Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Melampaui Teknologi, Menemukan Makna

Bellarminus Day 2025: Mrican, 17 September 2025 — Dalam semangat syukur dan inspirasi iman, civitas akademika Universitas Sanata Dharma (USD) bersama Komunitas Serikat Jesus Bellarminus merayakan Bellarminus Day 2025 dengan penuh sukacita di Kapel Bellarminus, Mrican.   Perayaan tahun ini terasa jauh lebih istimewa. Tidak hanya karena semangat Santo pelindung yang menyala, tetapi juga karena Kapel Bellarminus telah selesai direnovasi dan kini tampil lebih anggun, syahdu, serta mendukung suasana doa. Dalam Ekaristi yang meriah ini, turut dilakukan prosesi pemberkatan patung Santo Robertus Bellarminus. Diharapkan, kehadiran patung ini menjadi pengingat akan semangat cinta pada kebenaran, kesetiaan dalam pengajaran, dan pengabdian tanpa lelah dari St. Robertus bagi Gereja dan masyarakat.   Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Rektor USD, Pater A. Bagus Laksana S.J., didampingi oleh sembilan Jesuit anggota Komunitas Bellarminus. Dalam homilinya, Pater Bagus menyandingkan dua tokoh kudus lintas generasi: St. Carlo Acutis—santo milenial—dan St. Robertus Bellarminus—kardinal, Jesuit, sekaligus ilmuwan. Meski hidup di zaman berbeda, keduanya sama-sama menanggapi panggilan Tuhan, mengejar kekudusan, dan memberi makna bagi sesama lewat zaman dan tantangan yang kurang lebih mirip yaitu sains-teknologi dan iman. Bellarminus menghadapi perdebatan kosmologi, sedangkan Acutis menghadapi era internet. Pater Bagus mengajak seluruh civitas akademika untuk meneladani mereka, yaitu menjadi kudus di zaman ini berarti menjadi kreatif dan bijak dalam memanfaatkan teknologi, terutama Artificial Intelligence (AI).   Semangat perayaan semakin diteguhkan melalui dua sambutan inspiratif. Sambutan pertama disampaikan oleh Ketua Pengurus Yayasan Sanata Dharma, Pater C. Kuntoro Adi, S.J. Ia berharap kapel yang telah direnovasi ini dapat menjadi tempat perjumpaan yang akrab antara manusia dan Tuhan. Sambutan kedua adalah dari Pater G. Budi Subanar S.J. yang mewakili Komunitas Apostolik Kolese Santo Robertus Bellarminus. Ia menyampaikan sejarah menarik tentang Kapel dan Pastoran Bellarminus di mana keduanya tercatat pertama kali dalam katalog Serikat Jesus pada tahun 1961. Saat itu ada 10 Jesuit misionaris dan hanya satu dari Indonesia, Pater N. Driyarkara, S.J. Kini, situasinya terbalik, dari 10 Jesuit selebran, hanya ada satu misionaris luar negeri, Pater Spillane S.J. Pater Banar juga menyampaikan bahwa Pater F.A. Susilo, S.J. ditahbiskan di kapel ini pada tahun 1979, dan dalam dua tahun terakhir semangat menggali kembali warisan St. Robertus Bellarminus mulai hidup kembali di USD. Ia berharap semangat ini menjadi sumber inspirasi bagi seluruh civitas.    Setelah Ekaristi, suasana semakin semarak dalam acara ramah tamah yang dimulai dengan simbolisasi pemotongan tumpeng oleh Pater A. Hartana S.J., pemimpin proyek renovasi kapel. Halaman depan Kapel Bellarminus malam itu tampak memesona berkat pancaran cahaya dari lampu-lampu artistik yang menyentuh dinding putih dan kaca patri klasik, menciptakan kesan hangat dan sakral.   Kemeriahan semakin terasa lewat pertunjukan seni dan tari dari berbagai komunitas mahasiswa, mulai dari Komunitas Flobamora, Komunitas Mentawai, KMHD Swastikataruna, CANA Community, Jalinan Kasih Mahasiswa Katolik (JKMK), Komunitas Paingan (KOMPAI), hingga Forum Keluarga Muslim (FKM) Budi Utama. Perayaan Bellarminus Day 2025 ini menjadi momen reflektif sekaligus pengingat bersama, yaitu bahwa seluruh civitas akademika diajak menapaki jalan kekudusan di tengah dinamika zaman, khususnya dalam dunia pendidikan yang semakin menantang. Ad Maiorem Dei Gloriam.   Kontributor: Campus Ministry Universitas Sanata Dharma

Pelayanan Masyarakat

Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama, dan Allah

Senin, 1 September 2025, menjadi peristiwa yang membahagiakan bagi Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Pada hari itu, KPTT merayakan usianya yang ke-60 tahun. Beberapa orang merasa heran bahwa hingga saat ini KPTT masih berdiri tegak dan berkarya melayani bidang kursus pertanian dan peternakan. Bahkan, seorang mantan direktur KPTT, Pater Bentvelzen, S.J., yang pernah 25 tahun bertugas di KPTT, heran bahwa KPTT masih ada hingga saat ini. Ini adalah suatu keajaiban.   Pada peringatan 60 tahun ini, KPTT mengangkat tema “Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama dan Allah.” Tema ini secara khusus hendak menegaskan bahwa, KPTT saat ini bukan hanya sekedar tempat untuk belajar bertani dan beternak, namun sebagai tempat untuk membangun hubungan yang harmonis dengan alam, sesama, dan Allah. Dasar dari tema tersebut adalah seruan-seruan yang disampaikan oleh ensiklik Laudato Si dan Universal Apostolic preferences (UAP).   Bahkan, sejak tahun 2023, KPTT menginisiasi dirinya sebagai tempat untuk belajar spiritualitas manusia ekologis. Kata harmoni hendak menegaskan kepada siapa saja bahwa keseimbangan hubungan kita dengan alam, sesama, dan Allah tidaklah bisa dipisahkan. Ketiganya mesti dalam keadaan yang selaras dan tidak bisa diandaikan.   Rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) KPTT Rangkaian HUT KPTT dibagi dalam tiga bagian, yaitu family gathering, temu alumni KPTT, dan misa puncak peringatan HUT KPTT. Pada family gathering, acara secara khusus dipersembahkan untuk para karyawan KPTT dan keluarganya serta para siswa yang saat ini menempuh kursus dan magang hingga 30 Agustus 2025. Mereka semua terlibat aktif dalam tiga kegiatan pokok, yaitu jalan sehat, menanam cengkeh sebagai simbol usia KPTT yang ke 60, dan rangkaian kegiatan lomba serta bagi-bagi doorprize yang pada intinya meningkatkan keakraban keluarga KPTT. Wajah-wajah ceria para peserta family gathering ini memberikan warna syukur dan kegembiraan yang dialami KPTT.   Temu Alumni yang terjadi pada 31 Agustus sebagai rangkaian kedua HUT KPTT tidak terlalu banyak dihadiri oleh para alumni. Sebagian besar dari mereka yang bisa hadir adalah para alumni dari Purwodadi, Bawen, Bandungan, Malang dan yang paling jauh berasal dari Manado. Perjumpaan antar alumni sendiri memberikan suasana kebahagiaan dan nostalgia yang menghangatkan. Para alumni tidak pernah lupa jejak-jejak dan pengalaman-pengalaman formasi mereka ketika menjalani kursus di KPTT. Mereka sangat bersyukur bahwa pendidikan yang diberikan oleh KPTT, kendati singkat, baik satu tahun maupun tiga bulan, sungguh dapat memberikan orientasi yang kuat bagi roh hidup mereka. Hingga saat ini, sebagian besar dari mereka pun masih aktif di bidang pertanian dan peternakan. Dalam salah satu sambutan perwakilan alumni, Pak Teguh menyampaikan dengan penuh bangga dan syukur punya kesempatan mengenyam pendidikan di KPTT. Ia banyak menceritakan pengalaman karya dan atas jasa ilmu yang di dapat di KPTT, ia bahkan bisa bekerja mendampingi para mahasiswa pertanian di Universitas Brawijaya. Selain itu, ia juga menceritakan peran aktifnya di seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) di parokinya.   Rangkaian HUT 60 KPTT ditutup dengan perayaan misa yang dipimpin oleh Pater Paulus Wiryono Priyotamtama, S.J. didampingi oleh Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dan Pater Fransiskus Asisi Sugiarta, S.J. Dalam persiapan perayaan Ekaristi ini, panitia secara khusus menghias altar dengan berbagai macam jenis buah-buahan dan gunungan sayuran hasil panen KPTT. Di akhir misa, semua hasil panen tersebut dapat di-alap (diperebutkan) oleh para tamu undangan sebagai bagian dari berkah. Dalam homilinya, Pater Wir menyampaikan rasa syukur bahwa KPTT hingga saat ini bisa terus berkarya dan melayani banyak orang. Pater Wir sendiri pernah bertugas di KPTT sebagai direktur, kendati hanya 9 bulan. Hingga saat ini, Pater Wir tetap punya perhatian yang mendalam pada karya KPTT. Saat ini, beliau menjadi salah satu anggota pengawas Yayasan Taman Tani.   KPTT Menatap Masa Depan Pada saat ulang tahun KPTT ini, ada peristiwa penting lain yang patut untuk disyukuri, yaitu pergantian direktur KPTT. Selama 9 tahun terakhir, KPTT dipimpin oleh Pater F.A. Sugiarta, S.J. Selama itu pula, KPTT berusaha terus maju. Meskipun perlahan, KPTT saat ini menjelma sebagai karya pendidikan dan sosial Provindo yang melayani banyak orang muda. Dari data yang ada, jumlah orang yang dapat dilayani oleh KPTT semakin bertambah. Dalam arti tertentu, KPTT dengan karya pelayanannya masih diminati oleh banyak orang.   Hal lain yang juga tidak kalah penting perlu disyukuri adalah soal kemandirian KPTT. Tidak seperti sebelumnya, KPTT bisa berjalan karena dibantu banyak dana dari luar negeri, kini KPTT harus hidup dan berjalan secara mandiri. Karena alasan itu pula, KPTT meningkatkan kegiatan produksi dan pemasaran untuk mendapatkan dana yang cukup guna menghidupi dirinya dan para karyawan yang bekerja di dalamnya.   KPTT terus bercita-cita menjadi tempat rujukan belajar pertanian dan peternakan, sekaligus tempat belajar spiritualitas ekologis. Dalam spiritualitas ekologis tersebut, kami selalu menekankan tentang hubungan yang harmonis antara alam, sesama, dan Allah. Ketiganya adalah bagian yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, sebagai bentuk keterhubungan, KPTT juga terus ingin terhubung dengan banyak pihak. Dengan kata lain, KPTT ingin selalu berkolaborasi dengan pihak-pihak yang secara khusus bersedia memajukan pertanian, peternakan, dan pembinaan orang muda. Maka, kami mengundang siapa saja, kita semua, untuk ikut terlibat mengembangkan dan membantu KPTT meraih impian masa depan, yaitu menjadi lembaga rujukan kursus pertanian dan peternakan, serta membentuk pribadi-pribadi ekologis. Salam Lestari!   Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Formasi Iman

Pekan Kateketik Novisiat Girisonta

Sabtu hingga Rabu, 9-13 Agustus 2025, Novisiat Girisonta mengadakan acara Pekan Katekese untuk para novis dan pranovis. Agenda rutin setiap tahun ini diadakan guna membekali para frater dengan materi katekese dari tim Pendikkat Sanata Dharma yang digawangi oleh Romo Hendra Dwi Asmara, S.J., Bapak Rudi dan Ibu Sindi, serta dua mahasiswa tingkat akhir, Ariel dan Caroline.   Setiap hari para frater dikenalkan dengan games ice breaking yang baru untuk membantu kerasulan PIA, PIR, OMK di lingkungan-lingkungan di Paroki Girisonta. Kak Caroline dan Ariel pun membawakan games untuk para frater agar para frater mengerti dan memahami cara memainkan games tersebut, misalnya ‘Berjalan Bersama’, melipat koran, ’Awas-Siap-Tembak-Dor’, games kerja sama dengan baik (Kyotobosi), games berhitung dan masih banyak games yang lain.   Selain permainan, para frater juga diberi materi peta perkembangan katekese. Dengan materi ini, para frater diharapkan memiliki tujuan ketika melaksanakan kerasulan lingkungan, yaitu transformasi, komunitas umat yang semakin beriman, perkembangan spiritual, dan pengajaran agama.   Yang menarik dari tim Pendikkat Sanata Dharma ini, selain membimbing/memaparkan materi di ruang belajar bersama para Novis, mereka juga ikut terjun langsung praktik kerasulan lingkungan naik sepeda bersama para Novis. Para pengajar Pak Rudi, Bu Sindi, Ariel, dan Caroline ikut bersama para novis pergi kerasulan lingkungan melewati jalan yang menanjak, menurun, dan tantangan lainnya. Berbagai sharing menarik pun muncul dari mereka karena ikut merasakan perjuangan novis setiap Senin sore menaiki sepeda untuk kerasulan lingkungan. Ada yang merasa lelah, namun bahagia; ada yang hanya dapat bersepeda hanya saat berangkat, lalu pulangnya naik ojek, karena medan yang dilalui naik-turun bukit, bukan jalan yang tidak datar.   Katekese Simbolik Selain itu, aktivitas menarik lainnya di dalam Pekan Katekese ini adalah materi tentang membuat katekese simbolik. Kami diminta untuk menjelaskan pengertian katekese dengan menggunakan simbol atau suatu benda di sekitar kami. Aktivitas ini kami lakukan dalam kelompok yang beranggotakan tiga orang. Hasil yang kami peroleh pun cukup unik. Dari 7 kelompok, muncullah 7 simbol katekese yang unik.   Salah satu simbol yang unik itu datang dari kelompok enam (Lino, Fred dan Alfons). Simbol yang mereka pakai adalah moke. Moke adalah minuman keras tradisional suku Bajawa, yang terkenal di dataran Flores, NTT. Kadar alkohol dalam moke terbilang cukup tinggi. Meminum moke secara berlebihan dapat membuat orang mabuk. Pada titik ini, kami heran: mengapa mereka memakai jenis miras ini untuk menjelaskan hal yang suci?    Ternyata, mereka mampu memaknainya secara berbeda. Lino menjelaskan bahwa katekese itu seperti moke yang membuat orang kecanduan dan mabuk cinta Tuhan. Katekese mesti dirancang agar umat mau datang lagi dan lagi, bukan karena untuk bertemu para fraternya, melainkan untuk lebih mengenal Tuhan. Menurut kami, simbol ini unik dan out of the box.   Katekese simbolik ini sangat membantu kami untuk lebih mengenal katekese itu apa sehingga memberikan kami orientasi yang jelas dalam katekese atau kerasulan di lingkungan. Dengan demikan, kami bisa lebih mudah membuat preparasi kerasulan dan mempraktikkannya kemudian.   Kerasulan: Probasi dasar hidup menjesuit Dalam kegiatan kerasulan atau berkatekese, para frater novis seringkali berjumpa dengan tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda di lingkungan tempat diutus. Tantangan itu dimulai dari kondisi perjalanan bersepeda yang tidak mudah, yaitu jalan terjal, curam, minim penerangan di beberapa titik, dan juga harus sungguh berhati-hati ketika melewati jalan besar karena beriringan dengan banyak kendaraan besar. Tantangan lainnya adalah ketika bertemu dengan kelompok/umat yang kami layani, khususnya dengan kelompok PIA dan PIR, karena kami harus mengenal dinamika batin mereka dan mencari cara yang tepat dalam berkomunikasi atau menyampaikan materi katekese.   Salah satu pengalaman menarik, yakni kerasulan di lingkungan Sambeng. Kebetulan Kak Ariel mendampingi frater-frater (Higa dan Deva) yang merasul di situ. Anak PIA dan PIR di situ cukup unik dan boleh dikata susah. Kak Ariel sebelumnya sudah tahu tentang kondisi lingkungan Sambeng dari cerita. Ketika memulai mengajar, Kak Ariel memberi contoh pada kami cara membangun dinamika yang hidup serta komunikasi yang baik dengan kelompok PIA-PIR ini. Pengalaman ini membuat para frater belajar dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi kekurangan mereka selama ini.   Kak Ariel memberi masukan dan evaluasi kepada frater. Dia tersenyum dan kemudian menjelaskan bahwa para frater harus tekun dan setia dalam proses. Karena para frater baru beberapa pertemuan datang ke sini, maka butuh waktu untuk bonding dengan anak-anak.   Selanjutnya, yang bisa dilakukan para frater yaitu tetap semangat dalam menyiapkan materi kerasulan tanpa merisaukan apakah nanti di lapangan berhasil atau gagal.   Kami bersyukur atas Pekan Katekese ini. Lewat kursus beberapa hari ini, kami disadarkan bahwa kerasulan merupakan salah satu probasi dasar yang harus kami latih dan kerasulan adalah bagian dari hidup menjesuit sebab Jesuit adalah mereka yang dipanggil untuk selalu siap sedia diutus ke manapun.     Kontributor: nS Martin, Edgar, dan Higa

Feature

Menyusuri Jejak Misionaris Jesuit

NAPAK TILAS IMAN DI FLORES: Ada rasa haru sekaligus bangga ketika kaki kami menapaki tanah Flores, tanah yang sejak lama menjadi ladang pelayanan penuh pengorbanan dan kasih para misionaris Serikat Jesus. Di penghujung Agustus 2025, Komunitas Beato Miguel Pro Jakarta mendapat anugerah istimewa, melakukan perjalanan rohani ke Ende, Maumere, dan Larantuka. Perjalanan ini bukan sekadar jeda dari rutinitas ibu kota, melainkan undangan untuk kembali menimba inspirasi dari semangat misionaris yang pernah menyalakan api iman di bumi Nusa Bunga. Pesan Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Uskup Larantuka, masih terngiang, “Serikat Jesus yang memulai misi di tanah Flores, dan kami selalu terbuka bagi Serikat Jesus untuk membantu karya di sini.” Kalimat sederhana itu menjadi pengingat sekaligus amanat bahwa misi yang dahulu dimulai para pendahulu kini menunggu untuk dilanjutkan.   Ende: Jejak Sejarah, Iman, dan Persaudaraan Langkah pertama kami berhenti di Ende, kota pesisir yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat sejarah bangsa dan Gereja. Kami mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno, tempat Sang Proklamator merenung, menulis, dan menyalakan semangat kemerdekaan. Di dekatnya, Serambi Soekarno berdiri di kompleks Katedral Kristus Raja. Di sinilah Bung Karno sering berdiskusi dengan para imam SVD, merajut gagasan yang kelak menjadi Pancasila. Kami berdiri di ruang lahirnya fondasi bangsa, di mana iman dan nasionalisme berkelindan erat.   Tak jauh dari sana, kami memasuki Katedral Kristus Raja, pusat iman umat sekaligus saksi sejarah panjang misi Katolik di Flores. Nama Mgr. Aloysius Ogihara S.J., Uskup Ende asal Jepang yang melayani di masa sulit Perang Dunia II, kembali mengingatkan bahwa kesetiaan gembala kerap diuji justru di tengah badai.   Di Istana Keuskupan Ende, sambutan hangat Romo Efraim Pea membuka kisah-kisah pelayanan Gereja. Patung Bunda Maria setinggi lebih dari 10 meter menjulang di halaman istana, seakan melindungi kota kecil ini dalam naungan kasih Ilahi. Dari sana, kami berlanjut ke Universitas Flores, buah perjuangan tokoh lokal dan Gereja sejak 1980. Menyaksikan semangat para mahasiswa, kami sadar bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari misi Gereja.   Tidak lupa kami singgah di sebuah kampung adat. Rumah-rumah kayu beratap rumbia, suguhan kopi Ende yang harum, dan keripik singkong buatan tangan penduduk menjadi pengalaman sederhana namun penuh makna. Sejarah, iman, pendidikan, dan budaya berpadu dalam harmoni, inilah wajah Ende yang menyapa dengan persaudaraan tulus.   Maumere: Iman yang Berbuah dalam Karya Dari Ende, perjalanan berlanjut ke Maumere. Langkah pertama membawa kami ke “La Storta,” makam para Jesuit yang sejak abad ke-19 berkarya di tanah ini. Di antara nisan-nisan sederhana, kami berdoa dalam hening, merasakan bahwa pengorbanan mereka tidak pernah hilang, iman yang ditabur tetap hidup dalam umat.   Suasana berubah penuh harapan ketika kami memasuki Bengkel Misi Santo Yoseph. Dari bengkel pertukangan sederhana, tempat ini kini berkembang menjadi pusat pembinaan keterampilan kaum muda, bekerja sama dengan ATMI Solo. Kami menyaksikan anak-anak muda dengan latar belakang sederhana membentuk masa depan lewat keterampilan, karakter, dan doa. Produk-produk mereka, meubel kayu, mesin pertanian, kopi, cokelat, hingga teh kelor, dipasarkan dengan merek Mai Sai yang berarti “Mari sini.” Nama itu seakan menjadi undangan ramah untuk berbagi harapan dengan semua. Pesan Mgr. Ewaldus Martinus Sedu saat meresmikan bengkel otomotif beberapa waktu lalu begitu membekas, “Gereja hadir bukan hanya untuk mendoakan, tetapi juga untuk memberdayakan.” Kami melihat sendiri bagaimana kata-kata itu menjelma nyata di Maumere.   Kunjungan berikutnya menuntun kami ke Politeknik Cristo Re, lembaga pendidikan tinggi yang menyiapkan generasi muda Flores menjadi tenaga profesional. Semangat serupa kami temukan di Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa, tempat benih panggilan ditanam dalam kesederhanaan fasilitas dan semangat para seminaris muda.   Salah satu momen paling menyentuh dalam perjalanan kami adalah ketika mengunjungi Gereja Tua Sikka, gereja Katolik tertua di Flores yang berdiri sejak tahun 1899. Gereja ini didirikan oleh seorang misionaris Serikat Jesus asal Belanda, Pater Joannes Engbersen S.J. Bangunan jati tua ini bukan sekadar situs sejarah, tetapi rumah iman yang masih hidup. Tradisi “Logu Senhor” setiap Jumat Agung menjadi bukti bahwa iman dapat berakar dalam budaya lokal tanpa kehilangan kedalaman rohaninya.   Perjalanan di Maumere kami akhiri dengan ziarah ke Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Nilo, patung setinggi 28 meter yang berdiri megah di atas fondasi 18 meter di puncak bukit. Dari sana, kami memandang luasnya kota Maumere yang seolah berada dalam naungan tangan penuh kasih Bunda Maria. Tidak jauh dari sana, kami juga berkunjung ke biara dan rumah retret milik para Romo Pasionis. Suasana biara yang sangat megah namun hening menjadi penutup yang indah bagi perjalanan kami, memberi ruang bagi kami untuk merenung bahwa setiap karya, besar atau kecil, selalu berakar pada doa.   Larantuka: Kota Reinha Rosari Perjalanan napak tilas akhirnya sampai di Larantuka, kota kecil di ujung timur Flores yang sejak lama dijuluki “Kota Reinha Rosari.” Di Kapela Tuan Ana dan Kapela Tuan Ma, kami merasakan denyut iman yang diwariskan turun-temurun. Patung Kristus dan Bunda Berduka bukan sekadar simbol, melainkan wajah iman yang hidup dalam devosi Semana Santa. Prosesi Jumat Agung yang menyeberangi darat dan laut menjadi warisan rohani yang mempersatukan umat lintas generasi.   Kami juga mendapat kehormatan bertemu langsung dengan Mgr. Fransiskus Kopong Kung di istana keuskupan. Dalam perjumpaan itu, beliau menceritakan sejarah keuskupan Larantuka dan mengingatkan bahwa benih iman di Larantuka telah berakar sejak zaman Portugis, dipelihara oleh para Jesuit, dan terus hidup hingga kini.   Di pemakaman para misionaris Jesuit di Larantuka, kami berdiri hening di hadapan pusara dua belas imam yang menghabiskan hidupnya untuk Flores. Kesetiaan mereka berbicara tanpa kata-kata. Dan akhirnya, di Katedral Reinha Rosari, kami menutup ziarah dengan doa syukur. Suasana hening katedral agung itu seakan merangkum seluruh perjalanan, iman yang tumbuh, bertahan, dan memberi hidup.   Sebuah Akhir yang Menjadi Perjalanan Baru Perjalanan napak tilas di Ende, Maumere, dan Larantuka meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar kenangan rohani. Dari sejarah perjuangan iman di Ende, buah karya pemberdayaan umat di Maumere, hingga kesetiaan tradisi devosi di Larantuka, kami belajar bahwa iman sejati selalu berakar pada pengorbanan, bertumbuh dalam pelayanan, dan berbuah dalam persaudaraan. Kami diingatkan bahwa misi bukan hanya kisah masa lalu para misionaris, melainkan tanggung jawab yang kini ada di pundak kami untuk dilanjutkan sesuai zaman. Napak tilas ini menjadi cermin bahwa karya Allah

Provindo

The Discerning Pope

KEJESUITAN JORGE MARIO BERGOGLIO (part 2): Latihan Rohani Seperti saya sebut sebelumnya, Pater Jenderal merayakan Ekaristi bersama para Jesuit yang berada di Roma untuk mendoakan Paus Fransiskus. Dalam homilinya dalam Perayaan Ekaristi tersebut (Eucaristia in grato ricordo di Papa Francesco, Chiesa del Gesù – Roma, 24 Aprile 2025) ia mengatakan bahwa Paus Fransiskus adalah orang yang ditempa di dalam Latihan Rohani St. Ignatius Loyola. Dari pengalaman Latihan Rohani inilah style orisinal hidupnya dan pelayanannya bagi umat Allah dan seluruh umat manusia.   Latihan Rohani dijelmakan di dalam keyakinan kuat untuk mempraktikkan dengan mengajak dialog sebagai dasar dalam membangun relasi yang otentik, mengatasi konflik dan memajukan rekonsiliasi. “Asas dan Dasar” Latihan Rohani menjadi titik tumpu yang tidak diragukan. Hidup Fransiskus adalah hidup yang dihayati dan diperjuangkan berdasarkan pada batu karang yang kuat, yaitu Yesus Kristus. Ia tidak mendasarkan pada gagasan-gagasan dan intuisi, karena Yesus sendiri yang menjadi pusatnya. Dalam hal ini sekaligus dicatat bahwa Paus dan saudara se-Serikat ini tidak menyembunyikan kerapuhannya. Bahkan kerapuhan ini merupakan bagian dari Minggu Pertama. Kemudian Minggu Kedua Latihan Rohani yang dimulai dengan Panggilan Raja, serta kontemplasi Penjelmaan dan Kelahiran Yesus pusat hidupnya didekati untuk sampai pada kebersatuan afektif melalui mengontemplasikan Injil secara terus-menerus.   Menurut Pater Arturo Sosa di dalam homilinya, “Kontemplasi Penjelmaan” membawa Paus Fransiskus mendapatkan pandangan universal dan melaluinya, Paus bisa ambil bagian di dalam karya penebusan dunia. Inilah pandangan Trinitas Kudus yang memampukan Paus Fransiskus tidak hanya memandang kompleksitas dan kekayaan hidup manusia, tetapi juga untuk masuk menyatu dengan persoalan hidup. Ini yang membuat Fransiskus dekat dan menyatu tanpa kesulitan dengan banyak orang, baik pria maupun wanita, anak-anak muda, bahkan anak-anak kecil, dan orang tua dari banyak banyak kalangan dan pelbagai budaya yang berbeda.   Masih mengenai Minggu Kedua Latihan Rohani, dikatakan bahwa meditasi “Dua Panji” menginspirasi Paus untuk mengidentifikasi dengan Yesus yang menjadi model dan ideal dalam kemiskinan dan kerendahan hati.   Petrus Faber Seorang Jesuit Spanyol, Santiago Madrigal dalam tulisannya (“Teoría y práctica de los Ejercicios espirituales según Jorge M. Bergoglio – Papa Francisco”, Teología y Vida 61/3 [2020], 273-304) menyebut St. Petrus Faber (1506-1546) merupakan model mistik kesuciannya. St. Petrus Faber sendiri dikanonisasi oleh Paus Fransiskus pada 17 Desember 2013. Inspirasi rohani dan jejak mistiknya ditemukan di dalam tulisan pribadi Petrus Faber, Memoriale. Tepatnya, Paus Fransiskus mengambil inspirasi dari St. Petrus Faber bahwa dasar pijak pembaruan itu adalah pengalaman rohani yang mendalam. Karena itu, tidak sulit membayangkan muatan kebenaran ungkapan ini dengan membayangkan Paus Fransiskus di dalam mengemban pelayanan pontifikalnya sebagai Paus. Penegasan dalam kata-kata demikian ini sebenarnya sejalan dengan kata-kata St. Ignatius yang menunjuk Petrus Faber sebagai pemberi Latihan Rohani terbaik. Memang demikian senyatanya. Karena itu, seperti tercatat di dalam sejarah primi patres, ketika St. Ignatius meninggalkan Paris dan berkunjung ke Azpeitia, Spanyol, di Paris, Petrus Faber sebagai yang dituakan, dengan Latihan Rohani dan persahabatannya dapat menambah tiga anggota baru, yaitu Paschase Broët, Jean Codure, dan Claude Jay. Demikian, sahabatnya yang sebelumnya enam orang pada saat kaul di Montmartre 15 Agustus 1534, maka pada saat berjalan kaki dari Paris ke Venezia menjadi sembilan dan St. Ignatius menyebutnya sembilan kawannya itu sebagai sahabat dalam Tuhan – nueve amigos mios en el Señor (Al “Juan Vedolay”, 24 Juli 1537).   Dari St. Ignatius, St. Petrus Faber mengambil inspirasi dan menerapkan untuk hidupnya, yaitu selalu mencari Tuhan; meniti hidup yang Tuhan sendiri jalani. Demikian juga bisa dimengerti dan dirasakan di dalam diri Paus Fransiskus di dalam pelayanan, penggembalaan, diskresi dan doanya yang semuanya tidak terpisahkan. Jorge M. Bergoglio itu “the Discerning Pope.”   Roma, Minggu, 8 Juni 2025 Hari Raya Pentakosta   L. A. Sardi, S.J.   Kontributor: P. L. A. Sardi, S.J. 

Jesuit Global

Juara Kelas? Bukan, Orang Kudus Seumur Hidup. Nasihat untuk Guru Masa Kini

Carlo Acutis dan Pier Giorgio Frassati: Muda, tampan, berasal dari keluarga terpandang, atletis, mampu menginspirasi dan menyatukan orang, penuh semangat, pencari kebenaran, dan peduli terhadap mereka yang paling terpinggirkan. Pier Giorgio Frassati (1901-1925) dan Carlo Acutis (1991-2006) memiliki banyak kesamaan. Keduanya bersekolah di sekolah Jesuit, di Turin dan Milan. Saat mewawancarai guru-guru yang mengenal mereka atau mempelajari secara mendalam mengenai kesaksian hidup mereka, beberapa kesamaan muncul seiring dengan wawasan untuk memperbarui pendidikan masa kini.   “Banyak Hal Lain yang Dapat Dilakukan” Mereka bukan kutu buku. Keduanya punya banyak ‘hal lain yang harus dilakukan.’ Dokumen dan guru mengkonfirmasi hal ini. Terkadang Carlo, meskipun seorang siswa yang cerdas, tidak menyelesaikan PR matematikanya karena ada ‘komitmen’ lain. Maria Capello, guru matematikanya selama tahun keempat sekolahnya di Istituto Leone XIII Milan, mengenang: “Dia tidak terlalu bersemangat dengan mata pelajaran saya,” katanya. “Terkadang dia datang terlambat. Tahun ajaran berakhir dengan nilai yang sedikit buruk. Saya memberi nilai 5 untuk orang suci! Baru kemudian saya tahu apa sebenarnya ‘komitmen’ itu. Dia sedang melakukan karya kasih, diam-diam, tanpa pamer. September berikutnya, nilainya pulih dengan cemerlang, tapi saya tak sempat lagi menyampaikannya langsung kepadanya.” Hal ini dikonfirmasi oleh Antonio Bertolotti, guru bahasa Italia-nya pada tahun 2005. “Dia anak biasa saja, cukup rata-rata. Humaniora adalah bidang yang paling membuatnya merasa nyaman. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan di luar jam sekolah. Kepergiannya adalah peristiwa yang mengejutkan. Dari situlah kami mulai menyatukan kepingan kisahnya.”   Sementara itu Frassati sempat gagal dua kali dalam pelajaran Latin di Sekolah Menengah Klasik Massimo d’Azeglio, lalu pindah ke Istituto Sociale. Ia menerima kegagalannya dengan lapang dada. “Surat yang ditulis Pier Giorgio untuk ayahnya sungguh indah, yaitu keinginannya untuk memperbaiki diri dan untuk maju,” kata Antonello Famà, seorang guru agama senior di sekolah itu. Moto hidupnya lahir dari sana, “hidup, jangan hanya sekadar ada.”   Mencari secara mendalam “Pertanyaan, pertanyaan — dan senyumnya. Rasa ingin tahu yang selalu positif,” kenang Fabrizio Zaggia, guru agama Carlo di tahun keempat sekolahnya. “‘Kembali ke tempat dudukmu! Kita harus mulai pelajaran,’ terkadang saya menyuruhnya — meskipun, lebih sering, sayalah yang akhirnya mengubah pelajaran karena pertanyaannya.” Bertolotti, yang sekarang menjadi kepala sekolah menengah pertama di Leone XIII, setuju. “Sering kali pertanyaannya mencapai lima belas, baru saya suruh ia kembali ke bangkunya. Topiknya beragam, dari pelajaran sampai isu-isu aktual. Ia benar-benar tertarik, bahkan ingin berbagi gagasan dengan saya. Saya terutama ingat tulisan tangannya — sangat kecil. Dia sangat kreatif dalam menulis esai, bisa lima atau enam halaman panjangnya. Terkadang saya frustrasi mengoreksinya. Tulisannya seperti tulisan orang dewasa; tidak ada kekanak-kanakan sama sekali.” Ketika jam pelajaran berakhir dan guru matematika masuk, dia kemudian akan mengalihkan pertanyaannya kepada gurunya: “Saya ingat mengira dia terlalu muda untuk pertanyaan seperti itu. Dia sering berhenti untuk berdoa di kapel sekolah. Kami kemudian mengetahui dia melakukan hal yang sama di parokinya.”   Frassati, yang bergabung dengan Istituto Sociale pada tahun 1913, menemukan harta rohani lewat Latihan Rohani di Villa Santa Croce. Ia berdoa dan menerima komuni kudus setiap hari. Ia memiliki iman yang aktif, yang diwujudkan dalam sejarah dan kasih.   Kaum muda untuk orang lain “Tiga, dua, satu: Menga masuk ke dalam kelompok!” Itu adalah kalimat dari film pendek yang disutradarai Carlo dan dibuat bersama kelasnya, atas saran guru agama mereka, untuk berpartisipasi dalam kompetisi yang mempromosikan karya sosial. “Panitia menolak film pendek karya seorang santo,” kata guru itu sambil tersenyum. Kami tidak menang, tetapi Carlo berhasil melibatkan semua orang dalam proyek itu. Saya ingat betapa sangat ringan tangan, “Jangan khawatir: Saya akan merekamnya, mengeditnya, dan memilih musiknya,” katanya kepada saya. Saya ingat bahkan ia memasukan musik latar karya Morricone, the Mission. Dia sangat berhati-hati agar tidak ada yang dikucilkan, terutama mereka yang introvert dan yang lebih lemah. Dia adalah teman semua orang. Dia tegas dalam ide-idenya, tetapi tidak pernah marah atau suka memerintah.” “Dia tenang,” tambah Bertolotti, “dan seseorang yang bisa dipercaya. Terutama teman-teman sekelasnya, sangat senang mengobrol dengannya dan mencurahkan isi hati mereka.”   Banyak teman yang sering mendaki gunung bersama Pier Giorgio dan bersama beberapa dari mereka, ia mendirikan “Compagnia dei Tipi Loschi” (perkumpulan anak-anak jahil), yang di tengah canda tawa dan semangat yang tinggi, mendambakan hubungan yang mendalam dan autentik berdasarkan doa dan iman. “Kegembiraan hidup dan kedalaman hubungan adalah kualitas-kualitas yang berpadu sempurna di dalamnya,” tegas Famà, menggambarkan mereka sebagai pembangun komunikasi yang lihai.   Perhatian pada yang Terkecil Keduanya melangkah keluar dari zona nyaman tempat mereka dilahirkan. Privilege? Bagi mereka, itu sarana untuk melayani yang kecil. Di Istituto Sociale, Pier Giorgio bertemu dengan Serikat Santo Vincentius de Paul. “Ia memasuki rumah-rumah kaum miskin di Turin tahun 1920-an. Ia mencium bau busuknya. Ia tidak menutup hidungnya, melainkan merangkul situasi-situasi tersebut. Ini bukan tentang estetika kasih, melainkan tentang berbagi, tentang perhatian konkret kepada kaum pinggiran seperti yang telah diutarakan oleh Paus Fransiskus,” jelas Famà. “Gairahnya untuk belajar muncul kemudian di Politeknik. Ia memilih teknik pertambangan karena ia ingin bekerja bersama para penambang agar bisa meningkatkan kondisi hidup mereka.”   “Dia menolong siapapun yang ditemuinya,” kenang Profesor Capello tentang Carlo. “Dia mengulurkan tangan kepada orang lain, tanpa pernah menoleh ke belakang. Dia memberikan apapun yang dia bisa, misalnya kantong tidur dan selimut untuk orang miskin. Kepada mereka yang tidak membutuhkan apapun, dia menawarkan senyumnya. Dia memberikan hidupnya untuk orang lain.” “Proses kanonisasi? Proses itu tidak disambut positif oleh teman-teman sekelasnya,” ungkap Bertolotti, “terutama oleh mereka yang paling cerdas. Kekudusan menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman, terutama ketika itu milik teman sekelas yang duduk tepat di sebelahmu.”   Nasehat untuk Guru Masa Kini Kesaksian diatas menantang para orang tua, guru, dan pendidik saat dihadapkan dengan banyaknya anak muda yang mereka jumpai — unik, istimewa, dan masing-masing berpotensi menjadi orang suci.   Amati dan Dengarkan “Ada hal-hal yang lebih penting bagi anak muda daripada pekerjaan rumah dan belajar. Kita harus belajar mendengarkan. Mereka memiliki pesan-pesan berharga yang mungkin tidak langsung kita pahami,” jelas Capello. “Berawal dari pesan-pesan tersebut, kita kemudian dapat menemukan cara untuk membangkitkan minat dan rasa ingin tahu, membantu setiap orang untuk tumbuh dan dewasa.” “Di balik setiap anak muda ada misteri (dimana)

Karya Pendidikan

Perjumpaan yang Menumbuhkan

Permulaan yang Dimulai Kembali Ignatian Student Leadership Forum (ISLF) kembali diselenggarakan pada tahun 2025 di Iloilo, Filipina setelah sempat terhenti sejak tahun 2018 akibat pandemi. Forum ini mempertemukan para pelajar dari sekolah Jesuit di sebagian wilayah Asia-Pasifik yakni, Filipina, Australia, Timor Leste, Makau, Taiwan, Hongkong, Kamboja, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Indonesia mengirim 15 orang dari 7 kolese sebagai perwakilan untuk mengikuti acara ini. Christopher Kana Cahyadi, Mikaela Calista Amara, Valencia Audra Sumito mewakili Kolese Gonzaga. Leonard Hazel Widjaja, Jovan Nugroho, Amazel Olavio Siagian mewakili Kolese Kanisius. William Nugroho Setiyo, Daniel Edhi Wicaksono, Bumi Praba Murti mewakili Kolese De Britto. Eugeneus Dimas Prameswardhana mewakili Kolese Mikael, Kevin Anthony Setiawan, Joanna Evanya Ozora Christine, Emanuella Kirana Rosari Lestari mewakili Kolese Loyola. Nathanel Satriya Genggam Darma dan Christopher Lebdo Kusumo mewakili Seminari Mertoyudan. Seluruh peserta dari Indonesia didampingi oleh Pater Baskoro Poedjinoegroho, S.J., Frater Klemens Yuris Widya Denanta, S.J., dan Ibu Maria Pramudita Wetty, M.Si.    Sebelum keberangkatan, Frater Yuris menemani seluruh peserta dari Indonesia mempersiapkan diri dengan memperdalam Ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus agar siap berdinamika dalam ISLF. Setiap kolese mendapat bagian dari masing-masing bab Ensiklik untuk dipelajari lalu mempresentasikannya secara daring. Proses persiapan ini menjadi ruang untuk memperdalam pemahaman tentang permasalahan ekologi sekaligus menghayati semangat Ignasian dalam melihat hubungan antara manusia, alam, dan Allah. Para peserta juga bertemu dengan Pater Baskoro Poedjinoegroho, S.J. di Kolese Kanisius. Dalam pertemuan tersebut, Pater Baskoro memberikan arahan sekaligus dorongan bagi para peserta untuk terlibat secara aktif selama forum seperti aktif bertanya, berpartisipasi dalam setiap sesi, dan tidak ragu untuk duduk di baris terdepan.   ISLF 2025 mengusung tema “Engaging the Youth to Engage the World”. Tema ini menjadi sebuah ajakan bagi kaum muda untuk berperan aktif dalam membangun dunia melalui semangat dialog dan kolaborasi lintas budaya. Dalam kegiatan ini para peserta dari berbagai negara diajak untuk mendalami isu ekologi, menjelajahi kekayaan budaya lokal, dan saling berbagi tradisi. ISLF 2025 mengusung nilai sosial dan budaya yang kuat. Jika kita menelusuri lebih dalam, seluruh rangkaian kegiatan ISLF 2025 sejatinya mengacu pada semangat dialog yang hidup. Dalam pembukaan ISLF ini, Frater Bien E. Cruz, S.J. mengajak peserta untuk menyadari peran kaum muda yang signifikan, bukan di masa depan saja, melainkan sejak dari saat ini. Semangat dialog juga tampak dalam proses pembuatan impact tree poster. Para peserta dipertemukan dalam kelompok balay. Di dalamnya, kami diajak untuk menuangkan ide dan gagasan satu sama lain serta mempresentasikannya dalam karya seni. Tidak hanya dalam sesi materi saja, semangat dialog juga terbangun melalui kegiatan cultural night, saat setiap negara menampilkan kebudayaannya masing-masing melalui games dari masing-masing negara yang membuka interaksi lintas budaya secara terbuka. Momen-momen inilah yang membuat dialog terasa hidup selama acara ini berlangsung.   Bila kita meneropong berbagai macam kegiatan yang ditawarkan dalam ISLF 2025, kita akan menemukan kesamaan nilai di dalamnya, yakni perjumpaan. Dalam konteks ini, perjumpaan tidak bisa dimaknai secara sempit sebagai ruang yang di dalamnya terdapat banyak orang. Arti perjumpaan dalam ISLF 2025 sangatlah luas. Peserta tidak hanya diajak untuk menjalin jejaring dengan masyarakat lokal maupun global, tetapi juga berjumpa dengan harta warisan Iloilo City, dengan warga lokal yang merespons masalah ekologi dengan membangun esplanade, bahkan berjumpa dengan dirinya sendiri.     Menemukan Makna Perjumpaan Dengan memasuki ruang perjumpaan, seseorang sedang diajak atau bahkan ditantang untuk menggunakan inderanya. Dalam setiap kegiatan yang ada selama ISLF, selalu ada momen ketika peserta melihat, mendengarkan, menyentuh atau meraba. Kedengarannya sederhana dan mudah diterapkan, namun, perjumpaan akan selalu diikuti dengan tantangan. Untuk masuk ke dalamnya, seseorang harus berani melangkah ke luar dari dirinya sendiri. Di luar diri sendiri, ada banyak hal yang kerap kali tidak kita inginkan.   Melihat realita bahwa dunia terus berkembang, kehadiran kaum muda dalam forum ISLF menjadi semakin penting. Mereka tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi sebagai pribadi yang membawa pengalaman, pertanyaan, dan semangatnya masing-masing. Forum ini menjadi ruang belajar untuk menumbuhkan kepekaan terhadap realita yang lebih luas sekaligus melatih keberanian untuk terlibat secara aktif. Kehadiran kaum muda tidak terlepas dari tantangan yang ada seperti over screen time dan inferiority complex yang kerap membatasi keberanian mereka untuk hadir dan bersuara. Melalui dialog dan perjumpaan yang dialami, para peserta perlahan belajar untuk melampaui batas tersebut.   ISLF 2025 menjadi pengalaman yang lebih dari sekadar forum kepemimpinan lintas negara. Selama beberapa hari, para peserta sungguh diajak untuk hidup dalam ruang dialog dan perjumpaan. Bukan hanya dengan orang-orang dari berbagai budaya, melainkan juga dengan lingkungan sekitar dan dengan diri mereka sendiri. Berbagai kegiatan mulai dari sesi refleksi, diskusi kelompok, cultural night, hingga games membentuk proses yang membangun dan memperkaya pengalaman para peserta. Di dalamnya, para peserta dapat menemukan arti keterbukaan, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan keindahan dalam keragaman. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan tidak selalu mulai dari hal besar, tetapi dari kesediaan untuk mendengar, hadir, dan tumbuh bersama. Semangat dan relasi yang lahir tidak padam begitu saja setelah acara ini berakhir. Pengalaman yang berharga ini juga dibagikan dan dihidupkan kembali di lingkungan masing-masing. Apa yang diperoleh dari ruang perjumpaan lintas budaya ini tidak berhenti di Iloilo saja, tetapi juga menjadi inspirasi untuk membangun dialog dan keterlibatan nyata.     Kontributor: Emanuella Kirana Rosari Lestari (Siswa SMA Kolese Loyola) & Nathanel Satriya Genggam Darma (Siswa Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan)

Karya Pendidikan

Kanisius Belajar

Sharing Praktik PPR dan Bedah Buku Men and Women for Others Jumat, 10 Oktober 2025, keluarga besar Yayasan Kanisius Cabang Semarang dan sejumlah Yayasan Pendidikan Katolik di Kota Semarang mengikuti acara Kanisius Belajar: Sharing Praktik Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) dan Bedah Buku Men and Women for Others karya Pater Melkyor Pando, S.J., di KB-TK Kanisius Kurmosari. Acara ini diselenggarakan Yayasan Kanisius Cabang Semarang dalam rangka menyambut ulang tahun ke-107 Yayasan Pendidikan Kanisius.   Acara ini dibuka dengan materi penguatan PPR dari Ketua Yayasan Kanisius, Pater Heru Hendarto, S.J. Mantan Rektor Kolese Kanisius Jakarta ini mengajak para peserta untuk menyadari bahwa perutusan di karya Pendidikan Kanisius merupakan “Missio Dei” dan para guru adalah Collaboratores Missio Dei tersebut. Semua dipanggil untuk turut serta melakukan stewardship (merawat) karya ini. Seperti dalam Lukas 5:4, semua diundang Yesus untuk Duc in Altum atau bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mendalam berelasi dengan Tuhan, mendalam dalam bidang yang diajarkan, dan mendalam melalui cura personalis-caring for the whole person terhadap setiap peserta didik.   Pedagogi Paradigma Ignatian di Tingkat Sekolah Yohana Rosana Meiwati, S.Pd, Kepala Sekolah SD Kanisius Sukorejo berbagi best practice PPR di lingkungan sekolahnya. Cura personalis mereka bangun sedemikian rupa mulai dari kepala sekolah dan para guru serta karyawan. Sekolah menjadi rumah bersama melalui dinamika bersama, baik doa, belajar, rekreasi, dan kegiatan menjaga kebersihan sekolah.   Praktik cura personalis terhadap anak pun dilakukan melalui aneka bentuk. Setiap siswa didampingi secara optimal sesuai bakat, minat, dan kemampuannya sehingga banyak dari siswa di sekolah ini yang berprestasi secara akademik, seni, olahraga, dan sebagainya. Para guru juga mendampingi beberapa siswa berkebutuhan khusus dengan tekun dan sabar sehingga anak-anak tersebut memiliki kepercayaan diri, bahkan ada anak tunadaksa yang menjadi juara dalam ajang paralimpik tingkat Provinsi Jawa Tengah. Lebih lanjut, cura personalis tidak hanya berhenti di lingkungan sekolah, melainkan juga sampai ke rumah orangtua. Home visit ketika ada bayi baru lahir menjadi cara para guru Kanisius untuk menyapa orang tua dan ikut memberi pendampingan.   Kepala Sekolah SMP Kanisius Argotiloso Sukorejo, Yohanes Martono, S.Pd. berbagi cerita praktik cura personalis melalui Canisian Angels (CA). Melalui CA, adik kelas mendapat pendampingan dari kakak kelas, mulai dari studi dan sejenisnya. Selain itu, terdapat kegiatan Kanisius Peduli, dimana para siswa menyisihkan uang saku untuk membantu teman yang kesulitan memiliki sepatu, tas, dan kebutuhan belajar lainnya. Siswa juga belajar menjadi penyiar radio melalui Radio Rehat, berkreasi melalui Mading Digital dan sebagainya. Semua itu dilakukan atas pendampingan para guru yang dengan berbagai cara memfasilitasi kebutuhan anak demi optimalnya perkembangan anak didik.   Men and Women for Others Pater Melkyor Pando, S.J. hadir sebagai penulis buku sekaligus pembicara dalam bedah buku berjudul, Men and Women for Others. Pater Melky sebagai skolastik yang pernah melaksanakan program formasi orientasi karya di Yayasan Kanisius Cabang Semarang, menyampaikan bahwa buku ini lahir dari ketergerakan hatinya melihat terbatasnya sumber-sumber mengenai kekayaan pendidikan Jesuit dalam bahasa Indonesia. Ia berharap, kehadiran buku ini dapat menambah khazanah pengetahuan bagi mereka yang ingin memperdalam keutamaan-keutamaan pendidikan Jesuit dan relevansinya di zaman ini.   Buku yang lahir dari doa dan refleksi yang tekun selama menjalani masa tersiat di Australia ini menampilkan pilar-pilar pokok pendidikan Jesuit sejak awal hingga kini. Buku yang sebagian besar sumbernya ini berasal dari dokumen-dokumen Serikat menegaskan, pendidikan adalah cara menyelamatkan jiwa-jiwa. Aneka best practices di dalam pendidikan Jesuit sepanjang sejarah menunjukkan, meski pendidikan terus mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, inti dan semangatnya tetap sama, yakni demi membentuk pribadi-pribadi yang utuh sebab pendidikan Jesuit adalah perpaduan model pendidikan skolastik yang berfokus pada critical thinking dan juga humanisme (humaniora – kepekaan hati).   Di hadapan perubahan zaman yang cair ini, sebuah istilah yang Pater Melky ambil dari gagasan pemikir Zygmut Bauman, yakni era yang penuh ketidakpastian, terus berubah, dan ditandai dengan ketidakpastian permanen, model pendidikan Jesuit tetaplah relevan. Kesetiaan menghidupi visi pendidikan Jesuit yang menekankan 4C competence, compassion, commitment, and conscience menjadi kunci untuk membentuk pribadi-pribadi men and women for others di zaman ini.   Sesi bedah buku Men and Women for Others karya Pater Melkyor Pando, S.J. (Dokumentasi: Penulis)   Panggilan Zaman Bagi Bu Sindy, dosen pendidikan agama Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang hadir sebagai pengulas turut menegaskan, buku Pater Melky memberikan cara pandang dan semangat bahwa nilai-nilai dalam pendidikan a la Jesuit dapat menjadi oase di tengah dunia yang penuh ketidakpastian dan individualisme.   Nilai-nilai Pendidikan Jesuit itu menyalakan harapan bagi generasi Z dan Alpha yang cenderung haus akan makna di tengah kehidupan yang tidak pasti. Semangat refleksi, kecakapan intelektual, dan hati yang peka pada penderitaan sesama akan membantu manusia memukan makna (meaning making) di tengah kecemasan hidup yang kini terus menggerogoti kaum muda. Lebih lanjut, melalui semangat men and women for others, generasi di zaman ini dibantu untuk menemukan tujuan hidupnya, bahwa hidup bukan tentang aku saja, tetapi juga ada sesama di sekitarku yang perlu aku perhatikan.   Momen kebersamaan ini bertambah meriah dengan acara bagi-bagi hadiah dan makan siang bersama. Menariknya, meski hadiah dalam doorprize kali ini bukan untuk dibawa pulang oleh para guru ke rumahnya masing-masing, melainkan untuk menambah fasilitas di sekolah, para peserta tetap begitu antusias mengikutinya. Pada akhirnya, semoga momen belajar dan bersukacita bersama ini mendorong para pendidik di Kanisius untuk siap sedia menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam membentuk diri dan para murid yang dilayani menjadi men and women for others!   Kontributor: Sch. Engelbertus Viktor Daki, S.J.