Grazie, Francesco!
Homili Kenangan Paus Fransiskus Misa Requiem Paus Fransiskus Saudara-saudari terkasih, Petang itu, 13 Maret 2013, setelah beberapa hari melihat asap hitam, sekitar pukul 19.00 lewat sedikit, saya mendengar lonceng-lonceng Gereja berdentang bersahut-sahutan. Saya bertanya-tanya, “Sepertinya jam 7 malam baru saja lewat, mengapa lonceng-lonceng gereja terdengar di mana-mana? Jangan-jangan…” Saya bergegas mencari tahu dan ternyata benar. Tradisi lonceng semua gereja di Roma dibunyikan saat asap putih pertanda Paus baru terpilih, sedang terjadi. Tanpa banyak menunggu, kami segera berlari menerjang gerimis menuju alun-alun Vatikan untuk menyaksikan upacara pengenalan Paus baru, “Habemus papam…” Kami segera berada di tengah-tengah Piazza San Pietro bersama dengan ratusan, mungkin ribuan, orang yang mulai menyemut. Di bawah dingin kami berdiri menunggu. Mungkin sejam atau dua jam kemudian, akhirnya beliau diperkenalkan. Betapa terkejutnya kami ketika mendengar bahwa Kardinal Bergoglio, salah satu saudara Jesuit kami, terpilih. Sontak euforia pecah. Bersama dengan semua orang di situ kami berteriak kegirangan seperti orang gila mengelu-elukan Paus. Momen yang selalu saya kenang karena selalu membuat merinding adalah kontras yang muncul saat beliau meminta doa dan berkat dari semua yang ada di situ. Persis ketika beliau membungkukkan badan saat didoakan, saat itulah keheningan tiba tiba menyapu riuh rendah teriakan peziarah. Semua diam berdoa. Mereka yang tidak paham bahasa Italia pun ikut larut dalam keheningan itu. Momen hening dalam doa itu, sungguh-sungguh peristiwa yang menggetarkan dan menghangatkan hati. Saat itu saya sungguh terpukau melihat gestur ramah penuh senyum, sederhana, dan rendah hati dari pimpinan Gereja Katolik. Gestur yang rupanya selalu mewarnai dua belas tahun masa pontifikatnya. *** Saya bukan seorang ahli pengamat Paus; bukan pula pejabat eklesiastik yang sering bertemu dan berelasi dekat dengan beliau. Kenangan dan apresiasi saya bagi beliau berasal dari umat biasa dari kejauhan, yang merasakan efek, dampak dari apa yang beliau kerjakan selama ini. Sekiranya tidak berlebihan jika saya mengenang Paus Fransiskus sebagai manusia Paskah: Manusia yang mengalami, mengimani, menghidupi kuasa kebangkitan Kristus dan digerakkan oleh-Nya. *** Saudara/i terkasih, Manusia paskah adalah manusia yang mengalami kerahiman Allah. Kidung Exultet yang kita dengarkan di liturgi malam Paskah menyampaikan felix culpa, “O kesalahan yang menguntungkan, karena memberikan Penebus yang sedemikian rupa.” Di situlah sejarah kedosaan di masa lalu dimaknai secara retrospektif dari sudut pandang keselamatan yang dibawa oleh Yesus yang bangkit. Rupanya, itu pula yang terjadi pada Paus kita. Barangkali kita pernah mendengar masa lalu yang tidak mudah, bahkan mengundang kontroversi, dari Paus kita saat beliau menjadi provinsial Jesuit dan rektor skolastikat Jesuit di Argentina. Beliau mengalami situasi yang tidak mudah. Saya ingat, setelah diumumkan menjadi Paus, beberapa teman serumah saya yang berasal dari Amerika Latin tidak percaya dan sedikit merasa takut bahwa Bergoglio terpilih menjadi Paus. Namun, beliau tidak terpenjara oleh kegagalan, kesulitan, dosa manusia. Seperti yang dikatakannya pada homili di Gelora Bung Karno (GBK), September yang lalu, “Non restare prigioneri dei nostri fallimenti…No, per favore. Non restiamo prigioneri dei nostri fallimenti.” (Janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita. Jangan, saya mohon, janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita). Masa lalu yang berat dengan segala kesalahan dan kegagalan yang dilakukan dimaknai dari sudut pandang kerahiman, pengampunan dan keselamatan dari Yesus yang bangkit jaya. Jumat Agung dipandang dari sudut pandang Minggu Paskah. Kebangkitan Kristus membebaskan dan memberi kita jaminan agar tidak terpenjara di dalam pengalaman Jumat Agung kita masing masing. Siapa di antara kita yang tidak memiliki drama kehidupan; tidak memiliki pengalaman gagal dan dosa di masa lalu; tidak memiliki pengalaman Jumat Agung? Tapi itu semua bukanlah kata terakhir karena terdapat Minggu Paskah yang menyelamatkan. Saya yakin, Paus Fransiskus mengalami hal itu dan saya merasa dia mengajak kita untuk memasuki pengalaman ini juga. Pertobatan dan usaha memperbaiki diri dari sisi manusia bertemu dengan pengampunan dan kerahiman Allah yang berpuncak pada misteri kebangkitan Kristus. Mengalami kerahiman, pengampunan, dan pembebasan dari Allah; itulah juga yang saya rasakan ketika beliau mengajak seluruh Gereja untuk memasuki tahun jubileum kerahiman ilahi pada 2016 yang lalu. Memang sejak awal masa pontifikatnya, seperti saat itu, di Audiensi General 17 Maret 2013, beliau mengatakan Tuhan tidak pernah lelah mengampuni kita! Mungkin kita yang lelah memohon pengampunan dari Allah; tetapi Allah tidak pernah lelah mengampuni. Di Ekshortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injili) §44, Paus Fransiskus mengingatkan para imam agar ruang pengakuan dosa bukan menjadi ruang interogasi, melainkan ruang untuk bertemu dengan kerahiman Tuhan Sang Pengampun. Bertemu dengan Kristus yang bangkit; yang maharahim dan mengampuni; yang membebaskan kita dari pengalaman Jumat Agung kehidupan kita, bukan berarti menjadi permisif, laksis terhadap dosa. Kita memang perlu untuk terus bertobat dan memperbaiki diri. Bertemu dengan Kristus yang bangkit adalah sebuah pengalaman rohani, pengalaman mistik ketika seseorang dalam ketidakberdayaannya akibat dosa, kesalahan, kegagalan diangkat kembali oleh daya kekuatan Ilahi yang memberinya kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bertemu dengan Kristus yang bangkit dan karenanya menjadi manusia Paskah adalah sebuah pengalaman mistik bertemu dengan wajah Allah yang lembut berbelas kasih dan memahami; bukan wajah Allah yang keras, kejam, menghakimi. Betapa dunia hari ini memerlukan pengalaman rohani mistik seperti ini! Menjadi saudara satu dengan yang lain yang saling memahami dan mengasihi, bukan terlalu cepat menghakimi. *** Saudara/i terkasih, Injil yang kita baca kemarin dan hari ini memberi kita inspirasi : kisah perjalanan dua murid ke Emmaus. Kita melihat suasana batin dua murid yang berjalan itu. Muram. Peristiwa Jumat Agung masih sedemikian menggelayuti mereka. Jiwa mereka kosong karena Tuhan yang mereka ikuti malahan mati dengan sedemikian tragis di kayu salib. Mereka putus harapan, sedemikian hingga mereka pergi menjauh dari Yerusalem tempat semua perkara itu terjadi. Mereka masih sulit menerima dan memahami kesaksian dari para wanita tentang Yesus yang telah bangkit. Dari kisah yang lain, kita melihat pula kekosongan dan keputusasaan yang sama dari para rasul. Kita ingat kisah dari Injil Yohanes 20, ketika Petrus dan beberapa rasul lain ingin kembali menjala ikan selepas peristiwa Jumat Agung (Yoh. 20). Mungkin mereka ingin kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan, karena Yesus yang mereka ikuti malahan mati mengenaskan. Namun, tepat di jantung kekosongan dan keputusasaan seperti itu Tuhan hadir. Dia berjalan bersama dua murid itu ke Emmaus dan membuat hati mereka berkobar-kobar. Dia menampakkan diri bagi







