Pilgrims of Christ’s Mission

serikat jesus

Penjelajahan dengan Orang Muda

Sebuah Catatan di Satu Semester

Perkampungan Sosial Pingit Seperti biasa, pada Senin sore saya bersiap dan bergegas terutama karena langit sudah berubah menjadi gelap. Doaku sore itu semoga hujan tidak turun sebab menurutku hujan hanya romantis bagi mereka yang mampu, yang mempunyai privilese untuk melihat indahnya rintik hujan dari balik kaca mobil. Namun tidak untuk penunggang ojek online seperti saya, pengguna kendaraan roda dua dan transportasi umum. Juga tidak romantis, terutama bagi  orang-orang yang harus mencari rezeki di jalanan. Petang itu, kami sudah janjian dengan anak-anak di Perkampungan Sosial Pingit (PSP) untuk memasak bersama, sebuah rencana sejak beberapa minggu sebelumnya. Ini harus terlaksana, sebab jika gagal, tentu anak-anak sakan sangat kecewa.    Malam itu kami akan masak seblak sebagai menu utama. Berbekal resep hasil berguru dari adik dan cookpad, merapal doa dan harap di hati kepada Sang Penentu Hidup supaya kelas perdana memasak kami hari itu berjalan lancar dan mudah, saya pun berangkat dari rumah menuju Pingit dengan wajah yang berusaha terlihat yakin meski hati khawatir tidak karuan. Rasa cemas muncul karena takut perkakas masak ada yang terlupa, bahan masakan ada yang terlewat, bumbu yang sudah diracik dari rumah tidak cukup, hingga  rasa takut jangan-jangan kompor gunung yang kami sewa tidak bisa bekerja ciamik layaknya kompor-kompor rumahan pada umumnya.    Tak disangka, anak-anak PSP luar biasa antusias terhadap kelas memasak ini. Bukan hanya dari kelas inti yang kami ampu, yaitu anak-anak SMP, tetapi juga anak-anak dari kelas sebelah juga sama bersemangatnya. Seperti biasa, anak-anak lebih memilih kelas diselenggarakan di Balai karena sirkulasi udara yang lebih terbuka dan mereka merasa lebih nyaman dan leluasa. Kelas memasak malam itu juga kami selenggarakan di Balai. Kami berdoa bersama sebelum memulai kelas. Salah seorang dari anak-anak kami pasti akan bertugas untuk memimpin dengan doa yang sangat singkat, dan tak jarang, sambil bercanda. Tetapi sepertinya pertanyaan musikus Sal Priadi dalam lagunya Gala Bunga Matahari tentang apakah Dia suka bercanda? terjawab malam itu. Sepertinya Dia memang suka bercanda sebab nyatanya doa kami yang kurang ‘serius’ pun tetap didengar dan dikabulkan. Doa kami malam itu adalah semoga kelas memasak pada malam itu berjalan dengan sangat riang, mudah, dan penuh kehangatan. Baik laki-laki maupun perempuan sangat bersemangat, bahu-membahu mempersiapkan semuanya, ikut mencuci sayur, memotong bahan isi seblak, hingga menyalakan kompor. Waktu terasa berjalan dengan cepat dan kelas kami pun melebihi jam pembelajaran sehingga anak-anak dari kelas lain untuk ikut bergabung memasak dan menyantap bersama hasil masakan perdana ini. Rasa masakannya? Lumayan enak.     Memang sejak awal kami terpilih untuk bergabung menjadi sukarelawan di Perkampungan Sosial Pingit, ada beberapa pesan yang menyarankan bahwa sedapat mungkin, materi yang kami akan berikan kepada anak-anak bukanlah materi pembelajaran yang mirip seperti silabus mata pelajaran mereka, namun sesuatu yang berbeda. Kami para sukarelawan yang tergabung ke dalam Tim SMP dari pertama urun rembug, kami memilih beberapa core values yang akan menjadi ‘benang merah; dari materi kami selama setahun ke depan, yaitu Survive and Sustain. Kami ingin materi yang akan kami bagi selama setahun ke depan, meskipun tidak banyak, namun bisa masuk menjadi ‘core memories’ anak-anak yang akan selalu mereka ingat, rasa dan gunakan ketika kelak mereka dewasa. Seperti kelas memasak yang kami pilih untuk malam ini, kelas ini memang sudah masuk ke dalam silabus materi rencana pembelajaran kami untuk satu tahun ke depan, karena untuk anak-anak kami yang memang baru mulai memasuki masa SMP, dimana mereka juga mulai masuk ke dalam fase pubertas dan pencarian jati diri, kami berharap materi-materi yang kami berikan kepada mereka akan membantu mereka menghargai dan sabar terhadap yang namanya ‘proses’. Proses daur hidup yang tidak selalu gembira. Sebelum kelas memasak ini, kami juga memberikan mereka kesempatan untuk berkreasi menghias kue untuk melatih kreativitas mereka. Harapan kami, kelak di masa depan, mungkin ada dari mereka yang tertarik untuk menjadi seorang Chef handal atau jika harapan itu dianggap terlalu tinggi, paling tidak suatu saat ketika kesulitan mendapatkan pekerjaan, mereka bisa membuat usaha sendiri, menjadi pengusaha makanan gerobak. Sekali waktu, kami juga pernah dalam satu jadwal kelas, memberikan mereka tantangan untuk mengisi peta buta negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara, harapan kami, dengan itu mereka tahu bahwa ada kehidupan lain di luar Pingit, bahkan di luar Indonesia. Jika berharap salah satu dari mereka berhasil menjadi Diplomat juga terlalu muluk, setidaknya minimal mereka tahu bahwa mereka mungkin suatu hari nanti bisa bertahan hidup dengan menjadi pejuang devisa di negara tetangga.   Kembali kepada proses pembelajaran kami di kelas memasak malam itu. Ada satu catatan yang mungkin akan saya ingat dan menjadi salah satu pembelajaran hidup berharga untuk saya selamanya. Ada satu momen, di tengah proses kami memasak, kami kehabisan bumbu penyedap. Seorang anak perempuan kecil, dengan wajah lugu dan suara lantang langsung menawarkan diri kepada saya. “Mbak, aku belikan ya bumbunya di warung atas sebentar?”. “Loh, memangnya ga jauh? Sebentar biar Mbak minta tolong kakak yang lain untuk belikan, Mbak juga ambil uangnya dulu ya,” jawab saya. “Ga usah Mbak, kelamaan nanti, biar aku belikan saja, aku ada uang kok,” ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan uang seribuan nya ke saya. “Loh jangan, masak pakai uang kamu, sebentar ya biar Mbak minta kakak sukarelawan saja yang belikan” tegas saya. “Gapapa Mbak, biar pakai uang aku aja, lagian kan ini untuk kita makan rame-rame juga, jadi ya gapapa,” ujar gadis kecil itu tetap memaksa dan seketika langsung lari pergi menghilang, menuju warung di atas. Seketika saya terdiam dan terhenyak. Fokus saya terpecah. Perasaan kaget, haru, dan senang menjadi satu. Ada perasaan hangat yang menjalar. Dari penampilan gadis kecil itu, bisa jadi, uang seribu yang ia tunjukkan kepada saya adalah uang jajan satu-satunya yang ia punya di hari itu, namun dengan lantang dan berani, ia tawarkan uang satu-satunya itu tanpa rasa takut, alasannya pun luar biasa, karena nanti masakan ini juga akan dimakan bersama-sama. Ucapan yang berjiwa besar dan tanpa rasa takut sedikitpun, terucap dari bibir seorang anak kecil.    Momentum itu membuat saya akhirnya merenung. Sambil memperhatikan sisa menit-menit terakhir menuju berakhirnya kelas kami di malam itu. Mungkin dunia orang dewasa menjadi sangat rumit karena tanpa sadar, seiring proses kita menjadi tua dan dewasa, perlahan kita juga

Tahbisan

Menjadi Sahabat di Jalan Pengharapan

Empat diakon Serikat Jesus ditahbiskan imam oleh Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, pada Rabu, 23 Juli 2025 di Gereja Santo Antonius Padua, Kotabaru, Yogyakarta. Keempat diakon tersebut adalah:  Diakon Antonius Septian Marhenanto, S.J. (Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Cilangkap, Keuskupan Agung Jakarta),  Diakon Isodorus Bangkit Susetyo Adi Nugroho, S.J. (Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Keuskupan Agung Semarang),  Diakon Jacobus Aditya Christie Manggala, S.J. (Paroki Santo Petrus dan Paulus, Babadan, Keuskupan Agung Semarang), dan  Diakon Leo Perkasa Tanjung, S.J. (Paroki Roh Kudus Katedral Denpasar, Keuskupan Denpasar).  Misa tahbisan yang dihadiri oleh keluarga serta tamu undangan berlangsung khidmat dan penuh syukur. Dalam homilinya, Mgr. Rubiyatmoko memberikan bahan permenungan bagi para diakon agar sungguh-sungguh memberikan diri secara total yang diwujudkan melalui komitmen dan tekad mendalam. Sakramen imamat yang diterima hendaknya dihayati sebagai perayaan syukur atas rahmat yang mengatasi kelemahan manusia itu sendiri.   Menjadi Sahabat di Jalan Pengharapan adalah tema tahbisan tahun ini. Tema tersebut diharapkan mampu mengingatkan bahwa imam adalah sahabat Yesus sendiri dan sahabat dari teman-teman Yesus yang kecil, tersingkir, terluka, dan tak berpengharapan. Menjadi imam di masa ini kiranya bukan sekadar mengajar dan memimpin ibadah-ibadah. Imam perlu berperan sebagai sahabat yang berani hadir secara nyata, menjadi pendengar yang penuh empati, dan berani membalut luka-luka hati dengan berbagai macam cara sehingga mampu membuat mereka bangkit kembali membangun pengharapan sekaligus mempunyai masa depan kembali.      Meskipun menjadi sahabat Yesus tidak selalu mudah, dalam homilinya Mgr. Rubiyatmoko berpesan agar jangan putus dalam pengharapan sebab pengharapan tidak mengecewakan. “Selagi kita punya pengharapan yang besar maka akan ada usaha dan nantinya akan ada hasil yang bisa kita tawarkan kepada umat yang kita layani.” Para imam ini pun nantinya tidak akan sendirian karena mereka memiliki Tuhan serta rekan dalam Serikat Jesus yang akan mendukung dan menguatkan.   Mengakhiri homilinya, Mgr. Robertus Rubiyatmoko berharap agar para imam yang ditahbiskan hari ini mampu menjadi sahabat Yesus yang nyata, khususnya bagi mereka yang kecil, terluka, dan kebingungan, serta mampu memberikan pengharapan. Pelayanan yang dilakukan hendaknya dilakukan sebagai wujud cinta kepada Yesus, sang sahabat sejati. Ketika mengalami penderitaan dan kesulitan, teladanilah Santo Paulus yang mampu menemukan sukacita bahkan dalam penderitaan sebab penderitaan adalah bagian dari persekutuan dengan Kristus.    Setelah ditahbiskan, keempat imam baru ini akan menjalani perutusan ke berbagai tempat sesuai dengan tugas perutusan yang disampaikan oleh Pater provincial.  P. Antonius Septian Marhenanto, S.J. bertugas sebagai Koordinator Purna Waktu Tim Komunikator SJ Indonesia  P. Isodorus Bangkit Susetyo Adi Nugroho, S.J. bertugas sebagai anggota staf SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire, Papua  P. Jacobus Aditya Christie Manggala, S.J. bertugas sebagai Direktur Campus Ministry Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan  P. Leo Perkasa Tanjung, S.J. bertugas menjalani studi Kitab Suci di Biblicum, Roma.  Pada akhir misa tahbisan, para imam baru memberikan berkat perdana kepada seluruh umat. Seusai misa, acara dilanjutkan dengan ramah tamah di Kolese Santo Ignatius. Semoga para neomis ini senantiasa mampu menggembalakan umat dengan penuh cinta, kasih, dan perhatian. Proficiat!   Kontributor: Bonifasia Amanda – Tim Komunikator Jesuit Indonesia

Karya Pendidikan

Dari Ragu Menjadi Percaya

Pada 25–26 April 2025, saya mengikuti kegiatan rekoleksi gabungan kelas X angkatan 38 dan kelas XI angkatan 37 SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Kegiatan ini bertujuan untuk merenungkan kembali perjalanan hidup kami, memperdalam relasi dengan Tuhan, dan mempererat hubungan antar teman.   Saat pertama kali mendengar berita mengenai rekoleksi, saya merasa senang karena rekoleksi kali ini akan menginap di sekolah. Meski demikian, beberapa teman sepertinya kurang suka jika kegiatan ini menginap. Namun saya juga merasa kurang antusias karena saya khawatir tidak bisa bekerjasama dengan adik kelas.    Dinamika Kelompok Dalam rekoleksi kali ini saya masuk ke dalam kelompok yang beranggotakan 9 siswa dari total 20 kelompok. Dalam dinamika pembagian tugas, saya mendapat bagian membawa panci. Selama rekoleksi kami diwajibkan untuk menyiapkan sendiri kebutuhan untuk makan dan minum. Sebelum berangkat saya sedikit cemas karena dalam kelompok tidak ada yang memilih membawa kompor. Namun setelah sampai di sekolah sudah ada teman yang membawa kompor walaupun saya tidak tahu siapa yang membawanya.   Arti Kemenangan Tema rekoleksi tahun ini adalah “Melangkah Bersama di Jalan Harapan”. Sesi pertama rekoleksi kali ini Pater Yohanes Adrianto, S.J. menerangkan tentang “Kisah Kemenangan”. Beliau menjelaskan bahwa kemenangan bukan hanya tentang sesuatu yang besar seperti juara lomba, juara kelas atau memenangkan olimpiade. Kemenangan bisa diraih juga dari sesuatu yang kecil seperti berhasil berdamai dengan masa lalu yang buruk, berhasil mengontrol emosi, atau berhasil melawan rasa malas. Saya pun mengingat-ingat kembali kemenangan kecilku, yaitu saya berhasil melawan rasa malas untuk melakukan eksperimen setelah menyelesaikan bab kedua karya ilmiah. Kemenangan yang lainnya saya sekarang lebih rajin beribadah atas keinginan sendiri. Sekarang saya sudah sidi dan masuk Persekutuan Anggota Muda (PAM) di gereja.    Belajar dari Kegagalan Kegagalan adalah kondisi ketika suatu usaha atau rencana tidak mencapai hasil yang diharapkan. Setiap manusia pasti pernah mengalami yang namanya kegagalan, lalu banyak orang yang merasa kehilangan motivasi atau merasa sedih sehingga tak ingin mencoba lagi. Tapi tak sedikit juga yang menjadikan kegagalan sebagai motivasi untuk berusaha lebih keras lagi, itulah poin penting dari materi pada sesi kedua, kegagalan.    Kegagalanku adalah gagal melawan rasa malas, cara saya berusaha menghadapi rasa malas ini dengan melakukan berbagai kegiatan seperti mengerjakan tugas, bermain di luar rumah, atau membantu orang tua di rumah. Kegagalan yang lain adalah saya dalam pelajaran matematika sehingga saya cukup kecewa. Dan saat ini saya memilih untuk fokus mempelajari pelajaran lain yang lebih saya kuasai daripada matematika.    Memperbaiki Diri Sesi ketiga kami belajar mengenai memperbaiki diri. Untuk menjadi lebih baik kita perlu memperbaiki sesuatu agar hasilnya bisa lebih maksimal. Saya memperbaiki kebiasaan scrolling HP selama berjam-jam salah satunya dengan berkegiatan di luar rumah agar tak terfokus ke HP.   The Boy Who Harnessed the Wind Pada sesi keempat, kami menonton film The Boy Who Harnessed the Wind. Film ini memberi pesan penting mengenai peran keberanian, kegigihan dan kemauan untuk mencapai hidup yang lebih baik. Setelah menonton, kami diberi kesempatan untuk berefleksi pribadi di area kolese Le Cocq dengan membawa sebatang lilin.   Malam itu, hanya lilinlah yang memberi terang dan menjadi teman. Saya merasakan perasaan yang damai saat menulis, meski angin yang terus bertiup membuat lilinku sering hampir mati. Setelah berdinamika pribadi, kami berkumpul sambil membawa lilin lalu berdoa bersama. Seru dan damainya kegiatan di hari itu kami tutup dengan istirahat di ruang-ruang kelas. Awalnya saya kesulitan tidur, tapi akhirnya saya bisa tidur lelap setelah seharian yang melelahkan.   The Village of Hope Keesokan harinya, Sabtu 26 April 2025, kami bangun sekitar pukul 04.30 WIT untuk memulai memasak sarapan pagi dan berganti pakaian untuk kegiatan luar sekolah. Kami diutus dengan misi yang berbeda-beda dengan hanya diberi amplop yang berisi lokasi dan aktivitas yang dilakukan. Kelompokku mendapat misi harus ke tempat bernama “The Village of Hope” lalu mencari tempat ibadah, menggambar tempat tersebut dan menyanyikan dua lagu bertema Paskah. Kami langsung tahu “The Village of Hope” adalah Kampung Harapan dan segera menuju ke sana. Awalnya saya dan beberapa teman ragu memilih jalan yang harus kami lewati, tapi akhirnya kami mendapati Gereja GBI Pondok Daud. Kami pun sempat salah paham dengan  misinya yang tertulis “Mintalah seseorang untuk menggambar” sehingga kami berpikir orang yang menggambar adalah orang di luar kelompok sehingga kami meminta orang di situ untuk menggambar gerejanya. Untunglah mereka mau menerima permintaan kami, lalu kakaknya mulai menggambar dan kami menyanyikan  dua lagu bertema paskah.    Berbagi Kami lanjut sharing di dalam aula mengenai pengalaman menjalankan misi. Perutusan kami tadi beragam, ada yang ke Pantai Nabire, Taman Gizi, Kantor Pos, Goa Maria KSK, Tugu Nabire Hebat, dll. Ternyata ada yang seharusnya ke Masjid Al Falah hanya saja mereka gagal karena memang misinya cukup sulit. Saya merasa gembira karena boleh menerima misi khusus dan belajar menjalani misi itu dengan baik. Tidak semua misi itu mudah, tetapi mencobanya sepenuh hati itu penting. Dan yang tidak kalah penting juga adalah berani berbagi agar sesama bisa belajar dari setiap kisah yang ada. Karena setiap misi memiliki kisahnya sendiri-sendiri.   Rahmat yang Mengejutkan Dari rekoleksi ini saya belajar banyak hal, mulai dari kerja sama, kebersamaan, motivasi-motivasi, dan sebagainya. Saya tidak menyangka rekoleksi kali ini akan menyenangkan, saya dapat mengenal adik kelas dan bahkan teman seangkatan yang belum terlalu dikenal sebelumnya. Saya awalnya ragu dengan kelompokku sendiri. Saya berpikir kelompok 11 tidak akan kompak, ternyata tidak. Setelah dijalani ternyata mereka cukup menyenangkan dan bisa diandalkan khususnya urusan memasak. Saya mengalami banyak perasaan, ya senang, sedih, bosan, dan sebagainya. Dari yang awalnya ragu, kini saya semakin percaya. Melalui rekoleksi ini saya merasa lebih mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, lebih terbuka, dan tidak boleh berprasangka buruk ke orang lain sebelum mengenal dan  melihatnya lebih dekat.   Kontributor: Gracia Tawa Buntu – Siswi Kelas XI 2 SMA YPPK Adhi Luhur Kolese Le Cocq d’Armandville

Karya Pendidikan

Kolaborasi Ilmiah, Upaya Merawat Ibu Bumi Rumah Kita

Mengacu pada program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) SD Kanisius Tlogosari Kulon pada semester II tahun ajaran 2024/2025, kami,  SD Kanisius Tlogosari Kulon, mengambil tema Gaya Hidup Berkelanjutan dengan judul projek Bijak Mengelola Sampah. Tidak lepas dari Capaian Pembelajaran (CP) diantaranya adalah peserta didik mengamati, menyelidiki fenomena hubungan ketergantungan antara komponen biotik-abiotik yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu ekosistem di lingkungan dan merefleksikan perubahan kondisi alam yang terjadi akibat faktor alam maupun perbuatan manusia. Dan diselaraskan juga dengan Universal Apostolic Preferences (UAP), yaitu merawat ibu bumi rumah kita. P5 ini kami buat berjenjang dan berkelanjutan menjadi tiga fase sebagai berikut: Fase A kelas 1-2 pemilihan bahan ramah lingkungan untuk bungkus makanan, Fase B kelas 3-4 pengolahan sampah menjadi kompos dan eco enzyme, dan Fase C kelas 5-6 memanfaatkan eco enzyme menjadi sabun cair layak pakai dan layak jual.    Kondisi lingkungan di sekitar sekolah serta kebiasaan warga sekolah maupun warga lingkungan sekitar yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, menjadi latar belakang dalam menentukan tema P5 dan melakukan aksi tersebut.    Proses P5 dilalui oleh peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon dengan membuat eco enzyme, memanennya, menuangkannya secara rutin di selokan belakang sekolah, menjadikannya sabun cair eco enzyme dan beberapa kali mendapat kesempatan mengedukasi warga sekitar sekolah dengan mendemonstrasikan pembuatan eco enzyme.      Eco enzyme adalah cairan fermentasi yang terbuat dari campuran air, molase, dan kulit buah dengan perbandingan 10:1:3 yang difermentasi selama 3 bulan, merupakan produk alami yang ramah lingkungan. Setelah 3 bulan, eco enzyme siap dipanen. Pembuatan Eco enzyme adalah salah satu solusi untuk mengurangi permasalahan lingkungan di lingkungan sekitar sekolah. Para guru tahu bahwa banyak peserta didik tidak suka dengan kegiatan membuat dan memanen eco enzyme, karena malas kotor dan baunya yang tidak sedap.   “Sedekah Alam” itulah sebutan aksi peduli kami pada ibu bumi. Dengan menuangkan eco enzyme ke selokan sekitar sekolah yang bau dan mampet, ke polder Dempel dan sungai Tlogosari yang sangat keruh dan berminyak. Selain dituang ke selokan, ampas panenan eco enzyme digunakan untuk memupuk pohon-pohon (pohon sukun dan mangga) di sekolah sehingga dapat menghasilkan banyak buah sukun dan mangga yang bisa dinikmati bersama satu sekolah. Selain itu sebenarnya eco enzyme dapat digunakan untuk mencuci pakaian, disinfektan, pembersih lantai dan bantal terapi. Tetapi masih ada keengganan menggunakannya karena aroma dan proses pembuatannya yang membuat jijik. Padahal masih ada bergalon-galon eco enzyme dan sabun cairnya yang siap digunakan. Perlu meyakinkan pada peserta didik serta guru dan karyawan agar tidak enggan menggunakan eco enzyme yang ramah lingkungan itu. Oleh karena itu para siswa kelas V diajak sebagai agen kelestarian lingkungan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan ini di SMA Kolese Loyola dengan melakukan penelitian ilmiah.    Para guru membiasakan diri untuk membekali para siswa dengan pengetahuan awal sebelum mereka diajak berkunjung ke tempat yang mendukung materi tersebut. Ide awal sebenarnya keinginan untuk berbagi pengetahuan tentang eco enzyme. Hal ini disampaikan ke pihak SMA Kolese Loyola melalui Pater Ferdinandus Tuhujati Setyoaji, S.J., Kepala SMA Kolese Loyola, yang kemudian ditanggapi dengan persiapan matang sehingga ide yang sederhana ini menjadi sesuatu yang lebih luas serta mendalam. Ini kali keduanya kami berkolaborasi ilmiah.    MAGIS, ini yang hal dirasakan. Rencana awal hanya menyiapkan beberapa peserta didik saja yang menjadi narasumber dalam presentasi dan demonstrasi membuat sabun eco enzyme. Namun SMA Kolese Loyola justru meminta semua anak harus terlibat. Semua peserta didik harus mengalami hal yang sama (bukan hanya beberapa anak saja yang dipilih untuk presentasi). Sebanyak 87 peserta didik dibagi menjadi 20 kelompok dan mereka diminta masuk ke 20 kelas X dan XI membagikan pengalaman ekologis yang dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon.      Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, Kamis, 22 Mei 2025,  pukul 06.30 WIB peserta didik sudah siap di sekolah untuk menuju SMA Kolese Loyola. Deg-degan  itu pasti, karena mereka harus bisa mengingat bahan bicara untuk presentasi di depan kakak-kakak nanti. Ini pengalaman yang tak terlupakan. Sesampai di SMA Kolese Loyola, rasa takut itu musnah, karena sambutan kakak-kakak yang luar biasa, sangat ramah, sangat menghargai dengan mendengarkan apapun yang disampaikan adik-adik saat sharing. Meskipun adik-adik ini tampak malu dan grogi tetapi tepuk tangan dan kata-kata positif kakak-kakak membuat adik-adik ini makin suka cita dan percaya diri.   Ibu Etik Maharani, DP. dan Bapak Reynhard Louis Dermawan selaku koordinator kegiatan dari SMA Kolese Loyola dibantu oleh 25 orang murid dan 7 orang guru fasilitator menyiapkan materi ilmiah dengan mengajak peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon melakukan praktikum fermentasi, ecoprint dan membuat lotion anti nyamuk berbahan alami. Materi yang diberikan oleh SMA Kolese Loyola menguatkan project ekologis yang telah dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon. Hal ini sejalan dengan UAP (Universal Apostolic Preferences) – Merawat Ibu Bumi rumah kita dan mendukung gerakan Gaya Hidup Berkelanjutan.    Pendidik hendaknya tidak hanya menjejali peserta didik dengan soal-soal hafalan. Sebaliknya, pendidik juga perlu menanamkan kepedulian pada lingkungan, dengan peka menemukan permasalahan lingkungan, mencari solusinya, dan melakukan aksi nyata. Santo Fransiskus Asisi mengajarkan pada kita untuk menghormati alam ciptaan Tuhan dan menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara. Dengan mencintai alam, kita dapat menemukan Tuhan dalam keagungan-Nya.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Penjelajahan dengan Orang Muda

Café Puna: “Discerning the Will of God”

Pada hari Kamis, 22 Mei 2025, komunitas SJ Pulo Nangka menyelenggarakan kegiatan Café Puna (Café Pulo Nangka), sebuah forum santai dan inspiratif untuk berbagi pengalaman dalam menghidupi spiritualitas Ignatian bersama para Frater Serikat Jesus Unit Pulo Nangka. Kegiatan ini berlangsung mulai pukul 19.30 hingga 21.00 WIB dan dilaksanakan secara hybrid, yakni on-site di Komunitas Pulo Nangka serta secara daring melalui platform Zoom.   Kegiatan bertajuk “Discerning the Will of God” ini dihadiri oleh 65 peserta secara langsung dan 50 peserta secara daring, yang terdiri dari umat lingkungan, OMK, mahasiswa, kelompok MAGIS, serta para religius lain yang memiliki ketertarikan pada dinamika hidup rohani dan proses discernment (membedakan kehendak Allah) dalam spiritualitas Ignatius Loyola.   Sesi utama dipandu oleh Frater Herdian, S.J. dan Frater Pond, S.J. yang membawakan pembahasan mengenai tiga waktu diskresi dalam spiritualitas Ignatian. Fokus utama malam itu adalah pada waktu ketiga—yakni momen diskresi di mana seseorang tidak berada dalam kondisi pengalaman batin yang kuat (waktu pertama) maupun gerak rasa yang mencolok (waktu kedua), tetapi mengambil keputusan melalui pertimbangan akal budi yang jernih dan tenang.     Disampaikan pula bahwa pertimbangan akal budi dalam waktu ketiga tidak bersifat kering atau semata-mata rasional. Diskresi ini tetap mengandaikan kebebasan batin, yakni keterbukaan dan keterlepasan dari ketertarikan pribadi yang mengaburkan pandangan. Kebebasan ini memungkinkan seseorang untuk memilih bukan hanya apa yang baik, melainkan apa yang lebih memuliakan Tuhan dan membahagiakan dirinya secara mendalam dan sejati.   Sesi diakhiri dengan tanya jawab interaktif dan sharing pengalaman singkat dari beberapa peserta yang menyoroti tantangan konkret dalam menjalani proses discernment, terutama dalam konteks pilihan hidup dan pekerjaan. Pada sesi ini, pertanyaan-pertanyaan dari para peserta dijawab oleh para Pater SJ yang hadir baik secara langsung maupun online. Mereka adalah Pater Sardi, Pater Effendi, Pater Siwi, dan Pater Widi. Selain bahwa kita harus cermat dalam melakukan diskresi, para penanggap menegaskan pentingnya membangun kebiasaan refleksi harian dan pendampingan rohani sebagai sarana konkret untuk menumbuhkan kepekaan rohani dalam membuat keputusan-keputusan penting.   Akhirnya, kegiatan ini menjadi ruang formasi rohani yang hangat, terbuka, dan mencerahkan, yang diharapkan terus berlanjut secara berkala sebagai wadah bagi kaum muda dan siapa saja yang ingin mendalami spiritualitas Ignatian dalam kehidupan sehari-hari.   Kontributor: Sch. Alexius Aji Pradana, SJ – Humas Café Puna

Pelayanan Masyarakat

Senja di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Minggu, 27 April 2025, adalah hari yang dinantikan oleh para volunteer Perkampungan Sosial Pingit (PSP). Jam 16.00 WIB, volunteer PSP dan frater pendamping berkumpul di Pingit dan berangkat. Perjalanan yang ditempuh tidaklah jauh namun cukup tricky bagi pendatang pertama kali karena harus memasuki kampung daerah Cokrodiningratan yang banyak belokan. Lokasinya yang bisa dibilang tersembunyi pada sebuah kampung di belakang projek bangunan mangkrak seakan menyiratkan makna: ada sebuah kisah perjuangan hidup dari kelompok yang termarginalkan di balik megahnya kota Jogja yang jarang mendapat sapaan hangat dari masyarakat (atau mungkin sengaja tak disapa oleh masyarakat atas nama kebaikan, atas nama moral, dan mungkin, agama?). Dan di sinilah kami berada, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.   Para santri penghuni Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-fatah begitu hangat menyambut kehadiran kami yang hendak berdialog sore itu. Adalah Kak YS, seorang transgender perempuan (transpuan) yang sangat excited mempersilakan kami masuk. Kak YS menceritakan banyak hal bagaimana Ponpes Al-Fatah ini didirikan. (Alm) Ibu Shinta Ratri yang merupakan seorang transpuan Muslim sekaligus aktivis HAM mendirikan Ponpes Al-fatah pada tahun 2008. Berjalannya waktu, ponpes ini sempat berpindah-pindah lokasi akibat penolakan warga dan bahkan sempat ditutup akibat persekusi dari kelompok konservatif. Setelah sebelumnya dari Kota Gede, Ponpes Al-Fatah kini berlokasi tak jauh dari Tugu Jogja. Tujuan didirikannya ialah untuk memberi tempat bagi rekan-rekan LQBT, khususnya transpuan, untuk beribadah dengan nyaman serta belajar mengaji dan membaca Al-Quran didampingi beberapa rekan mahasiswa relawan, ustadz, dan bahkan pendeta.   Tak hanya santri yang beragama Islam saja, Ponpes Al-Fatah juga membuka pintu bagi rekan-rekan transpuan yang beragama Kristen. Melihat realita diskriminasi berupa penolakan yang dialami oleh rekan-rekan transpuan, Ponpes Al-Fatah menjadi rumah yang memenuhi kebutuhan afeksi cinta kasih sebagai seorang makhluk hidup. Mereka mendekatkan hati kepada Sang Sumber Kasih itu sendiri. Disela-sela pergulatan hidup dan berbagai tekanan yang dialami, kasih yang mereka terima melalui keluarga Ponpes Al-fatah diwujudkan pula dalam kehidupan sehari-hari. Banyak santri yang terlibat dalam kerja bakti masyarakat dan kegiatan LSM. Ada pula yang belajar make up, pijat, usaha catering, dan berjualan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di tengah keterbatasan akses akibat identitas yang mereka yakini, mereka tetap berjuang hidup mandiri. Beberapa ada yang masih bekerja sebagai pengamen jalanan dikarenakan tidak dapat memenuhi kriteria pekerja di lembaga-lembaga tertentu; mereka tidak memiliki kartu pengenal identitas seperti KTP.   Kak YS berkisah bahwa dirinya dan rekan-rekan transpuan masih saja mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dari pemuka agama. Contohnya, dalam sebuah kegiatan seminar edukasi, Kak YS yang mewakili kaum transgender mendapat pengalaman diberi label bahwa sebagai seorang transpuan merupakan perbuatan dosa dan disuruh bertobat, kembali menjadi laki-laki cisgender. “Padahal, aku emang sudah merasa sejak kecil bahwa aku ini perempuan walaupun terlahir sebagai laki-laki. Umur 3 tahun aja aku udah pakai rok. Ada, lho, fotonya!” Di balik diskriminasi yang mereka alami, prinsip hidup yang menjadi langkah awal bagi rekan-rekan santri Ponpes Al-Fatah ialah penerimaan diri. “Tetap akan selalu ada orang-orang yang menuntutmu menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Tapi selama kamu jadi diri sendiri, keinginan pribadi mereka tidak akan menggoyahkan dirimu. Dan langkah awalnya adalah menerima diri apa adanya, siapa pun diri kamu,” tutur Kak YS dengan mata berkaca-kaca.     Arif Nur Safri, ustadz yang mendampingi para santri belajar agama, memberi kami nasihat untuk berpikir lebih kritis dengan stigma dan label yang ada terhadap rekan-rekan transgender. Mungkin kita pernah mendengar stigma soal waria, banci, bencong atau apa pun sebutannya itu yang kemudian tanpa sadar pikiran mengadopsinya menjadi asumsi negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Membaca dan berdialog memampukan kita agar menjadi pribadi dengan pemikiran yang mandiri. Diskriminasi itu terus mereka alami selama masih belum banyak orang yang terbuka dan teredukasi bahwa tiap individu memiliki hak atas identitas pribadinya masing-masing.   Momen dialog ini memang momen yang kami nantikan. Seminggu seusai perayaan Paskah dan kurang dari sebulan perayaan Idul Fitri. Momen dialog yang menggugah kesadaran kami soal kasih, yaitu nilai utama yang Yesus ajarkan melalui pesan wafat-Nya di kayu salib. Perlu ada perspektif kasih dalam memandang kelompok tertentu yang termarginalkan. Sebagaimana Yesus yang selalu berpihak kepada orang miskin, lemah, dan tersingkir, kita diutus pula untuk merengkuh mereka dengan penuh kasih sebagai seorang sahabat yang sederajat, bahkan saudara. ”Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Injil Markus 3:35 mengajarkan bahwa persahabatan dan persaudaraan tidak hanya sebatas hubungan darah. Kita semua adalah anak-anak Allah jika hidup dalam kebaikan. Apalagi melakukan perbuatan yang dikehendaki Allah seperti mewujudkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian bagi sesama tanpa membeda-bedakan gender, agama, suku, dan lainnya.   Waktu terasa sangat singkat. Matahari mulai terbenam diiringi suara adzan maghrib. Kami pamit untuk kembali ke kesibukan kami masing-masing, namun dalam hati berjanji untuk tidak sibuk sendiri. Masih banyak teman-teman kami yang masih terpinggirkan oleh dunia. Satu hal yang menghidupkan kembali semangat kepedulian kami terhadap sesama yang terpinggirkan dengan menjadi volunteer mengajar anak-anak di Pingit. Kakak-kakak santri yang senyumnya tidak pernah lepas melepas kepulangan kami. Kami menghaturkan rasa terima kasih atas dialog singkat yang manis sore ini. Terima kasih atas inspirasi yang nyata bahwa keadilan dapat sungguh-sungguh diperjuangkan dengan penuh kasih.    Dan senja yang hangat sore itu mengantar kepulangan kami selepas bercengkrama bersama santri transpuan di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.   Kontributor: Basilika Rain (volunteer pengajar Perkampungan Sosial Pingit)

Karya Pendidikan

Keberanian di Tengah Keraguan

Kita tidak pernah sungguh-sungguh siap menghadapi pengalaman pertama. Seperti yang dilakukan oleh para calon pengurus ORSIKA (Organisasi Siswa PIKA) pada Jum’at, 16 Mei 2025 lalu, kedua belas calon pengurus tersebut menjalani masa pembekalan yang unik. Mereka berdiri di tengah keramaian lalu lintas yang padat pada sore hari, mengambil pengeras suara (TOA), dan mulai berbicara di depan orang asing dalam waktu kurang dari satu menit untuk mendengarkan. Mereka diminta untuk melakukan orasi dadakan di lampu merah. Apa yang awalnya mereka kira sebagai latihan berbicara di depan umum, ternyata malah menjadi momen reflektif tentang seorang pribadi dalam menghadapi ketakutan, mengatasi overthinking, dan menemukan makna tentang pentingnya keberanian.   Mengatasi Ketakutan dan Pikiran Sendiri Saking gugupnya, salah seorang peserta bernama Evelyn sampai mengucapkan ‘selamat pagi’ pada saat membuka orasi di depan para pengendara, padahal ia melakukan itu sore hari. Meski salah, ia mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga menemukan bahwa keberanian bukan hanya soal lancar berbicara, tetapi soal mengambil langkah pertama. Ia menyadari bahwa lingkungan berpengaruh besar dalam mendorong tindakannya – bukan hanya niat pribadi. Ketika ada seseorang yang mendukungnya untuk maju, maka ia hanya perlu terus melanjutkan apa yang sedang dilakukan.    Peserta lain bernama Galuh pun merasakannya pula. Ia menemukan bahwa seringkali ia membayangkan risiko-risiko terlebih dahulu seperti takut dimarahi karena salah berbicara. Namun, ketika orasi, tidak ada yang memarahinya. Hal ini membuatnya tampil percaya diri.    Sebagai orang pertama tampil, peserta bernama Saka merasakan lemes, panik, dan malu karena merasa ditertawakan oleh orang-orang. Namun ia kemudian belajar bahwa overthinking semacam itu hanya menghambat. Keberanian justru muncul setelah seseorang melewati perasaan-perasaannya sendiri. Pengalaman pertama harus dialami agar seseorang bisa belajar mengelola perasaan dan pikirannya sendiri.     Percaya Diri Tidak Hadir Begitu Saja Tidak ada orang yang tidak ingin tampil percaya diri. Orasi ini mengajarkan bahwa percaya diri itu tidak datang begitu saja. Meski sudah mempersiapkan materi dengan baik, seorang peserta bernama Isa malah blank. Ia belajar bahwa penguasaan diri dan ketenangan tidak datang secara instan, melainkan melalui latihan. Dengan mengalami sendiri, ia menemukan bahwa terkadang “apa yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataannya.”    Refleksi tersebut ternyata juga dirasakan oleh Vania. Awalnya ia mengira bahwa semua akan memalukan, tetapi ketika melihat penampilan teman-temannya yang berusaha untuk tampil percaya diri, ia terdorong pula untuk mencoba. Menurutnya, kemauan dari dalam dan lingkungan yang positif adalah kunci untuk bisa berkembang.    Kevin menyebutkan bahwa pengalaman ini mengubah cara pandangnya tentang kebutuhan akan ‘orang yang dikenal’ saat berbicara di depan umum. Meski awalnya merasa bahwa ia hanya bisa berbicara di depan umum ketika ada orang yang ia kenal, ternyata ia pun bisa bicara bahkan di antara orang asing. Peserta lain bernama Kenzi pun menambahkan bahwa pikiran yang tidak-tidak bisa menghambat kemajuan diri.    Membebaskan Diri dari Label dan Ekspektasi Dari hasil sharing, banyak peserta menceritakan bahwa seringkali mereka ragu karena label yang mereka lekatkan pada diri sendiri. Salah satu peserta bernama Joy mengaku bahwa pengalaman pendiam dan menahan apa yang ia ungkapkan saat SD membuatnya menyadari bahwa ia adalah seorang ‘introvert’. Label ini menjadi batas sehingga mekanisme pertahanan diri ini muncul ketika dihadapkan pada rasa tidak nyaman. Dengan bicara spontan saat mengutarakan pendapat ia malah menjadi berani dan merobohkan label yang ia buat.   Peserta lain bernama Brigitta menambahkan bahwa ia mengalami pembebasan dari belenggu ekspektasi orang lain. Ia belajar untuk tidak takut pada pandangan orang lain dan merasa lega karena bisa total tanpa takut dianggap aneh. “Berani tidak disukai justru membebaskan diri,” katanya.   Gio, salah satu peserta, mengingat pengalamannya dahulu saat ia masih pemalu dan membuatnya gagal masuk SMA impiannya. Namun, berkat orasi ini, ia menyadari bahwa ternyata ia pemberani. Ia membuktikan bahwa ternyata Gio bisa lebih percaya diri dan mulai meninggalkan ketakutannya yang dulu karena salah bicara yang sempat membuatnya malu.   Pentingnya Komunitas dan Dorongan dari Sekitar Pengalaman orasi di tengah jalan ini mengajarkan betapa berpengaruhnya lingkungan di sekeliling kita. Jenifer yang punya pengalaman mudah merasa overthinking dan takut dianggap aneh, bisa belajar bahwa orang lain tidak akan terus-menerus mengingat apa yang sudah kita lakukan. Ia merasa disembuhkan oleh kesadaran baru ini dan yakin bahwa tampil di depan umum bukan hal yang memalukan melainkan sesuatu yang bisa dibanggakan.    Dengan jujur, Mulky juga mengakui bahwa meski tidak semua yang telah ia persiapkan dapat tersampaikan dengan baik, ia tidak patah semangat. Dukungan dari teman-temannya membuat ia memiliki semangat dan kekuatan. Ia pun turut menyemangati dan mendukung teman-teman yang lain untuk menemukan potensi yang mereka miliki.    Kesimpulan: Dari Trotoar Menuju Panggung Kepemimpinan Meski hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit, ternyata pengalaman orasi berdampak cukup besar dan dalam bagi para calon pengurus ORSIKA. Masing-masing calon pengurus ini menemukan sesuatu yang baru dari dirinya sendiri seperti keberanian, ketenangan, spontanitas, dan penerimaan diri. Bukan hanya soal tampil dan bicara di depan umum, tetapi mereka belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain.    Dari kedua belas orang tersebut, dari rasa takut hingga rasa syukur, pengalaman ini menjadi awalan baik untuk belajar menjadi pemimpin yang berani. Seorang pemimpin bukan orang yang tidak takut, tetapi orang berani bertindak meski takut. Mereka ingin belajar memimpin bukan karena mampu, tetapi karena berusaha setia pada tugas yang diberikan. Dari lampu merah sore itu, calon pemimpin muda ini telah menunjukkan kita sebuah pertanda bahwa mereka siap untuk melangkah lebih jauh, bukan untuk menjadi pandai berbicara, tetapi membawa pengaruh positif bagi komunitasnya.    Kontributor: Sch. Y. K. Septian Kurniawan, S.J.

Karya Pendidikan

Semarak Peresmian Eco Camp dan Temu Anak Yayasan Kanisius

Pada 28-29 April 2025, Yayasan Kanisius mengadakan Pesta Nama Santo Pelindung Yayasan, yakni St. Petrus Kanisius. Dalam semangat merawat bumi sebagai rumah bersama dan membentuk karakter anak-anak bangsa, Yayasan Kanisius meresmikan Eco Learning Camp (ELC) di Ambarawa. Acara ini sekaligus dirangkai dengan kegiatan Temu Anak Kanisius 2025 yang diikuti oleh lebih dari 300 murid sekolah Kanisius di wilayah Cabang Semarang.   ELC merupakan inisiatif Yayasan Kanisius untuk menyediakan ruang pembelajaran ekologis dan pembinaan karakter. Lokasinya berada di belakang kompleks SMK SPP Kanisius Ambarawa, tepatnya di Jl. Mgr. Sugiyopranoto No.56 B. Tempat ini didesain sebagai ruang terbuka untuk kegiatan outbound, rekoleksi, pelatihan kepemimpinan, serta pembinaan spiritual dan karakter. Fasilitas yang disediakan adalah joglo, limasan, kamar penginapan, aneka tanaman edukasi, dan tenda kemah.    Peresmian ELC dan Temu Anak Kanisius dibuka dengan Misa yang dipimpin oleh Pater Heru Hendarto, S.J., (Ketua Yayasan Kanisius), bersama konselebran Pater Joseph Situmorang, S.J., (Kepala Cabang Surakarta). Dalam homilinya, Pater Heru menegaskan bahwa Gereja perlu sungguh melayani dan mendukung perkembangan anak-anak, termasuk dalam kurikulum dan sarana pembelajaran.     Pater Heru menggarisbawahi dua warisan penting dari Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, yang menekankan persaudaraan universal, dan Laudato Si’ yang mengajak kita mencintai lingkungan. “Rumah Tuhan adalah rumah kita bersama. Maka, Kanisius Eco Learning Camp ini hadir sebagai wujud nyata cinta kita pada bumi dan pada masa depan anak-anak,” ungkapnya.   ELC menjadi sarana belajar sekaligus ruang kontemplatif. Tanaman-tanaman yang tumbuh di area ELC bukan sekadar penghias, tetapi menjadi tanda berkat dan hasil cinta lingkungan yang mencukupi kebutuhan hidup manusia. “Kita harus saling merawat—lingkungan dan sesama,” tambah Pater Heru.   Acara ini dihadiri oleh para murid, guru, pendamping, dari Yayasan Kanisius. Dalam pembukaan, hadir perwakilan dinas pendidikan Ambarawa, guru dan biarawan-biarawati, paroki sekitar, tokoh umat dan masyarakat, Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Suasana semakin semarak dengan penampilan dari anak-anak TK dan SD Kanisius Harjosari.   Temu Anak Kanisius yang diadakan selama dua hari satu malam ini menjadi momentum perdana anak-anak Kanisius menggunakan fasilitas ELC. Kegiatan ini menjadi ruang untuk mengembangkan karakter kepemimpinan, kerja sama, cinta lingkungan, serta mempererat persaudaraan antar sekolah. Selama dua hari, anak-anak diberi kegiatan edukatif luar kelas yang sangat menarik dan berguna bagi perkembangan dan keseimbangan daya-daya manusiawi dan rohani peserta didik. Temu anak dikemas dengan aneka permainan yang efektif karena menggabungkan berbagai macam aspek, mulai dari aspek fisik, aspek mental juga intelegensi.     Kanisius Eco Learning Camp merupakan implementasi dari Prioritas V Yayasan Kanisius: “Yayasan Kanisius semakin mengadopsi teknologi komunikasi digital dan peduli pada lingkungan dan keutuhan ciptaan.” Semangat ini selaras dengan ensiklik Laudato Si’ dan arah gerak Rencana Apostolik Provindo SJ. Yayasan Kanisius berharap bahwa fasilitas baru ini dapat dipergunakan oleh seluruh unsur Kanisius, PIA, OMK, kalangan Gereja, dan masyarakat luas.    Sebagai bentuk kehadiran di dunia digital, Yayasan Kanisius juga meluncurkan video profil Yayasan yang diproduksi sepenuhnya oleh sumber daya Kanisius — mulai dari naskah, pengambilan gambar, musik, talent, hingga proses editing. Video ini dapat diakses melalui YouTube: https://youtu.be/vuMIs_nRKXg?si=fl7XTX85T3yYhlb-   Dengan peresmian ELC ini, Yayasan Kanisius menegaskan komitmennya untuk terus menghadirkan pendidikan yang transformatif, ekologis, dan menyatu dengan kebutuhan zaman. ELC bukan hanya tempat, tetapi gerakan. Sebuah gerakan pendidikan menuju generasi yang sadar, peduli, dan mencintai bumi sebagai rumah bersama.   Apabila para Pater, Bruder, Frater, dan sahabat sekalian tertarik mengadakan outbound, rekoleksi, retret, seminar, ataupun berkemah di bumi perkemahan ini, dapat menghubungi contact person pengelola di +62 896-9744-8585 (Yuli).    Kontributor: Th. Surya Awangga, S.J.