Pilgrims of Christ’s Mission

Volunteer Realino SPM

Pelayanan Masyarakat

Kamu-Kamulah Penghuni Surga

Memanusiakan Manusia Di tengah hiruk-pikuk kota berjuluk Kota Pelajar itu terdapat berbagai wilayah terpinggir yang sering kali luput dari pandangan orang. Salah satunya adalah Bongsuwung. Tempatnya berdiri di samping rel kereta yang memaksa orang sekitar mendengar deru kereta setiap hari. Pun masih ditambah ketersediaan infrastrukturnya yang sederhana. Di lain sudut ada daerah Pingit dan Jombor yang punya “keunikan” tersendiri, seolah tak mau kalah dengan Bongsuwung.   Mungkin sudah bisa terbayang bagaimana ritme kehidupan penduduk di sana. Entah mereka masih memiliki angan hidup layak atau impian kemakmuran mungkin menjadi pertanyaan yang terlalu utopis. Barangkali sekadar mendapatkan sesuap pangan hari ini sudah menjadi syukur mendalam bagi mereka. Apakah esok rezeki masih tersedia atau tidak, mereka sepenuhnya pasrahkan kepada Yang Esa, itu pun andai mentari esok masih dianugerahkan bagi mereka.   Kendati demikian, mereka masih manusia. Sudah layak dan sepantasnya bagi kita, sesama manusia, memanusiakan mereka. Mereka pun pantas merasakan hak bisa hidup layak, sekurang-kurangnya dalam bidang pendidikan. Itulah yang telah dan terus dilakukan Realino SPM. Dengan bersenjatakan perlengkapan keterampilan dan prakarya, para volunteer Realino siap diutus mengemban tugas menabur benih harapan bagi anak-anak di sana.   Volunteer Realino, mayoritas beranggotakan mahasiswa/i dari berbagai universitas di Yogyakarta. Mereka memberikan pelajaran menyenangkan sekaligus bermanfaat mendorong kemampuan kognitif dan memantik nyala api humaniora dalam diri anak-anak Jombor, Bongsuwung, dan Pingit. Lewat pelbagai prakarya sederhana maupun kegiatan serupa diberikan kepada anak-anak SD dan SMP tersemat harapan nilai juang dan semangat berprestasi bisa tumbuh dalam hati anak-anak.     Meneladani Penghuni-penghuni Surga Sekilas, mungkin kata volunteer atau model sukarela yang ditekankan dalam pelayanan Realino menunjukkan semua pihak yang terlibat pelayanan tidak mendapat imbalan apa pun. Nyatanya, tidak demikian. Jika kita bertolak lebih dalam, kita sanggup menemukan hidden gem yang membuat kita lebih memaknai perjumpaan para volunteer dan anak-anak di Komunitas Belajar Realino.   Semangat dasarnya, para volunteer menjadi pendidik dan anak-anak yang menjadi siswa/i. Namun, nyatanya hal sebaliknya bisa terjadi. Para volunteer bahkan kita semua bisa belajar banyak keutamaan dari anak-anak. Tidak hanya karena status mereka anak-anak pinggiran, tetapi lebih sederhana lagi, status mereka sebagai anak-anak. Yesus pernah berpesan, “Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga.” Apa sebenarnya bisa dipelajari dari anak-anak spesial ini? Mereka suka bertengkar. Mereka cerewet dan susah diminta diam apalagi mendengarkan. Kata-kata mereka acap kali terdengar keras, kasar, dan tak segan mengumpat. Bahkan cara mereka berbicara pada para volunteer pun bisa dengan ujaran kasar. Kita bisa berpandangan faktor lingkungan kuat mempengaruhi mereka.   Di sisi lain kita bisa melihat kebaikan anak-anak, yang seringkali luput dari mata kita, karena terlalu fokus pada kenakalan mereka. Apakah kita pernah menyadari betapa mudahnya anak-anak saling berjabat tangan, memaafkan tak lama setelah saling bertengkar? Atau entengnya lidah mereka mengatakan “Kak ini caranya gimana sih! Tolongin dong aku enggak paham” ketika sedang ditemani membuat prakarya? Terkesan sederhana. Namun, jika ditanya kapan terakhir kita melakukan hal serupa? Rasanya kita mulai sadar betapa mudahnya anak-anak itu mengesampingkan ego diri mereka. Mungkin seiring bertumbuh dewasa, ego kita turut kian jaya, membuat kita lupa caranya mengucap “maaf”, “tolong”, atau “terima kasih”. Kita seakan hidup di dunia yang mengucap maaf adalah kalah dan yang mengucap tolong adalah lemah.   Pada momen lain, jika sempat memperhatikan, betapa semangatnya anak-anak ini saat menceritakan pengalaman seru mereka menjelajah sawah yang menghiasi kampung halaman mereka. Pada kisah lain, mereka berbagi betapa asyiknya berangkat sekolah bersama sahabat-sahabat terdekat tiap pagi. Saat itu juga sebenarnya kita diingatkan terus dan terus bersyukur. Tuntutan studi atau pekerjaan sepertinya bisa menggiring pola pikir kita, bahwa bersyukur hanya bisa dilakukan saat berhasil meraih nilai ujian sempurna atau saat hari gaji turun. Padahal dari hal sesederhana melihat mentari pagi masih diterbitkan bagi kita, atau memandang wajah kita di cermin pun pantas disyukuri. Semua hal bisa disyukuri. Bahagia itu sederhana bila kita mampu bersyukur.   Kontributor: Efrem Mas Aletadeo Satya Pramuda – Volunteer Realino SPM

Feature

Hidup Baru

Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dinilai sebagai kota sejuta kenangan. Satu album kisah akan terus diceritakan dengan bangga kepada orang-orang di manapun berada. Kota ini terus bergerak, seakan tidak ada kisah mata tertutup beristirahat. Kadang, Yogyakarta menjadi pelarian semua insan mencari sejuta kebahagiaan. Banyak pribadi mengisi hidup memanjakan mata di berbagai tempat wisata, mempelajari sejarah memukau, menikmati enaknya varian kuliner, dan mencari banyak teman dari segala sudut Indonesia. Banyak pula rela meninggalkan keluarga sejenak di jauh sana untuk mengejar ilmu dan sejuta impian. Hidup baru terus terjadi di kota Yogyakarta.   Pengalaman semacam itulah yang dicari. Boleh aku katakan, salah satu pengalaman indah adalah pengalaman di Realino SPM. Sejarah hidupku di Realino memang dimulai demi pemenuhan syarat di kampus, tugas pengabdian sosial. Aku dan keempat teman lainnya menemukan kom unitas yang kami yakini Realino SPM adalah ruang perjumpaan yang memberi fasilitas melibatkan diri ke situasi jarang terjamah. Tempat ini menjadi ruang yang terus mengajarkan siapa saja tentang arti kehidupan.   Perjalanan kisahku di Realino aku buka dengan satu nasihat rohani tercatat di buku lama, Alkitab. Bunyinya demikian: “Kalau seseorang berkata, ‘aku mengasihi Allah’, tetapi membenci saudaranya, berarti dia berbohong. Orang yang tidak mengasihi sesama manusia yang kelihatan tidak mungkin bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan” (1 Yohanes 4:20). Tidak perlu lama duduk merenung memahami makna dari nasihat suci ini. Namun, butuh banyak hal perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan adik-adik dampingan Realino SPM mengajarkanku menghidupi kasih kepada Allah yang sesungguhnya.   Adik-adik dari Komunitas Belajar Realino, baik di Bongsuwung maupun di Jombor, banyak memberi coretan makna padaku. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya, mempunyai waktu bagi mereka yang tinggal di kanan-kiri jalur kereta api. Tidak banyak waktu kami bersama, hanya dua jam dari dua puluh empat jam sehari yang kupunya. Namun, dua jam itu sanggup memberi banyak perubahan. Banyak cerita bisa aku sampaikan di kesempatan lain, mungkin tidak dalam tulisan singkat ini. Cerita-cerita itu menarik, yang jika diceritakan tidak cukup di atas selembar kertas. Kali ini aku hendak membagikan beberapa kisah-kasih dari perjumpaan dengan adik-adik di Bongsuwung. Kata pertama memulai cerita adalah: lelah.   Rasa lelah menjadi bagian perjalanan kisahku selama menjadi volunteer Realino SPM. Setiap perjumpaan memiliki lelahnya masing-masing. Pengalaman memori indah adalah ketika aku membantu proses belajar di Bongsuwung. Udara kota pukul satu siang saat itu sangat tidak dapat ditoleransi. Panas sekali, kipas di ruang pertemuan pun rasanya tidak kuasa membantu. Rangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dimulai. Saat itu aku mendapatkan tugas sesi dinamika, gerak-lagu, dan game.   Aku yang ekstrovert merasa hal itu bukan soal besar. Mudah bagiku mencari ide. Ide kudapatkan, tinggal energi perlu dipersiapkan. Hal ini disebabkan energi adik-adik di sana sungguh luar biasa. Boleh aku katakan melampaui batas? Sangat boleh. Suaraku kerap kalah dibandingkan riuh suara mereka. Kerap instruksi yang aku berikan tidak tersampaikan jelas karena mereka memilih bermain dan berteriak sendiri. Panas, lelah, sekaligus emosi terkadang perlu aku kontrol dengan baik. Untunglah, teman-teman volunteer lainnya berkolaborasi baik. Kami saling membantu, mendukung, dan melengkapi. Mereka luar biasa hebat.   Kendati demikian, pengalaman penuh berkat jauh lebih banyak aku dapatkan. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan adalah ketika aku bersama volunteer lainnya menjemput beberapa anak yang tidak hadir untuk belajar. Pada Sabtu siang itu, adik-adik yang hadir di ruang belajar hanya sedikit. Tidak tahu apa yang menjadi alasan mereka, yang jelas bahwa ini bukan fenomena biasa. Apakah karena mager (malas gerak)? Inilah spesialnya menjadi volunteer Realino, tidak hanya mengajar namun menjadi teman dengan mencari mereka. Aku dan beberapa volunteer lainnya menjemput ke rumah-rumah mereka. Dengan cara itulah mereka mau datang ke Komunitas Belajar Realino.   Aku terhenyak. Momen itu menjadi penyedap refleksiku hari itu. Aku bisa menyaksikan langsung keadaan tempat tinggal mereka. Hidup di lingkungan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rumah relatif seadanya. Aku baru sadar celotehan salah satu adik di sana, awalnya aku kira sebatas candaan. “Boro-boro hiasan dinding mas-mas, rumah aja dari kardus!” Kalimat kemudian baru sungguh aku sadari maksudnya. Aku sadar karena datang dan melihat. Sejak hari itu, aku mulai merenungkan sesuatu yang fundamental. Pertanyaan sederhana sekali, mendasar, tapi selalu dilupakan setiap insan karena terlalu nikmat menjalani keseharian nyaman. Apa itu hidup bagiku dan Anda?   Aku selalu bertanya, apa makna hidup bagi mereka? Dalam situasi ini, bukan perkara mudah menemukan makna. Makna dalam yang membawa mereka pada proses terus menjalaninya. Mungkin saja mereka tidak bisa membahasakan makna hidup. Akan tetapi makna itu sungguh tertanam dan berbuah pada perjuangan sesungguhnya. Sebagaimana judul di atas, hidup baru. Bagiku hidup adalah suatu pembaruan terus-menerus. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sepersekian detik kemudian. Hal yang kita tahu adalah saat ini, masa depan adalah rencana. Hidup itu dinamis, terus berubah. Manusia hanya bisa berharap perubahan itu terjadi ke arah lebih baik.   Aku sungguh sadar, keberadaanku di tengah-tengah komunitas Realino SPM adalah berkat. Aku mengenal banyak saudara dari berbagai sudut Indonesia. Aku terlibat menyusun asa adik-adik di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung-Jombor agar memiliki sejuta harapan dan semakin yakin pada keterlibatan Allah dalam setiap asa yang diperjuangkan.   Kontributor: Fr. Marcelinus Wahyu Setyo Aji, SCJ – volunteer Realino SPM

Feature

Ketika Kepentingan dan Kemurnian Bercengkrama di Jombor

Tulisan ini hasil refleksi pandangan kami sebagai pihak yang ‘berkepentingan.’ Mulanya, kami datang sebagai tamu yang ‘terpaksa’ terlibat karena sebuah tuntutan dalam organisasi yang menaungi kami, KEMANT UGM. Namun, kepentingan inilah yang pada akhirnya membawa kami mengenal sebuah ‘penerimaan’ berharga dari keluarga Realino SPM. Kami merasa keluarga ini terbentuk karena sebuah panggilan dengan akar kasih dan kerinduan melayani. Panggilan itulah yang terus Realino pegang sebagai sebuah prinsip, ketaatan, dan komitmen dari tahun ke tahun. Bukan suatu kebetulan ketika Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT UGM) diperkenalkan salah satu volunteer dari Realino SPM. Dia adalah ketua organisasi kami sendiri. Jika memang disebut kebetulan, maka kebetulan ini layak untuk dirayakan. Proses merayakan dan dirayakan pada tulisan ini, akan kami fokuskan pada kegiatan di Komunitas Belajar Realino (KBR) di Jombor yang berlangsung pada Sabtu, 28 Oktober 2023. Tepatnya saat itu adalah hari Sumpah Pemuda. KEMANT UGM berkolaborasi dengan Realino SPM melakukan sebuah pengabdian sekaligus kontribusi kepada saudara-saudara kita yang terpinggirkan. Tema yang kami angkat adalah keberagaman. Tema ini kemudian dibungkus dalam sebuah aktivitas yang secara tidak langsung melatih kognitif, psikomotorik, dan afektif anak. Pada jenjang TK, kami ajak mereka mewarnai gambar yang melambangkan kebhinekaan. Di kelompok SD kecil, kami kenalkan mereka tentang wayang. Sedangkan di SD besar kami berbagi ilmu ragam motif batik. Sayangnya, anak-anak pada jenjang SMP yang rencananya akan kami perkenalkan pada bentuk-bentuk wilayah Indonesia, tidak hadir hari itu. Aktivitas-aktivitas di atas sepertinya terkesan sederhana. Dalam persiapan, ternyata rencana kegiatan terus mengundang revisi dan perdebatan ringan antara kami KEMANT UGM. Konsep dan rundown yang kami rancang, pada akhirnya tak bisa jadi pegangan. Kami melaksanakannya tanpa ancang-ancang yang cukup baik. Hal-hal tak terduga, kendala yang muncul di hari-H, cukup membuncah dan menguras tenaga. Semua perasaan dan pikiran itu tidak sekejap lenyap ketika kami sudah berada di lokasi. Kami akui ini pengalaman kami yang pertama kali. Rasanya sangat asing. Ada kesulitan membangun relasi dan melakukan pendekatan kepada anak-anak untuk berinteraksi. Kami belajar mencoba memahami setiap pribadi, membuka diri saling menghargai. Kami belajar membiasakan menanggapi dan membangun hubungan emosional dengan anak-anak yang masih polos. Hal paling penting adalah memposisikan diri tidak menjadikan mereka merasa berbeda dari kami, melainkan sahabat. Kami merasa layak dirayakan karena disambut hangat ketulusan Komunitas Realino SPM yang mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan. Kami juga merasa dirayakan sebab mendapat kekuatan dan kebahagiaan dari ketulusan anak-anak di Jombor. Kami mampu berproses karena mendapat bimbingan dan arahan teman-teman volunteer Realino. Kami sanggup menjalankan rencana ini karena belajar dari kejujuran dan keterbukaan anak-anak tentang bagaimana mengungkapkan perasaan dan pemikiran mereka. Kami merayakan pengalaman ini dengan penuh sukacita, gelaran tikar sebagai alas bincang-bincang. Ada banyak warna yang tertuang, sekaligus tawa yang terlukis manis. Kepentingan awal kami dan ketulusan perjumpaan berhasil dipersatukan, bersinergi dan bercengkrama untuk satu tujuan sama, kasih yang memanusiakan sesama. Kami, awalnya, merasa kegiatan ini sebatas tanggung jawab pada organisasi. Namun kemudian, ini berubah menjadi rasa empati dan ingin melakukan yang terbaik bagi anak-anak di Jombor. Kami menyadari bahwa mereka memiliki hak dan kelayakan yang sama untuk meraih mimpi sama seperti anak-anak lainnya. Pasti bukan perkara mudah terus berinovasi supaya dapat menarik minat anak-anak setiap minggunya. Bukan perkara mudah pula terus berkomunikasi di tengah kesibukan pribadi dan kuliah. Realino berhasil bertahan di Jombor dan kami harap akan berkembang untuk waktu yang lama. Inilah perayaan yang kami ingin tuangkan melalui tulisan. Kami harap ini dapat memberikan kelegaan dan kekuatan bagi semua yang membaca, juga dapat merasakan ikatan emosional yang kami rasakan selama berdinamika di Jombor. Kontributor: Keluarga Mahasiswa Antropologi (KeMAnt) UGM

Pelayanan Masyarakat

“Mencari dan Menemukan Tuhan dalam Segala”

“Carilah Tuhan dalam segala sehingga seluruh dunia penuh dengan kehadiran cinta.” Mungkin kutipan singkat dari Pater Anthony De Mello, S.J. itu dapat menggambarkan isi pengalaman berharga yang kucari dan kutemukan selama aku melanglang buana bersama rekan-rekan terkasih di Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino, Yogyakarta. Kisah yang kubagikan kali ini akan bercerita mengenai orang-orang hebat yang kutemui saat melakukan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Kali pertama aku memulai perjalanan ini adalah dengan mengambil kesempatan terlibat membantu pendaftaran dan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Secara singkat, beasiswa ini merupakan wadah bagi anak-anak yang mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di sini, aku melihat banyak sekali orang yang sangat antusias mendaftar. Namun, dibalik antusiasme yang terlihat, ternyata mereka menyimpan segudang permasalahan hidup yang akhirnya membawa mereka sampai ke Realino SPM. Kisah pertama adalah ketika hatiku tersentuh mendengarkan cerita perjuangan seorang ibu yang membesarkan anaknya sendirian dengan segala keterbatasan. Sang ibu bercerita bahwa ia berpisah dengan suaminya karena tidak mau meninggalkan iman kepercayaan demi pasangannya. Hatiku sangat tersentuh. Sang Ibu tetap memegang teguh iman meskipun harus melalui banyak kepahitan di dalam hidupnya. Kisah kedua, aku berjumpa dengan situasi seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya yang sudah berpisah. Kedua orang tuanya sudah tidak mau mengurusnya lagi sejak kecil. Beruntungnya, ada paman dan bibi yang mau merawat dan memperhatikannya, meskipun hidup mereka juga sangat terbatas. Dalam kesempatan refleksi, aku melihat bahwa perceraian atau perpisahan orang tua menjadi hal yang sangat buruk dan sedemikian berdampak pada anak dalam keluarga tersebut. Apalagi ketika anak akhirnya juga harus menjadi korban keegoisan orang tuanya. Kisah ketiga lebih menyayat hati. Seorang ibu yang selain berjuang mencari rezeki demi kebutuhan hidup dan pendidikan, dia juga harus kuat menerima kenyataan anaknya menjadi korban pelecehan seksual dan bullying. Beliau menguatkan hati anaknya di saat hatinya juga hancur. Apalagi seringkali anaknya berpikir bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri. Ibu itu berusaha sekuat tenaga mencari sekolah terbaik meskipun sebetulnya tidak sanggup membiayai. Dia punya harapan besar agar anaknya tidak terus-menerus mengalami trauma. Sang ibu, beliau tetap memperjuangkan yang terbaik di tengah segala keterbatasannya. Ketiga kisah di atas adalah pengalaman perjumpaan yang menyentuh pikiran dan hati selama survei beasiswa. Perjumpaan dengan mereka menyadarkanku betapa kuatnya mereka menghadapi dan menjalani hari dengan segala perjuangan jatuh bangun sambil tetap beriman kepada Tuhan. Pada awalnya, aku berefleksi bahwa pasti mereka tidak langsung menerima begitu saja. Namun aku percaya bahwa keikhlasan hati dan kekuatan dari Tuhan menjadikan mereka mampu menerima segala sesuatu yang harus mereka jalani. Sisi pengalaman survei beasiswa lainnya adalah jalur atau rute survei menuju rumah-rumah keluarga calon penerima. Perjalanan survei beasiswa ini tidak selalu mudah dan menyenangkan. Adakalanya kami menemui berbagai tantangan dan kesulitan saat proses survei, seperti harus melewati lokasi yang ekstrem, takut menemui orang jahat, cuaca yang tidak mendukung, jalan yang terjal berkelok-kelok, dan sebagainya. Menariknya ketika hal itu terjadi, dalam refleksiku, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat-Nya dalam wujud sesama manusia untuk menolong kami. Aku memahami itu sebagai bentuk pertolongan Tuhan atas niat baik yang hendak kami lakukan. Sahabatku, Faiz juga selalu menguatkan aku bahwa dengan mengatakan, “Anggaplah ini sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian kita kepada Tuhan.” Selain mendapatkan pengalaman tentang kehidupan, kami juga diajarkan untuk dapat membuat pilihan atau keputusan bagi mereka atas beasiswa ini. Menurutku, “membuat pilihan dan keputusan adalah alasan utama kita datang bertemu mereka dan menemukan kehendak Tuhan di dalamnya.” Semoga keputusan yang telah kami sepakati merupakan kehendak Tuhan atas perjuangan dan doa yang mereka panjatkan selama ini. Aku berpesan untuk kita semua, “Jadilah malaikat untuk orang lain kapan pun kau bisa, sebagai cara untuk berterima kasih kepada Tuhan atas cinta yang diberikan kepada kita.” Perjumpaanku dengan mereka menunjukkan kepadaku bahwa bertemu dengan Tuhan bukanlah sebuah kebetulan atau menunggu waktu yang pas. Kita dapat menemukan Tuhan kapanpun dan di manapun, ketika kita mau mencari dan membuka diri akan kehadiran Tuhan. Kontributor: Anny Angelina S – Volunteer SPM Realino

Feature

Love, Service and Obedience

CINTA, PELAYANAN dan KETAATAN. Kata-kata ini mungkin cocok menjadi dasar dari pelajaran sekaligus pengalaman hidup berharga ketika saya menjadi seorang volunteer kurang lebih 1 semester ini. Salam kenal, saya adalah perantau dari salah satu daerah Timur Indonesia, akrab dikenal dengan Nusa Tenggara Timur. Saya datang ke tanah Jawa untuk menimba dan memperdalam pengetahuan saya dan belajar lebih banyak lagi. Kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahwa tempat ini memiliki sejuta keindahan mulai dari tempat wisata, kekayaan kuliner, dan masyarakat yang begitu ramah dan baik. Ada pepatah mengatakan sekali mendayung 2 sampai 3 pulau terlampaui. Bisa jadi itu cocok dengan tujuan saya ke Yogyakarta. Selain melanjutkan studi, saya juga ingin membangun relasi dan memperluas wawasan dengan orang-orang dari daerah lain melalui komunitas yang ada di daerah istimewa ini. Komunitas Realino SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) merupakan salah satu komunitas yang menjadi wadah bagi saya untuk membangun relasi, memperdalam pengalaman, dan mengenal berbagai karakter pribadi yang saya jumpai. Dari awal kegiatan sampai dengan masa akhir ini saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang jadi pelajaran bagi kehidupan saya selanjutnya. Perasaan sedih dan gembira saya rasakan ketika berjalan bergandengan tangan bersama Komunitas Volunteer Realino dan teman-teman di Bongsuwung dan Jombor. Mereka sudah saya anggap seperti keluarga sendiri di tanah rantau. Secara khusus, saya menemukan semangat dan kegigihan anak-anak untuk terus belajar dan bangkit dari ketertinggalan mereka. Atmosfer ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya untuk terus berjuang dan pantang menyerah di segala situasi. Di balik kekurangan yang mereka miliki, tidak ada kata mengeluh. Malahan saya melihat senyuman tulus dari kesederhanaan yang mereka pancarkan setiap kali kegiatan bersama. Maka beginilah refleksi pengalaman saya. Cinta. Mungkin ini terdengar agak alay. Namun, setelah sekian lama saya kembali jatuh cinta bukan dengan seseorang tetapi dengan dengan komunitas (Realino SPM). Komunitas ini telah memberikan warna baru bagi kehidupan saya untuk mengabdikan diri dan membagikan kasih kepada mereka, anak-anak dampingan di Komunitas Belajar Realino di Jombor dan Bongsuwung. Pelayanan. Dari cinta yang saya temukan di komunitas ini, hati saya tergerak berbagi kasih dalam bentuk pelayanan kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung. Kasih yang kami berikan kepada mereka adalah wujud pemberdayaan bagi kaum pinggiran yang ingin bangkit dari ketertinggalan. Kegiatan yang dilakukan sederhana, yaitu setiap Sabtu membantu mereka mengekspresikan bakat dan kemampuan yang mereka miliki, khususnya di bidang keterampilan bahasa Inggris. Ketaatan. Dari cinta yang membentuk kasih pelayanan, akhirnya berujung pada sebuah ketaatan bagi pribadi saya dan teman-teman volunteer lain terus berkomitmen membagikan cinta kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung dan akhirnya kepada semua pribadi yang ditemui. Setiap pengalaman belajar yang saya dapatkan saat bersama anak-anak di komunitas ini membuat saya tumbuh lebih dewasa dalam segala hal. Komunitas ini memberikan banyak pelajaran kepada saya. Salah satunya adalah bahwa menjadi pribadi yang tangguh membutuhkan kemauan berkorban, baik dalam bentuk love, service maupun obedience. Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung yang sudah memberikan warna cerah dalam hidup saya. Mereka juga mengubah pandangan saya terhadap dunia, yaitu bahwa kebahagiaan itu tidak harus mewah. Dalam hal-hal yang sederhana pun bisa ditemukan kebahagiaan. Kontributor: Yohanes Ike Sili Ndarung – Volunteer Realino SPM

Pelayanan Masyarakat

Rumah untuk Kembali

Rumah bagiku adalah tempat ternyaman untuk beristirahat setelah bergelut dengan berbagai kesibukan yang menguras energi. Aku menemukan “rumah” keduaku, tempat menenangkan pikiran sejenak setelah satu minggu berkutat dengan angka serta rumus yang memenuhi memoriku. Realino, itulah rumah keduaku yang aku kenal sejak Februari 2023 lalu. Sebenarnya masih terlalu awal untuk mengatakan Realino sebagai rumah kedua, namun itulah yang aku rasakan selama kurang lebih tiga bulan ini. Bermula dengan postingan feeds Realino saat itu melewati beranda eksplore Instagram pribadiku. Postingan itu menarik mataku dan membuat jariku mulai membuka profil serta menelusurinya lebih dalam. Tanpa berpikir panjang dan hanya bermodal nekat, aku langsung mendaftarkan diri menjadi volunteer. Singkat cerita, aku akhirnya bergabung setelah bertemu dengan Pater Fransiskus Pieter Dolle, S.J. dan Mbak Luci. Pertemuan awal itu saja sudah membuatku yakin bahwa aku akan berada di tempat ini. Hari-hari mengajar selalu berlangsung menyenangkan bagiku. Melihat anak-anak yang menyambut kedatangan para volunteer di tempat mengajar membuatku sumringah. Mereka selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan apa pun. Suatu waktu, salah satu anak bersemangat menghampiriku, memegang lenganku kemudian bertanya “Mbak, hari ini kita mau ngapain? Seru-seruan lagi kan?” Luar biasa, pertanyaan sederhana itu mampu membuat energiku penuh kembali untuk menghadapi berbagai peristiwa yang akan datang. Tingkah laku iseng anak-anak selalu mewarnai Jombor di sore hari. Tanpa mereka, Jombor hanya tempat mengajar biasa yang membosankan. Hal-hal kecil yang dilakukan anak-anak itu membuatku ingin kembali ke sana setiap minggunya, bertemu mereka. Tidak hanya anak-anak yang membuat Realino ini aku tetapkan sebagai rumahku. Realino mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa yang sebelumnya tidak aku duga akan dapat bertemu. Orang-orang itu yakni Pater Pieter, Mbak Luci, para volunteer, dan mereka yang mampir untuk berbagi kebahagiaan. Mereka adalah orang yang mampu membuatku semangat meng-upgrade diri karena aku merasa “ditemani” berproses bersama mereka. Dari mereka aku belajar banyak hal tentang hidup secara tidak langsung. Di tempat ini aku bertemu orang-orang yang bersedia meluangkan waktu di sela kesibukan demi memberikan tenaga melayani orang lain dengan penuh kasih. Dalam keadaan apapun; hujan-panas, siang-malam mereka meluangkan waktu berkumpul di Jalan Mataram yang selalu sibuk itu. Terkadang keluh kesah terdengar, namun senyum mereka tetap terkembang di wajah lelah mereka. Mereka yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang “berjodoh” dengan Realino dan segala isi di dalamnya. Terima kasih Realino. AMDG! Kontributor: Aurelia Pradhita Nareswari Pangarso

Feature

“To Make Them Happy”

Oscar Wilde adalah penyair asal Irlandia. Salah satu pandangan penting Wilde yang coba saya lakukan dalam pendampingan anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah tentang cara terbaik membesarkan anak-anak agar menjadi baik. Dia mengatakan, “The best way to make children good is to make them happy.” Artinya cara terbaik membuat anak baik adalah membuat mereka bahagia. Saya menangkap alasan utama di balik pandangan Wilde ini, bahwa anak-anak yang bahagia akan memiliki kecenderungan lebih besar berperilaku positif dan bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Anak-anak yang merasa senang dan bahagia akan cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki pengalaman belajar lebih baik, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Sejak tahun 2021, saya mulai aktif dalam kegiatan relawan mendampingi anak-anak di Jombor dan Bongsuwung yang dinaungi Yayasan Realino SPM. Saya mendampingi anak-anak dengan latar belakang sosial beragam. Anak-anak yang saya dampingi, terutama di Bongsuwung, merupakan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya soal perekonomian, tetapi juga pendampingan kepribadian, pendidikan moral, dan tata krama. Sedangkan, anak-anak di Jombor sedikit lebih baik hidupnya karena sebagian besar mereka menempuh pendidikan formal seperti anak-anak kebanyakan. Sekilas Kegiatan Pendampingan Selama pendampingan setiap hari Sabtu ini, saya dibantu relawan dari berbagai universitas di Jogja. Mereka adalah orang-orang istimewa yang punya hati untuk anak-anak. Di Jombor, materi belajarnya menggunakan bahasa Inggris. Kadang diselingi games atau ice breaking, bernyanyi bersama, kerajinan tangan atau latihan keterampilan. Sedangkan di Bongsuwung, materinya sebagian besar kerajinan atau keterampilan tangan. Anak-anak juga diajar melakukan hal-hal baik yang sederhana, misalnya membereskan barang-barang yang sudah selesai digunakan, mengucapkan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Kegiatan diusahakan menyenangkan, seru, dan kreatif supaya mereka tidak bosan. Harapannya, anak-anak senang belajar, mau sekolah dan punya semangat menggapai cita-cita mereka. Belajar Sabar Pengalaman hampir dua tahun menemani anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah pengalaman berarti dan berharga bagi saya. Saya menemukan banyak kegembiraan, juga pengalaman berkesan dan meneguhkan. Begitu juga banyak hal bisa dipelajari dari anak-anak. Berapa banyak kesabaran yang saya miliki, misalnya. Saya sadari sungguh, dalam dinamika pendampingan anak, kesabaran sangat diperlukan. Suatu ketika, ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 10 tahun menangis karena diusili temannya. Pada saat yang sama, sekelompok anak ribut karena berebut pensil warna. Di sudut lain, ada dua anak sedang berkelahi tanpa sebab. Sedangkan anak-anak yang lain hanya melihat teman-temannya. Kebetulan hari itu relawan yang datang sedikit sehingga cukup kewalahan mendampingi anak-anak. Ketika saya tanya apakah mengerti materi apa yang baru saja saya jelaskan, mereka menjawab tidak mengerti. Saya harus sabar menunggu mereka menyelesaikan masalahnya, melerai dan mengatakan sedikit kalimat bijak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembelajaran. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak pengalaman saat kesabaran saya diuji. Selama ini saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Namun, ada kalanya saya emosi, kadang menegur mereka dengan nada sedikit keras, atau sekedar menatap mereka dengan kesal. Akhirnya mereka diam, tapi karena takut. Perbedaan sangat terasa ketika saya dengan sabar menegur dan mendampinggi, mengatakan dengan halus apa yang salah dan benar, sedikit lebih lama, tapi mereka akhirnya juga mendengarkan. Mereka mengikuti apa yang saya harapkan. Mereka diam dan mendengarkan karena merasa dicintai. Harapan Setiap kali saya ke Jombor dan Bongsuwung, saya pikir hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk anak-anak adalah membiarkan mereka melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, membiarkan mereka menjadi kuat, membiarkan mereka mengalami hidup dengan caranya sendiri, membiarkan mereka berproses, dan membiarkan mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih percaya pada diri sendiri. Selain itu, biarkan mereka merasa didukung dan dicintai, serta biarkan mereka bahagia dengan hidup mereka. Kegiatan-kegiatan pendampingan selama ini, adalah upaya agar anak-anak hidup bahagia karena setiap orang berharga dan layak bahagia. Dengan cara itu, harapannya anak-anak di Jombor dan Bongsuwung menjadi anak-anak yang lebih baik, berperilaku positif, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, pengalaman belajar lebih baik, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Perjalanan mencapai masa depan mereka masih panjang. Masih banyak keringat dan perjuangan yang harus dilakukan. Saya percaya, anak-anak ini punya cita-cita yang ingin mereka kejar. Saya harap seorang anak yang mengatakan ingin menjadi dokter bisa tercapai. Begitu juga yang mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, penari, dsb. Sebelum itu, saya hanya ingin mereka merasakan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun beratnya hidup mereka saat ini. Anak-anak ini adalah harapan dunia. Dunia yang lebih baik ada di tangan mereka. Saya pribadi bahagia bisa menjadi bagian dari hidup mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, terguyur hujan bersama-sama, dan mengenal mereka satu persatu selama dua tahun ini. Kontributor: Fr. Hilarius Panji Setiawan, Pr – Keuskupan Ketapang

Feature

Pingit!

Yogyakarta, apa yang pertama kali kalian pikirkan ketika mendengar kota ini? Kota Pendidikan? Barang serba murah? Universitas bergengsi? Malioboro? Atau kota metropolitan? Nggak salah sih, tapi tahukah kalian, dengan sebuah perkampungan yang bernama Pingit? Bagi kalian yang sering menuju ke arah Malioboro atau menuju AMPLAS, mungkin sudah tidak asing dengan Pasar Pingit di Jalan Kyai Mojo. Ya, itu pasarnya bukan kampungnya. Untuk mengetahui lokasi kampungnya, kita berjalan sedikit ke arah Jalan Tentara Rakyat Mataram. Di sana kalian akan melihat beberapa bangunan perkantoran dan Universitas Janabadra. Namun tahukah kalian, kalau sebenarnya ada sebuah perkampungan padat penduduk di belakang gedung gedung itu? Yap, betul sekali, itulah Perkampungan Pingit. Kalau dilihat dari sejarahnya, daerah itu awalnya digunakan oleh salah seorang Jesuit dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan keluarganya terutama akibat peristiwa pembersihan yang dilakukan pasca G30S. Oleh karena itu wajar bila kita melihat banyak sekali orang tua atau sepuh yang tinggal di daerah sini. Peran dari Serikat Jesus tak lepas begitu saja setelah “membangun” perkampungan ini. Mereka bekerja sama dengan beberapa mahasiswa sering melakukan kunjungan dan pemantauan rutin ke kampung ini. Bahkan para mahasiswa yang ikut dalam program ini juga selalu mengadakan kegiatan les rutin yang diadakan setiap hari Senin sore. Kegiatan les ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan para anak-anak Pingit. Hebatnya lagi, kegiatan ini gratis dan bebas diikuti oleh semua warga Pingit dari usia TK – SMP. Warga-warga di sini sangat ramah, mereka masih sering terlihat berkumpul bersama. Ya, walaupun hanya sekedar ngumpul untuk saling berbincang, namun ini merupakan sebuah pemandangan yang langka apalagi ini berada di kota Yogyakarta yang mana merupakan kota yang besar. Para warga di sini selalu saling menyapa bila bertemu, bahkan mereka tak segan berbagi jajan atau makanan yang mereka punya. SMA Van Lith Muntilan mengadakan sebuah kegiatan bernama RKKS (Retret Kepekaan Kepedulian Sosial) yang bertujuan agar para siswa menjadi lebih peka dan lebih perhatian terhadap lingkungan sekitar terutama kepada kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Dalam kegiatan ini, saya bersama beberapa teman ditempatkan di Perkampungan Pingit ini untuk merasakan dan menjalankan kegiatan di kampung ini. Kampung Pingit merupakan kampung yang bisa dibilang cukup padat. Kampung ini dihuni warga dengan berbagai macam latar belakang dan usia. Pekerjaan warga di sini sangat beragam. Mulai dari pengangkut sampah, tukang bersih makam, pedagang, angkringan, tukang bumbu dapur, sampai pegawai di kantor depan kampung Pingit. Selama RKKS ini, saya dan teman teman sangat menikmati dinamika di sini. Mulai dari ikut keluarga asuh kami bekerja, berbincang dengan keluarga, bahkan sampai ikut mengajar les untuk anak-anak Pingit. Dalam kegiatan RKKS ini kami mendapat banyak sekali pengetahuan baru, dan bahkan membuka pandangan baru bagi kami tentang kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Selama RKKS, saya menyadari bahwa untuk bahagia itu, caranya sederhana sekali. Hanya dengan berbincang-bincang, bercanda, bahkan melihat pemandangan langit sore dan malam hari, sudah bisa membuat bahagia. Orang-orang Pingit bisa dilihat sangat bersyukur dan bahagia dengan apa yang mereka punya. Walaupun beberapa dari mereka bisa dibilang kekurangan dalam materi atau finansial, tapi mereka terlihat sangat berkelimpahan dalam hal keramahan, rasa syukur, dan kebahagiaan. Selama berdinamika di Pingit, saya sangat bersyukur dan bahagia karena saya disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat. Saya juga mendapat orang tua asuh yang sangat baik dan perhatian kepada saya. Bahkan, ketika saya hendak kembali ke van Lith pun, orang tua asuh saya masih meminta saya untuk datang lagi ke sana. Ketika kami pulang pun, ada beberapa warga yang berkumpul di titik kumpul kami untuk sekedar menyampaikan ucapan perpisahan dan lambaian perpisahan kepada kami. Hal ini benar-benar sangat berkesan bagi saya dan saya sangat menghargai itu. Satu hal yang terus saya ingat dari pesan ibu asuh saya ketika berbincang dengan saya, “Kerja itu harus konsisten, harus terus dijalankan. Tapi, jalankan dengan sepenuh hati, dengan ikhlas, nikmati pekerjaanmu, maka kamu akan senang melakukan pekerjaanmu itu”. Ya… intinya sih yang saya dapat banyak hal tersembunyi di dunia ini. Penampilan dan pendidikan seseorang tidak menjamin karakternya yang sebenarnya. Bahkan seseorang yang terlihat galak pun, sebenarnya punya hati yang sangat baik. Bahkan di sebuah kota yang sangat maju dan ramai pun, masih terdapat kampung yang tersembunyi oleh gedung kantor yang tinggi. Sepertinya cukup ya… cerita dariku tentang pengalamanku di Pingit. Terima kasih telah membaca, kalau kalian ingin berkunjung, warga Pingit akan sangat terbuka untuk kalian. Sampai jumpa! Kontributor: Kelvin Lie – Siswa Kelas XI-IPA SMA PL van Lith Muntilan