kritis bagaimana saya bisa berkontribusi menciptakan perubahan positif. Saya berefleksi bahwa pengalaman ini bukan hanya tentang memberikan, melainkan juga tentang menerima. Setiap interaksi dengan anak-anak dan relasi sesama volunteer telah memberikan pelajaran berharga tentang kebersamaan, kasih, dan harapan. Saya belajar lebih bersyukur atas setiap momen saya jalani. Pun saya menyadari bahwa setiap usaha kecil saya lakukan bisa berdampak besar bagi hidup sesama. Dengan semangat kasih, saya siap menjadi utusan kasih di tengah masyarakat dan Gereja. Setiap hari adalah kesempatan menciptakan perubahan berarti dalam hidup pribadi yang kita jumpai, terlebih mereka yang terpinggirkan.   Kontributor: Fr Faustinus Trias Windu Aji, SCJ – Volunteer Realino SPM

Pelayanan Masyarakat

Tumbuh Dalam Cinta Sejati

Pengalaman melayani anak-anak marginal lewat Komunitas Belajar Realino (KBR) di wilayah Jombor dan Bongsuwung merupakan panggilan yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Ini adalah kesempatan meneladani Yesus yang selalu hadir bagi mereka yang tersingkir, menderita, dan dilupakan masyarakat. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di dalam diri mereka yang tersingkir, kita menemukan wajah Kristus sendiri.   Melayani anak-anak marjinal mengajarkan saya membuka hati dan mata pada realitas ketidakadilan dan penderitaan. Sebagai biarawan SCJ yang menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus, Hati yang terbuka menjadi semangat saya untuk mau menerima semua orang ke dalam hati saya. Selain itu saya juga diundang membagikan kasih Tuhan lewat diri saya kepada mereka tanpa membeda-bedakan latar belakang dan budaya.   Dalam pengalaman pengabdian sosial ini, saya belajar bukan hanya untuk memberi, melainkan juga menerima. Melalui pertemuan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino, saya menyadari bahwa dari mereka saya dapat belajar tentang kekuatan, keberanian, dan pengharapan. Saya belajar melihat manusia bukan dari penampilan luar atau status sosial, melainkan nilai dan martabat yang melekat pada setiap pribadi sebagai ciptaan Allah yang luhur.   Pengabdian sosial kepada anak-anak marjinal ini saya refleksikan sebagai tindakan nyata mengikuti jejak Yesus. Secara khusus ini merupakan bentuk mengikuti Dia memperjuangkan keadilan, memperlihatkan kasih yang nyata, dan memberi harapan. Saya tidak hanya hadir membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga mengingatkan diri saya bahwa keberadaan saya memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan mulia itu adalah menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di dunia ini.   Dalam refleksi ini, penting juga mengingat bahwa pengabdian sosial adalah panggilan mengasihi tanpa syarat. Kasih ini tidak mengharapkan balasan atau penghargaan, melainkan tumbuh dari keinginan melihat orang lain hidup dengan martabat dan sukacita. Setiap kali saya berbagi waktu, perhatian, dan kasih kepada anak-anak dan kaum marginal, saya berpartisipasi dalam misi Kristus di dunia ini. Misi itu adalah membawa terang dan harapan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Let us become a true light.   Akhirnya, pengalaman ini memanggil saya untuk berkomitmen lebih dalam terhadap semangat pelayanan. Saya dipanggil membawa transformasi tidak hanya bagi mereka yang saya layani, melainkan juga bagi diri saya sendiri agar semakin bertumbuh dalam cinta sejati.   Kontributor: Fr. Charles Oktavianus Markus Tada Wadan, SCJ – Volunteer Realino SPM 

Realino SPM

Hadir dan Berbagi Kasih-Nya

Dalam tradisi iman Kristiani, pengabdian sosial bukan hanya sebuah tugas atau kewajiban moral, melainkan bentuk perwujudan nyata kasih Allah kepada sesama. Yesus Kristus sendiri memberikan teladan dalam pelayanan-Nya kepada mereka yang lemah, tersisih, dan termarjinalkan. Setiap kali saya berinteraksi dengan anak-anak dampingan, saya diingatkan akan panggilan saya sebagai umat beriman. Pun saya diingatkan sebagai seorang suster CB yang digerakkan oleh kasih tanpa syarat Yesus Yang Tersalib. Dia memberikan teladan untuk melayani mereka yang berkesusahan dengan kerendahan hati. Ini tercermin dalam sabda Yesus: “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).   Tentu dalam proses berdinamika di Komunitas Belajar Realino (KBR), saya juga mengalami tantangan. Salah satunya adalah ketika saya harus berhadapan dengan anak-anak yang dalam konteks tertentu ‘haus perhatian.’ Bisa jadi mereka kurang mendapat pendidikan atau perhatian dari orang tua. Hal ini sungguh menguras tidak hanya tenaga tetapi juga perasaan. Meskipun demikian, tantangan ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menghayati kesabaran, keterbukaan hati, dan pengertian.    Tuhan sendiri hadir dalam kerapuhan anak-anak ini. Mereka mengajarkan kepada saya tentang makna pelayanan tanpa syarat, sebagaimana Allah melayani dan mencintai saya secara total, tak bersyarat. Tuhan tidak pernah  memandang kelemahan saya dalam hal mencintai. Karena itu, atas dasar cinta Tuhan ini saya dimampukan memberi hati dengan penuh dalam pelayanan di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung dan Jombor.   Hal menarik lain adalah ketika saya melihat anak-anak mengembangkan potensi mereka dan mengekspresikan kreativitas dalam hasil karya yang mereka bawa pulang. Saya menyadari betapa penting kehadiran dan pendampingan ini bagi mereka. Setiap pertemuan dan interaksi bukan sekadar rutinitas, melainkan perjumpaan dengan wajah-wajah Allah yang hidup dalam diri setiap anak. Dalam mereka, saya belajar bahwa pengabdian sosial ini adalah bentuk persekutuan dengan Tuhan. Dia memanggil saya untuk hadir dan berbagi kasih-Nya di tengah dunia yang membutuhkan ini.   Lewat refleksi ini, saya semakin menyadari bahwa tugas saya sebagai umat beriman bukan hanya melayani, melainkan juga memberikan diri, pikiran dan hati untuk belajar dari mereka yang saya layani. Allah bekerja dan hadir melalui setiap pengalaman. Dia memberikan saya kesempatan untuk mengasihi dan bertumbuh dalam iman melalui tindakan konkret pengabdian sosial ini. Saya merefleksikan dan memahami bahwa kegiatan pengabdian sosial ini menjadi sebuah jalan menuju transformasi pribadi dan spiritual. Dalam pengalaman ini saya merasa semakin dipersatukan dengan misi kasih Allah bagi dunia.   Kontributor: Sr. Rafaela, CB – Volunteer Realino SPM

Feature

Dalam Bayang-Bayang Gempa: Mengabdi, Menginspirasi, dan Membangun Kesiapsiagaan

Semburat matahari pagi lengkap ditambah raut antusias dan senyum cerah anak-anak Pingit. Momen itu seolah menjadi sambutan hangat kala kami menginjakkan kaki di Perkampungan Sosial Pingit (PSP). Di tengah kebisingan kendaraan, kami merasakan energi positif menyelimuti mereka. Raut penasaran dan tatapan mereka mewarnai kegiatan pagi itu. Kami merasakan keingintahuan anak—anak akan hal baru, tentang apa yang akan mereka dapatkan. Mengabdi dan berbagi di Kampung Pingit pada 29 September 2024 adalah perjalanan bermakna yang tak terlupakan. Kegiatan sosial mengajar ini dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi (HMSaIG). Ini merupakan bagian program kerja Departemen Sosial Masyarakat, hasil kolaborasi dengan Realino SPM. Tema yang diangkat “Kenali Gempa: Tetap Tenang dan Siap Siaga.” Bahasan ini ingin memberikan edukasi penting tentang mitigasi bencana gempa bumi kepada masyarakat, khususnya anak-anak di daerah Yogyakarta yang memiliki risiko gempa bumi.   Seiring kami memulai sesi pertama, rasa cemas yang sempat menghinggapi digantikan kegembiraan. Dalam sesi belajar, kami bukan hanya mengajarkan teori-teori dasar gempa bumi dan langkah-langkah keselamatan yang harus dilakukan, tetapi juga memastikan bahwa anak-anak paham akan apa yang sedang terjadi di bumi ini ketika gempa berlangsung. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dan memperdalam pengetahuan mereka bahwa gempa bumi dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya pergerakan lempeng tektonik. Melalui video dan alat peraga simulasi gempa bumi yang menarik dan edukatif, materi disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami. Setiap sesi pun menjadi interaktif dan bermakna. Anak-anak juga diajak untuk mencoba menggerakkan alat peraga supaya merasakan dampak yang gempa bumi. Selain menyampaikan materi, kami mengadakan games, kuis sederhana, dan makan bersama sebagai jembatan membangun kedekatan dengan anak-anak Pingit. Setiap tawa dan tanya yang terlontar dari anak-anak menyalakan semangat kami untuk berbagi. Kegiatan ini mengingatkan kami pada ungkapan Mahatma Gandhi, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Ungkapan tersebut menekankan pentingnya mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kepentingan pribadi. Melalui tindakan pelayanan, kami tidak hanya membantu orang lain melainkan juga menemukan tujuan dan identitas kami sendiri. Sebagai fasilitator, kami datang dengan niat berbagi ilmu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kami belajar banyak dari anak-anak Pingit, tentang ketekunan, semangat belajar, dan kemampuan beradaptasi di tengah keterbatasan. Mereka mengajarkan bahwa harapan tetap tumbuh meskipun dalam kondisi sulit, dan pendidikan adalah jembatan menuju masa depan lebih baik.   Dalam interaksi dengan masyarakat Pingit, dirasakan bahwa kehadiran kami sebagai mahasiswa bukan sekadar membawa materi akademik, tetapi juga membawa harapan baru. Anak-anak di sini, dengan keterbatasan mereka, menunjukkan rasa ingin tahu sangat besar. Mereka tidak hanya belajar bagaimana menghadapi gempa, melainkan juga belajar bahwa di luar sana ada banyak kesempatan bisa mereka raih lewat pendidikan. Selain memberikan edukasi gempa, kegiatan ini menjadi kesempatan mendekatkan diri dengan Volunteer Komunitas Belajar Pingit. Kami berbagi cerita, mendengarkan aspirasi, dan memahami permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. Hal ini memperkuat kesadaran kami akan pentingnya kepedulian sosial dan solidaritas. Pengabdian ini mengajarkan perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti kata Malala Yousafzai bahwa “One child, one teacher, one pen, and one book can change the world.” Setiap usaha kami meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana dapat berdampak besar pada keselamatan mereka di masa depan. Kampung Pingit mengajarkan kami bahwa pengabdian bukan hanya tentang apa yang bisa kami berikan, tetapi juga tentang bagaimana kami menerima. Setiap tindakan kecil dengan ketulusan akan memberi dampak lebih besar daripada yang kami bayangkan. Kami belajar bahwa melayani adalah sebuah panggilan, yang ketika dijalankan dengan sepenuh hati, akan membawa kebahagiaan mendalam baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Kampung Pingit akan selalu menjadi tempat kami menemukan makna pada setiap langkah pelayanan.   Kontributor: Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi – Universitas Gajah Mada

Feature

Healing yang Cerdas dan Humanis

Dunia perkuliahan memang banyak lika-liku yang harus dilewati. Kesulitan dalam memahami suatu materi, kepadatan jadwal mengurus tugas-tugas, usaha lebih untuk aktif di organisasi dan kepanitiaan mewarnai dinamika anak kuliah zaman sekarang. Seringkali situasi ini dijadikan sekat untuk membatasi “ini urusanku” dan “itu urusanmu.” Di akhir pekan pun mungkin ada yang berpikiran untuk healing setelah sepekan sibuk dalam kuliah dan segala dinamikanya. Namun, apakah semua kondisinya begitu dan berjalan monoton tanpa ada hal bisa dimaknai? Tidak, di Komunitas Belajar Realino di Jombor, kami menemukan pengalaman healing berbeda yang membuat hari kami berarti sekaligus memberikan makna bagi sesama.   Kami melihat dan merasa terinspirasi bahwa masih ada orang-orang berdedikasi untuk anak-anak jalanan, kurang mampu, dan dalam kondisi yang terbatas di tengah hiruk-pikuk kesibukan yang harus dilaksanakan. Itulah yang kami lihat dari Realino SPM yang berisikan para relawan berdedikasi tinggi. Mereka setiap minggu hadir memberikan segala perhatian bagi teman-teman kecil di Jombor. Masing-masing relawan ini pasti memiliki kesibukan dan agenda. Meski demikian mereka tetap menyediakan ruang, tenaga, dan waktu membagikan kasih dengan cara yang menyenangkan.   Syukurlah kami, mahasiswa-mahasiswi Farmasi Universitas Sanata Dharma boleh ambil bagian di dalamnya pada Sabtu, 14 September 2024. Hari itu kami datang dengan segala kecemasan dalam pikiran dan hati kami mengenai materi dan dinamika yang akan disampaikan. Apakah akan bisa menarik dan ditangkap adik-adik di Jombor? Walaupun ada kekhawatiran tetapi muncul optimisme akan keberhasilan acara yang kami siapkan. Ternyata ketika dinamika berjalan, kami menemui bahwa adik-adik di sana adalah anak-anak yang asyik, cerdas, dan aktif menyambut permainan juga materi yang kami bawakan. Namun, bukan berarti semua berjalan lancar begitu saja. Tentu ada beberapa adik di sana dengan kondisi dan kecenderungan dirinya memilih asik sendiri. Beberapa lainnya sedikit enggan dalam momen-momen tertentu mengikuti apa yang telah kami rancang dan tuntun. Meskipun demikian, itu tidaklah menjadi soal besar karena kami tahu bahwa itulah fase anak-anak mengeksplorasi dan mengekspresikan diri sehingga tak bisa untuk dibatasi begitu saja. Dari pengalaman di Jombor bersama mereka, secara keseluruhan, kami rasa apa yang sampaikan dapat ditangkap. Semoga materi kami bisa diaplikasikan dalam keseharian dan diceritakan kepada keluarga di rumah.   Healing bagi kami di hari itu adalah mencari pengalaman baru memberikan hati kepada adik-adik di Komunitas Belajar Realino – Jombor. Kampanye Kesehatan merupakan salah satu bentuk cerdas dan humanis, pengetahuan kami tidak berhenti hanya pada kami saja, melainkan disebarkan untuk semakin memanusiakan manusia. Mendidik bukan hanya tugas seorang guru saja tetapi kami sadari juga bagian tugas kami sebagai mahasiswa farmasi yang mempelajari tentang obat-obatan termasuk obat tradisional. Hal yang sebelumnya mungkin bagi adik-adik itu terasa jauh dan tidak pernah ditemui, kami coba letakkan di dekat mata supaya akrab dan jadi bagian hidup mereka.    Lewat pengalaman di Jombor, kami menemukan rancangan Tuhan yang menarik. Refleksi kami, Tuhan ingin menunjukkan bahwa cara menambahkan nilai pada diri sendiri itu tak melulu dari mencari prestasi akademis, memperkaya diri, atau mengejar IPK sempurna. Memperkaya orang lain dengan pengalaman juga menjadi sarana menambahkan nilai pada diri sendiri dengan jalan cinta kasih. Refleksi lainnya, dalam dunia farmasi, semua eksperimen itu memiliki hasil dan parameternya. Dalam pengabdian ini, ada parameternya pula, peningkatan pengetahuan adik-adik lewat hasil post test, diskusi, dan tanya jawab yang berjalan seru. Kemudian, tak kalah pentingnya juga senyum tersungging penuh kepolosan dari anak-anak yang belajar hal baru. Semoga pengalaman dan dinamika ini membawa perkembangan bagi kita semua. Akhir kata, terima kasih kepada Realino Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) yang memberikan kesempatan kepada kami untuk bergabung dalam pengabdian di Komunitas Belajar Realino – Jombor.   Kontributor: Alfonsus Stanley – Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma  

Feature

Perjumpaan Transformatif

Melalui perjumpaan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino (KBR) – Jombor, kami disadarkan tentang diri kami. Ada lima poin refleksi pembelajaran sederhana yang bagi kami berkesan dan ingin kami bagikan.   Poin pertama adalah kami belajar untuk selalu bersyukur. Seperti halnya dengan anak-anak yang bermain bersama kami, mereka bisa tertawa lewat hal-hal kecil dan sederhana yang kami berikan. Kami sangat senang bisa memberikan tenaga dan meluangkan waktu bermain dan belajar bersama. Tanggapan anak-anak juga memberikan kami semangat.   Poin kedua adalah kami belajar untuk saling memahami satu sama lain dan menurunkan ego. Bersama anak kecil tentunya dibutuhkan kesabaran agar mereka juga bisa merasa nyaman bersama kami. Kami melihat anak-anak yang dengan sabar memutar kaleng agar bisa membuat es krim, mengalah untuk mendapat giliran memutar, dan mengantri untuk mendapatkan es krim. Tanpa kita sadari, membuat es krim bersama telah jadi sarana pembentukan karakter yang baik.   Poin ketiga adalah kami belajar untuk berbagi. Walau dimulai dari hal yang tampaknya kecil tetapi selama bermanfaat untuk sesama akan menjadi sedemikian berharga sekaligus berkesan. Kami merasa senang bisa berbagi dengan anak-anak di KBR Jombor. Kami berbagi tidak hanya dalam bentuk materi (barang dan makanan) tapi juga ilmu (pembelajaran dan karakter).   Poin keempat adalah kami belajar tentang arti toleransi. Kami berbagi dan belajar bersama anak-anak tanpa memandang latar belakang (suku, ras, dan agama) mereka. Poin kelima adalah kami belajar untuk selalu tulus dalam memberi dan menyalurkan kasih. Ketika melakukan sesuatu dengan tulus, kami mendapat semangat dan kebahagiaan tersendiri.   Melalui kegiatan bersama anak-anak di Jombor ini, kami dapat merasakan berkat dan rahmat Tuhan. Apa yang kami berikan kepada mereka tidak seberapa, tetapi justru apa yang kami dapatkan dari mereka lebih dari cukup untuk kami refleksikan dalam kehidupan kami.   Poin-poin refleksi ini menorehkan perasaan tenang dan bahagia di dalam hati kami masing-masing. Kami dapat mencecap perasaan yang tak bisa kami dapatkan bila kami berderma saja tanpa terjun langsung atau tanpa perjumpaan dengan mereka yang paling membutuhkan, khususnya anak-anak yang kami jumpai di KBR Jombor.   Kontributor: Ica, Ave, Nia, Indira, Christy, Stevy, Aurel, Gita, Jessica – SMA Stela Duce I Yogyakarta, Kelas XII

Feature

BE THE BRIDGE FOR PEOPLE TO KNOW THE MEANING OF LIFE

Menjadi sebuah pertanyaan mengapa menjadi jembatan bagi masyarakat dapat membuat kita mengetahui makna hidup itu sendiri? Jembatan pada konteks ini memiliki arti sebagai perantara atau perpanjangan tangan untuk menghubungkan orang–orang yang mempunyai latar belakang yang beragam, memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan, mengatasi ketidaksetaraan, dan mendukung adanya perubahan positif dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai mahasiswa yang memiliki hak istimewa untuk mendapatkan ilmu atau wawasan yang lebih sudah seharusnya kita memiliki sikap peduli terhadap kehidupan bersosial dan ikut terlibat untuk menjadi jembatan kepada mereka yang membutuhkan bantuan kita.   Peduli adalah salah satu dasar dari kebaikan manusia yang menjadi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosialisasi. Namun pada era modern saat ini, tingkat kepedulian antar sesama mulai menurun dikarenakan kesibukan yang menjadikan sikap individualistis semakin meningkat. Rasa kepedulian seseorang dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara namun tentunya sikap proaktif atau keinginan untuk terlibat menjadi jembatan itu sendiri. Cukup banyak cara yang dapat digunakan dan dilakukan untuk menumbuhkan rasa kepedulian dalam diri setiap masyarakat, salah satunya yaitu menjadi relawan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.     Saya pernah menjadi sukarelawan di suatu seksi pengabdian masyarakat yang ada di kota Yogyakarta. Pengabdian ini bertujuan untuk membentuk suatu komunitas belajar pada desa yang tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Motivasi saya untuk bergabung menjadi relawan yaitu karena adanya keinginan saya untuk membagikan ilmu yang saya miliki kepada mereka yang membutuhkannya dan mengembangkan nilai–nilai sosial yang ada.    Dari kegiatan sosial tersebut saya mendapatkan banyak pelajaran akan makna kehidupan, salah satunya saya melihat bahwa setiap manusia itu berharga dan memiliki potensi dalam diri mereka masing-masing.    Sudut pandang manusia terhadap kehidupan tentunya berbeda–beda dan cara memaknai kehidupan juga tentunya berbeda namun nilai–nilai sosial itu tidak akan pernah berubah. Menjadi orang yang peduli tentunya tidak akan pernah memberikan makna yang tidak baik, melainkan mengajarkan kita akan banyak makna kehidupan. Dengan menunjukkan rasa peduli kita akan sesama, kita juga mendapatkan suatu hal baru yang sangat berharga di dalam hidup kita dan menjadi paham akan makna dari kehidupan itu sendiri.   Tunjukkanlah rasa peduli dengan mengatakan “aku peduli” dan lakukan tindakan nyata sebagai bentuk jalan pengabdian.   Kontributor: Monayanti Simanjuntak – Volunteer Realino SPM

Feature

Spiritualitas yang Membebaskan

Setiap malam di bulan Mei dan Oktober, komunitas asrama Realino SPM di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta, mengadakan doa rosario bersama untuk menghormati bulan Maria dan Rosario. Patung Bunda Maria diambil dari lemari di bawah televisi dan ditempatkan di meja panjang di tengah ruangan. Di depannya ditaruh sebuah tempat lilin bercabang dua dengan salib di antaranya. Satu lilin besar lain dinyalakan dengan tatakan piring kecil. Semua anak asrama, dari yang masih SMP hingga yang mahasiswa, berkumpul di aula bersama dengan Romo dan Bruder. Terkadang, turut hadir pula Frater-frater yang sedang live in di tengah komunitas. Mak Sur, yang menjadi ibunya anak-anak asrama, juga tidak pernah absen. Para volunteer yang sedang ada di Realino juga dipersilakan untuk ikut. Setiap harinya tiap anak asrama mendapat giliran untuk memimpin dan membuka doa, sementara semua yang hadir bergantian mendaraskan tiap-tiap butir Salam Maria. Aku adalah salah satu orang yang mendapat kehormatan untuk bisa bergabung dengan pengalaman transformatif ini hampir setiap hari pada bulan Mei tahun lalu, ketika aku sedang berada di Yogyakarta untuk Merdeka Belajar dan mendapat kesempatan untuk turut serta dalam karya-karya Realino SPM sebagai volunteer yang tiba-tiba muncul di tengah semester.   Aku ini Katolik anyaran. Belum lima tahun sejak aku mulai ikut misa dan mempelajari iman Katolik, pun belum tiga tahun sejak aku menerima baptisan. Doa rosario sendiri bagiku awalnya merupakan suatu love-hate relationship. Di satu sisi, kebaktian terhadap Ibu Maria menjadi salah satu yang menggugah hatiku kepada Gereja Katolik. Ibu menjadi sosok yang memberikanku “ruang aman.” Beliau adalah penghibur, penenang, penolong, penunjuk jalan. Kasih ibunya adalah tempat aku dapat diam berserah diri. Di lain sisi, membiasakan praktik doa rosario, walaupun sangat kuinginkan sebagai bentuk kasihku terhadap Ibu, tetap tidak gampang. Meskipun doa-doanya mudah, sulit bagiku untuk “betah” mendoakan rosario. Lima puluh Salam Maria terasa terlalu banyak dan menjemukan. Jarang aku bisa mendoakan satu rosario penuh sendiri karena aku mudah mengantuk. Sulit juga untuk bisa dengan masuk ke dalam kondisi doa kontemplatif ketika pikiran rawan terdistraksi kesibukan sehari-hari. Doa rosario yang membutuhkan waktu dan fokus tersendiri rasanya sangat “mengganggu.”    Ini yang lantas berubah melalui pengalamanku di Realino SPM—tidak hanya dalam doa rosario bersama, tetapi juga dalam keseluruhan karyanya. Tiap butir Salam Maria yang bergulir dan bergantian didaraskan bersama. Suasana yang sakral, namun di satu sisi juga banal: sesekali ada yang salah membaca doa, kemudian dikoreksi oleh yang lain, disusul oleh senyum dan tawa kecil dari yang lain. Ada yang kelebihan membaca Salam Maria. Ada yang lupa sudah sampai mana. Ada yang mengantuk juga. Sesekali anjing-anjing Realino—Polo, Gendhis, dan Cipong—ikut berkeliaran dan rebah di aula, seakan turut mendengarkan doa. Dalam kemanusiaan di tengah yang sakral itu, aku perlahan menemukan keterikatanku dengan rutinitas tersebut. Tanpa disadari, aku ingin dan mengusahakan diriku untuk hadir setiap hari. Sekiranya tidak bisa, aku akan rindu untuk mendoakannya sendiri di kontrakan, dan kendati aku mendoakannya sendiri, tiap doa yang didaraskan selalu membawa suara kawan-kawan terdekat di kupingku untuk turut berdoa bersamaku. Di sini aku menyadari bahwa kecintaan dan kedekatanku kepada yang Ilahi tidak bisa kukerjakan sendiri. Aku harus menemukannya dalam sesamaku, dalam praktik kebersamaan komunal. Gereja adalah rumah bagi para hamba, dan keberadaanku di dalamnya harus menjadi solidaritas bersama mereka. Jika aku ingin dekat dengan Allah, aku harus dekat dengan yang disekitarku juga dan jika aku ingin diam dalam keberadaan Allah, aku juga harus ingin diam dalam kebersamaan dengan orang-orang di sekitarku. Ini yang kupetik dari keterlibatanku dalam karya-karya dan keseharian Realino SPM: sebuah spiritualitas yang membebaskan, dan ini termanifestasi dalam dua pemaknaan.   Pertama, spiritualitas ini “membebaskan” diriku dari diri sendiri. Dalam arti, ia mengeluarkanku dari kekang individualitas semu. Simone Weil, seorang filsuf Prancis yang sangat dekat bagiku, mengatakan bahwa kasih terhadap sesama adalah substansi yang sama dengan kasih terhadap Allah (Weil, Waiting for God, Routledge, 2021:69). Ketika kita mengasihi sesama, adalah Kristus sendiri yang memandang ciptaanNya melalui mata kita (ibid, 72). Kita adalah “antena”, wadah bagi Allah sendiri untuk hadir bagi ciptaanNya. “Kasih terhadap sesama adalah kasih yang turun dari Allah kepada manusia.” (ibid, 100). Dalam kasih terhadap sesamaku, khususnya dalam konteks kebersamaan dalam komunitas, aku menyadari keberadaanku di dunia ini dengan sepenuhnya. Aku menyadari “akarku” sebagai insan manusia, dan mengarahkan atensiku kepada hal-hal yang tepat melalui kesadaran ini: bahwa—tentu tanpa menegasikan pentingnya gerak jiwa individu—komunalitas menjadi aspek yang penting dalam mencapai spiritualitas yang benar. Bahwa kecintaan terhadap Allah harus berangkat dari kecintaan terhadap sesama di tengah-tengah masyarakat. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20)   Kedua, spiritualitas ini tidak hanya membebaskan diri sendiri, tetapi juga memanggil kita untuk turut serta dalam karya pembebasan Allah bagi sesama kita. Kita dipanggil untuk saling “membebaskan.” Pembaca mungkin sudah familiar dengan kerja-kerja Realino SPM sebagai karya sosial dari Serikat Jesus Provindo. Aku sendiri telah mendapat kehormatan untuk bergabung dalam karya-karya pendampingan Realino di komunitas sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor; di bengkel kerja Realino; juga dalam proses registrasi sekaligus kunjungan beasiswa pendidikan Realino. Keberadaan karya-karya Realino mengingatkanku pada ajaran sosial Gereja akan preferential option for the poor, atau keberpihakan Gereja bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Istilah ini pernah digunakan oleh Pater Jenderal Jesuit, P. Pedro Arrupe, SJ, diartikulasikan oleh Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM) di Medellin, Kolombia pada tahun 1968. Melalui peran teologi pembebasan P. Gustavo Gutierrez, Gereja menyadari bahwa kenyataan ketidakadilan sosial di dunia harus ditanggapi dengan keberpihakan Gereja bersama dengan kaum miskin yang terjerat oleh “kekerasan yang melembaga”—yaitu, lembaga negara dan ekonomi hari ini yang ditandai oleh ketidakadilan sistemik dan kemiskinan struktural. Spiritualitas kita lantas harus direfleksikan dari realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan yang dialami oleh banyak dari sesama kita hari ini. Pun ketika kita merenungkan rosario, bukankah kita mengingat Kristus dan Maria yang menderita di bawah kekerasan kaisar dan para pemuka agama? Tidakkah seharusnya penderitaan dan karya pembebasan Kristus juga mengingatkan kita pada kondisi saudara-saudara kita yang juga menderita hari ini, di mana Kristus hidup bersama mereka?      Karya sosial yang dilakukan oleh Realino dan di mana saya terlibat lantas menjadi manifestasi dari suatu spiritualitas yang membebaskan, yakni satu spiritualitas