Pilgrims of Christ’s Mission

Gereja Gedangan

Pelayanan Gereja

Catatan Seorang Pemandu

Cerita di Balik Tembok Gedangan: Hai, namaku Lusia tapi biasa dipanggil Aisul dan aku adalah satu dari banyak OMK di Gedangan. Aku suka jalan-jalan, sejarah, dan yang paling favorit adalah jalan sambil mendengarkan cerita sejarah. Kali ini gantian aku yang mau cerita tentang Gereja Gedangan, gereja Katolik paling tua di Semarang. Di OMK Gedangan, kami punya satu wadah seru untuk kenalan—dan pastinya makin sayang—dengan gereja kami sendiri lho! Namanya Jelajah Gedangan. Tujuan awalnya sederhana, yaitu mengenalkan kembali Gereja Santo Yusup Gedangan ke siapa pun yang penasaran, terutama dari sisi sejarah dan kekayaan warisan imannya. Dan karena ini adalah kegiatan OMK, tour guide-nya juga dari kami-kami sendiri, OMK Gedangan. Kami sering berkumpul, ngobrol, dan cari tahu cerita-cerita lama tentang gereja ini. Lalu, semua yang kami temukan itu kami bagikan ke siapa saja yang tertarik untuk menelusuri jejak masa lalu di balik tembok tua Gedangan.   Akhir 2019 sampai awal 2020 adalah waktu kami memulai penjelajahan di Gereja Gedangan. Masih hangat di pikiran kita bukan? Kala itu awal mula adanya Covid-19? Memang agak melanggar aturan pemerintah yang seharusnya duduk diam di rumah yang saat itu masih ramai dengan hastag #mendingdirumahaja, tapi kami malah berkumpul untuk mengajak banyak orang jalan-jalan virtual. Bermodalkan sejarah yang kami baca dan kami cari tahu lebih lanjut sumbernya dan didukung kemajuan teknologi yang juga mumpuni, kami mulai dengan Jelajah Gedangan Virtual. Kami tidak hanya mengajak teman-teman dari Gedangan, tetapi juga semua orang yang ingin tahu tentang Gedangan. Mungkin, Anda yang sedang membaca tulisan ini juga jadi salah satunya? Dari yang awalnya hanya bercerita tentang sejarah Gedangan, tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, dan ornamen yg biasa kita lihat kalau sedang misa, sekarang jadi makin banyak tema yang bisa kami ceritakan ke banyak orang.    Di 2025 ini, Gereja Gedangan merayakan 150 tahun pemberkatan gedung gereja dan sepanjang tahun ini ada banyak rangkaian acara untuk memeriahkannya, salah satunya adalah Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang sudah terlaksana bulan Juni lalu dengan mengusung tema Di Balik Tembok Gedangan sebuah momen langka untuk para peserta Jelajah yang biasanya diajak berjalan sambil mendengarkan cerita dan berkeliling Gedangan, kala itu mereka cukup duduk manis sambil mendengarkan beberapa narasumber yang punya cerita dan pengalaman seru mengenai Gereja Gedangan.    Ada tiga narasumber saat itu, yaitu pertama Pater Vincentius Suryatma Suryawiyata, S.J. atau yang akrab dipanggil Pater Surya. Obrolan saat itu cukup menarik, informatif, dan penuh nuansa nostalgia yang membuat peserta bisa turut ‘menyusuri waktu’ bersama Pater Surya lewat tokoh dan sosok yang membentuk wajah Gereja Gedangan. Dari Pater Surya kami diajak menyadari bahwa Gedangan tidak hanya bangunan tua yang indah, namun juga menjadi tempat lahirnya semangat misi yang besar dan tempat di mana banyak kisah bermula, bahkan jejaknya masih sangat bisa dirasakan sampai sekarang.   Selain Pater Surya yang mengajak bernostalgia, ada juga Pater Ignatius Windar Santoso, S.J. yang juga berbagi cerita. Kali ini dengan latar belakang sebagai archivist Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Windar menunjukkan salah satu dokumentasi catatan baptisan di zaman dulu yang masih tersimpan rapi. Melalui dokumen baptisan, kami jadi tahu bahwa Semarang adalah salah satu tempat penting dalam perkembangan Katolik di masa Hindia Belanda. Gedangan memiliki cukup banyak peran sebagai gerbang awal misi katolik di Jawa, maka dari itu arsip-arsip ini bisa jadi semacam ‘harta karun’ sejarah yang sangat berharga.      Masih tentang arsip baptisan, ada satu lagi narasumber yang membawakan cerita ‘mengejutkan’ dengan fun fact-nya! Namanya Mas Yogi, seorang pengamat sejarah sekaligus founder dari Bersukaria Walk Tour (Bersukaria Walk Tour bisa dicari di instagram. Anda pasti jadi ingin ikut semua rute Walking Tour-nya). Mas Yogi berbagi cerita seru tentang arsip Gereja Gedangan. Beberapa waktu lalu Mas Yogi membawa rombongan orang Belanda yang sedang mencari tahu sejarah leluhur mereka. Menurut cerita yang mereka dengar, para leluhurnya dibaptis di Gedangan. Yang mengejutkan adalah setelah ditelusuri dan ketemu, ternyata salah satu leluhurnya adalah artis terkenal di masa itu! Selain itu orang-orang Belanda ini juga membawa beberapa foto untuk membandingkan gereja dulu dan sekarang. Semacam ingin tahu before-after.   Dari cerita Pater Surya, Pater Windar, dan Mas Yogi, aku jadi makin tahu, betapa pentingnya keberadaan para Pater pendahulu dan arsip yang berupa catatan baptisan bagi gereja. Tidak hanya jadi bukti adanya sejarah tapi juga bisa menjadi jembatan penghubung lintas generasi. Tidak pernah terbayangkan, kalau catatan puluhan bahkan ratusan tahun lalu itu bisa membantu seseorang menemukan keluarganya dan menyambung cerita hidup mereka. Ternyata, banyak hal yang patut untuk disyukuri dari Mini Talk Show Jelajah Gedangan ini. Setiap pembicara punya warna dan cerita yg unik. Pater Surya yang penuh nostalgia dengan mengingat kembali tokoh-tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, Pater Windar yang menunjukkan betapa pentingnya arsip dan catatan baptisan, dan juga Mas Yogi yang menunjukkan secara nyata terhubungnya masa lalu dan masa sekarang melalui peninggalan sejarah berupa catatan baptisan.   Untukku sendiri, aku bersyukur bisa jadi bagian dari tour guide di Jelajah Gedangan dan juga jadi bagian dalam rangkaian perayaan 150 tahun ini. Bukan hanya berbagi dan belajar bersama mengenai sejarah, tetapi tentang memunculkan kembali kisah-kisah yang mungkin nyaris terlupakan. Dan pastinya membagikan pada Anda dan banyak orang adalah salah satu usaha kecil yang bisa aku lakukan untuk merawat Gedangan agar tidak hanya menjadi bagian masa lalu tapi juga menjadi bagian yang tetap terasa dekat juga hidup di segala zaman.    Kabar baiknya OMK Gedangan masih akan mengadakan Jelajah Gedangan dan di bulan November nanti akan ada Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang kedua. Pastinya akan ada banyak cerita baru, perspektif yang menarik nan seru, dan mungkin mendapat fun fact sejarah lain yang belum pernah kita dengar sebelumnya! Tetap stay tune dan jangan lupa follow instagram @gerejagedangan dan @gedanganmuda. Sampai Jumpa di Gereja Gedangan!    Kontributor: Lusia Pamungkas – Gedangan Muda

Pelayanan Gereja

OM JAMARI – Orang Muda Mengajar, Bermain, dan Berbagi

Inilah inisiasi kegiatan oleh Gedangan Muda, yaitu kunjungan ke Panti Asuhan St. Thomas Bergas pada Minggu, 15 Desember 2024. Kunjungan ini merupakan wujud syukur Gedangan Muda atas kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana sebelumnya yang sekaligus menjadi momentum refleksi bersama untuk mensyukuri setiap hal kecil yang diterima dan memupuk semangat berbagi. Dalam kunjungan ini, selain bantuan berupa donasi materi, kami juga ingin membagikan pengalaman berharga melalui kegiatan bermakna. Salah satu bentuk kegiatan bermakna yang kami selenggarakan adalah menghias pot tanaman bersama mereka. Aktivitas ini mengajarkan anak-anak untuk menghargai ciptaan Tuhan, seperti tanaman, dan menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan. Ternyata pot-pot yang dihiasi dengan berbagai warna dan kreativitas semakin menghidupkan suasana dan menambah semangat untuk merawat tanaman. Kami berharap kegiatan ini tidak hanya memberi kebahagiaan bagi anak-anak tetapi juga mengingatkan kami untuk terus mensyukuri hal-hal sederhana. Ternyata, berbagi itu bukan hanya soal materi tetapi juga waktu, perhatian, dan kasih. Semangat dalam kunjungan ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Banyak umat yang tergerak berdonasi kebutuhan pokok, uang, dan buku bacaan. Rupanya, buku bacaan sangat mereka butuhkan karena kegiatan membaca merupakan salah satu kegiatan favorit dan hobi mereka. Semoga bantuan tersebut dapat membantu kelangsungan kebutuhan anak-anak di Panti Asuhan St. Thomas. Dalam kebersamaan yang terjalin, terasa nyata bagaimana cinta kasih Kristus yang hadir melalui setiap senyuman dan tawa yang dibagikan.   Kunjungan ini mengingatkan kami akan slogan yang selalu diusung, “Gedangan Muda, Aku Muda Aku Bisa!” Kami berharap semoga semangat dan jiwa muda selalu ada dalam diri kami di manapun berada. Rasa syukur dan sukacita bisa diwujudkan melalui tindakan kecil nan bermakna. Semoga kami selalu bisa mengupayakan langkah nyata yang berdampak bagi diri kami dan lingkungan sekitar!   Kontributor: Maria Godeliva Diantita K. – Ketua OMK Paroki St. Yusup Gedangan  

Pelayanan Gereja

Tidak Ada Salahnya Mencoba

SHARING ANAK MUDA DIDIKAN ALA PAROKI JESUIT Perkenalkan, nama saya adalah Alberta Pangestika Silvera Putri. Biasanya saya dipanggil Alberta atau Silvera. Selain aktif sebagai Lektor di Paroki St. Yusup Gedangan, saya juga merupakan seorang siswi kelas XII salah satu SMK di Semarang. Tulisan ini adalah sharing saya sebagai salah seorang anak muda yang mengalami didikan ala paroki yang dikelola Jesuit. Salah satu didikan yang saya alami adalah dalam hal kesiapsediaan dan kemauan berproses saat diberi tanggung jawab. Didikan itu sangat terasa ketika saya terlibat menjadi bagian dari kepanitiaan Lomba Baca Kitab Suci yang diselenggarakan oleh Tim Lektor Gereja St. Yusup Gedangan. Tepatnya saat itu saya menjadi Ketua Panitia.   Jalannya Acara Lomba Baca Kitab Suci ini sendiri berlangsung pada 8 Desember 2024. Dibuka oleh MC, serta diawali doa bersama, sambutan pendamping dan Ketua Panitia, lomba dijalani para peserta dengan begitu semangat dan antusias. Mulai dari anak-anak, remaja, orang muda, sampai orang tua menunjukkan kemampuan terbaik dari segi teknik vokal, penghayatan, dan penyampaian isi perikop yang dibacakan. Mereka maju bergantian sesuai kategori dan tata tertib yang sudah diterangkan panitia di awal acara. Penampilan mereka dinilai oleh Ibu Tessa dan Pak Widodo, dua Lektor senior yang pernah aktif di Gedangan, dibantu Romo Dodo, SJ sebagai salah satu Pendamping Lektor.   Dengan mengikuti lomba ini, para peserta ditanamkan rasa percaya diri dan keberanian tampil di depan umum. Para peserta dan penonton juga diajak menumbuhkan semangat membaca, merenungkan, dan mencintai Firman Tuhan, memperdalam iman, serta memupuk rasa persaudaraan satu sama lain. Menjadi Bagian dari Kepanitiaan Menjadi ketua atau koordinator suatu kepanitiaan sebenarnya bukan pengalaman pertama bagi saya. Baik ketika terlibat di Pendampingan Iman Anak (PIA) maupun di sekolah, saya pernah menjadi koordinator kegiatan. Akan tetapi, bagi saya, semua itu tidaklah seberapa menantang dibandingkan dengan menjadi Ketua Panitia Lomba Baca Kitab Suci kali ini.   Yang menjadikan Kepanitiaan kegiatan ini menantang adalah hubungan kami dengan pihak eksternal, bukan hanya internal tim Lektor Gedangan. Oleh karena itu, bagi saya, keseluruhan acara perlu dipikirkan secara matang. Jika perencanaan dan pelaksanaannya kurang matang atau detail, bisa jadi ada yang mengkritik kegiatan ini. Dengan kemungkinan menerima kritik itu pula, sebagai ketua, saya juga harus menyiapkan hati dan mental. Jadi, tanggung jawab yang diemban memang besar. Selain itu juga, terkadang saya yang masih belajar ini kewalahan dalam membagi waktu dengan beberapa tugas lain di luar Lektor.   Oleh karena itu, saya sadar bahwa mulai dari mempersiapkan hingga memastikan acara dapat berjalan dengan baik, semuanya membutuhkan kerja keras dan koordinasi dalam sebuah  Kepanitiaan. Sesekali, dalam proses persiapan itu memunculkan perbedaan pendapat dalam beberapa hal di antara kami, tapi semua itu bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Setiap orang menjalankan perannya masing-masing dan mendukung satu sama lain.   Perasaan saya pribadi campur aduk saat terlibat dalam kepanitiaan ini. Ada perasaan bangga karena diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kegiatan besar ini. Selain itu, kebanggaan pun muncul saat melihat para peserta tampil dengan optimal atau ketika penonton dan juri memberikan apresiasi atas kelancaran acara. Perasaan hangat dan haru juga muncul saat melihat kerelaan, semangat, dan kerja sama yang hebat antara sesama panitia. Rasa lelah seakan hilang saat melihat antusiasme dari semua pihak yang terlibat. Proses jatuh bangun yang dialami bersama juga membuat hubungan kami sebagai tim kepanitiaan semakin erat.   Dari teman-teman di dalam Kepanitiaan, saya belajar, terutama tentang pentingnya saling pengertian dan kerja sama. Momen lucu, jengkel, tegang, gugup, dan cemas dialami bersama sebagai satu-kesatuan Tim Kepanitiaan. Demikian pula, kebahagiaan dan rasa syukur menjadi milik kami bersama ketika acara berhasil berjalan dengan lancar.   Saya juga menjadi paham rasanya memikul tanggung jawab, yang menurut saya agak berat. Dari situ saya belajar untuk lebih percaya diri. Saya juga mengembangkan keutamaan dalam diri, yaitu berani mencoba hal-hal positif baru yang ditawarkan dalam hidup. Saya dididik untuk menyadari bahwa kegagalan mungkin bisa terjadi saat mencoba, tetapi kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Walaupun agak takut untuk memulai dan mengakhiri semuanya, tetapi saya percaya, semua akan baik-baik saja saat selalu berserah kepada Tuhan. Bagi saya, pengalaman itu pembelajaran hidup yang sangat berharga dan  bisa membuat pemikiran saya menjadi lebih dewasa.   Saya juga bersyukur karena para Jesuit turut mendampingi saya sebagai anak muda. Bukan hanya soal bagaimana membawa diri di depan umat, saya juga belajar mengenai makna yang mendalam dari setiap tugas yang saya jalani. Para Jesuit selalu memberi nasihat yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi paham apa arti melayani dengan hati. Nilai-nilai khas Jesuit yang diajarkan tidak hanya membantu saya berkembang sebagai bagian dari Lektor, tetapi juga mengubah cara pandang saya dalam banyak hal. Ada beberapa momen kecil saat pendampingan yang membuat saya berpikir, “Oh, iya ya, benar juga”. Selain itu, mereka juga selalu ada dan benar-benar mau mendengarkan ketika saya mencurahkan isi hati. Hal itu membuat saya sangat merasa didukung dan dipahami.   Penutup Bagi saya, berproses sebagai anak muda merupakan perjalanan hidup yang sangat bermakna. Saya bersyukur bisa belajar melalui berbagai sarana, mulai dari menjadi lektor sampai koordinator Lomba Baca Kitab Suci. Saya berharap pengalaman ini akan terus memberikan inspirasi dan motivasi dalam kehidupan saya ke depan. Saya juga terdorong untuk semakin mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui Sabda-Nya yang hidup.   Selain itu, saya juga dapat belajar bahwa tidak ada salahnya mencoba apa yang sudah dimulai. Walaupun masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, saya dididik untuk berusaha semaksimal mungkin yang saya bisa. Setidaknya, saya sudah berani bertanggung jawab dengan baik sampai akhir.   Kontributor: Alberta Pangestika Silvera Putri – Lektor Paroki St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

Mengenal Jesuit Lebih Dalam

Minggu, 20 Oktober 2024, teman-teman Gedangan Muda (sebutan untuk OMK Paroki St. Yusup Gedangan, Semarang) mengadakan kunjungan ke Provinsialat Serikat Jesus Provinsi Indonesia.   Dalam kunjungan ini, kami berkesempatan untuk mengenal lebih dalam mengenai persebaran Jesuit di Indonesia serta peninggalan romo-romo yang telah meninggal. Pater Windar Santosa, S.J. menceritakan mengenai kisah sejarah Jesuit serta apa saja yang biasa dilakukan. Beliau juga menjelaskan tugas-tugas perutusan Jesuit yang berakar pada spiritualitas Ignasian, yang menekankan refleksi batin, pelayanan, dan pengabdian kepada sesama. Jesuit memiliki misi penting dalam pendidikan, sosial, dan pelayanan gereja yang telah mereka jalankan sejak zaman kolonial hingga sekarang.   Setelah mendapat banyak pengetahuan dari Pater Windar, S.J., kami berkesempatan untuk mengunjungi museum kecil Jesuit yang menyimpan berbagai peninggalan bersejarah dari romo-romo pendahulu. Museum tersebut memamerkan koleksi yang menggambarkan perjuangan dan dedikasi para Jesuit dalam menyebarkan ajaran Katolik di berbagai wilayah di Indonesia, memberikan gambaran nyata mengenai jejak perjalanan misi mereka selama ratusan tahun.     Harapan dari kegiatan ini adalah agar semangat menggereja orang muda semakin tumbuh, terutama dalam menghidupi Spiritualitas Ignasian yang ditekankan dalam ajaran Jesuit. Dengan memahami sejarah dan nilai-nilai yang dipegang oleh ordo ini, kami diharapkan dapat lebih terinspirasi untuk melayani sesama dan lebih aktif dalam kegiatan menggereja, sejalan dengan semangat refleksi, pengabdian, dan kedalaman batin yang diajarkan oleh Santo Ignatius dari Loyola.   Kontributor: Gedangan Muda

Pelayanan Gereja

Bertualang di Bethlehem van Java

Sabtu, 27 April 2024, misdinar Gereja St. Yusup Gedangan mengadakan acara studi rohani Bethlehem van Java Misdinar ke kerkhof Muntilan, Museum Misi Muntilan, dan Gua Maria Sendangsono. Frater Yohanes Chrysostomus Wahyu Mega, S.J., pendamping misdinar, mengadakan program ini untuk misdinar dan beberapa tokoh lintas agama. Fr. Wahyu berharap melalui studi rohani Bethlehem van Java, misdinar Gedangan dapat memahami sejarah lahirnya misi kekatolikan di tanah Jawa, menumbuhkan semangat kekatolikan, dan toleransi antarumat beragama.   Beberapa tokoh lintas agama yang menemani kami adalah K.H. Khoirul Anwar (Pengasuh Ponpes Al-Insaniyyah, Salatiga), K.H. Abdul Qodir (Pengasuh Ponpes Roudhotus Sholihin, Demak), Ibu Rabi’atul Adawiyah, Ibu Naily Illyun, Bapak Lutfi (ketiganya adalah dosen UIN Walisongo, Semarang), Pendeta Setiawan Budi (Koordinator Persaudaraan Lintas Agama), Ibu Eva Yuni (Staf Bimas Katolik) dan Sr. Lutgardis, O.P. Ini pertama kalinya bagi kami mengalami perjumpaan dengan tokoh lintas agama.   Di Kerkhof Muntilan, kami mengunjungi makam Kardinal Justinus Darmojuwono yang merupakan kardinal pertama Indonesia. Selanjutnya kami mengunjungi makam Pater F. van Lith, S.J, Pater Hoevenaars, S.J. dan beberapa makam pater Jesuit Belanda lainnya. Tempat ini sangat jauh dari kesan menyeramkan tetapi sangat sejuk dan nyaman untuk berdoa.   Dalam bahasa Belanda, kerkhof memiliki arti halaman gereja. Berasal dari dua suku kata, yakni kerk yang bermakna gereja dan hoff yang berarti halaman. Mungkin karena sudah menjadi tradisi bangsa Eropa, khususnya Belanda, bahwa kuburan biasanya ditempatkan tidak jauh dari bangunan gereja. Kata kerkhof lambat laun menjadi sebutan yang familiar untuk kuburan atau pemakaman bangsa Belanda.     Setelah dari kerkhof kami menuju Museum Misi Muntilan. Sesampainya di Museum Misi, kami disambut oleh Bapak Seno. Kami dibagi menjadi dua kelompok besar untuk museum tour. Kami merasa takjub karena Museum Misi Muntilan menyimpan banyak sejarah mengenai perkembangan Agama Katolik. Kami melihat barang-barang peninggalan zaman dahulu seperti peralatan misa, altar dan mimbar dari kayu, jubah rama dan uskup, tongkat gembala, lonceng, dan masih banyak lagi.   Kami belajar tentang jejak sejarah Keuskupan Agung Semarang dan sejarah Gereja Katolik yang ada di Semarang. Ada satu peninggalan dari Pater van Lith, S.J. dan Pater Hoevenaars, S.J. yang menarik, yaitu doa Bapa Kami versi Bahasa Jawa. Kedua Pater ini dengan caranya sendiri menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jawa.   Destinasi terakhir adalah Gua Maria Sendangsono. Sedikit informasi, Gua Maria ini masih bersangkutan dengan dua lokasi sebelumnya (Kerkhof Muntilan dan Museum Misi). Gua Maria Sendangsono adalah tempat di mana Pater van Lith , S.J. membaptis 171 orang Jawa. Peristiwa ini terjadi pada 14 Desember 1904. Kini, Sendangsono menjadi salah satu tempat ziarah yang sangat populer.   Di Gua Maria Sendangsono kami mengunjungi makam Barnabas Sarikromo. Awalnya ia memiliki penyakit kudisdi kaki dan sudah melakukan pengobatan dengan berbagai cara namun tidak kunjung sembuh. Suatu ketika ia bersemedi untuk mendapatkan kesembuhan. Ia mendengar bisikan untuk berjalan ke arah timur laut. Dikarenakan kondisi kakinya yang tidak memungkinkan untuk berjalan, Sarikromo pun menuju arah timur laut dengan cara mengesot. Perjalanan itu membawanya bertemu dengan dua Jesuit, yaitu Bruder Kersten, S.J. dan Pater van Lith, S.J,. Sarikromo memperoleh kesembuhan dan kemudian dibaptis oleh Rama van Lith.   Kami mendapatkan banyak sekali pengalaman dan pengetahuan dari ketiga tempat tersebut. Kami juga jadi tahu tentang kisah para tokoh penting, seperti Pater F. van Lith, S.J., Pater Hoevenaars, S.J. Bruder Kersten, S.J. dan Bapak Barnabas Sarikromo. Kisah-kisah mereka semakin membuat kami bangga sebagai orang Katolik Jawa. Kami semakin terbakar bukan hanya untuk menjadi Katolik tetapi untuk menghidupi iman Katolik.   Kontributor: Michelle Kanaya – Misdinar St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

VISUALISASI JALAN SALIB HIDUP 2024: [sudah selesai]

Di kayu salib, sebelum Ia menghembuskan nafas terakhir-Nya berserah dan berkata, “Sudah selesai.”   Apakah ini berarti kekalahan? Apakah Yesus kalah karena pada akhirnya Ia menyerahkan diri untuk di salib dan menebus dosa kita?   Sebaliknya, kalimat ini bermakna Yesus telah menang!   Ia menang atas besarnya kasih yang diberikan bagi umat manusia dan ketaatan-Nya kepada Bapa hingga akhir hidup-Nya. Sesungguhnya inilah kasih yang taat sampai mati.   Kita pun memanggul salib kehidupan kita masing-masing, yang seringkali wujudnya tidak nampak. Namun, apakah kita siap memenangkan diri kita atas hal-hal dan perbuatan baik?   -terinspirasi dari homili Pater Dodo, S.J.   Visualisasi Jalan Salib Hidup | 29 Maret 2024 | 10.00 WIB | OMK Paroki St. Yusup Gedangan | Halaman Bintang Laut – TK Theresia – SD Marsudirini – Susteran OSF                 Kontributor: Gedangan Muda

Pelayanan Gereja

SMP Negeri 2 Surakarta Belajar Toleransi di Pondok Pesantren

Sabtu, 27 Januari 2024, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak menerima kunjungan dari SMP Negeri 2 Surakarta. Pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, K.H. Abdul Qodir menerima kunjungan dengan penuh hangat dan kasih. Kunjungan ini menjadi sebuah pelajaran penting bagi SMPN 2 Surakarta untuk belajar mengenai toleransi dari pondok pesantren. SMP Negeri 2 Surakarta mengadakan acara kunjungan ke rumah-rumah ibadah dalam rangka merayakan Natal. Sebanyak 88 siswa-siswi Kristen dan Katolik beserta 8 guru pendamping berkunjung ke Klenteng Sam Poo Kong, Katedral Semarang, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Vihara Watugong. Setelah mengunjungi keempat rumah ibadah tersebut, siswa-siswi dan guru pendamping diharapkan memiliki pemikiran yang terbuka sehingga toleransi pun semakin bertumbuh. Dalam konteks mengenal Islam, SMP Negeri 2 Surakarta memilih berkunjung ke Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin. Mereka ingin mengenal lebih jauh kehidupan pondok pesantren. Kedatangan siswa-siswi dan guru SMP Negeri 2 Surakarta disambut secara meriah dengan penampilan kesenian rebana. Untuk pertama kalinya mereka melihat secara langsung penampilan kesenian rebana. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin memiliki tim rebana yang sudah banyak tampil di gereja-gereja Katolik dan Kristen. Para guru merasa terharu dan takjub atas sambutan yang begitu meriah dan hangat. Mereka sungguh bersyukur karena diterima dengan sangat baik dan penuh sukacita. Sambutan dari pihak pesantren mengubah pandangan mereka. Mereka semakin mengenal secara dekat dan tahu seperti apa pola pendidikan yang diterapkan di pesantren. K.H. Abdul Qodir memberikan penjelasan kepada siswa-siswi dan guru bahwa Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin memiliki visi SICMA (Soleh, Inklusif, Cerdas, dan Mampu memimpin). Para santri tidak hanya dididik memiliki kecerdasan tetapi juga dididik memiliki nilai-nilai inklusif. Visi inklusif ditekankan oleh K.H. Abdul Qodir agar para santrinya memiliki pemikiran terbuka sehingga mampu berelasi dengan orang lain tanpa membeda-bedakan agama. Setiap tahun, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin selalu mengadakan program-program penguatan toleransi beragama bagi para santri. Tahun 2023 yang lalu, mereka mengadakan kunjungan ke Dusun Thekelan, Kecamatan Kopeng untuk belajar mengenai agama Budha dan live in di desa Buntu, kecamatan Kejajar Wonosobo untuk melihat keragaman agama. Desa Buntu merupakan desa laboratorium kebhinnekaan. Selain itu, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin menerima beberapa kunjungan dari SMA Kolese Loyola, Jesuit Refugee Service (JRS), dan para Magister Novis JCAP. K.H. Abdul Qodir menceritakan juga bahwa ada frater yang belajar di pesantren ini dan tinggal bersama dengan para santri. K.H. Abdul Qodir ingin berbagi pengalaman kepada siswa-siswi dan guru bahwa visi inklusif dari pesantren bukanlah sekadar jargon manis. Visi inklusif selalu dihidupi di dalam hati dan dilaksanakan dalam tindakan sehari-hari. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin selalu berusaha membangun jembatan kepada semua orang. Dalam hidup ini, sangat diperlukan membangun jembatan dan bukan membangun sekat. Kita perlu membangun relasi dan berbuat baik kepada semua orang karena inti dari ajaran setiap agama adalah kemanusiaan. Gus Dur pernah mengatakan tidak penting apapun agamamu. Jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu. Kontributor: Sch. Wahyu Mega, S.J.

Pelayanan Gereja

Menjadi Kaum Muda yang 100% Katolik 100% Indonesia

Pada 14 Februari 2024 nanti, negara kita akan mengadakan Pemilu untuk menentukan pemimpin negara yang baru. Dalam rangka menyambut Pemilu ini, Gereja St. Yusup, Gedangan menyelenggarakan Talkshow Kebangsaan dengan tema “Terlibat dan Mewarnai Pemilu 2024”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 13 Oktober 2023 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu P. Benedictus Cahyo Christanto, S.J., Mas Erasmus, Mas Wempy, dan Mas Indra. Sasaran utama dalam Talkshow Kebangsaan ini adalah kaum muda Katolik dengan rentang usia 17-21 tahun atau biasa disebut dengan pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang pada pemilu sebelumnya (tahun 2019) belum bisa menggunakan hak pilihnya karena belum terkategori sebagai pemilih. Pengetahuan mereka masih kurang mendalam dan sebagian besar belum memahami pentingnya hak pilih yang dimiliki demi nasib bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan. Selain itu menjadi keprihatinan dan kekhawatiran bahwa akhirnya para pemilih pemula memutuskan untuk golput (golongan putih) karena kurangnya informasi dan tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Tak jarang para pemilih pemula pun menjadi sasaran untuk dipolitisi para calon demi mendongkrak popularitas dan mengikuti kampanye yang dilakukan. Bisa juga menjadi sasaran dalam politik uang yang terkadang masih terjadi. Dalam talkshow ini, ada 49 peserta yang datang. Secara khusus mereka diajak agar mau terlibat dan mewarnai Pemilu 2024 nanti. Dalam talkshow Kebangsaan ini, Pater Cahyo, S.J. memaparkan tentang Ajaran Sosial Gereja (ASG). Pater Cahyo menegaskan bahwa ASG merupakan ungkapan keprihatinan Gereja Katolik atas persoalan sosial kemasyarakatan. “Kita tidak dapat disebut sebagai orang Katolik sejati kecuali kalau kita mendengarkan dan melaksanakan panggilan gereja untuk melayani mereka yang membutuhkan dan untuk bekerja demi keadilan dan perdamaian,” ujarnya. Mas Erasmus dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) memberikan wawasan kepada peserta mengenai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka berarti menjunjung nilai kebebasan, bersatu dalam arti bersatunya seluruh rakyat Indonesia, adil dalam nilai kesetaraan, serta makmur yang artinya setiap orang harus dapat mencapai hidup sejahtera. Mas Wempy dan Mas Indra perwakilan dari Kevikepan Semarang mengajak kaum muda Katolik mau terlibat dalam kegiatan politik dengan ikut serta dalam Pemilu dan menggunakan hak pilihnya. Mgr. Soegijapranata, Uskup pribumi yang pertama, mencetuskan tentang “100% Katolik, 100% Indonesia”. 100% Katolik berarti kita ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan menggereja dan 100% Indonesia berarti terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Mereka berdua mengatakan kaum muda yang menggunakan hak pilihnya adalah kaum muda yang 100% Katolik 100% Indonesia. Talkshow Kebangsaan membawa angin segar bagi kaum muda. Kaum muda bukan hanya diajak untuk menggunakan hak pilihnya tetapi juga diajak secara sadar menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia. Dengan berbagai materi dari narasumber, kaum muda diharapkan dapat melek politik sehingga mereka menjadi pemilih pemula yang cerdas dan berkualitas. Valen sebagai pengurus misdinar yang mengikuti Talkshow Kebangsaan merasa mendapatkan banyak informasi dan termotivasi untuk ikut serta dalam Pemilu. “Saya harus menggunakan hak pilih saya karena saya mau menjadi 100% Katolik 100% Indonesia,” tegasnya. Kontributor: Fr. Wahyu Mega, S.J.