Dari kecil aku sudah dibiasakan dengan kehidupan di kota yang serba ada dan di keluargaku aku merasa semua kebutuhan dan keinginanku dapat dipenuhi dengan mudah. Saat mengetahui kami akan mengikuti Live In, sesungguhnya aku merasa malas karena dulu aku sudah pernah merasakannya dan saat itu rasanya tidak memberikan pengalaman yang begitu berarti untuk kehidupanku selanjutnya. Dalam Live In, kami tinggal bersama orang tua yang baru di lingkungan baru dan jauh dari suasana perkotaan yang modern dan semuanya bisa didapat dengan mudah. Sekarang aku harus menjajaki kehidupan di desa yang nampak asing kemudian menempatkan diri untuk ambil bagian dalam komunitas di tempat yang baru itu. Untuk kesempatan Live In yang kedua kali ini aku mencoba untuk lebih membuka diri dan menerima semua pelajaran baru untuk aku bawa sepanjang hidupku.
Sejak hari pertama aku merasa disambut dan diterima dengan baik oleh masyarakat di tempat kami Live In. Terlebih sifat dan kebiasaan orang tua angkatku tidak jauh berbeda dengan orang tuaku di Jakarta. Mereka sangat peduli dengan kami, sampai-sampai kami sering merasa tidak enak karena mereka selalu memberikan yang terbaik untuk disajikan kepada kami. Aku sebagai orang baru tidak merasa asing dan merasa dekat dengan rumahku. Aku sangat bersyukur akan itu semua. Selama 5 hari kami tinggal disana, mereka sungguh memperlakukan kami seperti anaknya sendiri.
Aku menemukan perbedaan yang cukup jelas dari kehidupan sosial orang-orang disana dan di Jakarta. Masyarakat disana cenderung lebih ramah satu dengan yang lain. Dengan kami yang orang baru saja mereka selalu tersenyum dan menyapa kami, apalagi dengan sesama warga lokal sana. Pasti mereka bisa membangun kehidupan bermasyarakat yang saling membangun dan melengkapi. Rasa kekeluargaan juga tumbuh dengan sendirinya, jika ada yang membutuhkan semua akan berusaha membantu mencari jalan keluar. Contohnya di keluargaku sempat kekurangan air karena air dari sumur sempat habis, dengan penuh perhatian tetangga depan rumah membagikan air bersihnya untuk kami. Disini terlihat rasa kekeluargaannya, mereka menyadari bahwa tetangga adalah orang terdekat kita setelah keluarga kita sendiri. Jadi rasanya tidak mungkin untuk tidak mengenal tetangga di sekitar kita. Berangkat dari pengalamanku ini, aku ingin meng-aplikasikannya dalam kehidupanku di Jakarta untuk lebih mengenal orang-orang di sekitar rumah.
Ada pengalaman lain yang cukup mengejutkanku yang terjadi dalam lingkup keluarga angkatku. Di hari yang kedua kami tinggal disana, kami berniat untuk pergi ke rumah keluarga angkat teman kami. Setelah bersiap kami pun pamit untuk pergi sebentar, tiba-tiba orang tua angkat kami bilang bahwa kunci rumah diletakkan di depan pintu jadi sewaktu-waktu kami kembali ke rumah dan tidak ada orang kami tetap bisa masuk. Jujur aku cukup kaget karena ini jelas pengalaman yang sulit ditemukan di Jakarta. Orang-orang disana tidak merasakan “trust issues” dengan mudahnya mereka percaya kepada kami yang terhitung sangat baru menjadi anggota keluarga mereka. Lagi-lagi ada pengalaman baru dan menarik yang aku alami. Mungkin agak sulit untuk menerapkan rasa saling percaya ke semua orang apalagi orang baru. Tetapi di keluargaku membuktikan bahwa rasa saling percaya adalah salah satu nilai penting yang masih dilestarikan oleh orang-orang disana. Di perkotaan agak sulit rasanya untuk mudah percaya ke orang baru, ketika kita ingin mencoba mudah percaya dengan orang baru, rasannya kiasan “air susu dibalas air tuba” menjadi nyata.
Kami sempat diajak untuk bermain ke sawah melihat-lihat padi yang akan dipanen. Terlihat beberapa petani menggunakan caping dengan pakaian panjang untuk melindungi diri dari teriknya matahari. Kami pun melihat salah satu proses memanen padi yaitu ketika tanaman padi yang sudah layak panen dipisahkan antara gabah dengan batangnya, ada juga petani yang sedang memotong batang padi menggunakan arit. Aku pun bertanya-tanya tentang keingintahuanku pada kehidupan seorang petani. Ternyata proses panjang dari mulai memanen padi sampai padi menguning membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan dimana itu bukan waktu yang singkat. Gabah kemudian dijual per kwintalnya berkisaran 500-600 ribu dan para petani biasanya mendapat 7-8 kuintal untuk luas lahan 1500m2. Jika dihitung-hitung penghasilan mereka hanya berkisar 1 juta setiap bulan. Penghasilan para petani terbilang sangat kecil dan dengan uang sebesar itu mereka belum tentu bisa membeli barang-barang yang menjadi kebutuhan tersier karena kebuthuan pokok saja belum tentu bisa terpenuhi. Ada beberapa pelajaran yang bisa aku ambil. Aku belajar untuk lebih menghargai makanan yang menjadi rahmat rejeki yang Tuhan karena dibalik makanan tersebut ada perjuangan banyak orang. Aku juga melihat bahwa dengan penghasilan yang pas-pasan mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia. Jarang aku melihat masyrakat disana yang menunjukkan raut wajah ketus dan stress. Di keluarga angkatku aku juga merasakan bahwa ada harmoni yang baik antar anggota keluarga, mereka selalu menciptakan suasana yang bahagia dan terlihat ada kasih sayang yang tumbuh disana.
Pada kamis malam, desa kami mengadakan pendalaman iman dewasa yang biasanya dilaksanakan seminggu sekali. Dalam acara sembayangan tersebut dihadiri kebanyakan oleh orang yang sudah berumur. Namun aku masih bisa melihat ada anak-anak muda yang ikut hadir dalam sembayangan dan ikut aktif berperan dalam acara tersebut. Dari sini aku belajar sebagai anak muda untuk lebih aktif lagi dalam kegiatan rohani yang mengasah iman dan kepercayaan kita akan Tuhan. Pada akhirnya aku menyadari bahwa aku sering kali merasa hampa dan itu semua karena kurang adanya komunikasi iman antara aku dan Tuhan. Mulai hari itu aku akan lebih sering memperdalam iman dengan rajin berdoa dan mulai aktif lagi dalam kegiatan lingkungan. Dalam sembayangan itu pula aku bisa melihat bagimana dengan ekonomi yang seadanya, tuan rumah berusaha untuk menyajikan yang terbaik untuk bisa dinikmati bersama. Orang-orang yang hadir pun nampak bisa menikmati sajian yang diberikan. Bagi mereka yang terpenting adalah suasana kebersamaan untuk sekedar ngobrol-ngobrol berbagi cerita dan pengalaman yang terjadi dalam satu minggu belakangan.
Dari keseluruhan pengalaman Live In ini aku mendapat banyak pelajaran baru yang ingin aku terapkan saat aku kembali ke Jakarta. Aku belajar untuk hidup sederhana mulai dari hal kecil yaitu untuk berhemat dan menabung. Aku belajar untuk bersyukur akan semua yang telah Tuhan berikan, karena belum tentu orang lain mendapat rahmat yang kita dapat. Aku belajar untuk lebih menghargai sesama bahkan musuh sekalipun, karena hidupakan terasa lebih indah ketika kita saling mengharga dan menghormati orang di sekitar kita. Aku ingin meluangkan waktuku untuk mengasihi karena itu merupakan pemberian terbesar dari Tuhan. Yang terakhir aku ingin meluangkan waktuku untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dengan berdoa, karena itu merupakan kekuatan terbesar di bumi.
Bryanco Andro (Siswa SMA Gonzaga)