Alunan lagu “Viva La Vida” yang dimainkan oleh Gonzaga Big Band Orchestra mengiringi pembukaan Gonzaga Reflective Learning Experience Exhibitions atau G-REFLEX, yang ditandai dengan pencampuran serbuk Kalium Permanganat (KMnO4) ke dalam larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) oleh Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo SJ., M.Ed., hingga menimbulkan keluarnya asap dari sebuah miniatur gunung untuk menggambarkan ledakan pemikiran-pemikiran yang siap diluncurkan. Kegiatan G-REFLEX yang berupa presentasi-presentasi karya tulis dan pameran infografis ini dilaksanakan pada 18-21 Maret 2025, dihadiri para orang tua siswa, para guru, dan siswa dari sekolah lain, perwakilan dari dinas pendidikan, dan akademisi dari perguruan tinggi. Berlatih Melihat Fenomena dan Menemukan Masalah Pada pertengahan bulan Agustus 2024, siswa kelas XII SMA Kolese Gonzaga mulai berproses menyusun karya tulis yang digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program ini merupakan program yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, namun terus ditingkatkan kualitasnya berdasarkan evaluasi-evaluasi pada setiap akhir pelaksanaannya. Untuk tahun pelajaran 2024/2025, program karya tulis siswa angkatan XXXVI Kolese Gonzaga yang berjumlah 289 orang dan terbagi menjadi 90 kelompok ini mengambil tema utama Universal Apostolic Preferences (UAP) dari Serikat Jesus. Mereka menyusun karya tulis dengan memilih topik yang berkaitan dengan Showing the way to God, Walking with the Excluded, Journeying with Youth, maupun Caring for our Common Home. Selain itu, sekolah juga membuka peluang bagi para siswa untuk memilih topik yang berkaitan dengan Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM). Setiap kelompok didampingi oleh seorang guru pembimbing sehingga ada 54 orang guru yang berperan sebagai guru pembimbing. Meskipun banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita, namun tidaklah mudah untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah dalam fenomena-fenomena tersebut. Soegiyono Tuckman, seorang penulis buku metode penelitian, menyatakan bahwa jika seorang calon peneliti telah berhasil menemukan masalah penelitiannya, maka 50% pekerjaan penelitian sudah selesai. Hal tersebut menekankan betapa krusialnya proses mengidentifikasi masalah. Pada proses ini tentu arahan dan bimbingan para guru sangat dibutuhkan siswa. Siswa dibimbing untuk berlatih berpikir kritis melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara norma dan kenyataan, antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya terjadi, antara teori dan praktik. Literasi menjadi kunci awal membuka pemikiran dan wawasan siswa agar lebih tajam dalam menilai persoalan. Praktik Cura Personalis Dalam Pendampingan Karya Tulis Selama kurang lebih enam bulan para siswa berdinamika bersama guru pembimbing, ada banyak diskusi yang terjadi. Para guru pembimbing dalam proses ini tidak hanya membimbing teknis penulisan, metodologi ataupun mengarahkan dari sisi pengetahuan, namun lebih dari itu, pembimbing harus lebih mengenal siswa yang dibimbing, lebih memahami karakter, kelebihan, dan kelemahannya sehingga lebih mengerti kebutuhan setiap siswa. Ada siswa yang sangat tinggi inisiatifnya, terampil mencari literatur, dan rajin. Ada siswa yang perlu dimotivasi untuk berkontribusi dalam penulisan, sulit bekerja sama, dan ada pula yang memiliki hambatan-hambatan khusus seperti permasalahan pribadi maupun gangguan kesehatan. Rangkaian bimbingan karya tulis ini seakan menjadi retret panjang. Guru sebagai individu dewasa, berperan sebagai fasilitator yang harus terus belajar memahami dan mengarahkan, sementara siswa sebagai retretan dibimbing hingga sampai tahap reflektif dan menemukan Tuhan dalam pergulatannya berproses menyusun karya tulis. Saat suatu kelompok mengangkat permasalahan tentang prokrastinasi yang berawal dari keprihatinannya pada budaya last minutes di kalangan gen Z, tentu saja kelompok yang juga beranggotakan gen Z ini, mengalami pergulatan, apakah mereka juga sering menunda-nunda tugas, lalu bagaimana seharusnya anak muda berkomitmen untuk tidak membuang-buang sumber daya waktu? Sementara itu, beberapa kelompok mengangkat permasalahan yang berhubungan dengan konsumerisme, baik budaya fast fashion, gaya hidup, pola makan, maupun pembelian impulsif yang terjadi karena perkembangan digital marketing serta peer pressure. Ada pula kelompok yang menulis tentang kepedulian anak zaman sekarang terhadap lansia, dengan melihat fenomena yang terjadi pada orang-orang tua yang kesepian, sementara anak-anak yang sudah mereka bekali dengan pendidikan tinggi sibuk dengan karir dan pekerjaannya. Persoalan kepedulian lingkungan, kesadaran politik, pengabaian Gen Z di dunia kerja, ancaman judi online, kebiasaan merokok, dan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi pada Gen Z mewarnai presentasi-presentasi karya tulis saat G-REFLEX. Latisha, seorang siswi muslim, membagikan pengalaman saat dirinya mencari literatur dan kemudian membaca tentang UAP serta ensiklik Laudato Si. Ia semula bingung karena ada banyak istilah-istilah agama Katolik, namun hal itu membuatnya penasaran dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami dunia melalui perspektif yang berbeda. Ketika Ia mulai memahami konsepnya, Ia menemukan ada hal-hal yang mirip dengan ajaran Islam, tentang nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian lingkungan. Para siswa yang memilih topik-topik STEAM, mempresentasikan karya tulis mereka setelah berproses dengan kerja laboratorium, untuk mencari solusi penanganan limbah ataupun membuat suatu produk olahan makanan. Ada pula siswa yang menulis studi kasus berdasarkan pengalaman dirinya, berjuang menghadapi sakit yang menghambat kehidupan akademik dan sosialnya, serta pergulatan imannya untuk terus berpengharapan. Permasalahan-permasalahan ini sangat kontekstual dan benar terjadi di dalam diri mereka sendiri atau di lingkungan sekitarnya. Demikian diharapkan tema G-Reflex “Non scholae, sed vitae discimus” yang berarti kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup, diharapkan benar-benar dihayati oleh seluruh komunitas terutama para siswa. Puncak Pengalaman Belajar Penilaian yang dilakukan sekolah dalam proses penyusunan karya tulis dan G-REFLEX ini meliputi penilaian terhadap jurnal yang disusun, pembuatan infografis dan roda ilmu pengetahuan, penilaian keterampilan berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat dalam presentasi baik bagi presenter maupun audience (kelas X dan XI), serta penilaian sikap siswa selama berproses. Para siswa kelas X juga dilibatkan sebagai Liaison Officer (LO), sementara kelas XI juga dilibatkan sebagai notulis, sedangkan yang berperan sebagai moderator diskusi adalah para siswa kelas XII. Para orang tua siswa yang hadir juga diberi kesempatan bertanya ataupun memberikan masukan. Ada banyak momen yang mengharukan saat orang tua mengapresiasi anak mereka sendiri ataupun momen lucu ketika orang tua memberikan pertanyaan yang menantang kepada anaknya. Kegiatan penulisan karya tulis diharapkan juga mendukung kesiapan para siswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Iceu Rufiana, M.M., M.Si. selaku Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan Jakarta Selatan, setelah menyaksikan jalannya kegiatan. Beliau menyampaikan kesesuaian kegiatan ini dengan kurikulum yang sedang berjalan, yang menekankan deep learning, lebih mendalam dalam mempelajari sesuatu, dengan penuh kesadaran (mindful), lebih reflektif sehingga bermakna (meaningful), lebih holistik, dan dijalani dengan gembira (joyful). Beliau