Pilgrims of Christ’s Mission

SMA Kolese de Britto

Karya Pendidikan

“Cahaya bagi Sesama Menuju Masa Depan Keselamatan Jiwa-jiwa Generasi Muda”

PUNCAK LUSTRUM XV SMA KOLESE DE BRITTO Menyambut ulang tahun yang ke-75, SMA Kolese de Britto mengadakan beberapa kegiatan acara yang dimulai dari hari Kamis, 17 Agustus 2023 hingga Sabtu, 19 Agustus 2023. Rangkaian kegiatan ini diawali dengan upacara Kemerdekaan Indonesia, bakti sosial, kenduri, misa akbar, peluncuran buku, dan ditutup dengan malam ekspresi. Tema acara Lustrum XV SMA Kolese de Britto kali ini adalah Fiat Lux “Jadilah Terang”. Dasar tema ini yaitu ungkapan syukur bahwa di usianya yang ke 75 tahun ini SMA Kolese de Britto masih bisa berbagi dan merefleksikan diri sehingga menjadi terang untuk sekitarnya. Rangkaian kegiatan Lustrum XV dimulai tanggal 17 Agustus 2023 ditandai dengan upacara HUT RI yang ke-78 tahun. Upacara dilaksanakan menggunakan baju profesi dan dihadiri oleh seluruh Civitas Academica SMA Kolese de Britto dan dipimpin oleh Bapak F.X. Catur Supatmono, selaku kepala sekolah. Dalam upacara ini dibacakan pula amanat berupa sambutan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan refleksi Sejarah de Britto oleh Bapak J. Sumardianta. Beliau adalah penulis buku sejarah SMA Kolese de Britto yang berjudul “Masa Lalu Yang Mencahayai Masa Depan: Sejarah SMA Kolese de Britto Tahun 1948-1958”. SMA Kolese de Britto berdiri untuk memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia, hal ini ditekankan oleh Bapak Sumardianta dalam refleksinya. Ketika masa itu sudah ada 3 siswa dan seorang gugur yang ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Bapak Sumardianta mengingatkan kami kembali bahwa kebesaran nama SMA Kolese de Britto tidak lepas dari peran para Pater Serikat Jesus. Salah satunya peran founding father SMA Kolese de Britto yaitu Pater Rudolphus Willem van Thiel, SJ. Bukan hal yang mudah untuk mendirikan sekolahan ini karena membutuhkan dana yang besar. Pater van Thiel, SJ ikut mencari dana bahkan beliau sampai dihina dan dicaci maki oleh orang-orang sebangsanya. Bahkan Kardinal De Jong menuliskan dalam St. Claverbond tahun 1957 untuk membedakan kepentingan politik dengan kepentingan misi. Mengenang sejarah SMA Kolese de Britto merupakan bagian dari mengingat masa lalu yang mampu membawanya bagi masa yang akan datang. Kegiatan selanjutnya adalah pawai budaya di mana para siswa mengenakan pakaian profesi dan berjalan dari Jalan Laksda Adisucipto 161 menuju Jalan Demangan. Yang unik ialah bahwa para siswa mengenakan pakaian profesi sesuai dengan impiannya kelak di masa depan, Ada yang ingin menjadi romo, tentara dan dokter. Ini adalah bukti bahwa para siswa juga turut hadir dalam mewarnai rangkaian puncak lustrum kali ini. Pawai ini ingin mengingatkan kembali kepada para siswa bahwa SMA Kolese de Britto ini lahir untuk memperjuangkan bangsa Indonesia dan menumbuhkan jiwa nasionalis. Di umur yang tidak lagi muda, SMA Kolese de Britto berusaha untuk hadir di tengah masyarakat, yang ditunjukkan dengan kegiatan bakti sosial. Kegiatan ini mengikutsertakan para guru, karyawan, siswa dan masyarakat sekitar SMA Kolese de Britto. Bakti sosial ini terbuka secara umum didukung kehadiran orang tua siswa. Rangkaian kegiatan bakti sosial meliputi donor darah, berbagi sembako, pelayanan cek kesehatan gratis dan kenduri. Kegiatan ini menjadi bukti konkrit bahwa para siswa-siswa de Britto bisa menjadi terang bagi orang-orang sekitarnya, serta mengobarkan semangat dan spirit untuk membantu sesama. Puncak kegiatan ini ditutup dengan misa akbar dan malam ekspresi. Perayaan ekaristi misa akbar dipimpin oleh R.D. Yohanes Rasul Edy Purwanto, Pr. dengan konselebran R.P. Benedictus Hari Juliawan, SJ. , R.D. FX. Alip Suwito, Pr dan seluruh imam alumni dan imam yang pernah berkarya di SMA Kolese de Britto. Misa dihadiri oleh seluruh civitas akademika SMA Kolese de Britto beserta para tamu undangan dari SD, SMP, dan SMA swasta Katolik yang berada di wilayah Yogyakarta. Perayaan Ekaristi lustrum ke-XV SMA Kolese de Britto diselenggarakan secara kolaboratif bersama SMA Santa Maria Yogyakarta dan SMP Kanisius cabang Yogyakarta. Harapannya SMA Kolese de Britto ingin berbagi berkat dan menjadi cahaya lembaga pendidikan swasta Katolik di Yogyakarta. Sejalan dengan homili Romo Alip Suwito, Pr, alumni SMA Kolese de Britto, pentinglah menjadi terang bagi generasi mendatang dan sesama di sekitar kita, tidak hanya untuk lembaga sendiri saja. Semoga di usianya sekarang ini diharapkan SMA Kolese de Britto mampu bertransformasi di tengah situasi zaman yang semakin maju. Sebuah pengantar dari Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ memberikan daya tarik mengenai bagaimana terjunnya Jesuit ke dunia pendidikan adalah sebuah “kecelakaan”. Fokus awal pelayanan Jesuit bukanlah pendidikan melainkan karya kerasulan paroki dan pewartaan. Namun kembali lagi bahwa pendidikan menjadi bagian dari spirit Ayudar de las Almas atau demi keselamatan jiwa-jiwa yang menjadi dasar pelayanan Serikat Jesus. SMA Kolese de Britto menjadi bagian dari pelayanan keselamatan jiwa-jiwa dalam bentuk rumah formasi pribadi-pribadi yang siap dibentuk, ditempa, dan akhirnya terbang ke tempat perutusan yang adalah cita-citanya. Tujuh puluh lima tahun SMA Kolese de Britto telah menghasilkan buah dari benih yang disemaikan oleh para founding fathers untuk bertumbuh bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Maka tidak jarang banyak alumni memiliki kiprah yang besar bagi bangsa dan Gereja saat ini. Selain itu SMA Kolese de Britto telah menghasilkan benih-benih panggilan imamat di dalam murid-muridnya. Perayaan misa akbar ini menjadi sangat istimewa karena yang hadir mendapatkan berkat perdana dari Romo Mateus Seto Dwiadityo, Pr. Beliau salah satu alumni SMA Kolese de Britto 2012 yang baru ditahbiskan menjadi imam 15 Agustus 2023. Rangkaian perayaan Ekaristi diakhiri dengan pelepasan lima belas ekor merpati putih oleh para imam sebagai bentuk ungkapan syukur. Seusai misa dilanjutkan dengan pentas seni dari sekolah swasta Katolik di Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Rangkaian puncak lustrum ditutup dengan malam ekspresi yang dibuka untuk umum. Para siswa menunjukan bakatnya dalam bermusik serta para artis undangan ikut memeriahkan suasana. Mulai dari band Langit Sore bersama Anas Glasean, Nidji, kemudian ditutup oleh Guyon Waton. Penonton sangat antusias dengan penampilan para artis dan band yang menambah semarak lustrum-XV SMA Kolese de Britto. Tak hanya para siswa, para guru pun menunjukan bakatnya dalam bermusik. Penonton sangat senang dan antusias dengan penampilan yang diberikan oleh guru. Puncak lustrum ialah kemeriahan yang disuguhkan oleh para artis undangan hingga membuat penonton sukaria berdendang. Penampilan band Langit Sore bersama Anas Glasean, menghibur penonton dengan melodi indah mereka. Kemudian, Nidji mengambil alih panggung dengan energi yang memukau, menggetarkan seluruh ruangan dengan lagu-lagu hits mereka. Tak kalah pentingnya, Guyon Waton yang membuat suasana semakin pecah dengan lagu bergenre dangdut akustik.

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Karya Pendidikan

Keterbukaan Hati, Pintu Menuju Kasih

Perbedaan di zaman ini dipandang sebagai salah satu masalah besar untuk mencapai suatu persatuan terutama di Indonesia. Kurangnya minat generasi milenial dalam memahami dengan lebih mendalam mengenai perbedaan yang ada di sekitar sering menjadi faktor penghambat kesatuan Bangsa Indonesia. Padahal sebenarnya, generasi muda berpotensi besar membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan. Akan tetapi, ekspektasi tidaklah semulus realita. Banyak konflik terjadi di sekitar kita hanya karena perbedaan pendapat dan cara pandang. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya bersyukur karena bisa belajar dan memahami perbedaan melalui pengalaman nyata. Beberapa waktu yang lalu ada salah satu sekolah yang saya anggap berbeda dengan sekolah kami datang dan berkunjung ke tempat kami. Sekolah itu adalah SMA Bumi Cendekia. SMA Bumi Cendekia merupakan SMA yang berbasis boarding house atau pesantren berbasis asrama yang ada di Sleman. Pada awalnya kami para murid SMA Kolese De Britto diajak oleh salah satu guru sejarah, Pak Nova, untuk ikut bertemu, berkenalan, dan berproses dalam perjumpaan bersama teman-teman dari SMA Bumi Cendekia. Kami merasa sangat senang dengan kegiatan ini karena kami sebagai siswa diberikan fasilitas oleh sekolah untuk menambah relasi sekaligus diberikan kesempatan untuk berproses dengan teman – teman santri dari SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya, saya merasa sedikit ragu untuk mengikuti acara ini. Saya takut jika terjadi suasana canggung dan aneh dalam perjumpaan ini. Namun saya tetap mau mencoba dan berdinamika bersama teman-teman santri SMA Cendekia. Saya menyadari bahwa sebenarnya perbedaan adalah realita yang harus dihadapi hingga akhirnya harus diterima dan dihidupi. Saat menyambut mereka di ruang AV 2, suasana menjadi sunyi dan canggung. Saya dan teman-teman merasa kaget karena kami hanya mengenakan kemeja dan kaos berkerah yang biasa kami gunakan untuk belajar di sekolah sementara teman-teman dari SMA Bumi Cendekia terlihat sangat rapi dengan jas berwarna biru. Bapak F.X. Catur Supatmono, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Kolese De Britto turut hadir dan menyambut para tamu. Dalam sambutannya, Bapak Ubaidillah Fatawi, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Bumi Cendekia, mengungkapkan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempererat tali persaudaraan antar sekolah sekaligus acara ini menjadi sarana bagi para siswa baik dari SMA Kolese De Britto maupun SMA Bumi Cendekia untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan yang ada di antara kami. Setelah sambutan singkat, acara dilanjutkan dengan perkenalan yang dikemas dengan mini games yang asik dan menarik. Kami semua dipaksa untuk mengenal dan mengingat nama-nama kami. Pada awalnya mungkin kami sedikit kesulitan untuk mengingat nama dari teman-teman santri karena nama mereka terdengar sedikit asing bagi kami namun pada akhirnya kami dapat saling berkenalan dengan baik sehingga suasana menjadi cair. Kami pun mulai tertawa satu sama lain hingga tanpa disadari waktu untuk salat Ashar pun tiba. Acara terjeda sejenak. Setelah teman – teman santri selesai menunaikan ibadah salat, acara dilanjutkan dengan board games. Dalam sesi games ini ada tiga board games yang dihadirkan. Salah satu yang menarik bagi saya adalah games yang menguji pengetahuan kita tentang agama-agama lain yang ada di dunia ini. Pada awal game kami diajak untuk memilih pion yang ada dan menaruhnya di papan lalu terdapat kartu-kartu yang disusun dengan keadaan tertutup. Di balik kartu-kartu itu terdapat banyak sekali simbol dari berbagai agama yang ada di dunia. Secara bergantian kami harus menebak dan membuka dua kartu. Kedua kartu tersebut harus sama simbolnya (mirip seperti memo games). Setelah menemukan kartu yang sama, contohnya kartu dengan simbol Shinto, pion kita dapat maju satu langkah. Setelah itu narator akan memberikan pertanyaan umum terkait agama Shinto dan ketika kita berhasil menjawab maka pion kita akan maju sebanyak satu langkah lagi. Game yang diberikan ini selain melatih ingatan, juga dapat menambah pengetahuan umum kita mengenai agama-agama yang ada di dunia. Dalam kesempatan ini, saya senang bisa berkenalan dengan salah satu santri yang bernama Hebba. Hebba adalah salah satu murid kelas X SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya kami merasa canggung, namun seiring berjalannya waktu, kami saling mengobrol dan bertukar informasi mengenai budaya serta keunikan yang ada di sekolah kami masing-masing. Saya menjadi akrab tidak hanya dengan Hebba tetapi juga dengan teman-teman santri yang lain. Tak terasa waktu cepat berlalu. Acara pun diakhiri dengan berfoto bersama di depan patung Santo Yohanes De Britto yang terletak di tengah halaman SMA Kolese De Britto. Setelah menjalani dinamika bersama teman-teman santri SMA Bumi Cendekia, kami sadar dan paham betul bahwa sebenarnya kata “perbedaan” tidaklah cocok untuk menggambarkan realitas masyarakat saat ini. Kata yang lebih cocok adalah “keberagaman” atau “diversity”. Kami menyadari bahwa keberagaman itu adalah realitas kehidupan. Sebesar apapun usaha atau kehendak kita untuk membuat dunia sama, tidak akan pernah mungkin tercapai. Kami sadar bahwa Tuhan terlalu kreatif. Ia tidak akan pernah menciptakan manusia yang sama persis. Semua memiliki perbedaan baik kelebihan maupun kekurangannya masing-masing. Akan tetapi sebagai manusia, terkadang kita tidak siap untuk melihat dan menerima realitas tersebut. Santo Ignatius dari Loyola mengajak kita untuk “Finding God in all things“. Tuhan pasti dapat ditemukan dalam setiap hal yang ada di sekitar kita. Bahkan dalam hal yang awalnya tampak buruk sekalipun asalkan kita dapat merefleksikannya dengan saksama, kita pasti akan mendapatkan hal baik di dalamnya. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya mencoba untuk memahami bahwa perbedaan latar belakang yang ada di sekitar kita bukanlah menjadi suatu masalah lagi. Keberagaman justru menjadi jalan kasih untuk menghargai satu sama lain. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran agar perbedaan yang menjadi masalah sebelumnya justru menjadi pintu untuk saling menyebarkan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali. AMDG. Kontributor: Oddie Christian Tamzil – SMA Kolese de Britto

Karya Pendidikan

Tanah Abang, Universitas Kehidupan

“Kalian besar nanti, carilah perguruan tinggi yang bisa bantu belajar tentang kehidupan, yang rektornya mengajarkan tentang kemanusiaan,” kata Bang Dillah, sebutan akrab Abdillah, nama induk semang kami di Tanah Abang. Selama lima hari itu, mulai dari 16-20 Januari 2023, aku dan kelompokku melaksanakan live in sosial di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, tepatnya di Kelurahan Kebon Kacang. *** Waktunya berangkat pun tiba, namun ketidakjelasan masih kuat menghantui. Minggu malam kami memulai perjalanan dengan bus ke Jakarta dan sempat diputar-putarkan di sebuah ruas jalan besar. Akhirnya, kami berhenti di pinggir jalan, persis di depan ruko dengan gang kecil di sebelahnya. Bu Nita, guru pendamping, memberi instruksi untuk turun dan membawa barang-barang kami yang dikemas dalam sebuah trash bag. Tibalah kami di sebuah tempat yang tak lazim. Halamannya luas, dengan dua buah pohon yang membuatnya rindang. “Sanggar Anak Akar,” tertulis di sebuah ambulans yang terparkir di halaman. “Pasti nanti mengajar anak-anak,” pikirku. Di sanggar tersebut, yang kelak akan menjadi basecamp kami, kami sarapan sejenak sebelum mendengar arahan dari Mbak Yuse, salah seorang anggota sanggar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi, yaitu TPA Bantar Gebang, Sentiong (kawasan kuburan Cina), dan Tanah Abang, tempatku live in. Tempat dengan pasar yang besar, terkenal akan preman dan prostitusi, menjadi “universitas kehidupanku.” Di sana kami diminta membantu pekerjaan warga sekitar. Ada yang menjadi tukang bubur, pemilah sampah, atau pedagang karung. Aku sendiri membantu seorang pedagang soto betawi yang sekaligus guru ngaji, Bang Wahyu. Di Tanah Abang, kami tidak menginap di sebuah rumah atau toko, melainkan sebuah tempat pengajian yang dikelola oleh Yayasan Hurin’in, sebuah yayasan yang boleh dikatakan mempunyai tujuan yang sangat mulia dan kontekstual. Yayasan ini berdiri untuk memutus rantai prostitusi yang mengikat sebagian perempuan di sana. Sebagian anak yang dididik dan diasuh adalah anak-anak PSK melalui pembinaan iman dan akhlak (etika) agar mereka tidak terjerumus ke dalam jebakan yang dialami oleh orang tua mereka. Anak TK hingga SD di sini bagaikan perwujudan dari realitas “pasar” yang keras. Mereka sudah mengerti dan lihai menggunakan umpatan-umpatan seperti dongo, goblok, dan lain sebagainya. Berbicara dengan kawannya pun menggunakan logat Betawi disertai nada yang tinggi dan keras, hampir menyerupai gaya berbicara orang tua mereka. Tanah Abang memang punya dua muka. Ia bisa tampak seperti kawasan permukiman kumuh yang penuh preman dan kriminalitas, namun ia juga bisa tampak seperti perkampungan dengan warga yang rukun dan teguh dalam penghayatan iman. Mushola di dekat tempat kami menginap selalu ramai dengan warga waktu Maghrib dan Isya’. Para muadzin berlomba-lomba menyerukan dengan lantang panggilan untuk beribadah dan warga menyambutnya dengan antusias. Selama empat hari itu, setelah shalat subuh, aku berangkat ke pasar bersama Bang Wahyu, seorang Ustadz dan penjual soto betawi. Saat tiba, Bang Wahyu langsung bergegas membersihkan lapak dan aku membantu membersihkan meja, melepas terpal, mengambil air di tempat yang cukup jauh, memotong kol, tomat, dan mencuci beras. Fase yang paling membosankan adalah menunggu pelanggan berdatangan. Pada saat demikian itu, aku sering duduk menganggur sambil sesekali menyeruput kopi. Pelanggan banyak berdatangan ketika menjelang makan siang. Saat pagi, hanya ada satu atau dua pembeli saja. Karena sepi dan tidak tahu harus melakukan apa, serta didukung angin semilir, maka selama empat hari itu yang datang bukanlah manusia, melainkan rasa kantuk. Namun, sekalinya pelanggan membludak, rasanya seperti gelombang lautan yang tak berakhir. Pekerjaanku, yakni membantu mencuci piring dan menyiapkan nasi, serasa abadi di waktu menjelang makan siang. Satu tumpukan piring selesai dicuci, tumpukan lain datang menyusul. Satu piring nasi disiapkan, yang lain juga menunggu antrian. Satu piring kecil acar disajikan, yang lain menunggu diisi. Ada kalanya para pelanggan mengiyakan saja apa yang disajikan, namun ada kalanya mereka mengajukan permintaan tersendiri. Bahkan pernah satu kali, sebuah rombongan mengajukan banyak sekali permintaan kepada Bang Wahyu, seperti kikil dipotong di bagian tertentu, dan sebagainya. Di situ ada Aril, pegawai yang membantu bang Wahyu menjual soto betawi. Ia bercerita bahwa ia hanya bersekolah sampai SMP. Setamat SMP, ia memutuskan membantu orang tuanya dengan banting tulang mengais rezeki, hingga akhirnya, ia tiba di Tanah Abang. Aril tak menganggapnya sebagai hal yang perlu disesali. Aril seolah-olah menganggap tak melanjutkan pendidikan hanyalah bagian dari realita yang ia harus hadapi. Memang, di kawasan Tanah Abang, tak banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, terutama karena alasan ekonomi. Namun orang-orang seperti mereka membuktikan bahwa hidup tak melulu soal pendidikan saja dan bahwa tak mengenyam pendidikan tinggi bukan berarti akhir dari segalanya. Pada hari kedua, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti nyata praktik prostitusi di Tanah Abang. Malam itu, oleh Bang Dillah, aku dan kelompokku diajak melewati sebuah gang tempat ia tinggal. Di sana, aku melihat bilik-bilik persis di sebelah kiri jalanan gang. Selain bilik, juga terdapat semacam klub malam sederhana di sisi jalan yang sama. Realita sosial di Tanah Abang memang jauh dari kata ideal. Berada di sana hanya selama lima hari, mungkin terasa nyaman saja, tetapi jika tinggal di sana hingga waktu yang tak dapat ditentukan adalah perkara yang membuatku bertanya-tanya, “Apakah kehidupan ini adil?” Namun, tentu ada sisi positif yang terdapat di Tanah Abang, seperti yang kami rasakan di malam terakhir live in. Setidaknya, kedekatan Tanah Abang dengan Bundaran HI memberi sebuah hiburan tersendiri bagi kami yang kami kunjungi pada malam kedua. Mengetahui bahwa kami akan kembali ke Yogyakarta pada hari Jumat, Bang Wahyu berinisiatif untuk mengadakan perpisahan bersamaan dengan acara sholawatan yang rutin diadakan di balai pengajian setiap Kamis malam. Setelah sholawatan selesai dan hidangan telah disiapkan oleh kami, dibantu oleh Bang Dillah dan istrinya, kami semua makan bersama-sama dan mengucapkan salam perpisahan dengan anak-anak pengajian serta guru mereka. Dari live in yang kuikuti, banyak pelajaran yang dapat aku petik. Dari Aril, aku belajar bahwa setiap orang mampu melayani sesamanya dengan kemampuan masing-masing. Kenyataan bahwa Aril tak sempat mengenyam bangku SMA tidak menghalanginya untuk menyalurkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu sesama, dalam hal ini dengan menjadi karyawan Bang Wahyu. Bagaimana orang-orang seperti Aril mencoba untuk bersyukur dan menikmati hidup, sekalipun tidak dalam kondisi yang ideal, selalu membuatku terpukau. Aku juga belajar secara langsung bagaimana rasanya bekerja bersama dengan orang lain dan betapa bosannya menunggu datangnya pelanggan saat berjualan.

Pelayanan Masyarakat

Sumunar ing Jiwa kang Samar*

Refleksi Tumpu | SMA Kolese de Britto dan Realino SPM Barang siapa menanam akan menuai. Sama halnya dengan dunia masa depan yang merupakan hasil jerih payah masa sebelumnya. Setiap tindakan yang dilakukan akan memberikan efek pada lingkungan sekitar maupun efek bagi masa depan. Kami percaya bahwa Tuhan menghendaki kami turut berperan dalam memberi efek dan daya ubah bagi lingkungan sekitar. Salah satunya adalah keterlibatan kami dalam organisasi pemimpin pengabdi bernama Tumpu. Tumpu bermakna sebagai tempat berpijak atau fondasi yang berfungsi sebagai tumpuan benda agar stabil atau aman. Tumpu mengajak para volunteer,salah satunya beberapa siswa SMA Kolese de Britto, untuk berani terjun langsung dalam kegiatan pelayanan kepada sesama, yaitu mengajar anak-anak yang tidak pernah bersekolah. Salah satu kegiatan tersebut berlokasi di Bong Suwung, sebuah sanggar yang dikelola Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino dan terletak di sebelah barat Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta. Ngrembug Kami bergabung dengan Tumpu sebagai volunteer. Kami akui, ketika masuk dan berjumpa dengan Tumpu, kami cukup kebingungan menentukan aksi yang akan dilakukan. Pada awal kegiatan ini dilaksanakan, sebenarnya kesungguhan dan kemauan melayani secara murni belum timbul dalam diri kami, terutama karena kegiatan ini hanyalah semata tugas dari mata pelajaran Pendidikan Nilai. Beruntunglah, kebingungan ini tidak bertahan lama karena selang beberapa hari, anggota Tumpu berkumpul dan mengadakan pertemuan secara daring membahas segala hal yang akan dikerjakan. Setelah pertemuan itu, semuanya menjadi lebih jelas. Para siswa SMA Kolese de Britto dibagi menjadi dua tim. Ketika saatnya berdiskusi, kebingungan muncul kembali. Materi apa yang akan disampaikan? Lantas muncul banyak pertanyaan lainnya. “Siapa koordinatornya?” “Ini kita ngajar anak-anaknya di mana?” “Ngajarnya entar pake materi apa? Kita yang buat?” “Eh tim kita bagian apa sih?” Seraya mendiskusikan bahan pengajaran, muncul berbagai perasaan bingung, cemas, hingga khawatir. Mengapa hal ini muncul? Karena inilah pengalaman pertama kami untuk mengajar. Kami lebih terbiasa dengan peran siswa dibandingkan dengan peran sebagai guru. Kebingungan ini akhirnya membawa kami pada keputusan untuk melakukan peninjauan dahulu ke calon tempat kegiatan. Secercah Ketersentuhan Perjalanan menuju sanggar Bong Suwung bisa dikatakan merupakan pengalaman yang unik bagi kami. Ini adalah kali pertama kami pergi ke sebuah area permukiman yang berada di bantaran rel kereta dan yang biasanya hanya dilihat melalui TV. Ketika sampai di sanggar, kami melihat-lihat keadaan sekitar. Sanggar tersebut berada di pinggir rel kereta tetapi tentu tidak terlalu dekat. Ruangannya cukup nyaman dengan dominasi warna coklat dan diisi dengan perabotan-perabotan lainnya. Suara kereta yang sangat keras dan berisik seringkali mengejutkan kami karena jarak yang cukup dekat dengan jalur mereka dan mereka sering muncul dengan tiba-tiba. Dalam kesempatan ini, tak sengaja, kami malah bertemu dengan salah satu dari anak-anak sanggar ketika hendak melangkah pergi dari sana. Awalnya kami mengira bahwa dia akan mengabaikan kami namun ternyata sebaliknya. Dia justru begitu antusias dan bertanya kepada salah satu dari kami, “Mas, ini mau mulai? Kok masnya pada balik?” Dari nada bicaranya, terlihat bahwa anak itu bersemangat untuk belajar namun sayangnya saat itu kami hanya melakukan peninjauan tempat saja. Sesi Pengajaran Hari pengajaran pun datang. Selama dua minggu berturut-turut, kami mempersiapkan materi yang akan diajarkan pada anak-anak. Kami juga harus pergi ke sana-sini untuk menyiapkan bahan dan materi pendukung. Ternyata cukup melelahkan dan membuat pusing terutama karena harus menghitung dana dan membuat berbagai laporan pertanggungjawaban. Ternyata tantangan belum usai. Ada kendala di luar dugaan kami. Kami tidak bisa menggunakan mesin lem tembak di sana karena keterbatasan daya listrik. Kejadian tersebut sungguh membingungkan dan membuat seluruh anggota tim kecewa dan kalut. Materi yang sudah dipersiapkan hampir saja gagal karena bahan utamanya tidak bisa digunakan. Situasi ini diperkeruh dengan suara anak-anak yang ribut. Namun kendala ini bukanlah halangan tetapi justru menjadi tantangan bagi kami. Kami berusaha mengatasinya dengan membeli lem di warung terdekat. Hal ini cukup berhasil dalam mengatasi masalah sehingga materi dapat berjalan meskipun terjadi penundaan begitu lama. Dari sesi pertama, banyak sekali emosi dan perasaan yang didapatkan, sekalipun didominasi oleh rasa kecewa.Kecewa karena materi yang dipersiapkan gagal dan kecewa karena semuanya tidak berjalan mulus. Namun dari sini kami belajar bahwa rencana yang sudah dipersiapkan dengan matang pun memiliki potensi gagal. Meski demikian, pertemuan pertama sudah mengajari kami cara berkomunikasi dengan anak-anak, memahami perilaku mereka yang enerjik, dan lainnya. Ada satu hal yang cukup menampar kami, yaitu kebahagiaan mereka. Di balik kondisi dan situasi yang dialami, mereka selalu bisa tersenyum dan tertawa. Cukup heran rasanya. Pada pertemuan kedua, kami menyiapkan materi mosaic origami. Dalam kesempatan ini, kami berusaha untuk mempersiapkan materi dengan lebih baik. Secara khusus, kami berusaha untuk terus berkomunikasi dengan pihak volunteer lainnya agar tidak ada salah komunikasi lagi. Anak-anak antusias untuk mencoba materi kedua yakni mosaic origami. Antusiasme mereka menjadi angin segar bagi kami. Seolah-olah semua kerja keras yang dilakukan terbayar lunas oleh senyuman dan antusiasme anak-anak di sanggar. Kami senang karena bisa bahagia bersama kebahagiaan mereka. Sejenak Merefleksikan Terkadang kami terlalu fokus dengan tujuan sampai melupakan proses yang seharusnya dirasakan. Dalam pengajaran ini, terdapat banyak emosi, baik antusiasme, kebahagiaan, kebingungan, maupun kelucuan. Kami pada awalnya masih belum bisa memahami mereka. Namun, perlahan-lahan kami belajar untuk memahami dan membuat senyum terus bertahan di muka dan hati mereka. Dari pengalaman-pengalaman ini, kami juga belajar banyak hal baru: Bagaimana menghadapi anak-anak, berkomunikasi dengan mereka, memahami mereka, merasakan dan menanggapi emosi yang mereka tunjukkan. Hal ini menjadi pengalaman yang begitu bermakna bagi kami. Meskipun kami kebingungan pada permulaan, tetapi perlahan-perlahan kepuasan, rasa bahagia, dan keberhasilan bisa kami dapatkan. Segala perasaan seperti capek, bingung, pusing, lelah, ketidakberdayaan, kecewa dan lainnya, terbayar sudah dengan kebahagiaan. Kami menyadari bahwa kehidupan yang harus mereka alami begitu keras, bahkan mungkin lebih sulit dari hidup yang kami miliki. Mungkin masa depan mereka lebih samar dibandingkan masa depan kami. Namun, dengan sarana Tumpu, kami mencoba untuk belajar bersyukur serta menyumbangkan diri kami lewat berbagi ilmu dengan harapan dapat menjadi secercah terang di tengah jiwa yang samar. Kami bersyukur atas dinamika ini. Kami bersyukur boleh berupaya menjadi wujud terang kasih Allah bagi sesama. Sama seperti lilin yang harus terbakar untuk menjadi terang bagi yang lain, kami pun bersyukur karena bisa belajar berkorban entah waktu, tenaga, pikiran, maupun perasaan. Lilin itu adalah kami, yang

Karya Pendidikan

Sister School Partnership

Kanisius KAS & SMA Kolese de Britto Pada 2 Februari 2023 dua lembaga pendidikan yang dikelola oleh Jesuit, yaitu SMA Kolese de Britto dan Yayasan Kanisius Keuskupan Agung Semarang mengadakan pertemuan di ruang rapat Yayasan de Britto. Pertemuan ini diinisiasi sebagai bentuk kesadaran formasi berkelanjutan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Serikat Jesus. Kolaborasi ini diharapkan memberikan dampak signifikan bagi Yayasan Kanisius dan SMA Kolese de Britto untuk mendampingi orang muda seturut arahan Universal Apostolic Preferences. Pertemuan ini dihadiri oleh Pater Yohanes Heru Hendarto, S.J. selaku Ketua Yayasan Kanisius Keuskupan Agung Semarang, Pater C. Kuntoro Adi, S.J. selaku Ketua Yayasan de Britto, Ibu Nur Sukapti selaku Kepala Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, Bapak F.X. Catur Supatmono selaku Kepala SMA Kolese de Britto beserta staf dan enam kepala sekolah SMP Kanisius di Yogyakarta (SMP Kanisius Sleman, Bambang Lipuro, Kalasan, Gayam, Pakem, dan Sleman). Suasana dialog yang menyenangkan dan saling memberi informasi, menggugah kesadaran untuk membuka cakrawala dan berani keluar dari kotak-kotak yang membelenggu. Rahmat Kolaborasi Sister School Partnership menjadi salah satu brand yang hendak dibangun Yayasan Kanisius dan SMA Kolese de Britto. Harapan dari kerja sama ini tidak hanya berdampak terhadap serapan siswa yang akan masuk ke SMA Kolese de Britto (penerimaan siswa baru jalur beasiswa dan jalur kerjasama Kanisius-de Britto) namun secara menyeluruh mendorong dan memaksimalkan kapasitas sumber daya manusia dua lembaga ini. Salah satunya, formasi guru Ignatian menjadi peluang bagi lembaga pendidikan Jesuit untuk memperkaya pengalaman dan membangun jejaring. Gagasan kerja sama ini kemudian ditanggapi dengan mengumpulkan siswa SMP Kanisius kelas sembilan di DIY yang ingin melanjutkan ke SMA Kolese de Britto. Tahun ini ada enam belas siswa dari SMP Kanisius Keuskupan Agung Semarang yang diterima. Dua belas siswa SMP Kanisius di DIY yang diterima, delapan diantaranya mendapatkan beasiswa, lalu satu siswa berasal dari YKC Semarang dan tiga siswa dari YKC Magelang. Hal ini menjadi motivasi para pendidik di Yayasan Kanisius untuk menyiapkan siswa-siswanya yang ingin melanjutkan ke SMA Kolese de Britto. Working for Local and Regional Networks Diskusi berlangsung semakin hangat dengan membahas peluang apa yang perlu digali. Pater Heru Hendarto, S.J. memberikan penekanan pada formasi pendidikan yang saling mengisi. Siswa Kanisius yang melanjutkan ke SMA Kolese de Britto perlu diperhatikan kapasitasnya selama berproses, sehingga menjadi umpan balik bagi guru-guru Kanisius dalam mengembangkan diri. Pater Kuntoro Adi, S.J. mendorong supaya kerja sama ini memberikan mimpi besar kepada para anak didik. Para kepala sekolah dan guru berkewajiban menemani peserta didik dan mewujudkan cita-cita mereka, serta dapat menginspirasi dan punya hati untuk mendedikasikan diri kepada peserta didik. Salah satu lulusan SMP Kanisius Pakem yang melanjutkan di SMA Kolese de Britto sekarang ini melanjutkan karier bermusiknya sampai di Austria. Contoh konkret ini menunjukkan bahwa kapasitas guru dan sekolah bisa turut memaksimalkan potensi diri siswa. Dukungan semua pihak terkait sister school partnership tidak hanya meliputi Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta namun juga akan melibatkan tiga cabang lainnya. Secara bertahap akan mulai dirintis pula kerja sama serupa bagi kolese-kolese Jesuit di Keuskupan Agung Semarang. Semoga dengan usaha ini bentuk kolaborasi nyata bisa terbangun dan meluaskan jejaring. Pembinaan berkelanjutan sekolah Jesuit semakin mendaratkan UAP dalam terang Latihan Rohani, pendampingan orang muda, keberpihakan terhadap mereka yang termarginalkan dan merawat keutuhan ciptaan. Terkait kolaborasi, ungkapan Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. “Working for local and regional networks will also mean working in and for the global network” memberikan cakrawala baru. Langkah ini sebagai langkah kecil untuk mewujudkan jaringan global sekolah Jesuit dari berbagai tingkat. Semoga. Kontributor: S. Petrus Craver Swandono, S.J. – Skolastik TOK di Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta