Pilgrims of Christ’s Mission

pelayanan pendidikan

Karya Pendidikan

Dari Ragu Menjadi Percaya

Pada 25–26 April 2025, saya mengikuti kegiatan rekoleksi gabungan kelas X angkatan 38 dan kelas XI angkatan 37 SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Kegiatan ini bertujuan untuk merenungkan kembali perjalanan hidup kami, memperdalam relasi dengan Tuhan, dan mempererat hubungan antar teman.   Saat pertama kali mendengar berita mengenai rekoleksi, saya merasa senang karena rekoleksi kali ini akan menginap di sekolah. Meski demikian, beberapa teman sepertinya kurang suka jika kegiatan ini menginap. Namun saya juga merasa kurang antusias karena saya khawatir tidak bisa bekerjasama dengan adik kelas.    Dinamika Kelompok Dalam rekoleksi kali ini saya masuk ke dalam kelompok yang beranggotakan 9 siswa dari total 20 kelompok. Dalam dinamika pembagian tugas, saya mendapat bagian membawa panci. Selama rekoleksi kami diwajibkan untuk menyiapkan sendiri kebutuhan untuk makan dan minum. Sebelum berangkat saya sedikit cemas karena dalam kelompok tidak ada yang memilih membawa kompor. Namun setelah sampai di sekolah sudah ada teman yang membawa kompor walaupun saya tidak tahu siapa yang membawanya.   Arti Kemenangan Tema rekoleksi tahun ini adalah “Melangkah Bersama di Jalan Harapan”. Sesi pertama rekoleksi kali ini Pater Yohanes Adrianto, S.J. menerangkan tentang “Kisah Kemenangan”. Beliau menjelaskan bahwa kemenangan bukan hanya tentang sesuatu yang besar seperti juara lomba, juara kelas atau memenangkan olimpiade. Kemenangan bisa diraih juga dari sesuatu yang kecil seperti berhasil berdamai dengan masa lalu yang buruk, berhasil mengontrol emosi, atau berhasil melawan rasa malas. Saya pun mengingat-ingat kembali kemenangan kecilku, yaitu saya berhasil melawan rasa malas untuk melakukan eksperimen setelah menyelesaikan bab kedua karya ilmiah. Kemenangan yang lainnya saya sekarang lebih rajin beribadah atas keinginan sendiri. Sekarang saya sudah sidi dan masuk Persekutuan Anggota Muda (PAM) di gereja.    Belajar dari Kegagalan Kegagalan adalah kondisi ketika suatu usaha atau rencana tidak mencapai hasil yang diharapkan. Setiap manusia pasti pernah mengalami yang namanya kegagalan, lalu banyak orang yang merasa kehilangan motivasi atau merasa sedih sehingga tak ingin mencoba lagi. Tapi tak sedikit juga yang menjadikan kegagalan sebagai motivasi untuk berusaha lebih keras lagi, itulah poin penting dari materi pada sesi kedua, kegagalan.    Kegagalanku adalah gagal melawan rasa malas, cara saya berusaha menghadapi rasa malas ini dengan melakukan berbagai kegiatan seperti mengerjakan tugas, bermain di luar rumah, atau membantu orang tua di rumah. Kegagalan yang lain adalah saya dalam pelajaran matematika sehingga saya cukup kecewa. Dan saat ini saya memilih untuk fokus mempelajari pelajaran lain yang lebih saya kuasai daripada matematika.    Memperbaiki Diri Sesi ketiga kami belajar mengenai memperbaiki diri. Untuk menjadi lebih baik kita perlu memperbaiki sesuatu agar hasilnya bisa lebih maksimal. Saya memperbaiki kebiasaan scrolling HP selama berjam-jam salah satunya dengan berkegiatan di luar rumah agar tak terfokus ke HP.   The Boy Who Harnessed the Wind Pada sesi keempat, kami menonton film The Boy Who Harnessed the Wind. Film ini memberi pesan penting mengenai peran keberanian, kegigihan dan kemauan untuk mencapai hidup yang lebih baik. Setelah menonton, kami diberi kesempatan untuk berefleksi pribadi di area kolese Le Cocq dengan membawa sebatang lilin.   Malam itu, hanya lilinlah yang memberi terang dan menjadi teman. Saya merasakan perasaan yang damai saat menulis, meski angin yang terus bertiup membuat lilinku sering hampir mati. Setelah berdinamika pribadi, kami berkumpul sambil membawa lilin lalu berdoa bersama. Seru dan damainya kegiatan di hari itu kami tutup dengan istirahat di ruang-ruang kelas. Awalnya saya kesulitan tidur, tapi akhirnya saya bisa tidur lelap setelah seharian yang melelahkan.   The Village of Hope Keesokan harinya, Sabtu 26 April 2025, kami bangun sekitar pukul 04.30 WIT untuk memulai memasak sarapan pagi dan berganti pakaian untuk kegiatan luar sekolah. Kami diutus dengan misi yang berbeda-beda dengan hanya diberi amplop yang berisi lokasi dan aktivitas yang dilakukan. Kelompokku mendapat misi harus ke tempat bernama “The Village of Hope” lalu mencari tempat ibadah, menggambar tempat tersebut dan menyanyikan dua lagu bertema Paskah. Kami langsung tahu “The Village of Hope” adalah Kampung Harapan dan segera menuju ke sana. Awalnya saya dan beberapa teman ragu memilih jalan yang harus kami lewati, tapi akhirnya kami mendapati Gereja GBI Pondok Daud. Kami pun sempat salah paham dengan  misinya yang tertulis “Mintalah seseorang untuk menggambar” sehingga kami berpikir orang yang menggambar adalah orang di luar kelompok sehingga kami meminta orang di situ untuk menggambar gerejanya. Untunglah mereka mau menerima permintaan kami, lalu kakaknya mulai menggambar dan kami menyanyikan  dua lagu bertema paskah.    Berbagi Kami lanjut sharing di dalam aula mengenai pengalaman menjalankan misi. Perutusan kami tadi beragam, ada yang ke Pantai Nabire, Taman Gizi, Kantor Pos, Goa Maria KSK, Tugu Nabire Hebat, dll. Ternyata ada yang seharusnya ke Masjid Al Falah hanya saja mereka gagal karena memang misinya cukup sulit. Saya merasa gembira karena boleh menerima misi khusus dan belajar menjalani misi itu dengan baik. Tidak semua misi itu mudah, tetapi mencobanya sepenuh hati itu penting. Dan yang tidak kalah penting juga adalah berani berbagi agar sesama bisa belajar dari setiap kisah yang ada. Karena setiap misi memiliki kisahnya sendiri-sendiri.   Rahmat yang Mengejutkan Dari rekoleksi ini saya belajar banyak hal, mulai dari kerja sama, kebersamaan, motivasi-motivasi, dan sebagainya. Saya tidak menyangka rekoleksi kali ini akan menyenangkan, saya dapat mengenal adik kelas dan bahkan teman seangkatan yang belum terlalu dikenal sebelumnya. Saya awalnya ragu dengan kelompokku sendiri. Saya berpikir kelompok 11 tidak akan kompak, ternyata tidak. Setelah dijalani ternyata mereka cukup menyenangkan dan bisa diandalkan khususnya urusan memasak. Saya mengalami banyak perasaan, ya senang, sedih, bosan, dan sebagainya. Dari yang awalnya ragu, kini saya semakin percaya. Melalui rekoleksi ini saya merasa lebih mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, lebih terbuka, dan tidak boleh berprasangka buruk ke orang lain sebelum mengenal dan  melihatnya lebih dekat.   Kontributor: Gracia Tawa Buntu – Siswi Kelas XI 2 SMA YPPK Adhi Luhur Kolese Le Cocq d’Armandville

Karya Pendidikan

Kolaborasi Ilmiah, Upaya Merawat Ibu Bumi Rumah Kita

Mengacu pada program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) SD Kanisius Tlogosari Kulon pada semester II tahun ajaran 2024/2025, kami,  SD Kanisius Tlogosari Kulon, mengambil tema Gaya Hidup Berkelanjutan dengan judul projek Bijak Mengelola Sampah. Tidak lepas dari Capaian Pembelajaran (CP) diantaranya adalah peserta didik mengamati, menyelidiki fenomena hubungan ketergantungan antara komponen biotik-abiotik yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu ekosistem di lingkungan dan merefleksikan perubahan kondisi alam yang terjadi akibat faktor alam maupun perbuatan manusia. Dan diselaraskan juga dengan Universal Apostolic Preferences (UAP), yaitu merawat ibu bumi rumah kita. P5 ini kami buat berjenjang dan berkelanjutan menjadi tiga fase sebagai berikut: Fase A kelas 1-2 pemilihan bahan ramah lingkungan untuk bungkus makanan, Fase B kelas 3-4 pengolahan sampah menjadi kompos dan eco enzyme, dan Fase C kelas 5-6 memanfaatkan eco enzyme menjadi sabun cair layak pakai dan layak jual.    Kondisi lingkungan di sekitar sekolah serta kebiasaan warga sekolah maupun warga lingkungan sekitar yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, menjadi latar belakang dalam menentukan tema P5 dan melakukan aksi tersebut.    Proses P5 dilalui oleh peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon dengan membuat eco enzyme, memanennya, menuangkannya secara rutin di selokan belakang sekolah, menjadikannya sabun cair eco enzyme dan beberapa kali mendapat kesempatan mengedukasi warga sekitar sekolah dengan mendemonstrasikan pembuatan eco enzyme.      Eco enzyme adalah cairan fermentasi yang terbuat dari campuran air, molase, dan kulit buah dengan perbandingan 10:1:3 yang difermentasi selama 3 bulan, merupakan produk alami yang ramah lingkungan. Setelah 3 bulan, eco enzyme siap dipanen. Pembuatan Eco enzyme adalah salah satu solusi untuk mengurangi permasalahan lingkungan di lingkungan sekitar sekolah. Para guru tahu bahwa banyak peserta didik tidak suka dengan kegiatan membuat dan memanen eco enzyme, karena malas kotor dan baunya yang tidak sedap.   “Sedekah Alam” itulah sebutan aksi peduli kami pada ibu bumi. Dengan menuangkan eco enzyme ke selokan sekitar sekolah yang bau dan mampet, ke polder Dempel dan sungai Tlogosari yang sangat keruh dan berminyak. Selain dituang ke selokan, ampas panenan eco enzyme digunakan untuk memupuk pohon-pohon (pohon sukun dan mangga) di sekolah sehingga dapat menghasilkan banyak buah sukun dan mangga yang bisa dinikmati bersama satu sekolah. Selain itu sebenarnya eco enzyme dapat digunakan untuk mencuci pakaian, disinfektan, pembersih lantai dan bantal terapi. Tetapi masih ada keengganan menggunakannya karena aroma dan proses pembuatannya yang membuat jijik. Padahal masih ada bergalon-galon eco enzyme dan sabun cairnya yang siap digunakan. Perlu meyakinkan pada peserta didik serta guru dan karyawan agar tidak enggan menggunakan eco enzyme yang ramah lingkungan itu. Oleh karena itu para siswa kelas V diajak sebagai agen kelestarian lingkungan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan ini di SMA Kolese Loyola dengan melakukan penelitian ilmiah.    Para guru membiasakan diri untuk membekali para siswa dengan pengetahuan awal sebelum mereka diajak berkunjung ke tempat yang mendukung materi tersebut. Ide awal sebenarnya keinginan untuk berbagi pengetahuan tentang eco enzyme. Hal ini disampaikan ke pihak SMA Kolese Loyola melalui Pater Ferdinandus Tuhujati Setyoaji, S.J., Kepala SMA Kolese Loyola, yang kemudian ditanggapi dengan persiapan matang sehingga ide yang sederhana ini menjadi sesuatu yang lebih luas serta mendalam. Ini kali keduanya kami berkolaborasi ilmiah.    MAGIS, ini yang hal dirasakan. Rencana awal hanya menyiapkan beberapa peserta didik saja yang menjadi narasumber dalam presentasi dan demonstrasi membuat sabun eco enzyme. Namun SMA Kolese Loyola justru meminta semua anak harus terlibat. Semua peserta didik harus mengalami hal yang sama (bukan hanya beberapa anak saja yang dipilih untuk presentasi). Sebanyak 87 peserta didik dibagi menjadi 20 kelompok dan mereka diminta masuk ke 20 kelas X dan XI membagikan pengalaman ekologis yang dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon.      Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, Kamis, 22 Mei 2025,  pukul 06.30 WIB peserta didik sudah siap di sekolah untuk menuju SMA Kolese Loyola. Deg-degan  itu pasti, karena mereka harus bisa mengingat bahan bicara untuk presentasi di depan kakak-kakak nanti. Ini pengalaman yang tak terlupakan. Sesampai di SMA Kolese Loyola, rasa takut itu musnah, karena sambutan kakak-kakak yang luar biasa, sangat ramah, sangat menghargai dengan mendengarkan apapun yang disampaikan adik-adik saat sharing. Meskipun adik-adik ini tampak malu dan grogi tetapi tepuk tangan dan kata-kata positif kakak-kakak membuat adik-adik ini makin suka cita dan percaya diri.   Ibu Etik Maharani, DP. dan Bapak Reynhard Louis Dermawan selaku koordinator kegiatan dari SMA Kolese Loyola dibantu oleh 25 orang murid dan 7 orang guru fasilitator menyiapkan materi ilmiah dengan mengajak peserta didik SD Kanisius Tlogosari Kulon melakukan praktikum fermentasi, ecoprint dan membuat lotion anti nyamuk berbahan alami. Materi yang diberikan oleh SMA Kolese Loyola menguatkan project ekologis yang telah dilakukan di SD Kanisius Tlogosari Kulon. Hal ini sejalan dengan UAP (Universal Apostolic Preferences) – Merawat Ibu Bumi rumah kita dan mendukung gerakan Gaya Hidup Berkelanjutan.    Pendidik hendaknya tidak hanya menjejali peserta didik dengan soal-soal hafalan. Sebaliknya, pendidik juga perlu menanamkan kepedulian pada lingkungan, dengan peka menemukan permasalahan lingkungan, mencari solusinya, dan melakukan aksi nyata. Santo Fransiskus Asisi mengajarkan pada kita untuk menghormati alam ciptaan Tuhan dan menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara. Dengan mencintai alam, kita dapat menemukan Tuhan dalam keagungan-Nya.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Karya Pendidikan

Keberanian di Tengah Keraguan

Kita tidak pernah sungguh-sungguh siap menghadapi pengalaman pertama. Seperti yang dilakukan oleh para calon pengurus ORSIKA (Organisasi Siswa PIKA) pada Jum’at, 16 Mei 2025 lalu, kedua belas calon pengurus tersebut menjalani masa pembekalan yang unik. Mereka berdiri di tengah keramaian lalu lintas yang padat pada sore hari, mengambil pengeras suara (TOA), dan mulai berbicara di depan orang asing dalam waktu kurang dari satu menit untuk mendengarkan. Mereka diminta untuk melakukan orasi dadakan di lampu merah. Apa yang awalnya mereka kira sebagai latihan berbicara di depan umum, ternyata malah menjadi momen reflektif tentang seorang pribadi dalam menghadapi ketakutan, mengatasi overthinking, dan menemukan makna tentang pentingnya keberanian.   Mengatasi Ketakutan dan Pikiran Sendiri Saking gugupnya, salah seorang peserta bernama Evelyn sampai mengucapkan ‘selamat pagi’ pada saat membuka orasi di depan para pengendara, padahal ia melakukan itu sore hari. Meski salah, ia mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga menemukan bahwa keberanian bukan hanya soal lancar berbicara, tetapi soal mengambil langkah pertama. Ia menyadari bahwa lingkungan berpengaruh besar dalam mendorong tindakannya – bukan hanya niat pribadi. Ketika ada seseorang yang mendukungnya untuk maju, maka ia hanya perlu terus melanjutkan apa yang sedang dilakukan.    Peserta lain bernama Galuh pun merasakannya pula. Ia menemukan bahwa seringkali ia membayangkan risiko-risiko terlebih dahulu seperti takut dimarahi karena salah berbicara. Namun, ketika orasi, tidak ada yang memarahinya. Hal ini membuatnya tampil percaya diri.    Sebagai orang pertama tampil, peserta bernama Saka merasakan lemes, panik, dan malu karena merasa ditertawakan oleh orang-orang. Namun ia kemudian belajar bahwa overthinking semacam itu hanya menghambat. Keberanian justru muncul setelah seseorang melewati perasaan-perasaannya sendiri. Pengalaman pertama harus dialami agar seseorang bisa belajar mengelola perasaan dan pikirannya sendiri.     Percaya Diri Tidak Hadir Begitu Saja Tidak ada orang yang tidak ingin tampil percaya diri. Orasi ini mengajarkan bahwa percaya diri itu tidak datang begitu saja. Meski sudah mempersiapkan materi dengan baik, seorang peserta bernama Isa malah blank. Ia belajar bahwa penguasaan diri dan ketenangan tidak datang secara instan, melainkan melalui latihan. Dengan mengalami sendiri, ia menemukan bahwa terkadang “apa yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataannya.”    Refleksi tersebut ternyata juga dirasakan oleh Vania. Awalnya ia mengira bahwa semua akan memalukan, tetapi ketika melihat penampilan teman-temannya yang berusaha untuk tampil percaya diri, ia terdorong pula untuk mencoba. Menurutnya, kemauan dari dalam dan lingkungan yang positif adalah kunci untuk bisa berkembang.    Kevin menyebutkan bahwa pengalaman ini mengubah cara pandangnya tentang kebutuhan akan ‘orang yang dikenal’ saat berbicara di depan umum. Meski awalnya merasa bahwa ia hanya bisa berbicara di depan umum ketika ada orang yang ia kenal, ternyata ia pun bisa bicara bahkan di antara orang asing. Peserta lain bernama Kenzi pun menambahkan bahwa pikiran yang tidak-tidak bisa menghambat kemajuan diri.    Membebaskan Diri dari Label dan Ekspektasi Dari hasil sharing, banyak peserta menceritakan bahwa seringkali mereka ragu karena label yang mereka lekatkan pada diri sendiri. Salah satu peserta bernama Joy mengaku bahwa pengalaman pendiam dan menahan apa yang ia ungkapkan saat SD membuatnya menyadari bahwa ia adalah seorang ‘introvert’. Label ini menjadi batas sehingga mekanisme pertahanan diri ini muncul ketika dihadapkan pada rasa tidak nyaman. Dengan bicara spontan saat mengutarakan pendapat ia malah menjadi berani dan merobohkan label yang ia buat.   Peserta lain bernama Brigitta menambahkan bahwa ia mengalami pembebasan dari belenggu ekspektasi orang lain. Ia belajar untuk tidak takut pada pandangan orang lain dan merasa lega karena bisa total tanpa takut dianggap aneh. “Berani tidak disukai justru membebaskan diri,” katanya.   Gio, salah satu peserta, mengingat pengalamannya dahulu saat ia masih pemalu dan membuatnya gagal masuk SMA impiannya. Namun, berkat orasi ini, ia menyadari bahwa ternyata ia pemberani. Ia membuktikan bahwa ternyata Gio bisa lebih percaya diri dan mulai meninggalkan ketakutannya yang dulu karena salah bicara yang sempat membuatnya malu.   Pentingnya Komunitas dan Dorongan dari Sekitar Pengalaman orasi di tengah jalan ini mengajarkan betapa berpengaruhnya lingkungan di sekeliling kita. Jenifer yang punya pengalaman mudah merasa overthinking dan takut dianggap aneh, bisa belajar bahwa orang lain tidak akan terus-menerus mengingat apa yang sudah kita lakukan. Ia merasa disembuhkan oleh kesadaran baru ini dan yakin bahwa tampil di depan umum bukan hal yang memalukan melainkan sesuatu yang bisa dibanggakan.    Dengan jujur, Mulky juga mengakui bahwa meski tidak semua yang telah ia persiapkan dapat tersampaikan dengan baik, ia tidak patah semangat. Dukungan dari teman-temannya membuat ia memiliki semangat dan kekuatan. Ia pun turut menyemangati dan mendukung teman-teman yang lain untuk menemukan potensi yang mereka miliki.    Kesimpulan: Dari Trotoar Menuju Panggung Kepemimpinan Meski hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit, ternyata pengalaman orasi berdampak cukup besar dan dalam bagi para calon pengurus ORSIKA. Masing-masing calon pengurus ini menemukan sesuatu yang baru dari dirinya sendiri seperti keberanian, ketenangan, spontanitas, dan penerimaan diri. Bukan hanya soal tampil dan bicara di depan umum, tetapi mereka belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain.    Dari kedua belas orang tersebut, dari rasa takut hingga rasa syukur, pengalaman ini menjadi awalan baik untuk belajar menjadi pemimpin yang berani. Seorang pemimpin bukan orang yang tidak takut, tetapi orang berani bertindak meski takut. Mereka ingin belajar memimpin bukan karena mampu, tetapi karena berusaha setia pada tugas yang diberikan. Dari lampu merah sore itu, calon pemimpin muda ini telah menunjukkan kita sebuah pertanda bahwa mereka siap untuk melangkah lebih jauh, bukan untuk menjadi pandai berbicara, tetapi membawa pengaruh positif bagi komunitasnya.    Kontributor: Sch. Y. K. Septian Kurniawan, S.J.

Karya Pendidikan

“Pulang ke Rumah”

Tahun 2024 menjadi perjalanan yang sangat berharga bagiku. Aku kembali ke tempat penuh kenangan, tempat yang memberiku ilmu dan membentukku menjadi seperti sekarang. Meski demikian, kini aku datang dengan peran yang berbeda. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku bisa kembali ke tempat itu, terlebih sebagai calon guru.   Rasanya aneh berada di sekolah yang sama, bertemu dengan guru-guru yang dulu kupanggil Bapak dan Ibu guru, kini aku dipanggil dengan sebutan Bu guru, bukan nama panggilan saja. Tempat itu bernama SMA YPPK Adhi Luhur atau Kolese Le Cocq d’Armandville. Saat masih menjadi siswa, aku merasakan bagaimana sekolah ini menerima setiap siswa tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada perbedaan di antara teman-teman, aku tidak pernah merasa terasing. Pengalaman ini membentuk rasa banggaku terhadap sekolah yang tidak hanya memberikan pendidikan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap sesama.   Keraguan dan Pertanyaan Tentu saja, perjalanan untuk menempuh pendidikan di sekolah ini tidaklah mudah. Aku dan keluargaku sempat menghadapi banyak pertanyaan dan keraguan dari masyarakat. Sebagai seorang Muslim yang memilih bersekolah di persekolahan Katolik, aku sempat mendapat banyak pertanyaan. “Apakah kamu siap bersekolah di sekolah Katolik ? Apakah kamu tahu peraturan di dalamnya? Apakah kamu siap melepas hijabmu? Apakah kamu siap terasing?”, merupakan pertanyaan yang sering terdengar.      Meski banyak yang meragukan keputusanku, aku bersyukur memiliki orang tua dan kakak-kakak yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Mereka mendukung pilihanku sepenuhnya dan meyakinkanku bahwa apapun yang dikatakan orang lain hanyalah sebuah pendapat yang belum tentu benar dan untuk mengetahuinya aku harus mengambil jalan tersebut dengan penuh keyakinan. Pesan mereka melekat di sanubari dan menjadi pegangan bagiku untuk melangkah tanpa ragu. Keputusanku terbukti tepat.     Keyakinan yang menjadi Kenyataan Selama bersekolah di Kolese Jesuit ini, aku selalu diperlakukan dengan adil dan mendapatkan hak yang sama seperti teman-teman lain. Aku dapat mengikuti berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik tanpa diskriminasi. Para Romo, Frater, Bruder, Bapak Ibu guru, Bu TU, Pak de Argo (tukang bersih sekolah) hingga teman-teman selalu menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai. Aku tidak pernah dipaksa untuk mengubah keyakinanku. Meskipun mengikuti pelajaran agama Katolik, aku tidak pernah dipaksa berdoa dengan cara yang berbeda dari keyakinanku. Justru, di sekolah ini aku belajar tentang nilai-nilai toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai perbedaan.    Mengenal Katolik Melalui sekolah ini, aku mulai mengenal dan memahami konsep-konsep dalam agama Katolik, seperti misa, komuni, altar, dll. Aku juga belajar membaca Alkitab. Aku juga mengikuti praktik mengajar sekolah minggu yang bukan memiliki tujuan untuk mengubah keyakinanku, tetapi sebagai bagian dari pemahaman terhadap agama lain. Aku bersyukur karena semua ini memperkaya wawasan dan membentuk cara berpikirku agar lebih luas. Sekolah ini juga tidak berfokus pada doktrin agama tertentu, melainkan lebih menekankan nilai-nilai seperti kasih, rasa hormat, dan menghargai.    Salah satu hal yang aku pelajari dari sekolah ini adalah semua nilai dari 4C yaitu, Competence, Compassion, Conscience, dan Commitment. Lewat keempat nilai itu, aku belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang kepintaran secara akademik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang dapat memanusiakan manusia lain.      Asistensi Mengajar Pada bulan Juli hingga Desember 2024 lalu, aku kembali ke SMA YPPK Adhi Luhur sebagai bagian dari program kampus yaitu Asistensi Mengajar. Ini adalah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi asisten pengajar di perguruan tinggi atau sekolah menengah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengajar mahasiswa, memperkaya pengalaman akademik, dan membantu dosen atau guru dalam proses pembelajaran.    Jika dulu sebagai siswi aku ke sekolah tanpa menggunakan hijab, kini aku datang dengan penampilan berbeda, mengenakan hijab. Kendati demikian, sambutan yang kuterima tetap sama seperti saat aku menjadi siswi, yaitu penuh kehangatan, penuh kasih, dan penuh toleransi. Aku juga diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengajar di semua kelas X, mendampingi ekstrakurikuler, mendampingi kepanitiaan acara sekolah, dan bertemu dengan siswa-siswi yang luar biasa.    Nilai yang Terjaga Salah satu siswa yang menarik perhatianku adalah Asyaidah, satu-satunya siswa muslim di angkatannya, sama sepertiku dulu. Aku memperhatikannya dan melihat bahwa perlakuan yang ia terima sama seperti yang dulu kuterima selama bersekolah di sini. Hal tersebut merupakan bukti bahwa semangat toleransi di Kolese Jesuit di ujung timur Indonesia ini tetap terjaga dari generasi ke generasi.   Dalam perjalananku belajar sebagai calon guru, aku tidak hanya belajar dari para Romo, Frater, dan Bapak/Ibu guru, tetapi juga dari siswa-siswi yang memiliki semangat luar biasa dalam belajar. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan memiliki sikap saling membantu serta mendukung yang begitu kuat. Dari mereka, aku belajar bahwa seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar baik dari guru lain maupun dari siswanya.     Bertumbuh Saat program asistensi mengajar hampir berakhir pada pertengahan Desember, aku merasa banyak hal yang kudapat dari pengalaman ini. Sekolah ini telah membantu aku tumbuh, berkembang, dan memberikan masa depan yang lebih baik. Lebih dari itu, aku menemukan makna dari arti kekuatan karena selama ini aku berprinsip untuk tumbuh tanpa membiarkan rasa sedih menguasai diriku. Kedengarannya memang aneh, tetapi prinsip itu terbentuk dari pengalaman yang pernah dialami orang tua dan kakak-kakakku dan pengalaman itu menurutku tidak seharusnya diterima keluargaku. Hal itulah yang membentukku menjadi pribadi yang harus selalu kuat, bahkan cenderung menekan perasaan, dan selalu berusaha untuk menghindari rasa sedih.    Meskipun demikian, melalui pengalaman di sekolah ini, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat bukan berarti menolak rasa sedih. Sebab, rasa sedih bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang kepada orang-orang yang kita sayangi. Aku juga belajar bahwa menjadi manusia, berarti mengizinkan diri untuk merasakan, menghargai, berterima kasih atas setiap pengalaman. Sekolah ini telah menjadi bagian penting dalam hidupku, bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga sebagai rumah kedua yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Aku bersyukur telah menjadi bagian dari SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Dan aku akan selalu membawa pelajaran berharga ini ke manapun aku menjejakkan kaki.   Kontributor: Mutiara Al Kausar – Mahasiswa USD

Feature

Tidak Akan Menjadi Beban Jika Sudah Berkomitmen

Refleksi PKL Siswa SMK St. Mikael Surakarta Untuk memperkaya kompetensi siswa, SMK St. Mikael Surakarta mengadakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) bagi para siswa kelas XII. Di SMK St. Mikael Surakarta, kegiatan belajar para siswa kelas X masih mengenai dasar-dasar teknik mesin, seperti kerja bangku, mengelas, dan menggambar teknik manual. Di kelas XI, para siswa mulai mengoperasikan mesin bubut dan milling konvensional maupun CNC dan menggambar dengan software CAD.    Di kelas XII, para siswa mulai mendapatkan pengayaan materi dengan ditempatkan magang di beberapa perusahaan yang berada di dalam maupun luar kota Surakarta. Kegiatan PKL diharapkan mampu memberikan pengalaman kerja sekaligus kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan karakter dalam dunia kerja. Selain itu, selama berdinamika di tempat PKL, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tambahan yang mungkin tidak didapatkan saat belajar di sekolah. Para siswa juga akan diuji komitmennya selama melaksanakan magang, apakah bisa melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai tuntutan tempat PKL masing-masing atau tidak.   PKL siswa SMK Mikael dilaksanakan dalam dua gelombang. Di tahun ajaran ini, gelombang pertama dilaksanakan pada 22 Juli-27 September 2024, sedangkan gelombang kedua dilaksanakan pada 7 Oktober-19 Desember 2024. Siswa yang menjalani PKL dengan baik akan mendapatkan sertifikat yang menjadi syarat kelulusan. Saya dan Jona Alfaloqita menjalani PKL gelombang pertama dan ditempatkan di lokasi terjauh dibandingkan dengan teman-teman yang lain, yaitu di P.T. KJL Plastic Indonesia, Tangerang. Pabrik ini memproduksi sedotan minuman plastik/drinking straw. Selama kurang lebih 10 minggu kami mendapatkan banyak pengalaman berharga dan menemukan semangat bekerja yang sesungguhnya.   Selama berproses di tempat PKL, kami membantu tim mekanik di bagian produksi. Di tempat tersebut, para karyawan harus mengenakan seragam khusus yang hanya dikenakan di dalam ruangan karena tempat tersebut adalah area hygiene. Tim mekanik yang sudah selesai memperbaiki mesin harus membersihkan alat dan mencuci tangan menggunakan hand sanitizer yang tersedia di setiap mesin. Semua kebiasaan itu bertujuan agar produk yang dihasilkan tetap higienis.   Selama menjalani PKL, kami mengikuti program training setiap Sabtu bersama tim maintenance. Hal ini tentu saja menambah pengetahuan dan keterampilan kami di dunia permesinan. Bonusnya, kami dapat berjumpa dengan Pak Richard, Alumni Kolese Mikael yang merupakan pengisi materi training. Selain bertemu alumni, kami juga bertemu Pak Tri Budiyanto selaku Kepala Bagian Produksi. Beliau sangat ramah, suka bercerita, dan senang berbagi ilmu. Cerita-ceritanya sangat menginspirasi, misalnya pengalamannya ikut berkontribusi dan berjuang membangun perusahaan dari awal hingga berkembang seperti saat ini. Dulunya, beliau hanya seorang mekanik biasa. Meskipun hanya seorang mekanik, beliau mempunyai semangat bekerja yang luar biasa. Beliau tekun mempelajari mesin-mesin di pabrik hingga setiap mesin di pabrik ini beliau kuasai. Tentu kemahiran tersebut bukan sebuah proses yang instan. Ada komitmen yang kuat dalam diri Pak Tri.   Salah satu core values atau nilai dasar yang diajarkan di Kolese Mikael dan juga di sekolah-sekolah Jesuit lainnya adalah commitment. Komitmen tidak hanya berlaku saat di sekolah saja, tetapi berlanjut sampai di dunia bekerja. Komitmen adalah sebuah janji. Dalam pengalaman ini, nilai komitmen adalah kehendak penuh untuk melakukan kewajiban dengan rasa tanggung jawab. Ada banyak peraturan yang harus dilaksanakan dalam bekerja, mulai dari aturan sederhana sampai yang rumit. Contohnya seperti datang tepat waktu, bekerja dengan baik, harus menjaga kebersihan, hasil produksi harus banyak dan berkualitas, hingga dituntut untuk belajar lebih. Aturan-aturan yang terkesan ribet tidak akan menjadi beban bila sudah memiliki komitmen. Tidak ada ruginya jika berkomitmen pada nilai-nilai yang baik. Ketika semua peraturan atau perintah sudah ditaati, maka lama-kelamaan itu menjadi sebuah kebiasaan. Kendati sudah terbiasa, jangan dianggap sebatas rutinitas. Semua itu perlu disadari dan dimaknai. Tidak akan ada keluh kesah atau reaksi negatif ketika sudah berkomitmen penuh, seperti halnya ketika menjalani PKL ini.   Kontributor: Syam Andriyanto Nugroho – SMK St Mikael Surakarta

Feature

“Manusia dan Ketahanan Lingkungan”

Refleksi Atas Studi Ekskursi 2024 Pada 30 September hingga 5 Oktober 2024, siswa kelas 10 SMA Kolese de Britto Yogyakarta mengikuti kegiatan formasi studi ekskursi. Pada tahun ini, studi ekskursi yang mengambil tema “Merawat Alam Ciptaan Tuhan Dalam Bingkai Kearifan Lokal,” mengajak para siswa untuk semakin memperhatikan lingkungan yang selama ini ditinggali sambil mengenali kearifan lokal di sekitar. Para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan pengamatan dalam bidangnya masing-masing, baik itu energi, pangan, maupun pengelolaan sampah. Tak hanya mengamati, para siswa juga ikut merasakan usaha mewujudkan kelancaran proses yang ada demi stabilnya kehidupan. Tangan kami menjadi kotor dan raga mengalami kelelahan, namun pengalaman kami terbentuk hingga mampu mengambil pelajarannya.   Melalui pengamatan, kami disadarkan bahwa menghasilkan pangan, menghasilkan energi listrik, dan mengelola sampah yang dihasilkan demi ketahanan kehidupan manusia memerlukan proses yang panjang dan tidak selalu instan. Supaya proses bisa berjalan lancar, diperlukan teknologi yang maju dan didukung oleh sumber daya dan sumber dana yang memadai. Sayangnya, hal tersebut rupanya masih menjadi mimpi yang terlalu jauh bagi para pelaku usaha pemberdayaan pangan, listrik, dan kebersihan lingkungan. Beberapa dari mereka mengalami kekurangan tenaga manusia dan keterbatasan teknologi sehingga hasil maksimal tidak mudah dicapai. Kurangnya dukungan ini juga membuat beberapa pelaku menjadi terancam, contohnya para produsen rambak di Desa Gantiwarno yang berkurang banyak jumlahnya. Dari yang semula berjumlah 15 rumah produksi, turun menjadi hanya 6 rumah produksi dalam waktu 1 dekade.   Kita diundang untuk bisa membantu para pelaku usaha pemberdayaan lingkungan dan ketahanan hidup, setidaknya dengan mendukung usaha pemberdayaan lingkungan. Tak perlu analisis mendalam, kegagalan kita untuk bisa membantu pemberdayaan lingkungan mampu kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Sampah plastik tercecer di mana-mana, sampah makanan menumpuk, suhu yang memanas akibat pemanasan global yang semakin parah. Ini semua menjadi bukti nyata yang dengan mudah kita temui. Justru semua ini terjadi ketika lingkungan semakin tidak stabil. Terjadi krisis pangan, energi, dan kebersihan lingkungan hidup yang semakin diperparah oleh kesulitan para aktivis pemberdayaan lingkungan hidup.   Saya sendiri sering merasa malu karena sedemikian tega terhadap lingkungan yang saya tempati. Sampah tidak saya pilah. Saya mengandalkan plastik sehingga sampah plastik semakin menumpuk. Makanan yang tersisa juga dibuang begitu saja. Saya juga menikmati dinginnya AC hampir sepanjang hari, menghamburkan energi. Manusia mungkin hanya menginginkan kenyamanan. Kita semua juga melakukan hal yang sama dan ini mengajak kita untuk berefleksi, mengapa kita setega itu? Sebagai makhluk yang telah diberi kehendak bebas oleh Tuhan, kita mampu menentukan keputusan sesuai akal budi dan hati nurani. Apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki lingkunganku?   Kontributor: Bumi Praba Murti – SMA Kolese de Britto

Karya Pendidikan

Being Men and Women for and with Others

Pada 2-5 Desember 2024 lalu, sebanyak 23 calon anggota Presidium Kolese Le Cocq d’Armandville mengikuti kegiatan LKI di Biara Susteran Abdi Kristus, Distrik Wanggar, Nabire, Papua Tengah. LKI atau Latihan Kepemimpinan Ignasian bertujuan mempersiapkan para calon anggota Presidium baru untuk menjadi pemimpin yang berkualitas dan berlandaskan pada nilai-nilai Ignatian.   “Being Men and Women for and with Others” menjadi tema LKI kali ini. Melalui tema ini para calon anggota Presidium diharapkan mampu menjadi pemimpin yang peduli, bertanggung jawab, dan terlibat dalam hidup warga sekolah serta masyarakat sekitar. Hidup ini bukan hanya untuk diri sendiri saja melainkan juga untuk melayani sesama, khususnya mereka yang kurang beruntung, terpinggirkan, dan tidak terperhatikan.   Pada 2 Desember 2024, pukul 07.30 WIT, para calon anggota Presidium bersama para pendamping, diantar menuju Wanggar menggunakan truk. Perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam tersebut ditemani oleh Ibu Ester Yanti dan Pater Yakobus Toto Yulianto, S.J.   Setibanya di Wanggar, Fr. Engelbertus Viktor Daki, SJ memimpin Ibadat Pembuka LKI. Dalam renungan singkatnya, Fr. Egi mengundang para calon anggota Presidium untuk sungguh-sungguh mengikuti dinamika LKI dengan hati yang terbuka dan penuh sukacita.   Mengenal Diri Para peserta LKI menerima sejumlah materi menarik. Pada hari pertama Ibu Theresia Kegiye memberikan materi Pengenalan Diri. Para peserta diajak untuk sungguh mengenali diri mereka sebagai pribadi-pribadi yang dikasihi Allah, memiliki sejumlah bakat dan kemampuan yang berguna bagi banyak orang, dan bersedia menjadi pemimpin yang sungguh-sungguh mau melayani.   Kak Magda, salah satu mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang sedang menjalani program Asistensi Mengajar di Kolese Le Cocq turut memberikan materi mengenai Kualitas Seorang Pemimpin. Kak Magda menekankan pentingnya seorang pemimpin memiliki sejumlah kualitas diri yang mumpuni sehingga mampu menjadi inspirasi sekaligus penggerak organisasi. Tak lupa pula, Kak Magda mengajak para peserta untuk berefleksi lebih dalam dan mengenal sosok pemimpin seperti apa dan siapa saja yang menjadi inspirasi bagi mereka.   Selain diajak mengenal diri dan meninjau kualitas pemimpin, Kak Mutiara Kausar, mahasiswi Sanata Dharma yang sedang dalam program Asistensi Mengajar juga ikut memberikan materi mengenai Keterampilan Pemimpin. Para peserta diajak untuk mengenal sejumlah keterampilan dasar apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, seturut dengan semangat Ignatian, seperti keterampilan berdiskresi dan bertindak berdasarkan semangat magis.   Value Based Leadership Pada hari kedua, Fr. Engelbertus Viktor Daki, S.J. mengajak para peserta untuk belajar menjadi pemimpin-pemimpin yang berintegritas, berjalan bersama Tuhan. Mereka diajak untuk melihat tindakan-tindakan Yesus, sang Guru sejati, dalam melayani dan mendampingi para murid.   Dalam pemaparannya, Fr. Egi menjelaskan bahwa dalam dinamika memimpin nantinya, mereka akan senantiasa berada dalam “medan perang” dari waktu ke waktu. Perang akan terjadi antara nilai-nilai kepemimpinan yang mereka junjung tinggi dengan aneka godaan, pertentangan, kerapuhan, dan kelemahan diri. Mereka diajak mengenal diri begitu rupa agar jika nanti godaan itu datang mereka tahu apa yang harus dilakukan agar nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu kejujuran, kerendahan hati, magis, dan ketulusan itu tetap terjaga.   Pada akhirnya, mereka diundang untuk menjadi pemimpin yang memiliki keselarasan pikiran, hati, dan tindakan. Keselarasan ini diharapkan bisa membawa mereka pada pertumbuhan sejati, menjadi pemimpin-pemimpin berpikir, berucap, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai luhur, alih-alih kecenderungan diri, ego, dll.   Relasi Kuasa Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Ketika seseorang didapuk menjadi seorang pemimpin, ia memiliki kuasa untuk menggerakkan orang lain. Pater Rikhardus Sani Wibowo, S.J, sebagai pemateri, mengajak para peserta untuk sama-sama mencermati peran seorang pemimpin dan juga rambu-rambu yang harus diperhatikan agar sungguh menjadi pemimpin bermutu. Salah satunya adalah dengan memilih jalan keteladanan dan bukan ancaman atau pemberian hadiah saat memimpin. Kesadaran akan peran, kuasa, dan rambu-rambu yang perlu diperhatikan diharapkan membuat peserta terhindar dari penyelewengan dan penyalah-gunaan kekuasaan.   Bu Ester Yanti memberi materi mengenai “Membangun Tim dan Kolaborasi.” Dalam pemaparannya, Bu Ester mengajak para peserta untuk mampu bekerja sama. Dengan menjadi anggota Presidium, mereka semua menjadi pemimpin yang bekerja sebagai tim. Tidak ada yang bekerja sendiri. Masing-masing orang memiliki kelebihan yang perlu dikolaborasikan sehingga mampu menjadikan tim Presidium ini bekerja dengan solid. Setiap orang, setiap divisi di dalam Presidium perlu mampu berkolaborasi satu sama lain.   Facing the Giants Para calon anggota Presidium diajak untuk menonton film bersama Facing The Giants. Film ini mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik dan selalu membawa nama Tuhan saat senang maupun susah. Suasana di malam itu begitu seru. Bahkan, pada suatu bagian yang luar biasa di film, para anggota Presidium turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh tokoh pada film tersebut.   Dinamika Luar Ruangan Pada hari ketiga, para peserta diajak untuk menjadi pemimpin yang peduli dengan lingkungan sekitar dan tergerak membantu sesama. Sesudah bangun pagi, mulai dari depan Biara, para peserta diajak untuk memungut sampah yang berserakan di pinggir-pinggir jalan raya hingga Kapel Wanggar dan Pasar Wanggar. Kondisi di sekitar titik-titik yang dibersihkan awalnya kotor dan tidak enak dipandang, setelahnya menjadi bersih dan enak dipandang.   Usai kegiatan membersihkan lingkungan, para peserta menawarkan diri untuk membantu mama-mama di pasar berjualan. Mereka awalnya malu-malu, namun setelah mencoba dan memberanikan diri, mereka akhirnya terlibat dalam menjual barang-barang jualan mama-mama di pasar. Harapannya, para peserta memiliki kepekaan terhadap kebersihan lingkungan dan juga memiliki keberanian, tidak malu untuk melakukan hal-hal baik.   Selain materi-materi, para anggota Presidium diajak untuk rutin melakukan examen conscientiae atau pemeriksaan batin. Examen ini bertujuan untuk melatih kepekaan kita terhadap roh baik dan roh jahat. Dengan examen, para calon anggota Presidium diharapkan dapat mengetahui dorongan-dorongan dari roh baik dan selalu mengikutinya serta mengetahui dorongan-dorongan dari roh jahat dan selalu menjauhinya. Examen dilaksanakan pada siang hari sebelum makan siang dan malam hari sebelum tidur.   Membangun Keakraban Lewat Mini Games Selama kegiatan LKI berlangsung, ada sejumlah mini games yang bertujuan untuk meningkatkan kekompakan dan solidaritas. Melalui games, para calon anggota Presidium diajarkan untuk bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan bersama. Salah satu mini games yang dilaksanakan adalah mengeluarkan bola pingpong menggunakan air dari sebuah pipa yang sudah diberikan beberapa lubang.   Melalui mini games ini, para peserta dituntut untuk bekerja sama dalam mencari solusi agar air yang diisi ke dalam pipa bocor tidak keluar dan bola pingpong yang ada di dalamnya dapat keluar. Ada yang menutup

Karya Pendidikan

Menjemput Kebajikan ke Benua Hijau

Suhu di bawah 20 derajat Celcius dengan cuaca yang berangin di Saint Ignatius’ College, Riverview, Sydney, Australia tidak mengurangi kehangatan yang kami rasakan melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Jesuit Conference of Asia Pacific Education pada 8-11 Oktober 2024 lalu. Pelatihan tersebut bertujuan tidak hanya agar setiap peserta yang datang dari berbagai negara Asia Pasifik mendapatkan pemahaman terkait dengan Ignatian Leadership namun juga agar setiap peserta dapat membagikan pengalamannya di sekolah masing-masing sehingga hubungan persaudaraan menjadi terjalin. Pelatihan ini mengundang peserta yang merupakan guru maupun karyawan sekolah Jesuit dari berbagai negara Asia Pasifik, seperti; Australia sebagai tuan rumah, Timor Leste, Cina, Filipina, Malaysia, Jepang, Micronesia, dan Kamboja. Ada tiga topik yang didalami dalam pertemuan ini, yaitu; Authentic and Trust dengan fasilitator Jennie Hickey dari Australia, Communal Discernment bersama Pater Non dan tim (Jepang), dan Collaboration bersama Pater Jboy dari Filipina.   Pribadi Otentik yang Siap menjadi Bagian dari Komunitas yang Saling Percaya Sebagai pemimpin dalam suatu komunitas, terkadang komunitas tersebut memandang kita sebatas sebagai pemimpin saja, tidak lebih sebagai diri sendiri. Namun, kita kembali diteguhkan bahwa hal tersebut dimulai dari dalam diri yang juga mengenal diri sendiri dengan baik karena bagaimana kita bisa mengharapkan orang lain mengenal kita apabila kita sendiri belum mengetahui siapa diri kita sendiri. Examen conscientiae adalah salah satu cara yang dapat dilakukan secara individu untuk mengenali diri sendiri; apa yang dialami dan dirasakan; apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan. Tentunya, examen conscientiae dimulai dengan mengucap syukur kepada Tuhan sebagai wujud nyata bahwa kita mempercayai kehadiran Tuhan dalam setiap pengalaman dan perasaan kita.   Sebagai manusia, kita memiliki berbagai macam keterbatasan. Bahkan, terkadang kita cenderung menarik diri dari Tuhan apabila ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita kembali diingatkan bahwa kita harus senantiasa melihat segala sesuatu menggunakan mata Tuhan agar terbebas dari ego diri sebagai manusia. Terkadang manusia menggunakan mantra ‘it is okay to be a human.’ Namun, sering kali, hal tersebut dijadikan pembenaran saat memikirkan atau melakukan suatu hal yang tidak seturut dengan Citra Allah. Namun, sebagai manusia yang serupa dengan Citra Allah, kita harus sadar sepenuhnya bahwa Tuhan senantiasa mendorong diri kita ke arah kemajuan dan peningkatan dengan memberikan tantangan berupa kondisi dan situasi yang terkadang tidak nyaman untuk kita.   Menjadi pemimpin yang otentik juga berarti siap ketika ada yang membenci dan bahkan menghakimi. Hal yang wajar terjadi di dalam suatu komunitas. Namun, yang terpenting adalah diri sendiri yang sudah mengenal dan menerima dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. Selanjutnya, adalah benar hal yang dipikirkan, dilakukan, atau diputuskan sebagai pemimpin selama hal tersebut bukan semata-mata untuk memuliakan diri sendiri melainkan Allah. Apabila kita sudah menjadi pribadi yang autentik, maka kita akan siap bergabung ke dalam suatu komunitas agar dapat saling merayakan pribadi yang autentik satu sama lain untuk bertumbuh dan berkembang bersama dengan rasa percaya dalam suatu komunitas. Sehingga, kita juga siap untuk selalu menggeser dari ‘saya’ sebagai seorang individu kepada ‘kita’ sebagai seorang yang merupakan bagian dari suatu komunitas.     Pribadi yang Mau Mendengarkan: Upaya Menciptakan Kolaborasi  Dalam topik Communal Discernment, kami diberikan dua kesempatan untuk mempraktekkannya dengan topik dan kelompok yang berbeda. Dari kedua dinamika yang terjadi, kami menyadari bahwa kunci dasar dari Communal Discernment adalah komunikasi yang sehat secara dua arah. Saat melakukannya pun, kita harus berfokus bukan kepada tujuan pribadi untuk memuliakan diri sendiri tetapi untuk memuliakan Allah. Fokus kita adalah kepada Tuhan yang selalu hadir baik melalui fisik maupun emosi, spiritual maupun sosial agar kita dapat menjadi Kerajaan Allah dalam rupa manusia. Kepemimpinan bukan merupakan hal yang dilakukan berdasarkan jabatan dari atas ke bawah karena pada dasarnya kita berada di tempat yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Maka dari itu, apapun bagian yang kita ambil dari suatu komunitas, hendaklah kita memiliki sikap rendah hati untuk senantiasa mau mendengarkan sepenuh hati agar terjalin kolaborasi yang harmonis untuk mencapai tujuan bersama.   Saya merasa sangat bersyukur. Sebagai guru muda, saya sadar bahwa peziarahan hidup saya dalam menghidupi peran ini masih panjang. Banyak hal yang masih perlu saya pelajari. Saya banyak belajar dari orang-orang hebat selama pelatihan ini. Walaupun mereka memiliki peran penting di sekolah masing-masing, tidak hanya sebagai guru namun juga sebagai direktur dari bidang tertentu dan bahkan Kepala Sekolah, namun mereka tetap bersikap rendah hati untuk terus belajar. Hal ini mengingatkan saya akan salah satu sikap Yesus yang dengan rendah hati juga senantiasa memiliki kemauan belajar dari murid-murid-Nya sendiri.   Kontributor: Theresia Rianika Septianingtyas – SMA Kolese Gonzaga