Pilgrims of Christ’s Mission

serikat jesus

Pelayanan Masyarakat

“Sebuah Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus”

Refleksi Lintas Iman atas Warisan Paus Fransiskus dan Harapan akan Kepemimpinan Paus Leo XIV Jakarta, 10 Mei 2025 – Dalam rangka mengenang warisan moral dan spiritual Paus Fransiskus serta menyambut kepemimpinan Bapa Suci Paus Leo XIV, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan seminar reflektif bertajuk “Sebuah Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus” di Aula Gedung KWI, Jakarta. Seminar ini menjadi ruang perjumpaan lintas-iman dan lintas-sektor untuk merenungkan kontribusi Indonesia dalam visi Gereja universal yang inklusif, damai, dan berbela rasa.   Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka  Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Presidium KWI dan Uskup Bandung) Ignatius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia (Cendekiawan Muslim) Pdt. Jacklevyn F. Manuputty (Ketua Umum PGI)   Diskusi dipandu oleh Francisia Saveria Sika Ery Seda, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia.   Dalam sambutan pembuka, Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J., menegaskan bahwa momen ini adalah saat yang tepat untuk menghormati jembatan spiritual dan sosial yang dibangun oleh Paus Fransiskus, sekaligus menyambut Paus Leo XIV sebagai penerus harapan dunia. “Indonesia adalah sebuah mosaik indah—tempat di mana pesan kasih, dialog, dan persaudaraan menemukan bentuk nyata,” ujarnya. Acara ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya membangun jembatan persaudaraan yang mempersatukan umat manusia.     Mgr. Antonius Bunjamin, OSC menilai bahwa Paus Fransiskus adalah pemimpin yang menyerukan perubahan dari ketidakpedulian global menjadi solidaritas global. Ia juga melihat Paus Leo XIV sebagai penerus visi sosial Fransiskus, dengan nama yang mengingatkan dunia pada semangat Rerum Novarum dari Paus Leo XIII.   Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menegaskan bahwa warisan Paus Fransiskus adalah ajakan damai lintas agama. “Agama harus menjadi kekuatan yang mengangkat spiritualitas dan kemanusiaan,” ujarnya. Baginya, mengenang Paus Fransiskus berarti menghidupkan kembali semangat dialog dan perdamaian di tengah dunia yang mudah terpecah. Ini dilakukan dengan menghormati kehidupan dan hak asasi manusia, serta membangun dialog.    Pdt. Jacklevyn F. Manuputty menyebut Paus Fransiskus sebagai “Bapa Gembala Kemanusiaan” yang menghadirkan nilai-nilai profetik dalam realitas konkret. Ia menilai Paus Fransiskus sebagai tokoh spiritual yang mewakili keberpihakan pada dunia yang rentan.   Ignatius Jonan, umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta dan Ketua Panitia Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, mengajak peserta untuk menyadari penyelenggaraan ilahi dalam kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dan juga dalam konklaf yang memilih Paus Leo XIV. Menurut beliau, Paus Leo XIV bisa jadi dihadirkan oleh Yang Ilahi sebagai ajakan bagi seluruh Gereja untuk bertransformasi.     Seminar ini menjadi momentum spiritual dan moral untuk merayakan jejak Paus Fransiskus di hati bangsa Indonesia, serta menyambut dengan penuh harapan arah Gereja ke depan di bawah kepemimpinan Paus Leo XIV.   Tautan video dokumentasi: https://www.youtube.com/watch?v=wfpI54HoYmQ  dan www.praksis.id   Kontributor: P Angga Indraswara, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

“By Healing the World, We Rise Together”

Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 Sabtu, 17 Mei 2025, Skolastikat SJ Unit Johar Baru kembali menggelar Ekaristi Kaum Muda (EKM) sebagai bagian dari tradisi kreatif dan reflektif komunitas skolastik SJ Unit Johar Baru. Lebih dari sekadar perayaan liturgi, EKM menjadi ruang spiritual yang mengajak kaum muda untuk merenungkan iman mereka dalam konteks kehidupan masa kini. Dengan tema “By Healing the World, We Rise Together,” kegiatan EKM menggemakan Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus, khususnya ajakan untuk berkolaborasi dalam merawat rumah kita bersama. Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini diikuti oleh sekitar 120 peserta dari berbagai komunitas, seperti Prompang SJ, MAGIS Jakarta, PMKRI, ATMI Cikarang, Kolese Kanisius, PMKAJ Unit Selatan, PMKAJ Unit Barat, OMK Paroki Kampung Duri, Sant’Egidio, Universitas Atma Jaya Jakarta, OMK Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang, STF Driyarkara, serta kolaborator dari kongregasi, dan lembaga mitra lainnya. Keberagaman latar belakang, dan semangat yang dibawa para peserta, menjadikan EKM sebagai perayaan yang sungguh hidup, relevan, dan menyentuh realitas zaman.   Rangkaian kegiatan dibuka dengan Misa Kreatif yang dipimpin oleh Pater Effendi Kusuma Sunur, S.J. Dalam homilinya, Pater Effendi mengajak para peserta untuk merenungkan dimensi kasih dalam konteks ekologis. Ia menekankan bahwa lawan kata dari kasih bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi bukan karena kebencian aktif, melainkan karena sikap pasif, dan tidak peduli. Seruan tersebut menggugah hati para peserta, untuk melihat kembali gaya hidup mereka, serta membangkitkan kesadaran, bahwa mencintai Allah berarti juga mencintai, dan peduli pada ciptaan-Nya. Ekaristi semakin syahdu dengan kehadiran Sisca Saras, mantan anggota JKT48, yang tampil sebagai pemazmur. Dengan suara dan pembawaannya yang tenang, Sisca membantu menghadirkan suasana doa yang mendalam dalam Liturgi Sabda. Ia juga membawakan dua lagu dalam sesi ramah tamah.    Salah satu bentuk konkret komitmen ekologis dalam Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini, adalah penggunaan meja altar dari 86 Eco-brick, yang dibuat secara mandiri oleh para frater Johar Baru. Eco-brick adalah botol plastik bekas, yang diisi padat dengan sampah anorganik tak terurai, seperti: plastik pembungkus, kresek, dan styrofoam. Melalui proses yang tekun dan kreatif, sampah-sampah anorganik tersebut dapat diubah menjadi barang, yang memiliki nilai guna.      Setelah perayaan Ekaristi, para peserta mengikuti sesi sharing dalam kelompok kecil, yang dibagi dalam tiga putaran. Sesi sharing didahului oleh penayangan video pendek, tentang ekologi yang telah disiapkan panitia. Putaran pertama mengajak peserta merefleksikan kehidupan pribadi mereka: Sudahkah aku hidup secara ekologis? Putaran kedua mendorong empati masing-masing peserta untuk mendengarkan, dan menangkap pembelajaran dari sharing teman lain. Pada putaran terakhir, masing-masing peserta diajak merumuskan satu kehendak konkret, sebagai buah dari keterlibatan mereka di EKM ini. Proses tersebut menjadi ruang refleksi bagi masing-masing peserta, untuk membangun kesadaran ekologi, dan mengarah pada transformasi gaya hidup yang lebih ekologis.    Setelah sesi sharing, suasana beralih ke nuansa perayaan dalam bentuk Pesta Rakyat dan Pentas Seni. Komunitas-komunitas peserta menampilkan karya seni mereka: musik, puisi, dan lain-lain. Semangat partisipasi dari para peserta menjadi tanda; bahwa iman kaum muda adalah iman yang hidup, kreatif, dan penuh sukacita. Tak ketinggalan, kehadiran stan UMKM dari warga sekitar, menjadi dukungan nyata terhadap ekosistem ekonomi lokal. Aksi kecil seperti ini menunjukkan, bahwa merawat bumi bukan hanya tentang menanam pohon atau mengelola sampah, tetapi juga tentang membangun solidaritas dengan sesama manusia.   Menjelang akhir acara, peserta diajak mendengarkan Gobind Vashdev, seorang penulis, dan fasilitator transformasi kesadaran dalam hal ekologi. Dalam talkshow-nya, Gobind berbicara tentang akar terdalam krisis ekologis: krisis spiritual. Ia menyampaikan bahwa krisis lingkungan adalah cermin dari ketidakseimbangan dalam diri manusia. “Ketika manusia lupa akan cukup, lupa bersyukur, dan hidup dalam ketamakan, maka bumi pun akan terluka,” katanya. Kata-kata Gobind menantang peserta untuk melihat ke dalam, sebelum menunjuk keluar. Ia mengajak para peserta menyadari bahwa perilaku eksploitatif terhadap alam, lahir dari jiwa yang kosong, jiwa yang tidak puas, tidak tahu cukup, dan tidak mampu bersyukur atas yang sudah dimiliki. Ketika manusia kehilangan rasa cukup (sense of enough), maka alam menjadi korban kerakusan yang tak berujung.     Sebagai skolastik Jesuit, kami yang terlibat sebagai panitia Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 tidak sekadar menyelenggarakan sebuah acara, tetapi juga belajar banyak dari pengalaman ini. Kami belajar mendengarkan, berkolaborasi dengan banyak komunitas, serta menggerakkan semangat ekologis secara nyata pada kaum muda. Semua ini menjadi bagian dari formasi kami, untuk menjadi “Men for others.” Akhirnya, Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan sebuah proses formasi, aksi ekologis, dan pewartaan iman yang hidup.   Kontributor: Sch. Ignatius Dio Ernanda Johandika, S.J.  

Prompang

Merawat Kultur Promosi Panggilan

Refleksi Minggu Panggilan 2025 Pada Hari Minggu (11/5), Gereja Universal merayakan Hari Minggu Paskah IV, yang juga dikenal sebagai Hari Minggu Gembala Baik. Dalam tradisi Gereja, hari ini secara khusus dirayakan sebagai Hari Minggu Panggilan. Tim Promosi Panggilan menerima undangan dari beberapa Paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Para frater, bruder, dan imam Jesuit turut ambil bagian dalam memeriahkan beragam kegiatan seperti live in, “Ngopi Bareng Jesuit”, dinamika bersama orang muda, hingga menyampaikan homili dalam Perayaan Ekaristi. Tulisan ini merupakan refleksi sekaligus dokumentasi atas keterlibatan tersebut.   Safari panggilan di KAJ terpusat di Kolese Hermanum (Kolman), Jakarta. Lebih dari sepuluh paroki di KAJ mengundang para Jesuit untuk terlibat. Paroki-paroki tersebut antara lain: Paroki Katedral, Kramat, Rawamangun, Serpong, Toasebio, Kranggan, Pamulang, Blok B, Bekasi Utara, Tangerang, Kampung Sawah, dan Mangga Besar. Para Jesuit terlibat dalam sejumlah kegiatan mulai dari live in, mengisi paduan suara, menyanyikan Mazmur Tanggapan, sesi “Ngopi Bareng Jesuit,” talkshow panggilan dengan kaum muda, membantu membagikan komuni, dan berbagi kisah panggilan dalam homili.   Di wilayah KAS, safari panggilan terpusat di Kolese Santo Ignatius (Kolsani), Kotabaru, Yogyakarta. Sebanyak sepuluh paroki mengundang para Jesuit untuk terlibat. Paroki-paroki tersebut antara lain Paroki Babadan, Warak, Boro, Gedangan, Purbayan, Solo Baru, Palur, Brayut, Wedi, dan Kotabaru. Para Jesuit terlibat dalam sejumlah kegiatan mulai dari live in di rumah umat, memilah sampah dan membersihkan lingkungan, ziarah ke Gua Maria, sesi “Ngopi Bareng Jesuit,” rekoleksi PIA/PIR, dan membantu imam untuk asistensi membagi komuni atau menyampaikan homili.    Seorang umat dari Paroki St. Yohanes Paulus II, Brayut, Yogyakarta, sangat bersyukur karena umat bisa berjumpa dengan para Jesuit dan perjumpaan itu sangat bermakna. Paroki tersebut belum memiliki biarawan-biarawati asli Paroki Brayut. Umat tersebut menambahkan, “Dengan kehadiran para biarawan-biarawati, diharapkan tumbuh ketertarikan untuk mengikuti mereka, bekerja bersama umat Allah untuk masa depan Gereja.”   Seorang anak dari Paroki Kristus Raja, Solo Baru, juga bersyukur bisa berjumpa dengan para Jesuit dan mendapatkan banyak merchandise menarik seperti kaos, gantungan kunci, dan kertas doa. Anak tersebut memiliki panggilan untuk menjadi seorang imam. Kehadiran dua Frater Jesuit di Paroki Kristus Raja Solo Baru membuatnya bersukacita karena bisa berjumpa dan berbagi pengalaman.   Sr. Colleta, AK, dari Paroki Wedi, Klaten, memberikan kesaksian demikian. “Kehadiran semua peserta live in di paroki wedi adalah karya Roh Kudus yang menggerakkan umat untuk hadir. Kehadiran dua Frater Jesuit melengkapi dinamika kegiatan kami. Terimakasih atas kebersamaan selama live in, ziarah ke Gua Maria Giri Wening, dan kegiatan bersama anak-anak. Semoga tumbuh benih benih panggilan dari Paroki Wedi.”   Pada 12 April 2021, Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. menulis kepada seluruh Superior Mayor mengenai pentingnya meningkatkan usaha-usaha dalam mempromosikan panggilan Serikat Jesus. Hari Minggu Panggilan menjadi momen istimewa bagi para Jesuit untuk merawat kultur promosi panggilan sebagaimana diamanatkan oleh Pater Jenderal.    Dalam sebuah sesi dalam momen Bulan Imamat 2025, Pater Benediktus Hari Juliawan, SJ, menyampaikan bahwa Paroki sangat berperan penting dalam menyuburkan benih panggilan hidup membiara. Kita patut bersyukur karena Serikat Jesus Provindo masih mendapatkan kepercayaan dari sejumlah Keuskupan untuk berkarya di Paroki, yang dalam banyak kasus menjadi sumber panggilan baru bagi Serikat.    Paus Fransiskus, dalam Evangelii Gaudium, menulis, “Banyak tempat sedang mengalami kelangkaan panggilan imamat dan hidup bakti. Hal ini seringkali disebabkan oleh kurangnya semangat kerasulan yang menyebar ke dalam komunitas-komunitas yang mengakibatkan dinginnya semangat dan daya tarik. […] Bahkan di paroki-paroki…hidup persaudaraan dan semangat komunitas dapat membangkitkan dalam diri kaum muda keinginan untuk mempersembahkan diri mereka sepenuhnya kepada Allah,” (EG 107). Secara kasat mata, safari panggilan seolah-olah menempatkan para religius sebagai objek yang bisa ditonton, dipertunjukkan, mendapatkan tepuk tangan dan lain sebagainya. Akan tetapi, lebih dalam dari itu, safari panggilan ke paroki justru menempatkan para religius sebagai subjek evangelisasi yang mampu menggerakkan orang muda untuk lebih peka mendengarkan panggilan Tuhan, khususnya panggilan hidup membiara. Perspektif mana yang kita pilih menentukan cara kita untuk merawat kultur promosi panggilan, khususnya bagi Serikat Jesus. Di tengah arus zaman yang seringkali sunyi akan suara panggilan, kehadiran para Jesuit di paroki-paroki dalam safari panggilan menjadi kesaksian hidup yang mampu menggugah hati dan mengajak orang muda bertanya, Tuhan memanggilku untuk apa? Oleh karena itu, membangun kultur promosi panggilan bukanlah semata strategi komunikasi, melainkan tindakan pastoral yang mendalam, yaitu menumbuhkan kepekaan akan suara Tuhan yang tetap memanggil di tengah riuhnya zaman.   Dengan semangat ini, Serikat Jesus Provindo dapat terus melangkah, mempersiapkan para Jesuit muda untuk menjawab panggilan dengan hati penuh harapan.   Kontributor: Schs. Tomas Becket Pramudita, S.J. dan Ignatius Dio Ernanda Johandika, S.J.

Realino SPM

Menjadi Sahabat: Pendengar dan Utusan Kasih

Saya dan teman seangkatan memilih pengabdian sosial (pengabsos) di Yayasan Realino, pendampingan anak-anak Komunitas Belajar Realino (KBR) Bongsuwung dan Jombor. Pengalaman sebagai volunteer di Realino Seksi Pengabdian Masyarakat (Realino SPM) membawa saya pada refleksi mendalam tentang hidup. Sebagai volunteer, saya tidak hanya bertindak sebagai pendidik, tetapi juga teman, pendengar, dan pemberi kasih tulus. Pengalaman ini mengingatkan saya pada semangat dan dedikasi pendiri kongregasi saya, Pater Leo John Dehon. Dia memperjuangkan kehidupan kaum buruh dan orang miskin. Pater Dehon merupakan teladan bagi kami, para Dehonian dalam memperhatikan dan menyelesaikan masalah sosial. Saya berusaha meneladan semangatnya, terutama dalam mengabdi masyarakat dan Gereja.   Mengajar anak-anak di KBR Bongsuwung dan Jombor bukanlah tugas mudah. Di tengah keceriaan dan semangat mereka, saya sering menemukan tantangan. Banyak anak-anak terpengaruh budaya toxic yang menjauhkan mereka dari nilai kesopanan dan penghormatan pada sesama. Saya menyaksikan antara mereka berperilaku kurang sopan, kadang-kadang dengan kata-kata menyakitkan. Di sisi lain, ada pula kebahagiaan selama pengabsos. Saya bangga dan bahagia bisa berbagi, mendapat pengalaman baru, menjalin relasi dengan sesama volunteer dan anak-anak KBR. Kerja sama mengajar dan mendampingi anak-anak menyatukan komunitas volunteer dan membangun solidaritas satu sama lain. Kami saling mendukung untuk terus berkomitmen memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Momen-momen lucu penuh tawa bersama menciptakan kenangan tak terlupakan. Saya merasa terhormat jadi bagian hidup mereka.   Anak-anak KBR Bongsuwung dan Jombor sangat aktif dan periang. Mereka punya semangat luar biasa dan imajinasi tak terbatas ketika saya mengajak membuat handycraft bahan-bahan alam, seperti terrascape tumbuhan hidup atau kapal pesiar daun pisang kering (klaras). Mereka antusias mengerjakan dan memberikan ide-ide kreatif. Saya menyadari mereka membutuhkan bimbingan, perhatian, dan kasih sayang. Banyak dari mereka kurang diperhatikan orang tua yang mungkin terjebak kesibukan tuntutan hidup harian. Saya terpanggil memberikan dukungan sebagai sahabat. Saya belajar jadi pendengar, memberikan perhatian penuh saat mereka berbicara, menciptakan lingkungan aman tempat mereka merasa diterima, dihargai dan dicintai.   Sebagai mahasiswa Teologi, saya belajar bahwa Teologi pun bersuara tentang bagaimana saya menciptakan dampak positif di masyarakat, khususnya bagi yang terpinggirkan. KBR Bongsuwung dan Jombor jadi ruang penghayatan nilai-nilai teologis dan manusiawi, aneka pengalaman perjumpaan kesedihan dan kebahagiaan yang kerap berjalan beriringan. Ada masa saya merasa sedih dan lelah karena terik panas dan habis energi. Namun, ada saat pula ketika saya merasa terinspirasi semangat anak-anak. Saya mensyukuri setiap pengalaman, suka maupun duka. Saya berkomitmen terus berjuang menghargai setiap pribadi dan perhatian pada mereka yang kecil. Sebagai frater SCJ, lewat semangat Pater Dehon, saya berniat memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi mereka yang terpinggirkan dan memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar. Saya belajar tidak hanya menjadi pendamping, tetapi juga sahabat yang dapat dipercaya.    Pengalaman menjadi volunteer di Realino SPM telah menjadikan saya lebih peka pada kebutuhan sosial di sekitar saya. Saya lebih sadar akan berbagai isu yang dihadapi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Ini mendorong saya berpikir lebih kritis bagaimana saya bisa berkontribusi menciptakan perubahan positif. Saya berefleksi bahwa pengalaman ini bukan hanya tentang memberikan, melainkan juga tentang menerima. Setiap interaksi dengan anak-anak dan relasi sesama volunteer telah memberikan pelajaran berharga tentang kebersamaan, kasih, dan harapan. Saya belajar lebih bersyukur atas setiap momen saya jalani. Pun saya menyadari bahwa setiap usaha kecil saya lakukan bisa berdampak besar bagi hidup sesama. Dengan semangat kasih, saya siap menjadi utusan kasih di tengah masyarakat dan Gereja. Setiap hari adalah kesempatan menciptakan perubahan berarti dalam hidup pribadi yang kita jumpai, terlebih mereka yang terpinggirkan.   Kontributor: Fr Faustinus Trias Windu Aji, SCJ – Volunteer Realino SPM

Karya Pendidikan

G-REFLEX sebagai Perayaan Pengalaman Belajar

Alunan lagu “Viva La Vida” yang dimainkan oleh Gonzaga Big Band Orchestra mengiringi pembukaan Gonzaga Reflective Learning Experience Exhibitions atau G-REFLEX, yang ditandai dengan pencampuran serbuk Kalium Permanganat (KMnO4) ke dalam larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) oleh Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo SJ., M.Ed., hingga menimbulkan keluarnya asap dari sebuah miniatur gunung untuk  menggambarkan ledakan pemikiran-pemikiran yang siap diluncurkan. Kegiatan G-REFLEX yang berupa presentasi-presentasi karya tulis dan pameran infografis ini dilaksanakan pada 18-21 Maret 2025, dihadiri para orang tua siswa, para guru, dan siswa dari sekolah lain, perwakilan dari dinas pendidikan, dan akademisi dari perguruan tinggi.   Berlatih Melihat Fenomena dan Menemukan Masalah Pada pertengahan bulan Agustus 2024, siswa kelas XII SMA Kolese Gonzaga mulai berproses menyusun karya tulis yang digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program ini merupakan program yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, namun terus ditingkatkan kualitasnya berdasarkan evaluasi-evaluasi pada setiap akhir pelaksanaannya. Untuk tahun pelajaran 2024/2025, program karya tulis siswa angkatan XXXVI Kolese Gonzaga yang berjumlah 289 orang dan terbagi menjadi 90 kelompok ini mengambil tema utama Universal Apostolic Preferences (UAP) dari Serikat Jesus. Mereka menyusun karya tulis dengan memilih topik yang berkaitan dengan Showing the way to God,  Walking with the Excluded, Journeying with Youth, maupun Caring for our Common Home. Selain itu, sekolah juga membuka peluang bagi para siswa untuk memilih topik yang berkaitan dengan Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM). Setiap kelompok didampingi oleh seorang guru pembimbing sehingga ada 54 orang guru yang berperan sebagai guru pembimbing.    Meskipun banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita, namun tidaklah mudah untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah dalam fenomena-fenomena tersebut. Soegiyono Tuckman, seorang penulis buku metode penelitian, menyatakan bahwa jika seorang calon peneliti telah berhasil menemukan masalah penelitiannya, maka 50% pekerjaan penelitian sudah selesai. Hal tersebut menekankan betapa krusialnya  proses mengidentifikasi masalah. Pada proses ini tentu arahan dan bimbingan para guru sangat dibutuhkan siswa. Siswa dibimbing untuk berlatih berpikir kritis melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara norma dan kenyataan, antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya terjadi, antara teori dan praktik. Literasi menjadi kunci awal membuka pemikiran dan wawasan siswa agar lebih tajam dalam menilai persoalan.       Praktik Cura Personalis Dalam Pendampingan Karya Tulis Selama kurang lebih enam bulan para siswa berdinamika bersama guru pembimbing, ada banyak diskusi yang terjadi. Para guru pembimbing dalam proses ini tidak hanya membimbing teknis penulisan, metodologi ataupun mengarahkan dari sisi pengetahuan, namun lebih dari itu, pembimbing harus lebih mengenal siswa yang dibimbing, lebih memahami karakter, kelebihan, dan kelemahannya sehingga lebih mengerti kebutuhan setiap siswa. Ada siswa yang sangat tinggi inisiatifnya, terampil mencari literatur, dan rajin. Ada siswa yang perlu dimotivasi untuk berkontribusi dalam penulisan, sulit bekerja sama, dan ada pula yang memiliki hambatan-hambatan khusus seperti permasalahan pribadi maupun gangguan kesehatan.    Rangkaian bimbingan karya tulis ini seakan menjadi retret panjang. Guru sebagai individu dewasa, berperan sebagai fasilitator yang harus terus belajar memahami dan mengarahkan, sementara siswa sebagai retretan dibimbing hingga sampai tahap reflektif dan menemukan Tuhan dalam pergulatannya berproses menyusun karya tulis. Saat suatu kelompok mengangkat permasalahan tentang prokrastinasi yang berawal dari keprihatinannya pada  budaya last minutes di kalangan gen Z, tentu saja kelompok yang juga beranggotakan gen Z ini, mengalami pergulatan, apakah mereka juga sering menunda-nunda tugas, lalu bagaimana seharusnya anak muda berkomitmen untuk tidak membuang-buang sumber daya waktu? Sementara itu, beberapa kelompok mengangkat permasalahan yang berhubungan dengan konsumerisme, baik budaya fast fashion, gaya hidup, pola makan, maupun pembelian impulsif yang terjadi karena perkembangan digital marketing serta peer pressure.  Ada pula kelompok yang menulis tentang kepedulian anak zaman sekarang terhadap lansia, dengan melihat fenomena yang terjadi pada orang-orang tua yang kesepian, sementara anak-anak yang sudah mereka bekali dengan pendidikan tinggi sibuk dengan karir dan pekerjaannya.    Persoalan kepedulian lingkungan, kesadaran politik, pengabaian Gen Z di dunia kerja, ancaman judi online, kebiasaan merokok, dan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi pada Gen Z mewarnai presentasi-presentasi karya tulis saat G-REFLEX. Latisha, seorang siswi muslim, membagikan pengalaman saat dirinya mencari literatur dan kemudian membaca tentang UAP serta ensiklik Laudato Si. Ia semula bingung karena ada banyak istilah-istilah agama Katolik, namun hal itu membuatnya penasaran dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami dunia melalui perspektif yang berbeda. Ketika Ia mulai memahami konsepnya, Ia menemukan ada hal-hal yang mirip dengan ajaran Islam, tentang nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian lingkungan. Para siswa yang memilih topik-topik STEAM, mempresentasikan karya tulis mereka setelah berproses dengan kerja laboratorium, untuk mencari solusi penanganan limbah ataupun membuat suatu produk olahan makanan. Ada  pula siswa yang menulis studi kasus berdasarkan pengalaman dirinya, berjuang menghadapi sakit yang menghambat kehidupan akademik dan sosialnya, serta pergulatan imannya untuk terus berpengharapan. Permasalahan-permasalahan ini sangat kontekstual dan benar terjadi di dalam diri mereka sendiri atau di lingkungan sekitarnya. Demikian diharapkan tema G-Reflex “Non scholae, sed vitae discimus” yang berarti kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup, diharapkan benar-benar dihayati oleh seluruh komunitas terutama para siswa.     Puncak Pengalaman Belajar Penilaian yang dilakukan sekolah dalam proses penyusunan karya tulis dan G-REFLEX ini meliputi penilaian terhadap jurnal yang disusun, pembuatan infografis dan roda ilmu pengetahuan, penilaian keterampilan berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat dalam presentasi baik bagi presenter maupun audience (kelas X dan XI), serta penilaian sikap siswa selama berproses. Para siswa kelas X juga dilibatkan sebagai Liaison Officer (LO), sementara kelas XI juga dilibatkan sebagai notulis, sedangkan yang berperan sebagai moderator diskusi adalah para siswa kelas XII. Para orang tua siswa yang hadir juga diberi kesempatan bertanya ataupun memberikan masukan. Ada banyak momen yang mengharukan saat orang tua mengapresiasi anak mereka sendiri ataupun momen lucu ketika orang tua memberikan pertanyaan yang menantang kepada anaknya.     Kegiatan penulisan karya tulis diharapkan juga mendukung kesiapan para siswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Iceu Rufiana, M.M., M.Si. selaku Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan Jakarta Selatan, setelah menyaksikan jalannya kegiatan. Beliau menyampaikan kesesuaian kegiatan ini dengan kurikulum yang sedang berjalan, yang menekankan deep learning, lebih mendalam dalam mempelajari sesuatu, dengan penuh kesadaran (mindful), lebih reflektif sehingga bermakna (meaningful), lebih holistik, dan dijalani dengan gembira (joyful). Beliau

Tahbisan

Aku ada di Tengah-tengah Kamu sebagai Pelayan

Dalam suasana duka atas berpulangnya Paus Fransiskus, Serikat Jesus Provinsi Indonesia (Provindo) layak bersyukur dan bergembira atas tahbisan diakon yang diterima oleh Frater Leo Perkasa Tanjung, S.J. Fr. Leo adalah putera Paroki Roh Kudus Katedral Denpasar, Bali. Fr. Leo ditahbiskan bersama kelima belas skolastik Jesuit lain yang berasal dari 10 negara berbeda. Salah satu dari mereka adalah Fr. Joachim Tin Aung Lwin, S.J. (Regio Myanmar) yang juga pernah menjalani formasi filsafat di Kolese Hermanum dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.   Rangkaian Perayaan Tahbisan diawali dengan Retret Delapan Hari dan dilanjutkan dengan Ibadat Malam Tahbisan Diakon pada Senin, 21 April 2025. Ibadat tersebut mengungkapkan dukungan Rohani dari anggota komunitas dan setiap orang yang hadir bagi keenambelas diakon yang akan ditahbiskan. Ibadat diadakan di Kapel Komunitas Collegio Internazionale del Gesù dan dihadiri seluruh anggota komunitas Collegio. Selain itu, turut hadir pula tamu undangan dan segenap keluarga para calon diakon, termasuk keluarga besar Fr. Leo.   Keesokan harinya, Selasa, 22 April 2025, tepat pukul 16.00 waktu Roma, Fr. Leo dan  kelimabelas frater lainnya menerima tahbisan diakon dari tangan Mgr. Anthuane Ilgit, S.J., Administrator Vikariat Apostolik Anatolia yang juga adalah alumnus Collegio Internazionale del Gesù. Perayaan Ekaristi ini dirayakan secara konselebrasi. Mgr. Anthuane didampingi pula oleh Kardinal Gianfranco Ghirlanda, S.J., Pater Jenderal Arturo Sosa Abascal, S.J., Pater Johan Verschueren, S.J. (Delegat Pater Jenderal untuk Rumah Internasional Roma), dan Pater William Keith Abranches, S.J. (Rektor Collegio Internazionale del Gesù). Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Perayaan Ekaristi Tahbisan diselenggarakan di Gereja Santissimo Nome di Gesù, Roma.      Tema yang dipilih tahun ini mengutip Injil Lukas 22:27, “Io sono in mezzo a voi come colui che serve (Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan).” Dalam homilinya, Mgr. Anthuane menegaskan peran penting diakon. Sejak awal, diakon  adalah mereka yang dipilih dan menjadi perpanjangan tangan para rasul dalam merawat jemaat. Identitas sebagai diakon tidak terlepas dari tugas utamanya untuk melayani dan memberikan dirinya kepada banyak orang. Masa diakonat kerap kali dipandang sebagai masa transisi, terutama bagi mereka yang tengah mempersiapkan diri menerima rahmat tahbisan imam. Akan tetapi, Mgr. Anthuane menegaskan bahwa sekalipun identitas seseorang nantinya berubah, panggilan untuk menjadi pelayan diharapkan tetap melekat dalam diri seseorang. “Ingatlah Saudara-Saudara, sekalipun dalam waktu dekat engkau akan menjadi imam atau bahkan uskup, tetaplah menjadi seperti seorang diakon, tetaplah menjadi seorang pelayan!”    Akan tetapi, Mgr. Anthuane menegaskan bahwa panggilan untuk menjadi orang yang siap melayani tidak dapat terwujud jika masing-masing diakon tidak mengalami terlebih dahulu  panggilan personal dari Allah sendiri. Masing-masing diakon dipanggil oleh Allah dengan nama mereka. Hal ini senada dengan pengalaman Maria Magdalena, yang menemukan makam kosong Yesus. Baru ketika Yesus memanggilnya “Maria!”, Maria Magdalena mengenali siapa Yesus dan bergegas mewartakan perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit. Perjumpaan dengan Tuhan inilah yang memberi daya ubah dalam hidup seseorang. Mgr. Anthuane mengatakan, “Setiap manusia adalah sejarah cinta yang Allah sendiri tuliskan di dunia ini. Allah mengenal lewat nama kita, menyertai kita, mengampuni kita, dan memiliki kesabaran atas diri kita.” Oleh karena itu, menurut Mgr. Anthuane, kedekatan dan kedalaman relasi dengan Allah inilah yang menjadi asas  dan dasar bagi seseorang yang hendak mendedikasikan diri dalam pelayanan kepada Allah dalam  gereja-Nya.     Seusai Perayaan Ekaristi Tahbisan, acara dilanjutkan dengan ramah tamah bersama  dengan segenap keluarga dan tamu undangan di halaman tengah Collegio dan diakhiri dengan santap malam bersama di ruang makan Collegio. Seusai menerima  tahbisan, para diakon akan melanjutkan perutusan untuk menyelesaikan studi teologi yang  tengah mereka jalani di Universitas Kepausan Gregoriana. Mari kita doakan agar Fr. Leo dan  kelima belas diakon yang baru saja ditahbiskan dapat menjadi pewarta harapan dan pelayan Kabar Gembira bagi semakin banyak orang.    Kontributor: Sch G.A. Satriyo Wibisono, S.J.

Feature

Grazie, Francesco!

Homili Kenangan Paus Fransiskus Misa Requiem Paus Fransiskus  Saudara-saudari terkasih,  Petang itu, 13 Maret 2013, setelah beberapa hari melihat asap hitam,  sekitar pukul 19.00 lewat sedikit, saya mendengar lonceng-lonceng  Gereja berdentang bersahut-sahutan. Saya bertanya-tanya, “Sepertinya jam 7 malam baru saja lewat, mengapa lonceng-lonceng  gereja terdengar di mana-mana? Jangan-jangan…” Saya bergegas  mencari tahu dan ternyata benar. Tradisi lonceng semua gereja di  Roma dibunyikan saat asap putih pertanda Paus baru terpilih, sedang terjadi. Tanpa banyak menunggu, kami segera berlari menerjang  gerimis menuju alun-alun Vatikan untuk menyaksikan upacara pengenalan Paus baru, “Habemus papam…”    Kami segera berada di tengah-tengah Piazza San Pietro bersama  dengan ratusan, mungkin ribuan, orang yang mulai menyemut. Di bawah dingin kami berdiri menunggu. Mungkin sejam atau dua jam  kemudian, akhirnya beliau diperkenalkan. Betapa terkejutnya kami  ketika mendengar bahwa Kardinal Bergoglio, salah satu saudara Jesuit kami, terpilih. Sontak euforia pecah. Bersama dengan semua orang di situ kami berteriak kegirangan seperti orang gila mengelu-elukan Paus. Momen yang selalu saya kenang karena selalu membuat merinding adalah kontras yang muncul saat beliau meminta doa dan  berkat dari semua yang ada di situ. Persis ketika beliau  membungkukkan badan saat didoakan, saat itulah keheningan tiba tiba menyapu riuh rendah teriakan peziarah. Semua diam berdoa.  Mereka yang tidak paham bahasa Italia pun ikut larut dalam keheningan itu. Momen hening dalam doa itu, sungguh-sungguh peristiwa yang menggetarkan dan menghangatkan hati. Saat itu saya sungguh terpukau melihat gestur ramah penuh senyum, sederhana, dan  rendah hati dari pimpinan Gereja Katolik. Gestur yang rupanya selalu  mewarnai dua belas tahun masa pontifikatnya.    ***  Saya bukan seorang ahli pengamat Paus; bukan pula pejabat eklesiastik yang sering bertemu dan berelasi dekat dengan beliau. Kenangan dan apresiasi saya bagi beliau berasal dari umat biasa dari  kejauhan, yang merasakan efek, dampak dari apa yang beliau  kerjakan selama ini. Sekiranya tidak berlebihan jika saya mengenang Paus Fransiskus sebagai manusia Paskah: Manusia yang mengalami, mengimani, menghidupi kuasa kebangkitan Kristus dan digerakkan oleh-Nya.  ***  Saudara/i terkasih,  Manusia paskah adalah manusia yang mengalami kerahiman Allah. Kidung Exultet yang kita dengarkan di liturgi malam Paskah  menyampaikan felix culpa, “O kesalahan yang menguntungkan, karena memberikan Penebus yang sedemikian rupa.” Di situlah  sejarah kedosaan di masa lalu dimaknai secara retrospektif dari sudut pandang keselamatan yang dibawa oleh Yesus yang bangkit. Rupanya, itu pula yang terjadi pada Paus kita. Barangkali kita pernah mendengar masa lalu yang tidak mudah, bahkan mengundang  kontroversi, dari Paus kita saat beliau menjadi provinsial Jesuit dan rektor skolastikat Jesuit di Argentina. Beliau mengalami situasi yang  tidak mudah. Saya ingat, setelah diumumkan menjadi Paus, beberapa teman serumah saya yang berasal dari Amerika Latin tidak percaya dan sedikit merasa takut bahwa Bergoglio terpilih menjadi Paus.    Namun, beliau tidak terpenjara oleh kegagalan, kesulitan, dosa manusia. Seperti yang dikatakannya pada homili di Gelora Bung Karno (GBK), September  yang lalu, “Non restare prigioneri dei nostri fallimenti…No, per favore. Non restiamo prigioneri dei nostri fallimenti.” (Janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita. Jangan, saya  mohon, janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita).    Masa lalu yang berat dengan segala kesalahan dan kegagalan yang  dilakukan dimaknai dari sudut pandang kerahiman, pengampunan dan keselamatan dari Yesus yang bangkit jaya.  Jumat Agung dipandang dari sudut pandang Minggu Paskah. Kebangkitan Kristus membebaskan dan memberi kita jaminan agar tidak terpenjara di dalam pengalaman Jumat Agung kita masing masing. Siapa di antara kita yang tidak memiliki drama kehidupan;  tidak memiliki pengalaman gagal dan dosa di masa lalu; tidak  memiliki pengalaman Jumat Agung? Tapi itu semua bukanlah kata  terakhir karena terdapat Minggu Paskah yang menyelamatkan. Saya  yakin, Paus Fransiskus mengalami hal itu dan saya merasa dia mengajak kita untuk memasuki pengalaman ini juga. Pertobatan dan  usaha memperbaiki diri dari sisi manusia bertemu dengan pengampunan dan kerahiman Allah yang berpuncak pada misteri  kebangkitan Kristus.    Mengalami kerahiman, pengampunan, dan pembebasan dari Allah; itulah  juga yang saya rasakan ketika beliau mengajak seluruh Gereja untuk memasuki tahun jubileum kerahiman ilahi pada 2016 yang lalu.  Memang sejak awal masa pontifikatnya, seperti saat itu, di Audiensi  General 17 Maret 2013, beliau mengatakan Tuhan tidak pernah lelah  mengampuni kita! Mungkin kita yang lelah memohon pengampunan dari Allah; tetapi Allah tidak pernah lelah mengampuni. Di Ekshortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injili) §44, Paus  Fransiskus mengingatkan para imam agar ruang pengakuan dosa bukan menjadi ruang interogasi, melainkan ruang untuk bertemu  dengan kerahiman Tuhan Sang Pengampun.      Bertemu dengan Kristus yang bangkit; yang maharahim dan  mengampuni; yang membebaskan kita dari pengalaman Jumat Agung  kehidupan kita, bukan berarti menjadi permisif, laksis terhadap dosa.  Kita memang perlu untuk terus bertobat dan memperbaiki diri. Bertemu dengan Kristus yang bangkit adalah sebuah pengalaman  rohani, pengalaman mistik ketika seseorang dalam  ketidakberdayaannya akibat dosa, kesalahan, kegagalan diangkat  kembali oleh daya kekuatan Ilahi yang memberinya kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bertemu dengan Kristus yang  bangkit dan karenanya menjadi manusia Paskah adalah sebuah pengalaman mistik bertemu dengan wajah Allah yang lembut  berbelas kasih dan memahami; bukan wajah Allah yang keras, kejam, menghakimi. Betapa dunia hari ini memerlukan pengalaman rohani mistik seperti ini! Menjadi saudara satu dengan yang lain yang saling  memahami dan mengasihi, bukan terlalu cepat menghakimi.   ***  Saudara/i terkasih,  Injil yang kita baca kemarin dan hari ini memberi kita inspirasi : kisah  perjalanan dua murid ke Emmaus. Kita melihat suasana batin dua murid yang berjalan itu. Muram. Peristiwa Jumat Agung masih sedemikian menggelayuti mereka. Jiwa mereka kosong karena Tuhan  yang mereka ikuti malahan mati dengan sedemikian tragis di kayu  salib. Mereka putus harapan, sedemikian hingga mereka pergi  menjauh dari Yerusalem tempat semua perkara itu terjadi. Mereka  masih sulit menerima dan memahami kesaksian dari para wanita  tentang Yesus yang telah bangkit.   Dari kisah yang lain, kita melihat pula kekosongan dan keputusasaan  yang sama dari para rasul. Kita ingat kisah dari Injil Yohanes 20, ketika Petrus dan beberapa rasul lain ingin kembali menjala ikan selepas peristiwa Jumat Agung (Yoh. 20). Mungkin mereka ingin  kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan, karena Yesus  yang mereka ikuti malahan mati mengenaskan.     Namun, tepat di jantung kekosongan dan keputusasaan seperti itu Tuhan hadir. Dia berjalan bersama dua murid itu ke Emmaus dan  membuat hati mereka berkobar-kobar. Dia menampakkan diri bagi 

Feature

Antara Keberanian, Kasih dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus (1936-2025), pemimpin Gereja Katolik Roma pertama dari Amerika Latin dan anggota Serikat Jesus pertama yang menjabat sebagai Paus, wafat pada usia 88 tahun pada Senin, 21 April 2025, di kediamannya di Domus Sanctae Marthae, Vatikan. Kabar duka ini diumumkan oleh Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo Kepausan, pada pukul 09.45 waktu setempat.   Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, Paus Fransiskus dikenal luas karena pendekatan pastoralnya yang penuh kasih, kesederhanaan hidup, dan komitmennya terhadap keadilan sosial. Sejak terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, ia membawa angin segar dalam kepemimpinan Gereja Katolik dengan menekankan pentingnya merangkul kaum miskin, memperjuangkan lingkungan hidup, dan mendorong dialog antaragama.   Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus secara konsisten menyuarakan keprihatinannya terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan krisis kemanusiaan akibat peperangan serta migrasi-paksa. Ia juga mencatatkan langkah penting dalam reformasi internal Gereja, khususnya dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penanganan lebih serius terhadap skandal pelecehan seksual yang menjerat banyak tokoh klerus.   Kesehatan Paus Fransiskus menurun dalam beberapa bulan terakhir akibat pneumonia ganda yang dideritanya. Namun, hingga saat-saat terakhir hidupnya, ia tetap menjalankan tugas-tugas kepausan dengan penuh dedikasi, termasuk penampilan publik terakhirnya saat Misa Minggu Paskah di Lapangan Santo Petrus, sehari sebelum wafatnya.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3–6 September 2024 menjadi tonggak sejarah penting dalam hubungan Vatikan dengan dunia Islam dan negara-negara selatan (Global South). Sebagai Paus pertama yang mengunjungi Indonesia sejak 1989, kehadiran beliau disambut antusias oleh masyarakat lintas iman dan budaya. Dalam pertemuan kenegaraan dengan Presiden Joko Widodo, Paus Fransiskus menekankan bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh hidup bagaimana pluralisme tidak hanya bisa ditoleransi, tetapi dirayakan dan dijadikan fondasi keadilan sosial.   Salah satu momen paling monumental adalah kunjungannya ke Masjid Istiqlal, tempat di mana bersama Imam Besar Nasaruddin Umar, ia turut menyatakan “Deklarasi Bersama Istiqlal” yang menyerukan kerja sama antaragama dalam menghadapi krisis global, mulai dari kemiskinan struktural hingga bencana ekologis. Pesan universalnya tentang kasih sayang dan keadilan ekologis kemudian digaungkan kembali dalam homili di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang dihadiri lebih dari 80.000 umat, di mana ia menyerukan agar Indonesia menjadi “bangsa pembawa harapan” bagi dunia.   Dalam konteks sosial-politik Indonesia, pesan-pesan Paus Fransiskus mengandung makna mendalam. Di tengah meningkatnya politik identitas, pembelahan sosial, dan tren otoritarianisme yang merongrong institusi demokrasi, ajakannya untuk mengedepankan welas asih, penghormatan pada martabat manusia, dan dialog yang tulus menjadi suara profetik yang sangat relevan. Dalam pernyataannya, Paus Fransiskus menekankan bahwa pembangunan harus tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan dan perlindungan atas kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan minoritas agama. Dalam pandangannya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai penyelenggara birokrasi, tetapi harus menjadi pelindung kemanusiaan.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia meninggalkan bukan hanya kesan, tapi warisan yang mendalam, bukan hanya dalam bentuk seremonial atau simbolik, tetapi dalam substansi etis dan moral yang dihadirkannya pada ruang publik nasional. Pesan-pesannya memperkuat komitmen terhadap dialog antaragama, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan, tiga pilar yang saat ini tengah diuji dalam dinamika politik dan pembangunan Indonesia. Di tengah meningkatnya politik dan politisasi identitas, erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara, serta memburuknya kualitas demokrasi deliberatif, kehadiran Paus Fransiskus menjadi pengingat akan pentingnya menempatkan martabat manusia, kesetaraan, dan kasih sebagai fondasi tata kelola yang beradab.   Lebih dari sekadar seruan moral, kunjungan Paus Fransiskus membawa implikasi langsung terhadap arah kebijakan publik. Dalam konteks pembangunan yang kerap meminggirkan suara komunitas adat dan marjinal, ia menggarisbawahi pentingnya model pembangunan yang partisipatif, adil, dan ekologis. Hal ini relevan dengan tantangan Indonesia hari-hari ini: bagaimana memastikan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) termasuk Ibu Kota Nusantara tidak mengulang pola eksklusi, bagaimana perlindungan sosial dan berbagai reformasi publik sungguh menyentuh yang terpinggirkan, dan bagaimana negara melindungi kebebasan beragama serta ruang sipil yang semakin menyempit. Warisan ajaran Paus Fransiskus bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi untuk seluruh warga bangsa: bahwa kepemimpinan sejati ditandai bukan oleh kuasa, melainkan oleh keberpihakan kepada yang lemah. Dan bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun jika keberagaman dirawat, bukan diperalat; jika suara yang kecil didengar, bukan dibungkam.   Sebagai penghormatan atas wafatnya Paus Fransiskus, lonceng-lonceng gereja berdentang di seluruh Roma, dan berbagai negara mengumumkan masa berkabung nasional. Di Italia, seluruh pertandingan sepak bola Serie A ditunda. Jenazah beliau disemayamkan di Basilika Santo Petrus dan akan dimakamkan dalam prosesi agung yang akan dihadiri para pemimpin agama dan negara dari seluruh dunia.   Paus Fransiskus meninggalkan dunia ini yang akan dikenang sebagai pemimpin rohani yang berani, penuh kasih, dan visioner. Seorang Paus yang menyatukan iman dengan tindakan nyata, yang meletakkan kasih sebagai hukum tertinggi, dan yang menjadikan keberpihakan kepada yang tertindas sebagai spiritualitas utama kepemimpinannya. Dunia kehilangan suara nurani yang langka. Namun warisan moral dan perjuangannya akan terus hidup -dalam doa, dalam tindakan, dan dalam semangat zaman yang ia wariskan.   Yogyakarta, 21 April 2025   Kontributor: Yanuar Nugroho