Pilgrims of Christ’s Mission

Live in Sosial

Karya Pendidikan

“Berguru di Pegunungan Seribu”

Live-in Kolese Gonzaga 2024 Mentari mulai merekah di ufuk timur ketika tujuh bus yang membawa rombongan siswa kelas XI SMA Kolese Gonzaga mulai mendaki Bukit Pathuk dan melewati slogan bertuliskan Gunung Kidul – Handayani. Panorama indah kota Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang seakan menyambut para peserta live-in, yang terlihat masih menyimpan rasa kantuk namun juga penasaran tak sabar ingin segera sampai di lokasi.    Kerja sama Sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari Live-in Kolese Gonzaga merupakan kegiatan rutin sekolah bagi siswa kelas XI. Pada tahun 2020, sebenarnya Kolese Gonzaga juga merencanakan live-in di Gunung Kidul, namun dua hari menjelang keberangkatan, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19, sehingga live-in Kolese Gonzaga saat itu, terpaksa harus dibatalkan.    Tahun ini live-in Kolese Gonzaga yang diselenggarakan pada 8-13 September 2024, mengambil tema “Peduli Lingkungan, Peduli Sesama, Peduli Diri Sendiri.” Live-in tahun ini terselenggara berkat kerjasama antara sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari, Gunung Kidul. Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr. dan Romo Yohanes Riyanto, Pr. yang merupakan pastor paroki memberikan izin penyelenggaraan live-in Kolese Gonzaga, sehingga 275 siswa dan 18 pendamping dapat berkegiatan di 14 lingkungan yang berada di desa Gunungsari, Trengguno, Kalangbangi, Nitikan, Kwangen, Semanu, Pokdadap, Jati, Petir, dan Cuwelo.     Live-in sebagai Sarana Formasi Karakter  Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan sekolah untuk mengimplementasikan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) dengan tujuan untuk membentuk Pelajar Pancasila yang beriman, berkebhinekaan global, mampu bergotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Hal ini terwujud lewat penanaman core values sekolah yakni Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Humility serta Integrity dalam  live-in.    Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi live-in karena konteks masyarakatnya yang beragam, agraris, dan cukup terbuka. Mereka terlibat dalam dinamika harian keluarga dan masyarakat desa. Pada bulan September di wilayah Gunung Kidul yang sistem pertaniannya tadah hujan, tidak ada aktivitas penanaman. Pekerjaan pertanian yang ada adalah memetik kacang hijau, menggemburkan tanah ladang, mengolah hasil pertanian, seperti membuat gaplek, mengupas kacang, memipil jagung, membuat keripik-keripik singkong, dan mencari pakan ternak.    Berkegiatan bersama keluarga dalam masyarakat pedesaan menghadapkan para siswa dengan suatu pengalaman merasakan perjuangan para penyedia bahan pangan bagi banyak orang. Nasi, sayur, buah, dan lauk pauk yang tersaji di meja makan sesungguhnya adalah hasil proses yang panjang. Petani dan peternak menempati garda depan di dalamnya yang menguras peluh dan kadang juga air mata. Mereka tak pernah takut bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Ada berbagai perbincangan yang terjadi saat para siswa diajak wedangan bersama keluarga asuh. Perbincangan tentang bagaimana mengatasi kegagalan panen, menghadapi kemarau panjang dan kekeringan, bagaimana bertahan saat harga hasil panen anjlok di pasaran, maupun saat terjadi wabah tetelo ataupun anthrax pada ternak.       Setiap malam, siswa merefleksikan berbagai peristiwa yang mereka alami sepanjang hari tersebut. Ada banyak hal menyentuh dari hasil refleksi para siswa. Banyak yang merasa tertampar dengan apa yang mereka saksikan. Betapa selama ini ada banyak kenyamanan hidup yang mereka nikmati di kota, baik akses transportasi yang mudah, kamar ber-AC yang sejuk, makanan yang sudah tersaji, serta berbagai kemudahan lainnya. Tiara dan Abel yang menempati rumah Mbah Rubiyem, tekun membantu mbah Rubiyem membuat tempe. Mereka membungkus kacang kedelai yang sudah direbus dan diberi usar dengan daun jati serta daun awar-awar. Meskipun tangan mereka bekerja, namun pikiran dan hatinya tertuju pada sosok Mbah Rubiyem yang sudah berumur 80 tahun yang tak pernah mau berdiam diri. Beliau masih mengurus ladang dan ternak, meskipun anak-anaknya di perantauan mengirimkan uang setiap bulan.     Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, SJ. selaku Kepala Sekolah dan Pater Yulius Suroso, SJ. selaku moderator Kolese Gonzaga, secara terpisah mengunjungi siswa secara acak dari desa ke desa dan berdialog dengan siswa. Aradea dan Aquinas menyatakan rasa syukurnya ditempatkan di rumah Keluarga Hartono di Dusun Pokdadap yang berjarak 15 km dari kota Wonosari. Mereka belajar dari keluarga tersebut mengenai arti kebahagiaan di tengah situasi “Adoh ratu, cedhak watu”. “Adoh Ratu” artinya jauh dari pemerintahan sehingga fasilitas terbatas, sedangkan “cedhak watu” atau dekat bebatuan. Di Gunung Kidul memang banyak batu. Bukit-bukitnya pun berupa bukit batu kapur sehingga tidak semua lahan dapat dipakai untuk bercocok tanam.    Dalam live-in ini para siswa juga mengikuti pertemuan lingkungan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), dan berlatih seni budaya. Ada berbagai kesenian yang diperkenalkan dan dipelajari, antara lain tari Reog, Jathilan, tari Nawang Jagad, bermain gamelan, mewiru kain dan mengenal busana adat Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengolah rasa, dan menanamkan kecintaan akan budaya tanah air. Ada tradisi-tradisi yang kemudian diperkenalkan juga kepada para siswa untuk menjaga lingkungan, misalnya Tradisi Rasulan atau memetri desa dan tradisi Gugur Gunung yang dilakukan secara berkala untuk membersihkan lingkungan desa.      Live-In sebagai Sarana Formasi Intelektual  Alam dan masyarakat adalah sumber belajar dan laboratorium yang sangat bagus. Live-in, tidak hanya untuk mem-formasi karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan intelektual siswa dengan penerapan metode ilmiah. Sebelum berangkat live-in, para siswa diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal terkait Gunung Kidul, baik kondisi geografis, sosial ekonomi budaya, keberagaman masyarakat, ekologi maupun keanekaragaman hayatinya. Mereka juga belajar menggunakan analisis SWOT dan design thinking secara sederhana. Saat berada di lokasi live-in, mereka melakukan observasi sederhana, melakukan konfirmasi teori yang telah mereka pelajari, serta melakukan analisis terhadap berbagai fenomena yang mereka temukan.    Sepulang live-in, kelompok-kelompok kerja mengumpulkan berbagai informasi hasil observasi dan melakukan diskusi. Permasalahan-permasalahan yang mereka temukan saat live-in dikumpulkan, lalu setiap kelompok memilih satu permasalahan yang kemudian dibahas secara ilmiah untuk menemukan alternatif-alternatif solusinya. Alternatif solusi ini kemudian diwujudkan dalam ide rancangan prototype. Permasalahan yang paling banyak dipilih oleh siswa adalah masalah keterbatasan air untuk pertanian. Berbagai ide yang muncul antara lain adalah penggunaan sistem drip irigation, desalinasi air laut, dan penangkapan uap air. Banyaknya anak muda yang meninggalkan desa merupakan masalah sosial yang teramati dengan jelas. Petani yang ada saat ini mengolah lahan pertanian sebagian besar adalah lansia. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan krisis sumber daya manusia di bidang pertanian yang berujung pada krisis pangan di masa depan. Ide-ide yang muncul sebagai solusi antara lain, bagaimana mengubah image petani agar menarik anak muda menjadi petani keren berteknologi tinggi dengan penggunaan AI, drone untuk penyemprotan hama, dan

Karya Pendidikan

Tanah Abang, Universitas Kehidupan

“Kalian besar nanti, carilah perguruan tinggi yang bisa bantu belajar tentang kehidupan, yang rektornya mengajarkan tentang kemanusiaan,” kata Bang Dillah, sebutan akrab Abdillah, nama induk semang kami di Tanah Abang. Selama lima hari itu, mulai dari 16-20 Januari 2023, aku dan kelompokku melaksanakan live in sosial di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, tepatnya di Kelurahan Kebon Kacang. *** Waktunya berangkat pun tiba, namun ketidakjelasan masih kuat menghantui. Minggu malam kami memulai perjalanan dengan bus ke Jakarta dan sempat diputar-putarkan di sebuah ruas jalan besar. Akhirnya, kami berhenti di pinggir jalan, persis di depan ruko dengan gang kecil di sebelahnya. Bu Nita, guru pendamping, memberi instruksi untuk turun dan membawa barang-barang kami yang dikemas dalam sebuah trash bag. Tibalah kami di sebuah tempat yang tak lazim. Halamannya luas, dengan dua buah pohon yang membuatnya rindang. “Sanggar Anak Akar,” tertulis di sebuah ambulans yang terparkir di halaman. “Pasti nanti mengajar anak-anak,” pikirku. Di sanggar tersebut, yang kelak akan menjadi basecamp kami, kami sarapan sejenak sebelum mendengar arahan dari Mbak Yuse, salah seorang anggota sanggar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi, yaitu TPA Bantar Gebang, Sentiong (kawasan kuburan Cina), dan Tanah Abang, tempatku live in. Tempat dengan pasar yang besar, terkenal akan preman dan prostitusi, menjadi “universitas kehidupanku.” Di sana kami diminta membantu pekerjaan warga sekitar. Ada yang menjadi tukang bubur, pemilah sampah, atau pedagang karung. Aku sendiri membantu seorang pedagang soto betawi yang sekaligus guru ngaji, Bang Wahyu. Di Tanah Abang, kami tidak menginap di sebuah rumah atau toko, melainkan sebuah tempat pengajian yang dikelola oleh Yayasan Hurin’in, sebuah yayasan yang boleh dikatakan mempunyai tujuan yang sangat mulia dan kontekstual. Yayasan ini berdiri untuk memutus rantai prostitusi yang mengikat sebagian perempuan di sana. Sebagian anak yang dididik dan diasuh adalah anak-anak PSK melalui pembinaan iman dan akhlak (etika) agar mereka tidak terjerumus ke dalam jebakan yang dialami oleh orang tua mereka. Anak TK hingga SD di sini bagaikan perwujudan dari realitas “pasar” yang keras. Mereka sudah mengerti dan lihai menggunakan umpatan-umpatan seperti dongo, goblok, dan lain sebagainya. Berbicara dengan kawannya pun menggunakan logat Betawi disertai nada yang tinggi dan keras, hampir menyerupai gaya berbicara orang tua mereka. Tanah Abang memang punya dua muka. Ia bisa tampak seperti kawasan permukiman kumuh yang penuh preman dan kriminalitas, namun ia juga bisa tampak seperti perkampungan dengan warga yang rukun dan teguh dalam penghayatan iman. Mushola di dekat tempat kami menginap selalu ramai dengan warga waktu Maghrib dan Isya’. Para muadzin berlomba-lomba menyerukan dengan lantang panggilan untuk beribadah dan warga menyambutnya dengan antusias. Selama empat hari itu, setelah shalat subuh, aku berangkat ke pasar bersama Bang Wahyu, seorang Ustadz dan penjual soto betawi. Saat tiba, Bang Wahyu langsung bergegas membersihkan lapak dan aku membantu membersihkan meja, melepas terpal, mengambil air di tempat yang cukup jauh, memotong kol, tomat, dan mencuci beras. Fase yang paling membosankan adalah menunggu pelanggan berdatangan. Pada saat demikian itu, aku sering duduk menganggur sambil sesekali menyeruput kopi. Pelanggan banyak berdatangan ketika menjelang makan siang. Saat pagi, hanya ada satu atau dua pembeli saja. Karena sepi dan tidak tahu harus melakukan apa, serta didukung angin semilir, maka selama empat hari itu yang datang bukanlah manusia, melainkan rasa kantuk. Namun, sekalinya pelanggan membludak, rasanya seperti gelombang lautan yang tak berakhir. Pekerjaanku, yakni membantu mencuci piring dan menyiapkan nasi, serasa abadi di waktu menjelang makan siang. Satu tumpukan piring selesai dicuci, tumpukan lain datang menyusul. Satu piring nasi disiapkan, yang lain juga menunggu antrian. Satu piring kecil acar disajikan, yang lain menunggu diisi. Ada kalanya para pelanggan mengiyakan saja apa yang disajikan, namun ada kalanya mereka mengajukan permintaan tersendiri. Bahkan pernah satu kali, sebuah rombongan mengajukan banyak sekali permintaan kepada Bang Wahyu, seperti kikil dipotong di bagian tertentu, dan sebagainya. Di situ ada Aril, pegawai yang membantu bang Wahyu menjual soto betawi. Ia bercerita bahwa ia hanya bersekolah sampai SMP. Setamat SMP, ia memutuskan membantu orang tuanya dengan banting tulang mengais rezeki, hingga akhirnya, ia tiba di Tanah Abang. Aril tak menganggapnya sebagai hal yang perlu disesali. Aril seolah-olah menganggap tak melanjutkan pendidikan hanyalah bagian dari realita yang ia harus hadapi. Memang, di kawasan Tanah Abang, tak banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, terutama karena alasan ekonomi. Namun orang-orang seperti mereka membuktikan bahwa hidup tak melulu soal pendidikan saja dan bahwa tak mengenyam pendidikan tinggi bukan berarti akhir dari segalanya. Pada hari kedua, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti nyata praktik prostitusi di Tanah Abang. Malam itu, oleh Bang Dillah, aku dan kelompokku diajak melewati sebuah gang tempat ia tinggal. Di sana, aku melihat bilik-bilik persis di sebelah kiri jalanan gang. Selain bilik, juga terdapat semacam klub malam sederhana di sisi jalan yang sama. Realita sosial di Tanah Abang memang jauh dari kata ideal. Berada di sana hanya selama lima hari, mungkin terasa nyaman saja, tetapi jika tinggal di sana hingga waktu yang tak dapat ditentukan adalah perkara yang membuatku bertanya-tanya, “Apakah kehidupan ini adil?” Namun, tentu ada sisi positif yang terdapat di Tanah Abang, seperti yang kami rasakan di malam terakhir live in. Setidaknya, kedekatan Tanah Abang dengan Bundaran HI memberi sebuah hiburan tersendiri bagi kami yang kami kunjungi pada malam kedua. Mengetahui bahwa kami akan kembali ke Yogyakarta pada hari Jumat, Bang Wahyu berinisiatif untuk mengadakan perpisahan bersamaan dengan acara sholawatan yang rutin diadakan di balai pengajian setiap Kamis malam. Setelah sholawatan selesai dan hidangan telah disiapkan oleh kami, dibantu oleh Bang Dillah dan istrinya, kami semua makan bersama-sama dan mengucapkan salam perpisahan dengan anak-anak pengajian serta guru mereka. Dari live in yang kuikuti, banyak pelajaran yang dapat aku petik. Dari Aril, aku belajar bahwa setiap orang mampu melayani sesamanya dengan kemampuan masing-masing. Kenyataan bahwa Aril tak sempat mengenyam bangku SMA tidak menghalanginya untuk menyalurkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu sesama, dalam hal ini dengan menjadi karyawan Bang Wahyu. Bagaimana orang-orang seperti Aril mencoba untuk bersyukur dan menikmati hidup, sekalipun tidak dalam kondisi yang ideal, selalu membuatku terpukau. Aku juga belajar secara langsung bagaimana rasanya bekerja bersama dengan orang lain dan betapa bosannya menunggu datangnya pelanggan saat berjualan.