Pilgrims of Christ’s Mission

PIKA Semarang

Karya Pendidikan

Keberanian di Tengah Keraguan

Kita tidak pernah sungguh-sungguh siap menghadapi pengalaman pertama. Seperti yang dilakukan oleh para calon pengurus ORSIKA (Organisasi Siswa PIKA) pada Jum’at, 16 Mei 2025 lalu, kedua belas calon pengurus tersebut menjalani masa pembekalan yang unik. Mereka berdiri di tengah keramaian lalu lintas yang padat pada sore hari, mengambil pengeras suara (TOA), dan mulai berbicara di depan orang asing dalam waktu kurang dari satu menit untuk mendengarkan. Mereka diminta untuk melakukan orasi dadakan di lampu merah. Apa yang awalnya mereka kira sebagai latihan berbicara di depan umum, ternyata malah menjadi momen reflektif tentang seorang pribadi dalam menghadapi ketakutan, mengatasi overthinking, dan menemukan makna tentang pentingnya keberanian.   Mengatasi Ketakutan dan Pikiran Sendiri Saking gugupnya, salah seorang peserta bernama Evelyn sampai mengucapkan ‘selamat pagi’ pada saat membuka orasi di depan para pengendara, padahal ia melakukan itu sore hari. Meski salah, ia mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga menemukan bahwa keberanian bukan hanya soal lancar berbicara, tetapi soal mengambil langkah pertama. Ia menyadari bahwa lingkungan berpengaruh besar dalam mendorong tindakannya – bukan hanya niat pribadi. Ketika ada seseorang yang mendukungnya untuk maju, maka ia hanya perlu terus melanjutkan apa yang sedang dilakukan.    Peserta lain bernama Galuh pun merasakannya pula. Ia menemukan bahwa seringkali ia membayangkan risiko-risiko terlebih dahulu seperti takut dimarahi karena salah berbicara. Namun, ketika orasi, tidak ada yang memarahinya. Hal ini membuatnya tampil percaya diri.    Sebagai orang pertama tampil, peserta bernama Saka merasakan lemes, panik, dan malu karena merasa ditertawakan oleh orang-orang. Namun ia kemudian belajar bahwa overthinking semacam itu hanya menghambat. Keberanian justru muncul setelah seseorang melewati perasaan-perasaannya sendiri. Pengalaman pertama harus dialami agar seseorang bisa belajar mengelola perasaan dan pikirannya sendiri.     Percaya Diri Tidak Hadir Begitu Saja Tidak ada orang yang tidak ingin tampil percaya diri. Orasi ini mengajarkan bahwa percaya diri itu tidak datang begitu saja. Meski sudah mempersiapkan materi dengan baik, seorang peserta bernama Isa malah blank. Ia belajar bahwa penguasaan diri dan ketenangan tidak datang secara instan, melainkan melalui latihan. Dengan mengalami sendiri, ia menemukan bahwa terkadang “apa yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataannya.”    Refleksi tersebut ternyata juga dirasakan oleh Vania. Awalnya ia mengira bahwa semua akan memalukan, tetapi ketika melihat penampilan teman-temannya yang berusaha untuk tampil percaya diri, ia terdorong pula untuk mencoba. Menurutnya, kemauan dari dalam dan lingkungan yang positif adalah kunci untuk bisa berkembang.    Kevin menyebutkan bahwa pengalaman ini mengubah cara pandangnya tentang kebutuhan akan ‘orang yang dikenal’ saat berbicara di depan umum. Meski awalnya merasa bahwa ia hanya bisa berbicara di depan umum ketika ada orang yang ia kenal, ternyata ia pun bisa bicara bahkan di antara orang asing. Peserta lain bernama Kenzi pun menambahkan bahwa pikiran yang tidak-tidak bisa menghambat kemajuan diri.    Membebaskan Diri dari Label dan Ekspektasi Dari hasil sharing, banyak peserta menceritakan bahwa seringkali mereka ragu karena label yang mereka lekatkan pada diri sendiri. Salah satu peserta bernama Joy mengaku bahwa pengalaman pendiam dan menahan apa yang ia ungkapkan saat SD membuatnya menyadari bahwa ia adalah seorang ‘introvert’. Label ini menjadi batas sehingga mekanisme pertahanan diri ini muncul ketika dihadapkan pada rasa tidak nyaman. Dengan bicara spontan saat mengutarakan pendapat ia malah menjadi berani dan merobohkan label yang ia buat.   Peserta lain bernama Brigitta menambahkan bahwa ia mengalami pembebasan dari belenggu ekspektasi orang lain. Ia belajar untuk tidak takut pada pandangan orang lain dan merasa lega karena bisa total tanpa takut dianggap aneh. “Berani tidak disukai justru membebaskan diri,” katanya.   Gio, salah satu peserta, mengingat pengalamannya dahulu saat ia masih pemalu dan membuatnya gagal masuk SMA impiannya. Namun, berkat orasi ini, ia menyadari bahwa ternyata ia pemberani. Ia membuktikan bahwa ternyata Gio bisa lebih percaya diri dan mulai meninggalkan ketakutannya yang dulu karena salah bicara yang sempat membuatnya malu.   Pentingnya Komunitas dan Dorongan dari Sekitar Pengalaman orasi di tengah jalan ini mengajarkan betapa berpengaruhnya lingkungan di sekeliling kita. Jenifer yang punya pengalaman mudah merasa overthinking dan takut dianggap aneh, bisa belajar bahwa orang lain tidak akan terus-menerus mengingat apa yang sudah kita lakukan. Ia merasa disembuhkan oleh kesadaran baru ini dan yakin bahwa tampil di depan umum bukan hal yang memalukan melainkan sesuatu yang bisa dibanggakan.    Dengan jujur, Mulky juga mengakui bahwa meski tidak semua yang telah ia persiapkan dapat tersampaikan dengan baik, ia tidak patah semangat. Dukungan dari teman-temannya membuat ia memiliki semangat dan kekuatan. Ia pun turut menyemangati dan mendukung teman-teman yang lain untuk menemukan potensi yang mereka miliki.    Kesimpulan: Dari Trotoar Menuju Panggung Kepemimpinan Meski hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit, ternyata pengalaman orasi berdampak cukup besar dan dalam bagi para calon pengurus ORSIKA. Masing-masing calon pengurus ini menemukan sesuatu yang baru dari dirinya sendiri seperti keberanian, ketenangan, spontanitas, dan penerimaan diri. Bukan hanya soal tampil dan bicara di depan umum, tetapi mereka belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain.    Dari kedua belas orang tersebut, dari rasa takut hingga rasa syukur, pengalaman ini menjadi awalan baik untuk belajar menjadi pemimpin yang berani. Seorang pemimpin bukan orang yang tidak takut, tetapi orang berani bertindak meski takut. Mereka ingin belajar memimpin bukan karena mampu, tetapi karena berusaha setia pada tugas yang diberikan. Dari lampu merah sore itu, calon pemimpin muda ini telah menunjukkan kita sebuah pertanda bahwa mereka siap untuk melangkah lebih jauh, bukan untuk menjadi pandai berbicara, tetapi membawa pengaruh positif bagi komunitasnya.    Kontributor: Sch. Y. K. Septian Kurniawan, S.J.

Karya Pendidikan

Lulus Sekolah untuk Apa?

Refleksi Retret Penegasan PIKA 49 Retret merupakan salah satu sarana bagi seseorang untuk hening sebelum mengambil keputusan penting. Bagi peserta didik kelas IV SMK PIKA Semarang, kesempatan retret dipakai untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama bersekolah guna melihat disposisi batin mereka sebelum mengakhiri pendidikan dan memulai perjalanan baru ke depan. Pengalaman magang tujuh bulan yang sebelum ini mereka alami tentu memberikan wawasan baru yang membantu mereka berdiskresi sebelum melanjutkan hidup mereka sesudah studi selesai.   Tanggal 15-17 April 2024 menjadi momen bagi peserta didik angkatan 49 untuk mengikuti Retret Penegasan. Peserta berjumlah 54 orang didampingi oleh empat pendamping dari Tim Ignatian sekolah yaitu Bp. Andhy, Bp. Eko, Bp. Tanto, dan Fr. Septian. Retret ini berlokasi di Rumah Retret Panti Semedi (RRPS) Sangkal Putung, Klaten.   Retret penegasan bertema Ite Inflammate Omnia (Go Forth and Set the World on Fire) hendak mengajak para peserta untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama empat tahun bersekolah di PIKA sehingga dapat memutuskan dengan kemerdekaan batin pilihan hidup setelah lulus. Peserta didik diharapkan tidak hanya memutuskan berdasarkan keinginan emosi sesaat, melainkan sampai pada kesadaran akan tujuan hidup yang ingin Allah tunjukkan pada mereka. Diharapkan mereka tidak hanya menjadi pribadi yang mengejar hal-hal duniawi semata, melainkan sampai pada tataran hidup untuk semakin mencintai Allah dengan segala sarana yang sudah mereka terima dengan lepas bebas. Ite Inflammate Omnia atau maju dan kobarkanlah dunia yang menjadi jargon untuk menumbuhkan kesadaran bahwa mereka diutus oleh Allah sendiri untuk menjadi agen perubahan yang positif di manapun mereka berada nantinya.     Secara umum, peserta retret merasa gembira karena dapat bertemu dengan teman-teman mereka setelah 7 bulan terpisah karena menjalani Praktik Kerja Industri (Prakerin) di berbagai tempat. Salah seorang peserta mengungkapkan bahwa kegiatan ini menjadi kegiatan kebersamaan bersama angkatan yang terakhir sebelum mengakhiri masa pendidikan empat tahun mereka di SMK PIKA Semarang.   Acara diawali dengan melihat konteks angkatan 49 saat ini untuk mengetahui disposisi batin setiap peserta. Sebelum retret, para peserta diminta mengisi form untuk membuat konteks angkatan sebagai bahan dasar berefleksi. Dengan mengetahui disposisi batin, para peserta menyadari seperti apa kondisi angkatan mereka saat ini.   Selanjutnya, dilakukan sharing berdua-dua (Emmausan) agar para peserta bisa saling tukar pikiran dan pengalaman. Sharing ini pun diatur oleh tim agar tiap peserta dipasangkan dengan peserta yang belum begitu akrab. Dengan begitu, mereka bisa saling mengenal dan berbagi cerita pengalaman transformatif yang didapat.   Acara selanjutnya adalah sharing alumni yang dibawakan oleh Kevin dari angkatan 45. Melalui sharing alumni di hari pertama, para peserta memiliki perspektif bagaimana Kevin mengambil keputusan sebagai alumni PIKA. Tentu, PIKA memiliki keuntungan selain bisa kuliah, mereka dipersiapkan bekerja setelah lulus. Kevin juga memberikan motivasi untuk mengambil kesempatan seperti mengambil kerja sambil kuliah atau pun sebaliknya. Peserta diajak untuk tidak perlu malu selagi keputusan itu tidak membawa pada dosa. Selagi masih muda, jangan takut capek maupun gagal. Kalau jatuh 7 kali, berani bangkit 8 kali.   Sharing alumni ini kemudian diperdalam di hari kedua dalam sesi tentang diskresi dan dilanjutkan dengan bimbingan rohani. Melalui materi diskresi, para peserta diajak untuk menyadari berbagai aspek dalam mengambil keputusan penting seturut petunjuk Latihan Rohani (LR) St. Ignatius. Diawali dengan mengenali Asas Dasar LR 23, peserta diajak untuk mengarahkan tujuan pengambilan keputusan semata-mata untuk menanggapi cinta Tuhan yang begitu besar. Lalu dalam sesi diskresi I peserta diajak untuk melihat berbagai aspek dalam menimbang-nimbang keputusan yang tidak hanya didasarkan pada keinginan duniawi tetapi juga menyangkut pengembangan diri yang terarah pada makin lebih besarnya kemuliaan Tuhan. Di dalam diskresi II peserta diajak untuk belajar cara mengambil keputusan yaitu dalam situasi tenang dan kemerdekaan setelah mengenali berbagai aspek positif dan negatif suatu keputusan. Dalam sesi ini dipaparkan tentang berbagai distraksi yang perlu diperhatikan dalam wujud kelemahan yang mereka temukan. Sesi Diskresi III peserta diajak untuk melihat dampak keputusan yang diambil. Apakah keputusan itu terarah pada Tuhan atau keinginan duniawi, dan bagaimana cara mengatasinya, terlebih terhadap motivasi palsu yakni peran Roh Jahat yang menggiring ke arah egoisme pribadi.   Di antara sesi-sesi tersebut, peserta mulai diajak untuk melakukan bimbingan rohani bersama pendamping masing-masing. Peserta telah dibekali panduan serta pertanyaan yang perlu mereka jawab sehingga ketika proses bimbingan dapat terarah pada penegasan atas hal-hal yang sudah mereka refleksikan. Pendamping berusaha untuk mempertajam, mengoreksi, dan menunjukkan aspek-aspek lain yang dirasa belum peserta temukan dalam refleksi mereka. Ternyata hal tersebut amatlah membantu. Tidak jarang peserta juga menemukan kegalauan saat mengambil keputusan ke depan. Kecemasan akan kegagalan, yang terkait latar belakang keluarga yang memberi pengaruh besar pada pengambilan keputusan mereka sehingga belum sampai pada kemerdekaan batin yaitu lepas bebas.   Di hari ketiga, para peserta diajak untuk lebih rileks dengan melakukan outbound. Peserta diajak untuk berjalan berkeliling di luar kompleks Rumah Retret. Peserta dikondisikan untuk benar-benar serius dan dalam suasana reflektif, di hari ketiga ini dengan menikmati kebersamaan dalam wujud games bersama kelompok. Kebersamaan dan kekompakan bersama tim yang di dalamnya bukan merupakan teman dekat ternyata membantu mereka untuk saling mengenal.     Setelah serangkaian games yang menyenangkan, peserta diajak untuk mengevaluasi dan merumuskan niat-niat baru. Bruder Marsono, selaku kepala sekolah juga sempat hadir memberikan peneguhan bahwa hidup perlu disyukuri karena masih banyak orang muda di luar sana yang belum memiliki kesempatan seperti para peserta. Acara kemudian ditutup dengan perayaan Ekaristi oleh Pater Istanto, S.J. selaku Ketua Yayasan. Dalam Ekaristi tersebut ada empat orang perwakilan peserta yang membagikan buah-buah rohani mereka yang amat menyentuh dan mewakili perasaan teman-teman mereka. Kesadaran bahwa mereka dicintai dan dibentuk oleh Allah sendiri, baik saat di sekolah maupun magang tujuh bulan di berbagai tempat menyadarkan mereka bahwa hidup adalah sebuah perutusan. Hidup tidak hanya untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk dibagikan kepada semakin banyak orang yang membawa pada kebahagiaan sejati. Mereka diajak untuk menjadi manusia bagi sesama.   Akhirnya, kegiatan retret menjadi salah satu kegiatan wajib karena membantu peserta menapaki perjalanan hidup ke depan. Peserta diajak untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan juga terbuka pada tuntunan Allah. Itulah mengapa pendidikan sebaiknya tidak hanya memberi bekal pada aspek kognitif saja, melainkan juga dalam pendampingan spiritual.   Kontributor: S Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan, S.J. – Tim Ignatian