Pilgrims of Christ’s Mission

Kolese Gonzaga

Karya Pendidikan

G-REFLEX sebagai Perayaan Pengalaman Belajar

Alunan lagu “Viva La Vida” yang dimainkan oleh Gonzaga Big Band Orchestra mengiringi pembukaan Gonzaga Reflective Learning Experience Exhibitions atau G-REFLEX, yang ditandai dengan pencampuran serbuk Kalium Permanganat (KMnO4) ke dalam larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) oleh Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo SJ., M.Ed., hingga menimbulkan keluarnya asap dari sebuah miniatur gunung untuk  menggambarkan ledakan pemikiran-pemikiran yang siap diluncurkan. Kegiatan G-REFLEX yang berupa presentasi-presentasi karya tulis dan pameran infografis ini dilaksanakan pada 18-21 Maret 2025, dihadiri para orang tua siswa, para guru, dan siswa dari sekolah lain, perwakilan dari dinas pendidikan, dan akademisi dari perguruan tinggi.   Berlatih Melihat Fenomena dan Menemukan Masalah Pada pertengahan bulan Agustus 2024, siswa kelas XII SMA Kolese Gonzaga mulai berproses menyusun karya tulis yang digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program ini merupakan program yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, namun terus ditingkatkan kualitasnya berdasarkan evaluasi-evaluasi pada setiap akhir pelaksanaannya. Untuk tahun pelajaran 2024/2025, program karya tulis siswa angkatan XXXVI Kolese Gonzaga yang berjumlah 289 orang dan terbagi menjadi 90 kelompok ini mengambil tema utama Universal Apostolic Preferences (UAP) dari Serikat Jesus. Mereka menyusun karya tulis dengan memilih topik yang berkaitan dengan Showing the way to God,  Walking with the Excluded, Journeying with Youth, maupun Caring for our Common Home. Selain itu, sekolah juga membuka peluang bagi para siswa untuk memilih topik yang berkaitan dengan Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM). Setiap kelompok didampingi oleh seorang guru pembimbing sehingga ada 54 orang guru yang berperan sebagai guru pembimbing.    Meskipun banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita, namun tidaklah mudah untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah dalam fenomena-fenomena tersebut. Soegiyono Tuckman, seorang penulis buku metode penelitian, menyatakan bahwa jika seorang calon peneliti telah berhasil menemukan masalah penelitiannya, maka 50% pekerjaan penelitian sudah selesai. Hal tersebut menekankan betapa krusialnya  proses mengidentifikasi masalah. Pada proses ini tentu arahan dan bimbingan para guru sangat dibutuhkan siswa. Siswa dibimbing untuk berlatih berpikir kritis melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara norma dan kenyataan, antara apa yang senyatanya dengan apa yang seharusnya terjadi, antara teori dan praktik. Literasi menjadi kunci awal membuka pemikiran dan wawasan siswa agar lebih tajam dalam menilai persoalan.       Praktik Cura Personalis Dalam Pendampingan Karya Tulis Selama kurang lebih enam bulan para siswa berdinamika bersama guru pembimbing, ada banyak diskusi yang terjadi. Para guru pembimbing dalam proses ini tidak hanya membimbing teknis penulisan, metodologi ataupun mengarahkan dari sisi pengetahuan, namun lebih dari itu, pembimbing harus lebih mengenal siswa yang dibimbing, lebih memahami karakter, kelebihan, dan kelemahannya sehingga lebih mengerti kebutuhan setiap siswa. Ada siswa yang sangat tinggi inisiatifnya, terampil mencari literatur, dan rajin. Ada siswa yang perlu dimotivasi untuk berkontribusi dalam penulisan, sulit bekerja sama, dan ada pula yang memiliki hambatan-hambatan khusus seperti permasalahan pribadi maupun gangguan kesehatan.    Rangkaian bimbingan karya tulis ini seakan menjadi retret panjang. Guru sebagai individu dewasa, berperan sebagai fasilitator yang harus terus belajar memahami dan mengarahkan, sementara siswa sebagai retretan dibimbing hingga sampai tahap reflektif dan menemukan Tuhan dalam pergulatannya berproses menyusun karya tulis. Saat suatu kelompok mengangkat permasalahan tentang prokrastinasi yang berawal dari keprihatinannya pada  budaya last minutes di kalangan gen Z, tentu saja kelompok yang juga beranggotakan gen Z ini, mengalami pergulatan, apakah mereka juga sering menunda-nunda tugas, lalu bagaimana seharusnya anak muda berkomitmen untuk tidak membuang-buang sumber daya waktu? Sementara itu, beberapa kelompok mengangkat permasalahan yang berhubungan dengan konsumerisme, baik budaya fast fashion, gaya hidup, pola makan, maupun pembelian impulsif yang terjadi karena perkembangan digital marketing serta peer pressure.  Ada pula kelompok yang menulis tentang kepedulian anak zaman sekarang terhadap lansia, dengan melihat fenomena yang terjadi pada orang-orang tua yang kesepian, sementara anak-anak yang sudah mereka bekali dengan pendidikan tinggi sibuk dengan karir dan pekerjaannya.    Persoalan kepedulian lingkungan, kesadaran politik, pengabaian Gen Z di dunia kerja, ancaman judi online, kebiasaan merokok, dan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi pada Gen Z mewarnai presentasi-presentasi karya tulis saat G-REFLEX. Latisha, seorang siswi muslim, membagikan pengalaman saat dirinya mencari literatur dan kemudian membaca tentang UAP serta ensiklik Laudato Si. Ia semula bingung karena ada banyak istilah-istilah agama Katolik, namun hal itu membuatnya penasaran dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami dunia melalui perspektif yang berbeda. Ketika Ia mulai memahami konsepnya, Ia menemukan ada hal-hal yang mirip dengan ajaran Islam, tentang nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian lingkungan. Para siswa yang memilih topik-topik STEAM, mempresentasikan karya tulis mereka setelah berproses dengan kerja laboratorium, untuk mencari solusi penanganan limbah ataupun membuat suatu produk olahan makanan. Ada  pula siswa yang menulis studi kasus berdasarkan pengalaman dirinya, berjuang menghadapi sakit yang menghambat kehidupan akademik dan sosialnya, serta pergulatan imannya untuk terus berpengharapan. Permasalahan-permasalahan ini sangat kontekstual dan benar terjadi di dalam diri mereka sendiri atau di lingkungan sekitarnya. Demikian diharapkan tema G-Reflex “Non scholae, sed vitae discimus” yang berarti kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup, diharapkan benar-benar dihayati oleh seluruh komunitas terutama para siswa.     Puncak Pengalaman Belajar Penilaian yang dilakukan sekolah dalam proses penyusunan karya tulis dan G-REFLEX ini meliputi penilaian terhadap jurnal yang disusun, pembuatan infografis dan roda ilmu pengetahuan, penilaian keterampilan berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat dalam presentasi baik bagi presenter maupun audience (kelas X dan XI), serta penilaian sikap siswa selama berproses. Para siswa kelas X juga dilibatkan sebagai Liaison Officer (LO), sementara kelas XI juga dilibatkan sebagai notulis, sedangkan yang berperan sebagai moderator diskusi adalah para siswa kelas XII. Para orang tua siswa yang hadir juga diberi kesempatan bertanya ataupun memberikan masukan. Ada banyak momen yang mengharukan saat orang tua mengapresiasi anak mereka sendiri ataupun momen lucu ketika orang tua memberikan pertanyaan yang menantang kepada anaknya.     Kegiatan penulisan karya tulis diharapkan juga mendukung kesiapan para siswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Iceu Rufiana, M.M., M.Si. selaku Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan Jakarta Selatan, setelah menyaksikan jalannya kegiatan. Beliau menyampaikan kesesuaian kegiatan ini dengan kurikulum yang sedang berjalan, yang menekankan deep learning, lebih mendalam dalam mempelajari sesuatu, dengan penuh kesadaran (mindful), lebih reflektif sehingga bermakna (meaningful), lebih holistik, dan dijalani dengan gembira (joyful). Beliau

Karya Pendidikan

Menjemput Kebajikan ke Benua Hijau

Suhu di bawah 20 derajat Celcius dengan cuaca yang berangin di Saint Ignatius’ College, Riverview, Sydney, Australia tidak mengurangi kehangatan yang kami rasakan melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Jesuit Conference of Asia Pacific Education pada 8-11 Oktober 2024 lalu. Pelatihan tersebut bertujuan tidak hanya agar setiap peserta yang datang dari berbagai negara Asia Pasifik mendapatkan pemahaman terkait dengan Ignatian Leadership namun juga agar setiap peserta dapat membagikan pengalamannya di sekolah masing-masing sehingga hubungan persaudaraan menjadi terjalin. Pelatihan ini mengundang peserta yang merupakan guru maupun karyawan sekolah Jesuit dari berbagai negara Asia Pasifik, seperti; Australia sebagai tuan rumah, Timor Leste, Cina, Filipina, Malaysia, Jepang, Micronesia, dan Kamboja. Ada tiga topik yang didalami dalam pertemuan ini, yaitu; Authentic and Trust dengan fasilitator Jennie Hickey dari Australia, Communal Discernment bersama Pater Non dan tim (Jepang), dan Collaboration bersama Pater Jboy dari Filipina.   Pribadi Otentik yang Siap menjadi Bagian dari Komunitas yang Saling Percaya Sebagai pemimpin dalam suatu komunitas, terkadang komunitas tersebut memandang kita sebatas sebagai pemimpin saja, tidak lebih sebagai diri sendiri. Namun, kita kembali diteguhkan bahwa hal tersebut dimulai dari dalam diri yang juga mengenal diri sendiri dengan baik karena bagaimana kita bisa mengharapkan orang lain mengenal kita apabila kita sendiri belum mengetahui siapa diri kita sendiri. Examen conscientiae adalah salah satu cara yang dapat dilakukan secara individu untuk mengenali diri sendiri; apa yang dialami dan dirasakan; apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan. Tentunya, examen conscientiae dimulai dengan mengucap syukur kepada Tuhan sebagai wujud nyata bahwa kita mempercayai kehadiran Tuhan dalam setiap pengalaman dan perasaan kita.   Sebagai manusia, kita memiliki berbagai macam keterbatasan. Bahkan, terkadang kita cenderung menarik diri dari Tuhan apabila ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita kembali diingatkan bahwa kita harus senantiasa melihat segala sesuatu menggunakan mata Tuhan agar terbebas dari ego diri sebagai manusia. Terkadang manusia menggunakan mantra ‘it is okay to be a human.’ Namun, sering kali, hal tersebut dijadikan pembenaran saat memikirkan atau melakukan suatu hal yang tidak seturut dengan Citra Allah. Namun, sebagai manusia yang serupa dengan Citra Allah, kita harus sadar sepenuhnya bahwa Tuhan senantiasa mendorong diri kita ke arah kemajuan dan peningkatan dengan memberikan tantangan berupa kondisi dan situasi yang terkadang tidak nyaman untuk kita.   Menjadi pemimpin yang otentik juga berarti siap ketika ada yang membenci dan bahkan menghakimi. Hal yang wajar terjadi di dalam suatu komunitas. Namun, yang terpenting adalah diri sendiri yang sudah mengenal dan menerima dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. Selanjutnya, adalah benar hal yang dipikirkan, dilakukan, atau diputuskan sebagai pemimpin selama hal tersebut bukan semata-mata untuk memuliakan diri sendiri melainkan Allah. Apabila kita sudah menjadi pribadi yang autentik, maka kita akan siap bergabung ke dalam suatu komunitas agar dapat saling merayakan pribadi yang autentik satu sama lain untuk bertumbuh dan berkembang bersama dengan rasa percaya dalam suatu komunitas. Sehingga, kita juga siap untuk selalu menggeser dari ‘saya’ sebagai seorang individu kepada ‘kita’ sebagai seorang yang merupakan bagian dari suatu komunitas.     Pribadi yang Mau Mendengarkan: Upaya Menciptakan Kolaborasi  Dalam topik Communal Discernment, kami diberikan dua kesempatan untuk mempraktekkannya dengan topik dan kelompok yang berbeda. Dari kedua dinamika yang terjadi, kami menyadari bahwa kunci dasar dari Communal Discernment adalah komunikasi yang sehat secara dua arah. Saat melakukannya pun, kita harus berfokus bukan kepada tujuan pribadi untuk memuliakan diri sendiri tetapi untuk memuliakan Allah. Fokus kita adalah kepada Tuhan yang selalu hadir baik melalui fisik maupun emosi, spiritual maupun sosial agar kita dapat menjadi Kerajaan Allah dalam rupa manusia. Kepemimpinan bukan merupakan hal yang dilakukan berdasarkan jabatan dari atas ke bawah karena pada dasarnya kita berada di tempat yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Maka dari itu, apapun bagian yang kita ambil dari suatu komunitas, hendaklah kita memiliki sikap rendah hati untuk senantiasa mau mendengarkan sepenuh hati agar terjalin kolaborasi yang harmonis untuk mencapai tujuan bersama.   Saya merasa sangat bersyukur. Sebagai guru muda, saya sadar bahwa peziarahan hidup saya dalam menghidupi peran ini masih panjang. Banyak hal yang masih perlu saya pelajari. Saya banyak belajar dari orang-orang hebat selama pelatihan ini. Walaupun mereka memiliki peran penting di sekolah masing-masing, tidak hanya sebagai guru namun juga sebagai direktur dari bidang tertentu dan bahkan Kepala Sekolah, namun mereka tetap bersikap rendah hati untuk terus belajar. Hal ini mengingatkan saya akan salah satu sikap Yesus yang dengan rendah hati juga senantiasa memiliki kemauan belajar dari murid-murid-Nya sendiri.   Kontributor: Theresia Rianika Septianingtyas – SMA Kolese Gonzaga

Karya Pendidikan

“Berguru di Pegunungan Seribu”

Live-in Kolese Gonzaga 2024 Mentari mulai merekah di ufuk timur ketika tujuh bus yang membawa rombongan siswa kelas XI SMA Kolese Gonzaga mulai mendaki Bukit Pathuk dan melewati slogan bertuliskan Gunung Kidul – Handayani. Panorama indah kota Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang seakan menyambut para peserta live-in, yang terlihat masih menyimpan rasa kantuk namun juga penasaran tak sabar ingin segera sampai di lokasi.    Kerja sama Sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari Live-in Kolese Gonzaga merupakan kegiatan rutin sekolah bagi siswa kelas XI. Pada tahun 2020, sebenarnya Kolese Gonzaga juga merencanakan live-in di Gunung Kidul, namun dua hari menjelang keberangkatan, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19, sehingga live-in Kolese Gonzaga saat itu, terpaksa harus dibatalkan.    Tahun ini live-in Kolese Gonzaga yang diselenggarakan pada 8-13 September 2024, mengambil tema “Peduli Lingkungan, Peduli Sesama, Peduli Diri Sendiri.” Live-in tahun ini terselenggara berkat kerjasama antara sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari, Gunung Kidul. Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr. dan Romo Yohanes Riyanto, Pr. yang merupakan pastor paroki memberikan izin penyelenggaraan live-in Kolese Gonzaga, sehingga 275 siswa dan 18 pendamping dapat berkegiatan di 14 lingkungan yang berada di desa Gunungsari, Trengguno, Kalangbangi, Nitikan, Kwangen, Semanu, Pokdadap, Jati, Petir, dan Cuwelo.     Live-in sebagai Sarana Formasi Karakter  Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan sekolah untuk mengimplementasikan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) dengan tujuan untuk membentuk Pelajar Pancasila yang beriman, berkebhinekaan global, mampu bergotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Hal ini terwujud lewat penanaman core values sekolah yakni Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Humility serta Integrity dalam  live-in.    Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi live-in karena konteks masyarakatnya yang beragam, agraris, dan cukup terbuka. Mereka terlibat dalam dinamika harian keluarga dan masyarakat desa. Pada bulan September di wilayah Gunung Kidul yang sistem pertaniannya tadah hujan, tidak ada aktivitas penanaman. Pekerjaan pertanian yang ada adalah memetik kacang hijau, menggemburkan tanah ladang, mengolah hasil pertanian, seperti membuat gaplek, mengupas kacang, memipil jagung, membuat keripik-keripik singkong, dan mencari pakan ternak.    Berkegiatan bersama keluarga dalam masyarakat pedesaan menghadapkan para siswa dengan suatu pengalaman merasakan perjuangan para penyedia bahan pangan bagi banyak orang. Nasi, sayur, buah, dan lauk pauk yang tersaji di meja makan sesungguhnya adalah hasil proses yang panjang. Petani dan peternak menempati garda depan di dalamnya yang menguras peluh dan kadang juga air mata. Mereka tak pernah takut bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Ada berbagai perbincangan yang terjadi saat para siswa diajak wedangan bersama keluarga asuh. Perbincangan tentang bagaimana mengatasi kegagalan panen, menghadapi kemarau panjang dan kekeringan, bagaimana bertahan saat harga hasil panen anjlok di pasaran, maupun saat terjadi wabah tetelo ataupun anthrax pada ternak.       Setiap malam, siswa merefleksikan berbagai peristiwa yang mereka alami sepanjang hari tersebut. Ada banyak hal menyentuh dari hasil refleksi para siswa. Banyak yang merasa tertampar dengan apa yang mereka saksikan. Betapa selama ini ada banyak kenyamanan hidup yang mereka nikmati di kota, baik akses transportasi yang mudah, kamar ber-AC yang sejuk, makanan yang sudah tersaji, serta berbagai kemudahan lainnya. Tiara dan Abel yang menempati rumah Mbah Rubiyem, tekun membantu mbah Rubiyem membuat tempe. Mereka membungkus kacang kedelai yang sudah direbus dan diberi usar dengan daun jati serta daun awar-awar. Meskipun tangan mereka bekerja, namun pikiran dan hatinya tertuju pada sosok Mbah Rubiyem yang sudah berumur 80 tahun yang tak pernah mau berdiam diri. Beliau masih mengurus ladang dan ternak, meskipun anak-anaknya di perantauan mengirimkan uang setiap bulan.     Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, SJ. selaku Kepala Sekolah dan Pater Yulius Suroso, SJ. selaku moderator Kolese Gonzaga, secara terpisah mengunjungi siswa secara acak dari desa ke desa dan berdialog dengan siswa. Aradea dan Aquinas menyatakan rasa syukurnya ditempatkan di rumah Keluarga Hartono di Dusun Pokdadap yang berjarak 15 km dari kota Wonosari. Mereka belajar dari keluarga tersebut mengenai arti kebahagiaan di tengah situasi “Adoh ratu, cedhak watu”. “Adoh Ratu” artinya jauh dari pemerintahan sehingga fasilitas terbatas, sedangkan “cedhak watu” atau dekat bebatuan. Di Gunung Kidul memang banyak batu. Bukit-bukitnya pun berupa bukit batu kapur sehingga tidak semua lahan dapat dipakai untuk bercocok tanam.    Dalam live-in ini para siswa juga mengikuti pertemuan lingkungan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), dan berlatih seni budaya. Ada berbagai kesenian yang diperkenalkan dan dipelajari, antara lain tari Reog, Jathilan, tari Nawang Jagad, bermain gamelan, mewiru kain dan mengenal busana adat Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengolah rasa, dan menanamkan kecintaan akan budaya tanah air. Ada tradisi-tradisi yang kemudian diperkenalkan juga kepada para siswa untuk menjaga lingkungan, misalnya Tradisi Rasulan atau memetri desa dan tradisi Gugur Gunung yang dilakukan secara berkala untuk membersihkan lingkungan desa.      Live-In sebagai Sarana Formasi Intelektual  Alam dan masyarakat adalah sumber belajar dan laboratorium yang sangat bagus. Live-in, tidak hanya untuk mem-formasi karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan intelektual siswa dengan penerapan metode ilmiah. Sebelum berangkat live-in, para siswa diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal terkait Gunung Kidul, baik kondisi geografis, sosial ekonomi budaya, keberagaman masyarakat, ekologi maupun keanekaragaman hayatinya. Mereka juga belajar menggunakan analisis SWOT dan design thinking secara sederhana. Saat berada di lokasi live-in, mereka melakukan observasi sederhana, melakukan konfirmasi teori yang telah mereka pelajari, serta melakukan analisis terhadap berbagai fenomena yang mereka temukan.    Sepulang live-in, kelompok-kelompok kerja mengumpulkan berbagai informasi hasil observasi dan melakukan diskusi. Permasalahan-permasalahan yang mereka temukan saat live-in dikumpulkan, lalu setiap kelompok memilih satu permasalahan yang kemudian dibahas secara ilmiah untuk menemukan alternatif-alternatif solusinya. Alternatif solusi ini kemudian diwujudkan dalam ide rancangan prototype. Permasalahan yang paling banyak dipilih oleh siswa adalah masalah keterbatasan air untuk pertanian. Berbagai ide yang muncul antara lain adalah penggunaan sistem drip irigation, desalinasi air laut, dan penangkapan uap air. Banyaknya anak muda yang meninggalkan desa merupakan masalah sosial yang teramati dengan jelas. Petani yang ada saat ini mengolah lahan pertanian sebagian besar adalah lansia. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan krisis sumber daya manusia di bidang pertanian yang berujung pada krisis pangan di masa depan. Ide-ide yang muncul sebagai solusi antara lain, bagaimana mengubah image petani agar menarik anak muda menjadi petani keren berteknologi tinggi dengan penggunaan AI, drone untuk penyemprotan hama, dan

Karya Pendidikan

Menggapai Excellence melalui Pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar

“I don’t know how to love Him, I don’t see why He moved me….” Demikian kalimat yang diucapkan oleh Maria Magdalena ketika merasakan ada perubahan telah terjadi dalam dirinya setelah mengenal Yesus. Kalimat ini merupakan bagian dari salah satu lagu yang masih terngiang-ngiang di komunitas Kolese Gonzaga setelah pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar karya Andrew Lloyd Webber and Tim Rice, 6 April 2024 lalu di Artpreneur Theater Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.   Kerja Kolaboratif dalam Penyelenggaraan Pementasan Jesus Christ Superstar Salah satu misi Kolese Gonzaga adalah menyelenggarakan pendidikan karakter dan pembelajaran yang inovatif, kompetitif, dan integratif secara efektif dan efisien dengan menggunakan paradigma pedagogi Ignatian. Kolese Gonzaga secara konsisten berusaha mewujudkan misi tersebut dengan berbagai kegiatan pembelajaran baik akademik maupun non akademik. Sebagai sekolah Katolik, tentunya dua momen penting dalam kehidupan Yesus, yakni Natal dan Paskah, wajib dimaknai komunitas secara khusus dan lebih mendalam. Di akhir Semester Gasal TP 2023/2024, sebelum libur Natal 2023, Kolese Gonzaga menyelenggarakan Christmas Carol Concert, sembari mempersiapkan pementasan Rock Opera Jesus Christ Superstar dan pameran seni rupa yang dilaksanakan setelah libur Paskah 2024.     Casting untuk para pemeran utama sudah dilakukan sejak bulan Desember 2023. Proses seleksi yang detail langsung didampingi oleh penggagas kegiatan ini yakni Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, S.J. M.Ed., dan Pater Emmanuel Baskoro Poedjinoegroho, S.J., serta sutradara pementasan yakni Mas Rangga Riantiarno dan co-sutradara Mas D. Perthino Sebastian dari Teater Koma. Pater Edu dan Pater Baskoro serta para guru beralih peran menjadi pemandu bakat untuk mencermati talenta-talenta siswa. Para siswa yang memiliki kemampuan bermain musik juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi. Di awal Januari 2024 para siswa yang lolos seleksi sudah menjalani latihan. Para siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler Paduan Suara Suara Gonzaga atau dikenal dengan Surga, serta para siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler dance mulai berlatih juga. Intensitas latihan semakin bertambah mendekati hari pementasan.   Para siswa yang tidak menjadi pemeran, pemusik, penyanyi, maupun penari, diberi kesempatan untuk terlibat dalam kepanitiaan sebagai support system pementasan. Moderator, Pater Yulius Suroso, S.J., mengatur kegiatan-kegiatan pendukung acara pementasan sehingga semua tetap terdampingi dengan baik. Setiap kelas diberi kesempatan berpartisipasi mencari dana dengan kreativitas masing-masing. Ada yang menjual makanan, pernak-pernik, kaos, dan lain-lain secara bergantian melalui kegiatan Gonz Sale. Kegiatan pendukung ini pun ditanggapi secara antusias oleh para siswa dengan sedikit nuansa kompetitif tetapi tetap suportif. Promosi pertunjukan Jesus Christ Superstar dilakukan melalui berbagai platform, baik secara digital melalui media sosial, maupun promosi lewat paroki-paroki, dan melalui Opera Komedi Samadi. Tak jarang saat melakukan promosi penjualan tiket ke paroki-paroki para siswa ini diminta menunjukkan kepiawaiannya bernyanyi di hadapan para umat di halaman gereja.     Pembelajaran Sisi Akademik dan Non Akademik dalam Penyelenggaraan Kegiatan Melalui kegiatan ini, sekolah memberikan praktik olah rasa melalui seni pertunjukan, seni musik, seni suara, seni tari, seni sastra, dan seni rupa. Di sana juga ada praktik langsung leadership, entrepreneurship, keterampilan berkomunikasi, dan manajemen waktu. Secara akademik, kegiatan ini juga menjadi sarana project based learning mata pelajaran Bahasa Inggris, Sejarah, Sosiologi, Seni, dan Agama, serta Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Seluruh dialog yang dinyanyikan dalam pementasan terdiri atas 25 lagu berbahasa Inggris. Hal ini menuntut semua pemeran mampu mengucapkan setiap kata dengan vokal dan pelafalan yang benar dan mengungkapkannya dengan ekspresi mimik dan gerak tubuh yang sesuai. Sementara para siswa lainnya wajib mengasah kemampuan memahami dialog dan maknanya. Dalam pembelajaran integratif Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diharapkan mampu menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan Yesus Kristus, termasuk kondisi politik, sosial, dan budaya pada masa itu, serta peran kekuasaan Romawi. Mereka diharap mampu mengidentifikasi alasan di balik penyaliban Yesus oleh penguasa Romawi dan otoritas Yahudi pada masa itu, dengan menyajikan konteks politik dan religius yang mempengaruhi keputusan penyaliban Yesus. Dari sisi pembelajaran Ekonomi, siswa diharap mampu menganalisis motif ekonomi yang melatarbelakangi perbuatan murid yang berkhianat, dan konsep pertukaran uang dengan produk dalam peristiwa murid yang “menjual” Yesus. Support system kegiatan pementasan ini pun menjadi sarana pembelajaran ekonomi yang berkaitan dengan strategi promosi, penjualan tiket, perhitungan kebutuhan, dan dana yang dibutuhkan. Dari sisi pembelajaran Sosiologi, siswa diharap mampu menunjukkan pemahaman yang kuat tentang konsep dasar teori konflik, ketidaksetaraan kekuasaan, dan pertentangan antar-kelompok dalam konteks sosial, termasuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat, sumber konflik, dan dampaknya terhadap dinamika sosial.     Pementasan Jesus Christ Superstar sebagai Ekspresi Talenta Panggung Artpreneur Theater Ciputra Kuningan, menjadi saksi proses latihan berbulan-bulan seluruh pihak yang terlibat. Pemeran, pemain musik, paduan suara, dancer, kerja keras panitia guru, dan siswa, serta dukungan orang tua siswa, Yayasan Wacana Bhakti, dan berbagai pihak lainnya bersama terlibat untuk menghasilkan pertunjukan yang luar biasa baik. Rasa lelah dan kerja keras selama persiapan seakan terbayar dengan banyaknya apresiasi dari para penonton yang memenuhi gedung teater berkapasitas 1240 orang tersebut. Lagu-lagu yang dinyanyikan tidaklah mudah. Johanes Bhre yang memerankan Yesus harus menyanyikan lagu dengan penuh kharisma. Lagu-lagu yang dinyanyikan Alonzo Nathaniel dan Aaron Miguel yang berperan sebagai Judas cukup banyak. Beberapa bernada tinggi dan bertempo cepat. Lagu-lagu yang dinyanyikan Gavriel Martahan pemeran Kayafas memiliki range nada yang sangat rendah, sehingga menuntut penyanyi bertipe vokal bas yang mantap. Sementara lagu-lagu yang dinyanyikan Raina dan Diana pemeran Maria Magdalena mengekspresikan kasih, perhatian, penyesalan, dan harapan. Wesley yang memerankan Raja Herodes bermain sangat ekspresif. Para pemain musik yang keren dan Paduan Suara “Surga” yang kompak serta para penari lincah yang sesekali melakukan salto, menampilkan suatu ekspresi multi talenta anak Gonzaga. Gambar-gambar latar yang disiapkan tim multimedia yang ditayangkan pada setiap peristiwa dalam layar LED ukuran 12×6,5 meter juga sangat mendukung suasana yang dikisahkan.     Pendidikan Ignatian dalam Pementasan Jesus Christ Superstar Melalui kegiatan pementasan Jesus Christ Superstar, seluruh komunitas Kolese Gonzaga sejatinya mengalami pembelajaran menggapai excellence dalam pengembangan diri yang berkaitan dengan core values sekolah. Nilai-nilai seperti Competence, Conscience, Compassion, dan Commitment bermuara pada Integrity dan Humanity. Dialog-dialog dalam opera ini menunjukkan sisi-sisi kemanusiaan dari diri Yesus. Orang-orang yang berada di sekelilingnya adalah manusia yang memiliki kelemahan dan mudah jatuh dalam dosa. Yudas, misalnya adalah seorang yang egois dan oportunis, mudah ingkar dan mencari keselamatan diri seperti yang ditunjukkan oleh Petrus. Namun yang terpenting adalah