Pilgrims of Christ’s Mission

karya gereja jesuit

Pelayanan Gereja

Global Peace Youth Indonesia – Semarang di Gereja St. Yusup Gedangan

Global Peace Youth Indonesia Semarang (GPYI Semarang) adalah kegiatan berkumpulnya pemuda dan pemudi lintas iman untuk bersilaturahmi, mengenal, dan memahami sesuatu hal di luar komunitasnya seperti agama, suku, budaya, dan rumah ibadah. GPYI – Semarang secara umum memiliki tiga nilai yang nantinya akan diimplementasikan dalam setiap kegiatan. Nilai-nilai tersebut adalah kolaborasi lintas agama, penguatan kekeluargaan, dan budaya melayani. GPYI Semarang menamakan kegiatan ini dengan sebutan Peace Project. Peace Project akan dilakukan secara berkesinambungan di berbagai tempat. Gereja St. Yusup Gedangan menjadi tempat pertama yang dipilih oleh GPYI Semarang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. GPYI Semarang ingin bersilaturahmi dan mengenal Gereja Katolik pertama di Keuskupan Agung Semarang. Para peserta Peace Project hadir dari bermacam komunitas, antara lain GPYI Semarang, SMA Kolese Loyola, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Misdinar St. Yusup, Gedangan. Total peserta berjumlah 48 orang. Para peserta didominasi para pelajar SMA dan mahasiswa. Namun ada juga beberapa peserta yang masih duduk di bangku SMP dan yang sudah bekerja. Peace project yang dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023, dikemas secara menyenangkan, hangat, dan penuh semangat kekeluargaan. Peace project diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu sambutan oleh Pastor Kepala Gereja Santo Yusup, Gedangan, Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Pater Cahyo sangat mendukung diadakannya kegiatan ini. “Melalui Peace Project kaum muda akan belajar mengembangkan toleransi dan menjalin persaudaraan dengan sesama manusia,” ujarnya. Jingga dari misdinar St. Yusup, Gedangan dan Sri dari GPYI Semarang memandu acara dengan sangat baik. Mereka memberikan aneka games menarik yang membuat peserta tertawa, bersemangat, dan saling mengenal satu dengan lainnya. Para pemandu acara ini mampu membuat acara semakin hidup dan meriah dan tentu saja, hal ini sudah menjadi bentuk nyata dialog lintas iman. Acara inti Peace Project adalah mengenal sejarah singkat Gereja St. Yusup, Gedangan. Frater Wahyu Mega, S.J. memaparkan secara singkat sejarah Gereja St. Yusup, Gedangan. Setelah presentasi selesai lalu diadakan tanya jawab. Sejarah Gereja Gedangan ternyata menarik perhatian peserta. Ketertarikan mereka ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya mengenai Gereja Gedangan dan seputar kekatolikan. Sesi tanya jawab menjadi sesi yang sangat penting karena peserta di luar agama Katolik dapat mengenal katolisisme secara lebih dekat. Para peserta juga diajak masuk ke dalam gereja dan melakukan tour. Ternyata masuk ke dalam gereja menjadi sesuatu yang wow banget bagi peserta. Mereka dapat melihat secara langsung dan berfoto dengan benda-benda antik misalnya organ pipa dan batu nisan Mgr. Lijnen. Namun ada juga peserta yang belum pernah masuk Gereja Katolik manapun dan Gereja St. Yusup, Gedangan menjadi gereja perdana yang mereka kunjungi. Setelah tour gereja, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas maksimal enam peserta. Mereka makan sambil memberikan kesan dan pesan di dalam kelompok. Yoga, koordinator GPYI Semarang mengungkapkan rasa senangnya karena bisa melaksanakan Peace Project pertama di gereja tertua di Jawa Tengah. “Banyak sekali hal yang saya peroleh ketika berkunjung ke tempat ini, mulai dari sejarah, arsitektur, ilmu, jejaring, pengalaman, dan sebagainya. Saya berharap, ke depan Gereja St. Yusup, Gedangan bisa menjadi salah satu pelopor perdamaian dan toleransi di Jawa Tengah. Gereja St. Yusup, Gedangan dengan sejarahnya yang menarik sangat cocok menjadi tempat generasi muda lintas iman untuk srawung (bersosialisasi) dan saling mengenal,” tegasnya. Peace Project ditutup dengan doa lintas agama kaum muda. Kaum muda dari Katolik, Kristen, Islam, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan Kabudayaan Jawi Tunggul Sabda Jati berdoa bersama untuk perdamaian dan persaudaraan bagi sesama. Mereka merupakan generasi penerus toleransi dan perdamaian bagi agamanya masing-masing dan negaranya. Mereka akan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menyebarkan cinta kepada sesama tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang agamanya. Jalaluddin Rumi, mistikus sufisme abad XIII dari Iran, mengatakan bahwa cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula yang melunakkan besi dan menghancurkan batu, yang menghidupkan, dan menggairahkan kehidupan. Kontributor: S. Yohanes Crissostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup, Gedangan

Pelayanan Gereja

Siap Diutus menjadi Saksi-Nya

Sabtu, 19 Agustus 2023, sebanyak 126 orang menerima sakramen Krisma dari tangan Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko di Gereja St. Yusup Gedangan, Semarang. Dalam perayaan Ekaristi ini Bapa Uskup Robertus Rubiyatmoko didampingi oleh Pater Benedictus Cahyo Kristanto, S.J. dan Pater Martinus Hadisiswoyo, S.J. Peserta penerima sakramen Krisma berasal dari beragam usia. Mereka dikelompokkan menjadi dua kelompok usia yakni remaja dan dewasa. Peserta remaja dengan rentang usia 13 – 17 tahun sebanyak 85 orang dan dewasa dengan rentang usia 18 – 71 tahun sebanyak 41 orang. Peserta yang akan menerima Sakramen Krisma harus mengikuti proses pembelajaran selama enam bulan. Proses pembelajaran diawali dari bulan Februari hingga Agustus. Setiap hari minggu siang, para katekis paroki dengan setia dan murah hati mendampingi peserta Krisma. Mereka memberikan banyak bahan pembelajaran agar peserta Krisma dapat memahami dengan baik tentang Sakramen Krisma dan setelahnya siap diutus menjadi saksi Kristus. Selama mendampingi para peserta Krisma, Bapak FX. Rudy, selaku kepala bidang pewartaan dan tim merasa sangat bersyukur. Mereka mampu mendampingi peserta dari awal hingga hari penerimaan Sakramen Krisma meskipun mereka kekurangan jumlah pendamping. Mereka berharap agar materi-materi yang diberikan dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan berani menjadi saksi-Nya. Ada sesuatu yang menarik selama proses pembelajaran tersebut. Salah satunya pada bulan April yang lalu, peserta krisma diajak anjangsana sekaligus berbuka puasa bersama di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak. Mereka bertemu dengan para santri dan menjadi saksi Kristus yang mampu mengasihi siapapun tanpa terkecuali. Perjumpaan para peserta krisma dengan para santri menjadi wujud mengembangkan toleransi dan menghayati kasih kepada sesama. KH. Abdul Qodir selaku pengasuh Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin menyambut dengan ramah dan terbuka. “Kunjungan yang dilakukan oleh Gereja St. Yusup, Gedangan adalah kunjungan muhibah. Muhibah artinya adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih, perbedaan bukan masalah. Justru perbedaan menambah warna-warni kehidupan,” ujarnya. Bapak F.X. Rudy mengatakan bahwa kunjungan ke pesantren adalah wujud dari menghidupi iman katolik dan menjadi saksi Kristus. “Iman tanpa perbuatan hakikatnya adalah mati,” pungkasnya. Iman harus teraktualisasi dalam tindakan sehari-hari dan terwujud secara konkret dalam cinta kasih kepada sesama manusia. Nora sebagai salah seorang peserta mengatakan bahwa krisma berarti menerima Roh Kudus yang lebih menguatkan diri sehingga menjadi lebih dewasa secara iman dan dengan begitu menjadi lebih sadar untuk memiliki kewajiban menjadi saksi Kristus. “Materi-materi yang diberikan oleh para katekis membuat saya sadar untuk menerapkan kasih dalam hidup sehari-hari. Bersaksi sama juga dengan memberikan kasih,” ujarnya. Sakramen Krisma merupakan tanda kedewasaan iman seseorang. Penerimaan sakramen krisma melengkapi rahmat pembaptisan dan menyempurnakan inisiasi. Melalui sakramen krisma, seseorang diikat secara lebih kuat dan sempurna dengan Gereja serta diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus. Konsekuensi dari sakramen krisma adalah tanggung jawab iman dan semakin wajib untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus. Kontributor: S Yohanes Chrisostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

Mewujudkan Mimpi melalui Konser Rohani

Memiliki gedung pusat pelayanan paroki serta penunjang aktivitas menjadi impian para umat Paroki Santa Theresia Bongsari. Selang setahun setelah penggempuran aula lama, proses ini senantiasa masih berjalan. Rabu, 16 Agustus 2023, konser rohani untuk menggalang dana bertajuk Maria Bunda Pemersatu digelar di Gumaya Tower Hotel Semarang dengan menampilkan Edward Chen, Grezia Epiphania, Maria Priscilla, dan Vanessa Axelia. Keempat penyanyi tersebut melantunkan pujian-pujian rohani dengan alunan musik dari CBC Band. Sebelumnya, konser dibuka dengan penampilan talenta-talenta suara dan musik dari Paroki Santa Theresia Bongsari yang tergabung dalam komunitas Bongsari Music Ministry. Konser yang dihadiri oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (KAS), Bapa Uskup Robertus Rubiyatmoko, menjadi simbol merajut mimpi terwujudnya Gedung Pelayanan Pastoral. “Keringat” panitia pembangunan dan panitia konser diusap oleh perolehan dana melalui penjualan tiket, pelelangan ruangan dan lukisan, serta donasi dari para donatur. Satu hal yang unik adalah bahwa konser rohani ini menunjukkan wajah Paroki Santa Theresia Bongsari sebagai paroki yang inklusif melalui keterlibatan pelukis disabilitas dalam pelelangan lukisan. Tak hanya itu, sebuah kejutan bagi semua pihak ketika Kardinal Julius Darmaatmadja melelang cincin imamatnya sebagai bantuan dana pembangunan gedung. Perjuangan belum usai. Langkah demi langkah, bergerak dan bersinergi. Melalui Bunda Sang Pemersatu – seperti tema konser Maria Bunda Pemersatu – mimpi untuk memiliki Gedung Pelayanan Pastoral disatukan melalui kolaborasi berbagai pihak sebagai wujud kehidupan paroki. Kontributor: Adeane Yuna – Paroki Santa Theresia Bongsari