Pilgrims of Christ’s Mission

karya pendidikan

Karya Pendidikan

Menulis Bab Baru Pendidikan Tinggi Jesuit

IAJU Assembly 2025 Bogotá, Kolombia – International Association of Jesuit Universities (IAJU) Assembly 2025 telah diselenggarakan pada 30 Juni hingga 3 Juli 2025 di Pontificia Universidad Javeriana, Bogotá, Kolombia. Pertemuan tiga tahunan ini menjadi momentum penting bagi Universitas Sanata Dharma (USD), bersama 170 universitas Jesuit dari seluruh dunia, untuk membangun strategi bersama dalam menjawab tantangan pendidikan tinggi global.   Mengangkat tema “Our Mission in Challenging Times: Let’s Write the Next Chapter of Jesuit’s Higher Education History,” pertemuan ini dibuka dengan pidato inspiratif dari Pater Jenderal Arturo Sosa SJ. Dalam pidato tersebut, ia menekankan pentingnya universitas Jesuit menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma Ignasian.    ”Universitas Jesuit harus menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma kita,” tegasnya.    Pater Jenderal juga menyampaikan tiga pilar utama yang harus menjadi fondasi pendidikan tinggi Jesuit: Charism (karisma), Context (konteks), dan Way (jalan).    Pesan ini disampaikan kepada lebih dari 300 peserta dari lima benua, termasuk delegasi dari Universitas Sanata Dharma yang diwakili oleh Rektor Albertus Bagus Laksana SJ dan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Caecilia Tutyandari. Dalam berbagai sesi dan diskusi, USD menunjukkan komitmennya untuk memperkuat jaringan global pendidikan tinggi Jesuit dan menghadirkan pendidikan yang transformatif, kontekstual, serta berdampak sosial.     Salah satu sesi pleno IAJU 2025 di Javeriana Pontifical University, Bogota, Kolombia ini, secara khusus mengangkat tema tantangan sekularisme bagi pendidikan tinggi Katolik, sebuah tantangan yang kompleks dan semakin nyata. Rektor USD, Pater Bagus, tampil sebagai panelis dalam sesi bertema “Contextual Intercultural Engagement.” bersama dengan Mgr Carlo Maria Polvani,  Sekretaris pada Dikasteri untuk Budaya dan Pendidikan, dan Dewan Kepausan untuk Budaya, Tahta Suci.    Sekularisme dan sekularisasi terjadi dalam pelbagai bentuk yang tidak sama dan seragam dalam pelbagai konteks. Msgr Polvani menekankan peran terdepan dan  strategis dari  universitas Katolik untuk  berhadapan langsung dengan fenomena sekularisasi. Beliau mengajak para peserta untuk mempelajari dengan seksama gejala dan tantangan sekularisme pada konteks masing-masing, juga bagaimana  agama menghadapi sekularisasi.   Dalam tanggapannya, Pater Bagus menjelaskan bahwa sekularisasi di Indonesia memiliki dinamika yang berbeda dengan di Barat. Di Indonesia, terutama di kalangan muda perkotaan, ada kecenderungan mengambil jarak dari institusi agama, namun tanpa sepenuhnya meninggalkan pencarian makna spiritual. Identitas keagamaan menjadi lebih cair, terbuka, dan sering kali hibrid, seiring dengan tumbuhnya budaya plural dan tantangan global.   “Fenomena ini menantang kita untuk menghadirkan wajah agama yang otentik, terbuka, dan kontekstual—bukan yang kaku dan menghakimi, tetapi yang mendampingi dan menumbuhkan,” ujar Pater Bagus.     Menurutnya, tantangan utama bukan datang dari represi terhadap iman Katolik, tetapi dari melemahnya nilai-nilai Katolik dalam kehidupan publik. Pengaruh mekanisme pasar, sistem pendidikan yang kompetitif, serta tawaran budaya instan menjadi kekuatan sekular yang perlahan mengikis nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan spiritualitas dalam masyarakat.   Pater Bagus menawarkan pendekatan berbasis human flourishing atau perkembangan manusiawi sebagai kerangka alternatif yang menyatukan aspek religius, etis, dan sosial secara kreatif. “Human flourishing memberi jalan bagi kita untuk tetap relevan di tengah pluralitas dan sekularisasi, sekaligus menghidupi misi Jesuit untuk membentuk pribadi yang berpikir kritis, peduli, dan terbuka terhadap yang lain,” ungkapnya.   USD sendiri telah mengintegrasikan kerangka human flourishing dalam tridarma perguruan tinggi, antara lain melalui kerja sama dengan Australian Catholic University (ACU) dan Universitas Gadjah Mada. Sebuah konferensi internasional tentang topik ini baru saja digelar di kampus ACU di Roma, menghadirkan peneliti dari Harvard, Baylor University, dan delegasi pemerintah Indonesia.   Pater Bagus juga menekankan peran penting universitas Jesuit seperti USD dalam menciptakan ruang dialog antarbudaya dan antariman, mendampingi mahasiswa dalam pencarian makna hidup, serta membentuk kepemimpinan publik yang berakar pada keadilan dan belas kasih. Dalam konteks ini, sekularisasi tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperbarui iman dan spiritualitas secara otentik dan kontekstual.     Selama empat hari pelaksanaan, IAJU Assembly 2025 membahas berbagai isu penting lainnya seperti dampak kecerdasan buatan terhadap pembelajaran, keadilan lingkungan sebagai respons terhadap penderitaan bumi dan kaum miskin, serta kesejahteraan mental mahasiswa melalui pendekatan spiritualitas Ignasian. Selain itu, para peserta juga berdiskusi tentang isu migrasi, pengungsi, kolaborasi jejaring antaruniversitas Jesuit, serta tantangan demokrasi dan identitas di tengah dunia yang semakin kompleks.   Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 menegaskan perannya sebagai bagian dari Association of Jesuit Colleges and Universities Asia Pacific (AJCU-AP). Menurut Wakil Rektor Caecilia Tutyandari, keikutsertaan ini mencerminkan komitmen jangka panjang USD dalam membangun pendidikan yang yang menjadi ruang formasi integral yang mendorong kolaborasi internasional.   “Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 merupakan bagian dari komitmen jangka panjang universitas dalam mengembangkan pendidikan yang holistik dan transformatif, memperkuat identitas Jesuit-Katolik dalam konteks Indonesia, berkontribusi pada solusi global melalui pendidikan tinggi, dan membangun solidaritas dengan universitas Jesuit sedunia,” ungkapnya.   IAJU Assembly 2025 diharapkan menghasilkan penguatan visi bersama pendidikan tinggi Jesuit global, strategi konkret menghadapi tantangan zaman, dan perluasan jaringan kolaborasi lintas negara dalam bidang pendidikan dan riset. Momentum ini semakin mengukuhkan USD sebagai salah satu universitas Jesuit terkemuka di Asia Tenggara yang terus berkontribusi dalam membangun dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh harapan.   Kontributor: Antonius Febri Harsanto – Humas Universitas Sanata Dharma

Karya Pendidikan

Dari Ragu Menjadi Percaya

Pada 25–26 April 2025, saya mengikuti kegiatan rekoleksi gabungan kelas X angkatan 38 dan kelas XI angkatan 37 SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Kegiatan ini bertujuan untuk merenungkan kembali perjalanan hidup kami, memperdalam relasi dengan Tuhan, dan mempererat hubungan antar teman.   Saat pertama kali mendengar berita mengenai rekoleksi, saya merasa senang karena rekoleksi kali ini akan menginap di sekolah. Meski demikian, beberapa teman sepertinya kurang suka jika kegiatan ini menginap. Namun saya juga merasa kurang antusias karena saya khawatir tidak bisa bekerjasama dengan adik kelas.    Dinamika Kelompok Dalam rekoleksi kali ini saya masuk ke dalam kelompok yang beranggotakan 9 siswa dari total 20 kelompok. Dalam dinamika pembagian tugas, saya mendapat bagian membawa panci. Selama rekoleksi kami diwajibkan untuk menyiapkan sendiri kebutuhan untuk makan dan minum. Sebelum berangkat saya sedikit cemas karena dalam kelompok tidak ada yang memilih membawa kompor. Namun setelah sampai di sekolah sudah ada teman yang membawa kompor walaupun saya tidak tahu siapa yang membawanya.   Arti Kemenangan Tema rekoleksi tahun ini adalah “Melangkah Bersama di Jalan Harapan”. Sesi pertama rekoleksi kali ini Pater Yohanes Adrianto, S.J. menerangkan tentang “Kisah Kemenangan”. Beliau menjelaskan bahwa kemenangan bukan hanya tentang sesuatu yang besar seperti juara lomba, juara kelas atau memenangkan olimpiade. Kemenangan bisa diraih juga dari sesuatu yang kecil seperti berhasil berdamai dengan masa lalu yang buruk, berhasil mengontrol emosi, atau berhasil melawan rasa malas. Saya pun mengingat-ingat kembali kemenangan kecilku, yaitu saya berhasil melawan rasa malas untuk melakukan eksperimen setelah menyelesaikan bab kedua karya ilmiah. Kemenangan yang lainnya saya sekarang lebih rajin beribadah atas keinginan sendiri. Sekarang saya sudah sidi dan masuk Persekutuan Anggota Muda (PAM) di gereja.    Belajar dari Kegagalan Kegagalan adalah kondisi ketika suatu usaha atau rencana tidak mencapai hasil yang diharapkan. Setiap manusia pasti pernah mengalami yang namanya kegagalan, lalu banyak orang yang merasa kehilangan motivasi atau merasa sedih sehingga tak ingin mencoba lagi. Tapi tak sedikit juga yang menjadikan kegagalan sebagai motivasi untuk berusaha lebih keras lagi, itulah poin penting dari materi pada sesi kedua, kegagalan.    Kegagalanku adalah gagal melawan rasa malas, cara saya berusaha menghadapi rasa malas ini dengan melakukan berbagai kegiatan seperti mengerjakan tugas, bermain di luar rumah, atau membantu orang tua di rumah. Kegagalan yang lain adalah saya dalam pelajaran matematika sehingga saya cukup kecewa. Dan saat ini saya memilih untuk fokus mempelajari pelajaran lain yang lebih saya kuasai daripada matematika.    Memperbaiki Diri Sesi ketiga kami belajar mengenai memperbaiki diri. Untuk menjadi lebih baik kita perlu memperbaiki sesuatu agar hasilnya bisa lebih maksimal. Saya memperbaiki kebiasaan scrolling HP selama berjam-jam salah satunya dengan berkegiatan di luar rumah agar tak terfokus ke HP.   The Boy Who Harnessed the Wind Pada sesi keempat, kami menonton film The Boy Who Harnessed the Wind. Film ini memberi pesan penting mengenai peran keberanian, kegigihan dan kemauan untuk mencapai hidup yang lebih baik. Setelah menonton, kami diberi kesempatan untuk berefleksi pribadi di area kolese Le Cocq dengan membawa sebatang lilin.   Malam itu, hanya lilinlah yang memberi terang dan menjadi teman. Saya merasakan perasaan yang damai saat menulis, meski angin yang terus bertiup membuat lilinku sering hampir mati. Setelah berdinamika pribadi, kami berkumpul sambil membawa lilin lalu berdoa bersama. Seru dan damainya kegiatan di hari itu kami tutup dengan istirahat di ruang-ruang kelas. Awalnya saya kesulitan tidur, tapi akhirnya saya bisa tidur lelap setelah seharian yang melelahkan.   The Village of Hope Keesokan harinya, Sabtu 26 April 2025, kami bangun sekitar pukul 04.30 WIT untuk memulai memasak sarapan pagi dan berganti pakaian untuk kegiatan luar sekolah. Kami diutus dengan misi yang berbeda-beda dengan hanya diberi amplop yang berisi lokasi dan aktivitas yang dilakukan. Kelompokku mendapat misi harus ke tempat bernama “The Village of Hope” lalu mencari tempat ibadah, menggambar tempat tersebut dan menyanyikan dua lagu bertema Paskah. Kami langsung tahu “The Village of Hope” adalah Kampung Harapan dan segera menuju ke sana. Awalnya saya dan beberapa teman ragu memilih jalan yang harus kami lewati, tapi akhirnya kami mendapati Gereja GBI Pondok Daud. Kami pun sempat salah paham dengan  misinya yang tertulis “Mintalah seseorang untuk menggambar” sehingga kami berpikir orang yang menggambar adalah orang di luar kelompok sehingga kami meminta orang di situ untuk menggambar gerejanya. Untunglah mereka mau menerima permintaan kami, lalu kakaknya mulai menggambar dan kami menyanyikan  dua lagu bertema paskah.    Berbagi Kami lanjut sharing di dalam aula mengenai pengalaman menjalankan misi. Perutusan kami tadi beragam, ada yang ke Pantai Nabire, Taman Gizi, Kantor Pos, Goa Maria KSK, Tugu Nabire Hebat, dll. Ternyata ada yang seharusnya ke Masjid Al Falah hanya saja mereka gagal karena memang misinya cukup sulit. Saya merasa gembira karena boleh menerima misi khusus dan belajar menjalani misi itu dengan baik. Tidak semua misi itu mudah, tetapi mencobanya sepenuh hati itu penting. Dan yang tidak kalah penting juga adalah berani berbagi agar sesama bisa belajar dari setiap kisah yang ada. Karena setiap misi memiliki kisahnya sendiri-sendiri.   Rahmat yang Mengejutkan Dari rekoleksi ini saya belajar banyak hal, mulai dari kerja sama, kebersamaan, motivasi-motivasi, dan sebagainya. Saya tidak menyangka rekoleksi kali ini akan menyenangkan, saya dapat mengenal adik kelas dan bahkan teman seangkatan yang belum terlalu dikenal sebelumnya. Saya awalnya ragu dengan kelompokku sendiri. Saya berpikir kelompok 11 tidak akan kompak, ternyata tidak. Setelah dijalani ternyata mereka cukup menyenangkan dan bisa diandalkan khususnya urusan memasak. Saya mengalami banyak perasaan, ya senang, sedih, bosan, dan sebagainya. Dari yang awalnya ragu, kini saya semakin percaya. Melalui rekoleksi ini saya merasa lebih mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, lebih terbuka, dan tidak boleh berprasangka buruk ke orang lain sebelum mengenal dan  melihatnya lebih dekat.   Kontributor: Gracia Tawa Buntu – Siswi Kelas XI 2 SMA YPPK Adhi Luhur Kolese Le Cocq d’Armandville

Karya Pendidikan

Kolaborasi Ilmiah, Upaya Merawat Ibu Bumi Rumah Kita

Mengacu pada program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) SD Kanisius Tlogosari Kulon pada semester II tahun ajaran 2024/2025, kami,  SD Kanisius Tlogosari Kulon, mengambil tema Gaya Hidup Berkelanjutan dengan judul projek Bijak Mengelola Sampah. Tidak lepas dari Capaian Pembelajaran (CP) diantaranya adalah peserta didik mengamati, menyelidiki fenomena hubungan ketergantungan antara komponen biotik-abiotik yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu ekosistem di lingkungan dan merefleksikan perubahan kondisi alam yang terjadi akibat faktor alam maupun perbuatan manusia. Dan diselaraskan juga dengan Universal Apostolic Preferences (UAP), yaitu merawat ibu bumi rumah kita. P5 ini kami buat berjenjang dan berkelanjutan menjadi tiga fase sebagai berikut: Fase A kelas 1-2 pemilihan bahan ramah lingkungan untuk bungkus makanan, Fase B kelas 3-4 pengolahan sampah menjadi kompos dan eco enzyme, dan Fase C kelas 5-6 memanfaatkan eco enzyme menjadi sabun cair layak pakai dan layak jual.    Kondisi lingkungan di sekitar sekolah serta kebiasaan warga sekolah maupun warga lingkungan sekitar yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, menjadi latar belakang dalam menentukan tema P5 dan melakukan aksi tersebut.    Proses P5 dilalui oleh peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon dengan membuat eco enzyme, memanennya, menuangkannya secara rutin di selokan belakang sekolah, menjadikannya sabun cair eco enzyme dan beberapa kali mendapat kesempatan mengedukasi warga sekitar sekolah dengan mendemonstrasikan pembuatan eco enzyme.      Eco enzyme adalah cairan fermentasi yang terbuat dari campuran air, molase, dan kulit buah dengan perbandingan 10:1:3 yang difermentasi selama 3 bulan, merupakan produk alami yang ramah lingkungan. Setelah 3 bulan, eco enzyme siap dipanen. Pembuatan Eco enzyme adalah salah satu solusi untuk mengurangi permasalahan lingkungan di lingkungan sekitar sekolah. Para guru tahu bahwa banyak peserta didik tidak suka dengan kegiatan membuat dan memanen eco enzyme, karena malas kotor dan baunya yang tidak sedap.   “Sedekah Alam” itulah sebutan aksi peduli kami pada ibu bumi. Dengan menuangkan eco enzyme ke selokan sekitar sekolah yang bau dan mampet, ke polder Dempel dan sungai Tlogosari yang sangat keruh dan berminyak. Selain dituang ke selokan, ampas panenan eco enzyme digunakan untuk memupuk pohon-pohon (pohon sukun dan mangga) di sekolah sehingga dapat menghasilkan banyak buah sukun dan mangga yang bisa dinikmati bersama satu sekolah. Selain itu sebenarnya eco enzyme dapat digunakan untuk mencuci pakaian, disinfektan, pembersih lantai dan bantal terapi. Tetapi masih ada keengganan menggunakannya karena aroma dan proses pembuatannya yang membuat jijik. Padahal masih ada bergalon-galon eco enzyme dan sabun cairnya yang siap digunakan. Perlu meyakinkan pada peserta didik serta guru dan karyawan agar tidak enggan menggunakan eco enzyme yang ramah lingkungan itu. Oleh karena itu para siswa kelas V diajak sebagai agen kelestarian lingkungan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan ini di SMA Kolese Loyola dengan melakukan penelitian ilmiah.    Para guru membiasakan diri untuk membekali para siswa dengan pengetahuan awal sebelum mereka diajak berkunjung ke tempat yang mendukung materi tersebut. Ide awal sebenarnya keinginan untuk berbagi pengetahuan tentang eco enzyme. Hal ini disampaikan ke pihak SMA Kolese Loyola melalui Pater Ferdinandus Tuhujati Setyoaji, S.J., Kepala SMA Kolese Loyola, yang kemudian ditanggapi dengan persiapan matang sehingga ide yang sederhana ini menjadi sesuatu yang lebih luas serta mendalam. Ini kali keduanya kami berkolaborasi ilmiah.    MAGIS, ini yang hal dirasakan. Rencana awal hanya menyiapkan beberapa peserta didik saja yang menjadi narasumber dalam presentasi dan demonstrasi membuat sabun eco enzyme. Namun SMA Kolese Loyola justru meminta semua anak harus terlibat. Semua peserta didik harus mengalami hal yang sama (bukan hanya beberapa anak saja yang dipilih untuk presentasi). Sebanyak 87 peserta didik dibagi menjadi 20 kelompok dan mereka diminta masuk ke 20 kelas X dan XI membagikan pengalaman ekologis yang dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon.      Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, Kamis, 22 Mei 2025,  pukul 06.30 WIB peserta didik sudah siap di sekolah untuk menuju SMA Kolese Loyola. Deg-degan  itu pasti, karena mereka harus bisa mengingat bahan bicara untuk presentasi di depan kakak-kakak nanti. Ini pengalaman yang tak terlupakan. Sesampai di SMA Kolese Loyola, rasa takut itu musnah, karena sambutan kakak-kakak yang luar biasa, sangat ramah, sangat menghargai dengan mendengarkan apapun yang disampaikan adik-adik saat sharing. Meskipun adik-adik ini tampak malu dan grogi tetapi tepuk tangan dan kata-kata positif kakak-kakak membuat adik-adik ini makin suka cita dan percaya diri.   Ibu Etik Maharani, DP. dan Bapak Reynhard Louis Dermawan selaku koordinator kegiatan dari SMA Kolese Loyola dibantu oleh 25 orang murid dan 7 orang guru fasilitator menyiapkan materi ilmiah dengan mengajak peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon melakukan praktikum fermentasi, ecoprint dan membuat lotion anti nyamuk berbahan alami. Materi yang diberikan oleh SMA Kolese Loyola menguatkan project ekologis yang telah dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon. Hal ini sejalan dengan UAP (Universal Apostolic Preferences) – Merawat Ibu Bumi rumah kita dan mendukung gerakan Gaya Hidup Berkelanjutan.    Pendidik hendaknya tidak hanya menjejali peserta didik dengan soal-soal hafalan. Sebaliknya, pendidik juga perlu menanamkan kepedulian pada lingkungan, dengan peka menemukan permasalahan lingkungan, mencari solusinya, dan melakukan aksi nyata. Santo Fransiskus Asisi mengajarkan pada kita untuk menghormati alam ciptaan Tuhan dan menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara. Dengan mencintai alam, kita dapat menemukan Tuhan dalam keagungan-Nya.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Karya Pendidikan

Keberanian di Tengah Keraguan

Kita tidak pernah sungguh-sungguh siap menghadapi pengalaman pertama. Seperti yang dilakukan oleh para calon pengurus ORSIKA (Organisasi Siswa PIKA) pada Jum’at, 16 Mei 2025 lalu, kedua belas calon pengurus tersebut menjalani masa pembekalan yang unik. Mereka berdiri di tengah keramaian lalu lintas yang padat pada sore hari, mengambil pengeras suara (TOA), dan mulai berbicara di depan orang asing dalam waktu kurang dari satu menit untuk mendengarkan. Mereka diminta untuk melakukan orasi dadakan di lampu merah. Apa yang awalnya mereka kira sebagai latihan berbicara di depan umum, ternyata malah menjadi momen reflektif tentang seorang pribadi dalam menghadapi ketakutan, mengatasi overthinking, dan menemukan makna tentang pentingnya keberanian.   Mengatasi Ketakutan dan Pikiran Sendiri Saking gugupnya, salah seorang peserta bernama Evelyn sampai mengucapkan ‘selamat pagi’ pada saat membuka orasi di depan para pengendara, padahal ia melakukan itu sore hari. Meski salah, ia mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga menemukan bahwa keberanian bukan hanya soal lancar berbicara, tetapi soal mengambil langkah pertama. Ia menyadari bahwa lingkungan berpengaruh besar dalam mendorong tindakannya – bukan hanya niat pribadi. Ketika ada seseorang yang mendukungnya untuk maju, maka ia hanya perlu terus melanjutkan apa yang sedang dilakukan.    Peserta lain bernama Galuh pun merasakannya pula. Ia menemukan bahwa seringkali ia membayangkan risiko-risiko terlebih dahulu seperti takut dimarahi karena salah berbicara. Namun, ketika orasi, tidak ada yang memarahinya. Hal ini membuatnya tampil percaya diri.    Sebagai orang pertama tampil, peserta bernama Saka merasakan lemes, panik, dan malu karena merasa ditertawakan oleh orang-orang. Namun ia kemudian belajar bahwa overthinking semacam itu hanya menghambat. Keberanian justru muncul setelah seseorang melewati perasaan-perasaannya sendiri. Pengalaman pertama harus dialami agar seseorang bisa belajar mengelola perasaan dan pikirannya sendiri.     Percaya Diri Tidak Hadir Begitu Saja Tidak ada orang yang tidak ingin tampil percaya diri. Orasi ini mengajarkan bahwa percaya diri itu tidak datang begitu saja. Meski sudah mempersiapkan materi dengan baik, seorang peserta bernama Isa malah blank. Ia belajar bahwa penguasaan diri dan ketenangan tidak datang secara instan, melainkan melalui latihan. Dengan mengalami sendiri, ia menemukan bahwa terkadang “apa yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataannya.”    Refleksi tersebut ternyata juga dirasakan oleh Vania. Awalnya ia mengira bahwa semua akan memalukan, tetapi ketika melihat penampilan teman-temannya yang berusaha untuk tampil percaya diri, ia terdorong pula untuk mencoba. Menurutnya, kemauan dari dalam dan lingkungan yang positif adalah kunci untuk bisa berkembang.    Kevin menyebutkan bahwa pengalaman ini mengubah cara pandangnya tentang kebutuhan akan ‘orang yang dikenal’ saat berbicara di depan umum. Meski awalnya merasa bahwa ia hanya bisa berbicara di depan umum ketika ada orang yang ia kenal, ternyata ia pun bisa bicara bahkan di antara orang asing. Peserta lain bernama Kenzi pun menambahkan bahwa pikiran yang tidak-tidak bisa menghambat kemajuan diri.    Membebaskan Diri dari Label dan Ekspektasi Dari hasil sharing, banyak peserta menceritakan bahwa seringkali mereka ragu karena label yang mereka lekatkan pada diri sendiri. Salah satu peserta bernama Joy mengaku bahwa pengalaman pendiam dan menahan apa yang ia ungkapkan saat SD membuatnya menyadari bahwa ia adalah seorang ‘introvert’. Label ini menjadi batas sehingga mekanisme pertahanan diri ini muncul ketika dihadapkan pada rasa tidak nyaman. Dengan bicara spontan saat mengutarakan pendapat ia malah menjadi berani dan merobohkan label yang ia buat.   Peserta lain bernama Brigitta menambahkan bahwa ia mengalami pembebasan dari belenggu ekspektasi orang lain. Ia belajar untuk tidak takut pada pandangan orang lain dan merasa lega karena bisa total tanpa takut dianggap aneh. “Berani tidak disukai justru membebaskan diri,” katanya.   Gio, salah satu peserta, mengingat pengalamannya dahulu saat ia masih pemalu dan membuatnya gagal masuk SMA impiannya. Namun, berkat orasi ini, ia menyadari bahwa ternyata ia pemberani. Ia membuktikan bahwa ternyata Gio bisa lebih percaya diri dan mulai meninggalkan ketakutannya yang dulu karena salah bicara yang sempat membuatnya malu.   Pentingnya Komunitas dan Dorongan dari Sekitar Pengalaman orasi di tengah jalan ini mengajarkan betapa berpengaruhnya lingkungan di sekeliling kita. Jenifer yang punya pengalaman mudah merasa overthinking dan takut dianggap aneh, bisa belajar bahwa orang lain tidak akan terus-menerus mengingat apa yang sudah kita lakukan. Ia merasa disembuhkan oleh kesadaran baru ini dan yakin bahwa tampil di depan umum bukan hal yang memalukan melainkan sesuatu yang bisa dibanggakan.    Dengan jujur, Mulky juga mengakui bahwa meski tidak semua yang telah ia persiapkan dapat tersampaikan dengan baik, ia tidak patah semangat. Dukungan dari teman-temannya membuat ia memiliki semangat dan kekuatan. Ia pun turut menyemangati dan mendukung teman-teman yang lain untuk menemukan potensi yang mereka miliki.    Kesimpulan: Dari Trotoar Menuju Panggung Kepemimpinan Meski hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit, ternyata pengalaman orasi berdampak cukup besar dan dalam bagi para calon pengurus ORSIKA. Masing-masing calon pengurus ini menemukan sesuatu yang baru dari dirinya sendiri seperti keberanian, ketenangan, spontanitas, dan penerimaan diri. Bukan hanya soal tampil dan bicara di depan umum, tetapi mereka belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain.    Dari kedua belas orang tersebut, dari rasa takut hingga rasa syukur, pengalaman ini menjadi awalan baik untuk belajar menjadi pemimpin yang berani. Seorang pemimpin bukan orang yang tidak takut, tetapi orang berani bertindak meski takut. Mereka ingin belajar memimpin bukan karena mampu, tetapi karena berusaha setia pada tugas yang diberikan. Dari lampu merah sore itu, calon pemimpin muda ini telah menunjukkan kita sebuah pertanda bahwa mereka siap untuk melangkah lebih jauh, bukan untuk menjadi pandai berbicara, tetapi membawa pengaruh positif bagi komunitasnya.    Kontributor: Sch. Y. K. Septian Kurniawan, S.J.

Karya Pendidikan

G-REFLEX sebagai Perayaan Pengalaman Belajar

Alunan lagu “Viva La Vida” yang dimainkan oleh Gonzaga Big Band Orchestra mengiringi pembukaan Gonzaga Reflective Learning Experience Exhibitions atau G-REFLEX, yang ditandai dengan pencampuran serbuk Kalium Permanganat (KMnO4) ke dalam larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) oleh Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo SJ., M.Ed., hingga menimbulkan keluarnya asap dari sebuah miniatur gunung untuk  menggambarkan ledakan pemikiran-pemikiran yang siap diluncurkan. Kegiatan G-REFLEX yang berupa presentasi-presentasi karya tulis dan pameran infografis ini dilaksanakan pada 18-21 Maret 2025, dihadiri para orang tua siswa, para guru, dan siswa dari sekolah lain, perwakilan dari dinas pendidikan, dan akademisi dari perguruan tinggi.   Berlatih Melihat Fenomena dan Menemukan Masalah Pada pertengahan bulan Agustus 2024, siswa kelas XII SMA Kolese Gonzaga mulai berproses menyusun karya tulis yang digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program ini merupakan program yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, namun terus ditingkatkan kualitasnya berdasarkan evaluasi-evaluasi pada setiap akhir pelaksanaannya. Untuk tahun pelajaran 2024/2025, program karya tulis siswa angkatan XXXVI Kolese Gonzaga yang berjumlah 289 orang dan terbagi menjadi 90 kelompok ini mengambil tema utama Universal Apostolic Preferences (UAP) dari Serikat Jesus. Mereka menyusun karya tulis dengan memilih topik yang berkaitan dengan Showing the way to God,  Walking with the Excluded, Journeying with Youth, maupun Caring for our Common Home. Selain itu, sekolah juga membuka peluang bagi para siswa untuk memilih topik yang berkaitan dengan Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM). Setiap kelompok didampingi oleh seorang guru pembimbing sehingga ada 54 orang guru yang berperan sebagai guru pembimbing.    Meskipun banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita, namun tidaklah mudah untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah dalam fenomena-fenomena tersebut. Soegiyono Tuckman, seorang penulis buku metode penelitian, menyatakan bahwa jika seorang calon peneliti telah berhasil menemukan masalah penelitiannya, maka 50% pekerjaan penelitian sudah selesai. Hal tersebut menekankan betapa krusialnya  proses mengidentifikasi masalah. Pada proses ini tentu arahan dan bimbingan para guru sangat dibutuhkan siswa. Siswa dibimbing untuk berlatih berpikir kritis melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara norma dan kenyataan, antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya terjadi, antara teori dan praktik. Literasi menjadi kunci awal membuka pemikiran dan wawasan siswa agar lebih tajam dalam menilai persoalan.       Praktik Cura Personalis Dalam Pendampingan Karya Tulis Selama kurang lebih enam bulan para siswa berdinamika bersama guru pembimbing, ada banyak diskusi yang terjadi. Para guru pembimbing dalam proses ini tidak hanya membimbing teknis penulisan, metodologi ataupun mengarahkan dari sisi pengetahuan, namun lebih dari itu, pembimbing harus lebih mengenal siswa yang dibimbing, lebih memahami karakter, kelebihan, dan kelemahannya sehingga lebih mengerti kebutuhan setiap siswa. Ada siswa yang sangat tinggi inisiatifnya, terampil mencari literatur, dan rajin. Ada siswa yang perlu dimotivasi untuk berkontribusi dalam penulisan, sulit bekerja sama, dan ada pula yang memiliki hambatan-hambatan khusus seperti permasalahan pribadi maupun gangguan kesehatan.    Rangkaian bimbingan karya tulis ini seakan menjadi retret panjang. Guru sebagai individu dewasa, berperan sebagai fasilitator yang harus terus belajar memahami dan mengarahkan, sementara siswa sebagai retretan dibimbing hingga sampai tahap reflektif dan menemukan Tuhan dalam pergulatannya berproses menyusun karya tulis. Saat suatu kelompok mengangkat permasalahan tentang prokrastinasi yang berawal dari keprihatinannya pada  budaya last minutes di kalangan gen Z, tentu saja kelompok yang juga beranggotakan gen Z ini, mengalami pergulatan, apakah mereka juga sering menunda-nunda tugas, lalu bagaimana seharusnya anak muda berkomitmen untuk tidak membuang-buang sumber daya waktu? Sementara itu, beberapa kelompok mengangkat permasalahan yang berhubungan dengan konsumerisme, baik budaya fast fashion, gaya hidup, pola makan, maupun pembelian impulsif yang terjadi karena perkembangan digital marketing serta peer pressure.  Ada pula kelompok yang menulis tentang kepedulian anak zaman sekarang terhadap lansia, dengan melihat fenomena yang terjadi pada orang-orang tua yang kesepian, sementara anak-anak yang sudah mereka bekali dengan pendidikan tinggi sibuk dengan karir dan pekerjaannya.    Persoalan kepedulian lingkungan, kesadaran politik, pengabaian Gen Z di dunia kerja, ancaman judi online, kebiasaan merokok, dan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi pada Gen Z mewarnai presentasi-presentasi karya tulis saat G-REFLEX. Latisha, seorang siswi muslim, membagikan pengalaman saat dirinya mencari literatur dan kemudian membaca tentang UAP serta ensiklik Laudato Si. Ia semula bingung karena ada banyak istilah-istilah agama Katolik, namun hal itu membuatnya penasaran dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami dunia melalui perspektif yang berbeda. Ketika Ia mulai memahami konsepnya, Ia menemukan ada hal-hal yang mirip dengan ajaran Islam, tentang nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian lingkungan. Para siswa yang memilih topik-topik STEAM, mempresentasikan karya tulis mereka setelah berproses dengan kerja laboratorium, untuk mencari solusi penanganan limbah ataupun membuat suatu produk olahan makanan. Ada  pula siswa yang menulis studi kasus berdasarkan pengalaman dirinya, berjuang menghadapi sakit yang menghambat kehidupan akademik dan sosialnya, serta pergulatan imannya untuk terus berpengharapan. Permasalahan-permasalahan ini sangat kontekstual dan benar terjadi di dalam diri mereka sendiri atau di lingkungan sekitarnya. Demikian diharapkan tema G-Reflex “Non scholae, sed vitae discimus” yang berarti kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup, diharapkan benar-benar dihayati oleh seluruh komunitas terutama para siswa.     Puncak Pengalaman Belajar Penilaian yang dilakukan sekolah dalam proses penyusunan karya tulis dan G-REFLEX ini meliputi penilaian terhadap jurnal yang disusun, pembuatan infografis dan roda ilmu pengetahuan, penilaian keterampilan berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat dalam presentasi baik bagi presenter maupun audience (kelas X dan XI), serta penilaian sikap siswa selama berproses. Para siswa kelas X juga dilibatkan sebagai Liaison Officer (LO), sementara kelas XI juga dilibatkan sebagai notulis, sedangkan yang berperan sebagai moderator diskusi adalah para siswa kelas XII. Para orang tua siswa yang hadir juga diberi kesempatan bertanya ataupun memberikan masukan. Ada banyak momen yang mengharukan saat orang tua mengapresiasi anak mereka sendiri ataupun momen lucu ketika orang tua memberikan pertanyaan yang menantang kepada anaknya.     Kegiatan penulisan karya tulis diharapkan juga mendukung kesiapan para siswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Iceu Rufiana, M.M., M.Si. selaku Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan Jakarta Selatan, setelah menyaksikan jalannya kegiatan. Beliau menyampaikan kesesuaian kegiatan ini dengan kurikulum yang sedang berjalan, yang menekankan deep learning, lebih mendalam dalam mempelajari sesuatu, dengan penuh kesadaran (mindful), lebih reflektif sehingga bermakna (meaningful), lebih holistik, dan dijalani dengan gembira (joyful). Beliau

Karya Pendidikan

“Pulang ke Rumah”

Tahun 2024 menjadi perjalanan yang sangat berharga bagiku. Aku kembali ke tempat penuh kenangan, tempat yang memberiku ilmu dan membentukku menjadi seperti sekarang. Meski demikian, kini aku datang dengan peran yang berbeda. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku bisa kembali ke tempat itu, terlebih sebagai calon guru.   Rasanya aneh berada di sekolah yang sama, bertemu dengan guru-guru yang dulu kupanggil Bapak dan Ibu guru, kini aku dipanggil dengan sebutan Bu guru, bukan nama panggilan saja. Tempat itu bernama SMA YPPK Adhi Luhur atau Kolese Le Cocq d’Armandville. Saat masih menjadi siswa, aku merasakan bagaimana sekolah ini menerima setiap siswa tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada perbedaan di antara teman-teman, aku tidak pernah merasa terasing. Pengalaman ini membentuk rasa banggaku terhadap sekolah yang tidak hanya memberikan pendidikan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap sesama.   Keraguan dan Pertanyaan Tentu saja, perjalanan untuk menempuh pendidikan di sekolah ini tidaklah mudah. Aku dan keluargaku sempat menghadapi banyak pertanyaan dan keraguan dari masyarakat. Sebagai seorang Muslim yang memilih bersekolah di persekolahan Katolik, aku sempat mendapat banyak pertanyaan. “Apakah kamu siap bersekolah di sekolah Katolik ? Apakah kamu tahu peraturan di dalamnya? Apakah kamu siap melepas hijabmu? Apakah kamu siap terasing?”, merupakan pertanyaan yang sering terdengar.      Meski banyak yang meragukan keputusanku, aku bersyukur memiliki orang tua dan kakak-kakak yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Mereka mendukung pilihanku sepenuhnya dan meyakinkanku bahwa apapun yang dikatakan orang lain hanyalah sebuah pendapat yang belum tentu benar dan untuk mengetahuinya aku harus mengambil jalan tersebut dengan penuh keyakinan. Pesan mereka melekat di sanubari dan menjadi pegangan bagiku untuk melangkah tanpa ragu. Keputusanku terbukti tepat.     Keyakinan yang menjadi Kenyataan Selama bersekolah di Kolese Jesuit ini, aku selalu diperlakukan dengan adil dan mendapatkan hak yang sama seperti teman-teman lain. Aku dapat mengikuti berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik tanpa diskriminasi. Para Romo, Frater, Bruder, Bapak Ibu guru, Bu TU, Pak de Argo (tukang bersih sekolah) hingga teman-teman selalu menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai. Aku tidak pernah dipaksa untuk mengubah keyakinanku. Meskipun mengikuti pelajaran agama Katolik, aku tidak pernah dipaksa berdoa dengan cara yang berbeda dari keyakinanku. Justru, di sekolah ini aku belajar tentang nilai-nilai toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai perbedaan.    Mengenal Katolik Melalui sekolah ini, aku mulai mengenal dan memahami konsep-konsep dalam agama Katolik, seperti misa, komuni, altar, dll. Aku juga belajar membaca Alkitab. Aku juga mengikuti praktik mengajar sekolah minggu yang bukan memiliki tujuan untuk mengubah keyakinanku, tetapi sebagai bagian dari pemahaman terhadap agama lain. Aku bersyukur karena semua ini memperkaya wawasan dan membentuk cara berpikirku agar lebih luas. Sekolah ini juga tidak berfokus pada doktrin agama tertentu, melainkan lebih menekankan nilai-nilai seperti kasih, rasa hormat, dan menghargai.    Salah satu hal yang aku pelajari dari sekolah ini adalah semua nilai dari 4C yaitu, Competence, Compassion, Conscience, dan Commitment. Lewat keempat nilai itu, aku belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang kepintaran secara akademik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang dapat memanusiakan manusia lain.      Asistensi Mengajar Pada bulan Juli hingga Desember 2024 lalu, aku kembali ke SMA YPPK Adhi Luhur sebagai bagian dari program kampus yaitu Asistensi Mengajar. Ini adalah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi asisten pengajar di perguruan tinggi atau sekolah menengah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengajar mahasiswa, memperkaya pengalaman akademik, dan membantu dosen atau guru dalam proses pembelajaran.    Jika dulu sebagai siswi aku ke sekolah tanpa menggunakan hijab, kini aku datang dengan penampilan berbeda, mengenakan hijab. Kendati demikian, sambutan yang kuterima tetap sama seperti saat aku menjadi siswi, yaitu penuh kehangatan, penuh kasih, dan penuh toleransi. Aku juga diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengajar di semua kelas X, mendampingi ekstrakurikuler, mendampingi kepanitiaan acara sekolah, dan bertemu dengan siswa-siswi yang luar biasa.    Nilai yang Terjaga Salah satu siswa yang menarik perhatianku adalah Asyaidah, satu-satunya siswa muslim di angkatannya, sama sepertiku dulu. Aku memperhatikannya dan melihat bahwa perlakuan yang ia terima sama seperti yang dulu kuterima selama bersekolah di sini. Hal tersebut merupakan bukti bahwa semangat toleransi di Kolese Jesuit di ujung timur Indonesia ini tetap terjaga dari generasi ke generasi.   Dalam perjalananku belajar sebagai calon guru, aku tidak hanya belajar dari para Romo, Frater, dan Bapak/Ibu guru, tetapi juga dari siswa-siswi yang memiliki semangat luar biasa dalam belajar. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan memiliki sikap saling membantu serta mendukung yang begitu kuat. Dari mereka, aku belajar bahwa seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar baik dari guru lain maupun dari siswanya.     Bertumbuh Saat program asistensi mengajar hampir berakhir pada pertengahan Desember, aku merasa banyak hal yang kudapat dari pengalaman ini. Sekolah ini telah membantu aku tumbuh, berkembang, dan memberikan masa depan yang lebih baik. Lebih dari itu, aku menemukan makna dari arti kekuatan karena selama ini aku berprinsip untuk tumbuh tanpa membiarkan rasa sedih menguasai diriku. Kedengarannya memang aneh, tetapi prinsip itu terbentuk dari pengalaman yang pernah dialami orang tua dan kakak-kakakku dan pengalaman itu menurutku tidak seharusnya diterima keluargaku. Hal itulah yang membentukku menjadi pribadi yang harus selalu kuat, bahkan cenderung menekan perasaan, dan selalu berusaha untuk menghindari rasa sedih.    Meskipun demikian, melalui pengalaman di sekolah ini, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat bukan berarti menolak rasa sedih. Sebab, rasa sedih bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang kepada orang-orang yang kita sayangi. Aku juga belajar bahwa menjadi manusia, berarti mengizinkan diri untuk merasakan, menghargai, berterima kasih atas setiap pengalaman. Sekolah ini telah menjadi bagian penting dalam hidupku, bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga sebagai rumah kedua yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Aku bersyukur telah menjadi bagian dari SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Dan aku akan selalu membawa pelajaran berharga ini ke manapun aku menjejakkan kaki.   Kontributor: Mutiara Al Kausar – Mahasiswa USD

Karya Pendidikan

Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran

SD KANISIUS TLOGOSARI KULON GELAR BUKA PUASA Tahun ini terasa istimewa karena umat beragama Islam dan Katolik puasa bersamaan di bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan suci untuk menjalankan ibadah puasa dan memperingati wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan bagi umat Katolik, puasa selama masa Prapaskah adalah bentuk pertobatan, penyesalan dosa, dan meneladani pengorbanan Yesus Kristus.  Tema APP (Aksi Puasa Pembangunan) 2025 Keuskupan Agung Semarang adalah Bersekutu dalam Doa, Pertobatan dan Pengharapan. Diharapkan selama masa puasa dan pantang hendaknya seluruh umat sampai pada pertobatan yang bersifat lahiriah dan sosial kemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan Nota Pastoral Arah Dasar Umat Allah KAS 2021-2025 dan Arah Implementasi, “Tinggal Dalam Kristus dan Berbuah: Semakin Katolik dan Semakin Apostolik di tengah Perubahan Masyarakat.”   Harapan Gereja inilah yang menjadikan otak kami gaduh. Apa yang bisa kami lakukan di komunitas pendidikan SD Kanisius Tlogosari Kulon dalam memaknai pertobatan di masa Prapaskah yang bersamaan dengan bulan Ramadhan ini? Kami akhirnya sepakat membuat kegiatan bersama warga RT 05 dan RT 11/RW 07 Kelurahan Tlogosari Kulon (RT sekitar sekolah). Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 20 Maret 2025 di aula SD Kanisius Tlogosari Kulon dan menjadi langkah merawat persaudaraan antar umat beragama. Kami mengangkat tema: Gumregah lan Jumangkah mBangun Paseduluran (Bangkit dan Melangkah Membangun Persaudaraan) sekaligus untuk menghidupi semangat men and women for and with others.   Guru dan siswa berkolaborasi menyambut dan melayani tamu undangan. Antusiasme siswa-siswi SD Kanisius Tlogosari Kulon terlihat sangat tinggi. Mereka membantu para guru menyediakan hidangan bagi para tamu yang akan berbuka puasa dengan minuman segar dan makanan takjil. Acara ini terselenggara atas kerelaan hati para donatur serta dukungan dari  Komisi PSE dan Panitia APP Kevikepan Semarang.   Dalam buka bersama ini kami mengundang Gus Muhammad Abdul Qodir, Lc., M.A., sebagai narasumber untuk sesi siraman rohani. Selain itu juga ada hiburan Rebana Cinta Damai, Tari Sufi dan beberapa penampilan dari siswa-siswi dan guru KB-TK-SD Kanisius Tlogosari Kulon, hingga konsumsi berupa takjil dan nasi.    “Merawat persaudaraan antarumat beragama itu penting karena ini mencerminkan bentuk kesalehan sosial di tengah masyarakat Indonesia. Harapannya, Ramadhan harus dijadikan momen untuk berbuat yang lebih baik. Jangan lagi menzalimi orang, memaksakan kehendak, menang sendiri, dan lain sebagainya,” pinta Abdul Qodir.   Dari 350 orang yang diundang, terdapat sekitar 187 orang hadir dalam acara ini. Sebagai acara yang baru kali pertama diadakan, hal ini merupakan pencapaian yang cukup baik. Ketua RT, Ketua RW, narasumber dan tamu undangan memberikan apresiasi dan harapan semoga kegiatan ini dapat membawa dampak baik bagi hubungan keberagaman di masyarakat. Kami harap kegiatan ini menjadi langkah awal yang baik sebagai sekolah nasrani dalam menjaga kerukunan yang berada di sekitar masyarakat Islam.   Yayasan Kanisius memiliki kekhasan dalam pendidikannya yaitu adanya Paradigma Pedagogi Reflektif. Budaya menemukan kedalaman suatu peristiwa melalui refleksi nampak dari hasil evaluasi para guru pada hari Sabtu, 22 Maret 2025 dan tulisan beberapa siswa yang hadir dalam acara buka puasa tersebut. “Saya menilai bahwa acara kita baik dan berjalan lancar. Dari peristiwa salah satu guru menjemput warga (meskipun sebenarnya warga sudah siap tetapi saling menunggu sehingga membuat acara jadi “molor”) saya menemukan bahwa diperlukan adanya pendekatan personal yaitu menyapa lebih dekat. Inilah yang namanya Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran,” ungkap salah satu guru.   Beberapa murid pun menuliskan sedikit refleksi kegiatan buka puasa bersama ini. “Saya bangga menjadi bagian dari SD Kanisius Tlogosari Kulon yang mengadakan buka puasa bersama warga sekitar. Hal ini menjadi pengalaman baru untuk saya karena saya bisa belajar mengenai agama Islam, tahu Tari Sufi dan makin mengerti akan persaudaraan lintas iman,” ungkap Sharbel. “Saat aku membagikan takjil aku merasa sangat senang karena para warga menerima dan menikmati takjil dan acaranya. Aku senang bisa membuat mereka bahagia,” ungkap Nio. “Ini pertama kalinya buka puasa bersama di sekolah, aku awalnya agak malu “nyalami” para tamu. Tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa. Aku salut dengan teman-teman yang tampil, mereka keren. Saat aku membagikan takjil aku melihat para warga sangat menikmati takjil. Aku sangat senang dan kegiatan ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan,” ungkap Chilla.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani, S.Psi. – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Karya Pendidikan

Menjemput Kebajikan ke Benua Hijau

Suhu di bawah 20 derajat Celcius dengan cuaca yang berangin di Saint Ignatius’ College, Riverview, Sydney, Australia tidak mengurangi kehangatan yang kami rasakan melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Jesuit Conference of Asia Pacific Education pada 8-11 Oktober 2024 lalu. Pelatihan tersebut bertujuan tidak hanya agar setiap peserta yang datang dari berbagai negara Asia Pasifik mendapatkan pemahaman terkait dengan Ignatian Leadership namun juga agar setiap peserta dapat membagikan pengalamannya di sekolah masing-masing sehingga hubungan persaudaraan menjadi terjalin. Pelatihan ini mengundang peserta yang merupakan guru maupun karyawan sekolah Jesuit dari berbagai negara Asia Pasifik, seperti; Australia sebagai tuan rumah, Timor Leste, Cina, Filipina, Malaysia, Jepang, Micronesia, dan Kamboja. Ada tiga topik yang didalami dalam pertemuan ini, yaitu; Authentic and Trust dengan fasilitator Jennie Hickey dari Australia, Communal Discernment bersama Pater Non dan tim (Jepang), dan Collaboration bersama Pater Jboy dari Filipina.   Pribadi Otentik yang Siap menjadi Bagian dari Komunitas yang Saling Percaya Sebagai pemimpin dalam suatu komunitas, terkadang komunitas tersebut memandang kita sebatas sebagai pemimpin saja, tidak lebih sebagai diri sendiri. Namun, kita kembali diteguhkan bahwa hal tersebut dimulai dari dalam diri yang juga mengenal diri sendiri dengan baik karena bagaimana kita bisa mengharapkan orang lain mengenal kita apabila kita sendiri belum mengetahui siapa diri kita sendiri. Examen conscientiae adalah salah satu cara yang dapat dilakukan secara individu untuk mengenali diri sendiri; apa yang dialami dan dirasakan; apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan. Tentunya, examen conscientiae dimulai dengan mengucap syukur kepada Tuhan sebagai wujud nyata bahwa kita mempercayai kehadiran Tuhan dalam setiap pengalaman dan perasaan kita.   Sebagai manusia, kita memiliki berbagai macam keterbatasan. Bahkan, terkadang kita cenderung menarik diri dari Tuhan apabila ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita kembali diingatkan bahwa kita harus senantiasa melihat segala sesuatu menggunakan mata Tuhan agar terbebas dari ego diri sebagai manusia. Terkadang manusia menggunakan mantra ‘it is okay to be a human.’ Namun, sering kali, hal tersebut dijadikan pembenaran saat memikirkan atau melakukan suatu hal yang tidak seturut dengan Citra Allah. Namun, sebagai manusia yang serupa dengan Citra Allah, kita harus sadar sepenuhnya bahwa Tuhan senantiasa mendorong diri kita ke arah kemajuan dan peningkatan dengan memberikan tantangan berupa kondisi dan situasi yang terkadang tidak nyaman untuk kita.   Menjadi pemimpin yang otentik juga berarti siap ketika ada yang membenci dan bahkan menghakimi. Hal yang wajar terjadi di dalam suatu komunitas. Namun, yang terpenting adalah diri sendiri yang sudah mengenal dan menerima dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. Selanjutnya, adalah benar hal yang dipikirkan, dilakukan, atau diputuskan sebagai pemimpin selama hal tersebut bukan semata-mata untuk memuliakan diri sendiri melainkan Allah. Apabila kita sudah menjadi pribadi yang autentik, maka kita akan siap bergabung ke dalam suatu komunitas agar dapat saling merayakan pribadi yang autentik satu sama lain untuk bertumbuh dan berkembang bersama dengan rasa percaya dalam suatu komunitas. Sehingga, kita juga siap untuk selalu menggeser dari ‘saya’ sebagai seorang individu kepada ‘kita’ sebagai seorang yang merupakan bagian dari suatu komunitas.     Pribadi yang Mau Mendengarkan: Upaya Menciptakan Kolaborasi  Dalam topik Communal Discernment, kami diberikan dua kesempatan untuk mempraktekkannya dengan topik dan kelompok yang berbeda. Dari kedua dinamika yang terjadi, kami menyadari bahwa kunci dasar dari Communal Discernment adalah komunikasi yang sehat secara dua arah. Saat melakukannya pun, kita harus berfokus bukan kepada tujuan pribadi untuk memuliakan diri sendiri tetapi untuk memuliakan Allah. Fokus kita adalah kepada Tuhan yang selalu hadir baik melalui fisik maupun emosi, spiritual maupun sosial agar kita dapat menjadi Kerajaan Allah dalam rupa manusia. Kepemimpinan bukan merupakan hal yang dilakukan berdasarkan jabatan dari atas ke bawah karena pada dasarnya kita berada di tempat yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Maka dari itu, apapun bagian yang kita ambil dari suatu komunitas, hendaklah kita memiliki sikap rendah hati untuk senantiasa mau mendengarkan sepenuh hati agar terjalin kolaborasi yang harmonis untuk mencapai tujuan bersama.   Saya merasa sangat bersyukur. Sebagai guru muda, saya sadar bahwa peziarahan hidup saya dalam menghidupi peran ini masih panjang. Banyak hal yang masih perlu saya pelajari. Saya banyak belajar dari orang-orang hebat selama pelatihan ini. Walaupun mereka memiliki peran penting di sekolah masing-masing, tidak hanya sebagai guru namun juga sebagai direktur dari bidang tertentu dan bahkan Kepala Sekolah, namun mereka tetap bersikap rendah hati untuk terus belajar. Hal ini mengingatkan saya akan salah satu sikap Yesus yang dengan rendah hati juga senantiasa memiliki kemauan belajar dari murid-murid-Nya sendiri.   Kontributor: Theresia Rianika Septianingtyas – SMA Kolese Gonzaga