Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Kolaborasi Generasi untuk Masa Depan Desain Indonesia

WOODFEST 2025: WOODFEST 2025 menandai sebuah tonggak baru. Untuk pertama kalinya, acara yang telah diselenggarakan ketiga kalinya ini digelar di luar kampus SMK PIKA Semarang, bertempat di Marina Convention Center. Perpindahan ini bukan sekadar perubahan lokasi, tetapi sebuah pernyataan: WOODFEST telah matang menjadi sebuah platform publik yang siap menjangkau khalayak yang lebih luas dari kalangan industri, akademisi, dan masyarakat.   Tahun ini, partisipasi melonjak dengan kehadiran lebih dari 30 brand, mulai dari produsen furnitur ekspor, kontraktor interior, hingga sekolah dan universitas dengan fokus pada kayu, desain, dan arsitektur. WOODFEST 2025 membuktikan diri bukan hanya sebagai ruang pamer, tetapi sebagai ekosistem untuk bertukar ide, inovasi, dan lahirnya kolaborasi baru. Antusiasme publik pun luar biasa. Lebih dari 2.400 pengunjung memadati venue selama tiga hari, menegaskan bahwa Semarang memiliki potensi kuat menjadi pusat pertemuan industri kayu dan desain kreatif di Indonesia.     Namun, capaian terpenting WOODFEST 2025 justru terletak pada kolaborasi yang terjalin di balik panggung. Panitia pelaksana yang terdiri dari alumni PIKA (KAPIKA) bekerja berdampingan dengan para siswa/i SMK PIKA. Para siswa tidak hanya membantu, mereka juga mengalami langsung proses perancangan dan manajemen event industri nyata mulai dari komunikasi dengan ekshibitor, logistik, hingga interaksi dengan pengunjung. Inilah inti dari WOODFEST: ia adalah medium pendidikan yang hidup, tempat transfer ilmu dan pembentukan karakter profesional terjadi secara langsung.   Rangkaian seminar tematik memperkaya wawasan peserta dengan pembahasan mulai dari keberlanjutan material, inovasi desain, hingga tantangan regulasi internasional seperti EUDR (European Union Deforestation Regulation).     WOODFEST 2025 juga diwarnai oleh kehadiran istimewa Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. Kehadiran Beliau mengingatkan kita pada akar spiritual PIKA—sebuah karya pendidikan yang dirintis Bruder Joseph Haeken, S.J. dan Bruder Paul Wiederkehr, S.J. Semangat Ignasian akan kedisiplinan, refleksi, dan pelayanan bagi sesama menjadi fondasi yang membuat kesuksesan ini bermakna lebih dalam. Pada akhirnya, WOODFEST 2025 adalah perwujudan nyata dari semangat Ad Maiorem Dei Gloriam, sebuah karya untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar yang membawa dampak bagi masyarakat.   Sebagai Ketua Panitia, saya menyaksikan sendiri komunitas KAPIKA yang bukan sekadar jejaring nostalgia, melainkan sebuah kekuatan hidup yang bergerak aktif. Kolaborasi dengan adik-adik siswa/i SMK PIKA adalah investasi yang tak ternilai untuk kesinambungan generasi. Keberhasilan WOODFEST 2025 membuktikan bahwa PIKA telah melahirkan manusia-manusia kreatif, tangguh, dan siap berkarya untuk Indonesia.   WOODFEST 2025 bukanlah garis akhir, melainkan awal dari sebuah babak yang lebih besar. Semoga semangat kolaborasi dan kreativitas ini terus berkobar, berlipat ganda, dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi dunia pendidikan dan industri Indonesia.     Kontributor: Johanes Chaesario Octavianus – Ketua Panitia Pelaksana WOODFEST 2025

Karya Pendidikan

Yayasan Kanisius yang Cerdas, Aman, dan Peduli

107 Tahun Menyalakan Api: Selasa, 21 Oktober 2025, keluarga besar Yayasan Kanisius merayakan HUT ke-107. Perayaan misi yang dirintis oleh seorang misionaris Jesuit asal Belanda, Pater Van Lith, menjadi ungkapan syukur atas penyertaan Tuhan selama hampir satu abad lebih ini. Tema Cerdas, Aman, dan Peduli merangkum arah gerak ke depan Yayasan sampai menyambut usia yang ke-110 di tahun 2028 nanti.   Acara puncak HUT ke-107 Yayasan Kanisius dirayakan dengan Ekaristi di setiap cabang. Cabang Yogyakarta merayakan syukur ini di Gereja Katolik Santa Perawan Maria Tak Bercela, Nanggulan, dipimpin oleh Pater Martinus Suharianto, Pr (Pastor Paroki Nanggulan), Pater Heru Hendarto, S.J., selaku Ketua Yayasan, dan Pater Surya Awangga, S.J. Sementara itu, Cabang Semarang merayakannya dengan Ekaristi di Paroki Karangpanas, Semarang. Perayaan dipimpin oleh Pastor Paroki Karangpanas, Pater Adolfus Suratmo Atmomartaya, Pr., dan Bendahara Yayasan Pater Aria Dewanto, S.J.     Kanisius Masa Kini Saat ini, Yayasan Kanisius menaungi 186 sekolah; mulai dari Daycare, KB-TK, SD, SMP, SMA, SMK, dengan 1.322 guru-karyawan, dan 17.892 siswa-siswi yang tersebar di empat cabang: Semarang, Yogyakarta, Magelang, dan Surakarta. Pada satu periode, yayasan yang lahir pada 21 Oktober 1918 ini pernah mendidik lebih dari 35.000 siswa di 350 sekolah di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Seiring perkembangannya dan berbagai tantangan pada beberapa dekade terakhir, jumlah tersebut perlahan-lahan menurun. Berhadapan dengan aneka tantangan ini, Yayasan Kanisius terus berbenah diri.   Belajar di Zaman yang Cair Dalam merayakan HUT ke-107, Yayasan terus memfasilitasi para guru dan murid untuk menambah wawasan dan keterampilan baru. Pada 10 Oktober 2025 di KB-TK Kurmosari, sejumlah guru di Yayasan Kanisius Cabang Semarang dan beberapa Yayasan Pendidikan Katolik di Semarang mengikuti acara Kanisius Belajar: Sharing Praktek PPR dan bedah buku “Men and Women for Others,” karya Pater Melkyor Pando, S.J.   Melalui sharing best practice PPR, Kepala Sekolah SMP Kanisius Argotiloso Sukorejo, Yohanes Martono, S.Pd. dan Kepala Sekolah SD Kanisius Sanjaya Sukorejo, Yohana Rosana Meiwati, S.Pd., mengungkapkan bagaimana cura personalis telah membuat sekolah menjadi rumah bagi semua. Relasi antara kepala sekolah dan guru-karyawan semakin erat, para murid pun semakin berkembang sesuai dengan bakat dan keistimewaannya, dan orang tua pun makin tersapa.   Sementara itu, dalam pemaparan mengenai bukunya, Pater Melkyor Pando menegaskan bahwa visi pendidikan Jesuit tetaplah relevan di zaman yang cair ini (penuh ketidakpastian, terus berubah, dan bahkan ditandai dengan ketidakpastian permanen). Kesetiaan untuk menanamkan 4C (competence, compassion, commitment, conscience) menjadi kunci untuk membentuk pribadi-pribadi “Men and Women for Others” di zaman ini.   Pada waktu yang hampir bersamaan, Jumat-Sabtu, 10-11 Oktober 2025 di Wisma Salam, 28 guru Yayasan Kanisius dari Cabang Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Pembelajaran Mendalam. Kegiatan ini membahas pemanfaatan AI untuk Implementasi Deep Learning melalui Contextual Project-Based Learning yang berorientasi SDG’s, bersama Pater A.P. Danang Bramasti, S.J. dan Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. (Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).   Ignatian Parenting dan Safeguarding SD Kanisius Girisonta pun turut mengadakan Ignatian Parenting pada Jumat, 17 Oktober 2025 lalu. Melalui tema “Menjadi Orangtua Bijak di Era Digital”, para orang tua diajak untuk bermitra dengan sekolah dalam membimbing anak-anak di tengah tantangan perkembangan dunia digital. Selain itu, sosialisasi dan pelatihan safeguarding kini telah selesai dilaksanakan bagi setiap guru di seluruh cabang. Sosialisasi yang telah berlanjut kepada anak-anak dan orang tua ini pun diharapkan menjadikan sekolah-sekolah Kanisius tempat yang aman untuk anak bertumbuh-kembang. Ini menjadi salah satu nilai plus sekolah Kanisius, selain mendidik generasi muda yang cerdas dan peduli terhadap sesama dan sekitarnya.   Cincin Emas Pesta Perak Sukacita HUT Kanisius kali ini terasa istimewa karena terdapat empat guru di Kanisius Semarang yang telah 25 tahun lebih mengabdi. Yayasan Kanisius Cabang Semarang memberikan cincin emas sebagai bentuk apresiasi kepada mereka yang telah membentuk generasi muda dengan teladan, ketekunan, dan kasih. Mereka adalah: Ibu Ika Purbiantari, S.Pd., Kepala SMP Kanisius Raden Patah, yang menekankan toleransi beragama sebagai fondasi pendidikan di sekolah multikultural. Ibu Tutik Supriyanti, S.E., Guru TK Kanisius Kaliwinong, yang membimbing anak-anak dengan pendekatan holistik meski dengan fasilitas sederhana. Bapak Agustinus Suwasma, S.Pd., yang aktif mengintegrasikan nilai Bhinneka Tunggal Ika melalui kegiatan budaya seperti barongsai. Bapak Felix Yanik Sargunadi, Staf Kantor Pusat Yayasan Kanisius, yang aktif di balik operasional kantor. Bu Rini Kusumawati, S.Pd. selaku Kepala Cabang Semarang dalam sambutannya menyampaikan, “Meski harga emas saat ini sedang naik drastis, Yayasan tetap berkomitmen penuh untuk memberikan cincin emas kepada para guru. Ini adalah tanda kepedulian dan cinta Yayasan terhadap setiap pribadi yang penuh loyalitas dan totalitas dalam memberikan diri.”     Menjadi Men and Women for Others Sebagaimana dalam sambutannya, Ketua Yayasan Kanisius, Pater Heru Hendarto S.J., mengundang setiap pribadi untuk menggarap kecerdasan secara menyeluruh, meliputi kecerdasan hidup, emosi, rohani, dan skill, sehingga setiap orang menjadi nyaman dengan diri sendiri dan sesama, saling menghargai dan menghormati. Semua pribadi diajak untuk peduli pada sesama, mereka yang berkekurangan, pada alam dan segalanya, sebab setiap pribadi dilahirkan dan dibentuk untuk menjadi manusia yang peduli. Be Men and Women for Others!   Semoga sukacita HUT ke-107 Yayasan Kanisius membuat setiap pribadi yang pernah belajar di Kanisius semakin bersyukur dan mencintai karya yang mulia ini. Para staf, guru-karyawan, donatur, dan pemerhati semakin menyadari bahwa karya di Yayasan ini adalah karya Allah sendiri, sehingga semakin hari semakin magis dalam pelayanan. Dari karya yang luhur ini, lahir para agen perubahan yang cerdas, mulia, peduli, serta menjadi pembawa garam dan terang dunia.   Kontributor: Sch. Engelbertus Viktor Daki, S.J.

JCAP

Agen Pengharapan di Medan Perdamaian

Bruder Jesuit: “Ada lima imam diculik pada awal hingga pertengahan tahun 2000-an di Semenanjung Selatan Kota Zamboanga. Mereka adalah Pater Luciano Benedetti, Pater Giuseppe Pierantoni, Pater Giancarlo Bossi, Pater Michael Sinnott, dan Pater Rolando Del Torchio. Mereka diculik oleh Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf demi mendapatkan tebusan uang sebagai ganti pembebasan.”   Zamboanga: Kota dengan Dua Wajah Kisah pilu ini menjadi pintu masuk saya untuk memahami Zamboanga. Pada 23-28 Oktober 2025, saya dan Bruder Yohanes Sarju, S.J. diutus Provinsial untuk menghadiri JCAP Brothers Circle Meeting, pertemuan para Bruder Jesuit se-Asia Pasifik, di Ateneo de Zamboanga University, Filipina. Di balik wajah kota pesisir yang rapi dengan nuansa khas Spanyol dan devosi kepada Santa Perawan Maria dari Fort Pilar, tersimpan luka sejarah kolonialisme dan konflik yang masih membekas. Fort Pilar sendiri, benteng peninggalan kolonial Spanyol abad ke-17, kini menjadi museum dan saksi bisu kejahatan kemanusiaan masa lalu.   Luka itu masih nyata. Di tengah hembusan angin laut yang sepoi, kami, dua belas Bruder Jesuit, harus dikawal oleh enam anggota Presidential Security Command (semacam Paspampres Filipina) dan sepuluh pasukan elite militer. Keamanan ketat ini menyertai kami bahkan saat berkunjung ke Pulau Basilan. Tata kota yang indah ternyata menyimpan kenangan getir yang mengharuskan kami berada dalam pengawalan ketat.   Sukacita di Bawah Pengawalan Bagaimana reaksi kami? Di tengah protokol layanan tamu kenegaraan itu, kami justru merasa rileks, penuh sukacita, dan saling menguatkan. Fokus pertemuan kami adalah merenungkan panggilan Bruder Jesuit sebagai agen pengharapan.     Pater Ernald, S.J., President of Ateneo de Zamboanga University, menjadi pembimbing rohani kami. Ia mengingatkan bahwa Jesuit adalah peziarah pengharapan. Ia mengutip Yohanes 1:14, “Sabda itu menjadi daging dan tinggal di antara kita” (The Word Pitched His Tent Among Us).   Pater Ernald memperkenalkan dua konsep kunci dari kosakata Tagalog: “Kuya” dan “Utol” “Kuya” melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan dalam ikatan keluarga, di mana yang lebih dewasa memberikan bimbingan dan menciptakan lingkungan untuk bertumbuh. “Utol” menekankan kekeluargaan dan asal-usul yang sama (shared origin and kinship), yang bermakna bahwa kita semua berasal dari satu pohon keluarga yang sama. Hal ini yang memupuk solidaritas, kolaborasi, rasa memiliki, dan akhirnya, pengharapan. Melalui kisahnya ditemani Bruder Jim, S.J. selama Retret 30 Hari, Pater Ernald menyimpulkan dua keutamaan Bruder Jesuit. Pertama, menemani orang lain untuk terhubung dengan diri, sesama, dan Tuhan. Kedua, hadir sepenuhnya, bukan hanya melihat tetapi sungguh-sungguh mendengarkan.   “Perutusan Gereja dan Serikat Jesus,” tegasnya, “dimulai bukan dengan otoritas, melainkan dengan rasa memiliki (mission begins not with authority, but belonging).” Ia mengajak kami menjadi prophecy of simplicity, nabi kesederhanaan yang membuka pintu optimisme dan pengharapan.     Membedakan Panggilan di Tengah Kolaborasi Sebagai agen pengharapan, kami juga diajak berefleksi oleh Bruder Raymund Bellezza, S.J., anggota Komisi Internasional Bruder Jesuit. Dalam karya dan misi Serikat Jesus kini, makin banyak awam yang terlibat, termasuk yang bukan Jesuit, bahkan yang bukan Katolik atau tidak beragama. Karisma misi Serikat Jesus tidak hanya “berinkarnasi” dalam diri Jesuit, tetapi juga dalam para kolaborator.   Lalu, apa yang membedakan Bruder Jesuit dengan para rekan awam yang hebat ini? Pertanyaan inilah yang menjadi bahan percakapan rohani kami. Di area frontier seperti Zamboanga, Jesuit hadir dan melayani. Identitas kejesuitan adalah berada dalam perutusan, menemani orang lain untuk terhubung dan memiliki kesatuan hati dan budi. Dari sini, mungkin kita mendapat secercah jawaban: Bruder Jesuit diutus menjadi gembala yang “berbau domba,” membantu Sang Gembala Utama agar domba-domba-Nya, yang berjalan di lembah kekelaman, tidak merasa takut karena Tuhan menyertai.   Singkatnya, para Jesuit menghadirkan keutamaan “Kuya” dan “Utol”. Yang membedakan adalah rasa aman dan percaya yang tumbuh dalam diri para kolaborator, serta dorongan dalam hati mereka untuk turut menjadi gembala (Alter Christi) bersama para Jesuit. Ini bukan soal otoritas, melainkan soal saling memiliki dalam satu misi yang sama di dalam Kristus.   Kontributor: F. Nicolaus David Kristianto, S.J.

Jesuit Global

Pelatihan Fasilitator untuk Discernment Bersama

Ignite The Way: Gereja universal sedang berjalan dalam sebuah perjalanan sinodal, sebuah proses “berjalan bersama” yang mengajak seluruh umat untuk terlibat secara lebih inklusif dan partisipatif. Dokumen akhir Sinode tentang Sinodalitas menekankan pentingnya “pertobatan sinodal” yang membawa transformasi dalam cara kita berelasi, berdoa, dan mengambil keputusan. Pada intinya, Gereja kembali dipanggil untuk menjadi ruang dialog dan mendengarkan, terutama bagi mereka yang berada di pinggiran, sambil membangun jembatan dengan umat beragama lain serta merawat seluruh ciptaan. Untuk mewujudkan visi ini, dibutuhkan lebih dari sekadar wacana. Gereja memerlukan alat dan metode yang konkret. Di sinilah “discernment bersama,” sebuah karunia warisan spiritual Ignasian, menjadi sangat relevan. Discernment bersama adalah proses membedakan kehendak Allah secara komunal dalam doa, dialog, dan keterbukaan pada Roh Kudus.   Sebuah Inisiatif Global untuk Gereja Lokal Menanggapi panggilan Gereja universal ini, Serikat Jesus meluncurkan sebuah proyek internasional bertajuk “Ignite the Way: Pelatihan Fasilitator untuk Discernment Bersama”. Proyek yang dipimpin oleh Pater John Dardis, S.J. dan dibantu oleh Pater Joseph Cardozo, S.J. dari Provinsi Goa ini dirancang dalam tiga tahap: awal (2025), berbagi (2026-2027), dan peneguhan (2028+).   Sebagai dasar proyek ini, Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J., menegaskan, “Ini adalah proyek yang berakar pada Konsili Vatikan II… Visi tersebut adalah Gereja sinodal, yaitu Gereja yang berjalan bersama, rendah hati, dan berziarah.” Dengan kata lain, proyek ini ingin menghidupkan kembali visi Gereja yang penuh persaudaraan dan membumi, yang bekerja sama membawa pembebasan, rekonsiliasi, dan keadilan bagi dunia yang terluka.     Sebagai puncak dari tahap awal, pada 23 November hingga 3 Desember 2025, sebanyak 97 orang yang terdiri dari Jesuit, awam, biarawan/wati, dan imam diosesan akan berkumpul dalam sebuah kolokium di Salamanca, Spanyol. Pertemuan ini bukan sekadar pelatihan biasa, melainkan sebuah kolaborasi global untuk menyiapkan pelatih (trainer of facilitators) discernment bersama.   Tujuan Kolokium: Dari Keterampilan hingga Jaringan Pertemuan di Salamanca dirancang sebagai sebuah kolokium, sebuah pertemuan untuk berbagi dan belajar. Tujuannya adalah: Mengembangkan Keterampilan: Melatih peserta menjadi fasilitator discernment bersama yang andal. Mendalami Spiritualitas: Mengeksplorasi aturan discernment St. Ignatius Loyola yang diterapkan dalam kelompok. Menyepakati Kurikulum: Menciptakan sebuah kurikulum inti yang dapat diterapkan di berbagai budaya dan konteks. Membangun Jaringan: Menghubungkan berbagai inisiatif sinodal yang sudah ada agar dapat saling mendukung. Melalui sesi interaktif, refleksi hening, percakapan rohani, dan berbagi pengalaman, peserta akan mendalami baik teori maupun praktik memfasilitasi sebuah kelompok untuk mendengarkan suara Tuhan bersama-sama.   Sebuah Batu yang Dilempar, Gelombang yang Menyebar Pada akhirnya, tujuan utama kolokium ini adalah melahirkan tim inti yang dapat melatih fasilitator-fasilitator baru di tingkat regional, baik di dalam Serikat Jesus maupun untuk Gereja universal. Proyek ini bukan milik Jesuit semata, melainkan sebuah sumbangan bagi seluruh Gereja, termasuk untuk keuskupan, paroki, kongregasi religius, dan organisasi awam.     Bagi Pater Joseph Cardozo, S.J., yang terlibat langsung sebagai Asisten Manajer Proyek, menjadi bagian dari inisiatif ini adalah sebuah kehormatan dan inspirasi. “Bertemu dengan berbagai peserta secara daring dan mendengarkan kisah kegembiraan, kesedihan, dan impian mereka telah menjadi motivasi bagi saya. Saat ini, kita sedang membangun sebuah gerakan,” ungkapnya.    Ia meyakini bahwa dalam dunia di mana percakapan publik seringkali terpecah dan penuh dengan kebisingan, Gereja justru memiliki alternatif: sebuah sikap mendengarkan dengan rendah hati dan penuh doa. “Saya yakin Gereja dan cara Injil memiliki begitu banyak hal untuk ditawarkan,” tambahnya.   Kolokium ini diibaratkan seperti sebuah batu yang dilemparkan ke danau. Dampak riaknya diharapkan akan menyebar ke seluruh benua dan budaya. Setiap peserta yang pulang ke tempat asalnya nanti diharapkan dapat menjadi agen perubahan. Mereka diharapkan siap memantik jalan dan mentransformasi budaya dalam kelompok masyarakat, organisasi, dan Gereja lokal mereka, menuju sebuah persekutuan yang lebih sinodal dan bersaudara.     Kontributor: P. Septian Marhenanto, S.J. dan Ha Wahyaka Diadaptasi dari tulisan P. Joseph Cardozo, S.J.

Provindo

Berziarah sebagai Utusan Kristus

Kebanyakan pembaca Internos pasti pernah mendengar istilah Kongregasi Jenderal, yaitu institusi tertinggi pengambil keputusan dalam Serikat Jesus. Pesertanya adalah para wakil terpilih dari semua provinsi dan regio dan diadakan sejauh diperlukan. Dalam sejarah Serikat Jesus yang sudah hampir 500 tahun, baru ada 36 kali Kongregasi Jenderal.   Nah, saya yakin belum banyak yang mendengar istilah Pertemuan Para Superior Mayor. Ini adalah pertemuan yang ditetapkan dalam Kongregasi Jenderal 34 Dekret 23 (1995), “Kira-kira setiap enam tahun mulai dari Kongregasi Jenderal terakhir, Pater Jenderal akan mengundang pertemuan semua provinsial, untuk menimbang kondisi, persoalan-persoalan, dan inisiatif-inisiatif dalam Serikat universal, sebagaimana juga kerja sama internasional dan supra-provinsial.” Sejauh ini baru ada tiga kali pertemuan seperti itu dan yang terakhir terjadi pada tanggal 17-26 Oktober 2025 di Roma. Saya menghadiri pertemuan tersebut sebagai Provinsial Serikat Jesus Indonesia, bersama sekitar 77 orang superior dan 30 orang petugas kuria generalat yang lain.   Mengambil tema “Peziarah dalam Perutusan Kristus,” pertemuan ini membicarakan topik-topik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Topik-topik ini dipilih sebagai bahan masukan untuk Pater Jenderal berdasarkan pengalaman yang beragam di berbagai provinsi, semacam konsultasi dengan seluruh Serikat. Untuk saya, yang menarik adalah metodenya. Setiap tema diolah dengan cara bertahap. Mulai dengan presentasi oleh dua orang yang sudah ditunjuk dan mempersiapkan diri. Presentasi ini diikuti oleh doa dan refleksi pribadi oleh peserta. Setelah itu para peserta berkumpul dalam kelompok kecil untuk membagikan hasil doa dan refleksinya memakai cara percakapan rohani. Ringkasan hasil pembicaraan di tiap kelompok ini kemudian disampaikan dalam pertemuan bersama lagi. Sesudah itu, pendalaman tema ditutup dengan mendengar reaksi para peserta secara individu terhadap hasil pleno tadi. Tidak ada tanya jawab di bagian ini. Semua mendengar ketika seseorang berbicara.   Dengan metode ini, beberapa topik tampak menonjol yaitu tema kolaborasi dengan awam, restrukturisasi gubernasi/pemerintahan Serikat, dan peran superior lokal. Semua ini menunjukkan bahwa Serikat sedang berubah. Peran awam semakin besar dalam lembaga dan karya Serikat tetapi mereka tidak punya suara dalam pemerintahan Serikat. Menurunnya jumlah Jesuit mengakibatkan penggabungan beberapa provinsi yang tidak selalu berhasil. Misi universal hampir selalu dikalahkan oleh pemerintahan Serikat yang memprioritaskan provinsi. Di komunitas superior lokal sering dilangkahi dalam pemerintahan Serikat, padahal mereka seharusnya punya peran penting baik dalam hal cura personalis maupun cura apostolica.     Di antara sesi-sesi pertemuan, para peserta diajak untuk bertemu Paus Leo XIV di hari ketujuh. Semua peserta antusias karena bagi banyak orang ini bakal menjadi perjumpaan yang pertama dengan Bapa Suci yang baru. Bapa Suci menyambut delegasi para superior dengan hangat. Dalam sambutannya Bapa Suci meneguhkan kembali pilihan apostolik Serikat seperti yang ada dalam Universal Apostolic Preferences (UAP). Beliau juga mengingatkan kembali, “Gereja membutuhkan Saudara sekalian di garis depan entah itu secara geografis, kultural, intelektual maupun spiritual … Kemendesakan untuk mewartakan Kabar Gembira sama besarnya di zaman ini seperti di masa Santo Ignatius.”   Menariknya juga, Paus Leo XIV tampak sangat membumi. Bahasa tubuhnya rileks, kata-katanya terpilih tapi tetap hangat. Ketika berdialog, tanggapan Bapa Suci sering merujuk pada pengalamannya sebagai misionaris dan sebagai religius. Saya dan para provinsial pulang dari pertemuan ini dengan hati yang berbunga-bunga, tentu saja setelah berfoto dengan beliau.     Rahmat terbesar yang saya peroleh dari pertemuan ini sebenarnya justru pada perjumpaan dengan para superior. Suasana hangat dan terbuka ditambah sesi-sesi sharing dengan cepat mendekatkan kami satu sama lain. Sebagian baru saja menjadi provinsial. Sebagian lagi sudah hampir selesai masa tugasnya. Pater Jenderal dan staf kuria selalu hadir sepenuhnya dan tak berjarak dengan para peserta. Bahkan Pater Jenderal mengundang para provinsial secara bergiliran untuk makan siang bersama di ruang kecil supaya bisa sambil berbincang-bincang santai.   Hasil pertemuan ini berupa rekomendasi-rekomendasi yang diserahkan kepada Pater Jenderal. Nantinya Pater Jenderal akan mengambil kebijakan dan menyusun surat-surat dengan memperhatikan usulan-usulan tersebut. Berbekal pengalaman ini, Serikat akan berusaha untuk tetap setia berziarah dalam perutusan yang dipercayakan Kristus di tengah dunia yang sedang penuh ketidakpastian.   Kontributor: P. Benedictus Hari Juliawan, S.J.

English

Audio-Visual Based Learning Media

A Training Session for Teachers of Kanisius Yogyakarta: From September 19 to 21, 2025, the USD Audio Visual Studio hosted a training for 20 teachers from the Yogyakarta Branch of the Kanisius Foundation. Most participants were young teachers, who attended the training at the studio and stayed at Kampoeng Media. This event was a partnership between Sanata Dharma University and the Kanisius Foundation. Ms. Nur Sukapti highlighted the importance of the training, noting that past sessions have yielded many functional learning materials. Father Yosephus Ispuroyanto Iswarahadi mentioned that the training aims to help teachers develop appealing audio-visual media for students.   The training was led by Father F.X. Murti Hadi Wijayanto, S.J., with help from other mentors. Participants learned about Montessori-style learning, cinematography, scriptwriting, production, and editing. This session was harder because participants had prior skills. Six female elementary school students from USD also helped explain Montessori equipment.     Participants formed groups to create video scripts about the Montessori model. They filmed at three locations on Fridays from 10:00 a.m. to 6:00 p.m., with mentors present. After filming, they entered the editing stage, which involved long hours, with some working until 3:30 a.m. on their films.   On the third day, participants had an appreciation and evaluation session for their videos. They screened three videos: “Feli and the Golden Beads,” “Grammar Sense Game,” and “The Fun of Learning Fractions a la Montessori.” After each screening, other groups gave feedback, the creators shared their experiences, and facilitators and tutors offered final comments. This process was necessary for hands-on learning. Everyone felt more prepared to teach after the training.   Before concluding the session, Father Iswarahadi led a Thanksgiving Mass, and Mr. Alex thanked Sanata Dharma University and tutors. Certificates were presented, leaving participants excited for their schools.     Contributor: P. Yoseph Ispuroyanto, S.J.

English

Green Spirit and Caring For The Earth

Plastic waste is often seen as a problem, but in the hands of students at St. Michael Catholic Vocational School in Surakarta, it can become an opportunity. With a passion for learning and creativity, the students have incorporated recycling into their daily lessons. This is a tangible manifestation of their commitment to caring for the earth for a more sustainable future.   Weaving Knowledge into Hope for the Earth From August 11-14, 2025, tenth-grade students at St. Mikael Vocational School participated in a lesson on the Circular Economy to learn about recycling and environmental issues. The PT ATMI IGI Recycling team explained recycling, its effects, and how to continue these practices. Students engaged actively in discussions and received key chains made from recycled bottle caps featuring their school logo as a reminder of the lesson.   Teacher Ms. Yanti asked students to collect bottle caps for two weeks. They brought in large quantities, totalling 16 kg across seven classes, highlighting the problem of plastic waste. The school collaborates with PT ATMI IGI on recycling education and has two machines for hands-on practice, allowing students to create keychains, jewellery beads, rosaries, and more.   Ignatian Spirituality to Care for the Earth Plastic recycling activities at St. Mikael Vocational School teach students the 4C values. Competence teaches mould-making techniques based on creativity. Compassion raises awareness of protecting the Earth from waste. Conscience helps students distinguish between good and bad behaviour towards the environment. Commitment is caring for nature. This activity also supports the Universal Apostolic Preferences and Sustainable Development Goals, especially in quality education and climate change action. It is hoped that this activity will be sustainable and benefit the school. Students learn about the Circular Economy and demonstrate that small steps at school can create a greener and more sustainable future.     Contributor: Fransiskus Marcelino Utama – Student of SMK Katolik St. Mikael Surakarta

English

On the Path to a Joyful Century

The 99th Anniversary of KotaBaru Church: On September 26, 2025, the parishioners of the Kotabaru Church gathered to celebrate the 99th anniversary of the Church of Saint Anthony of Padua. The Mass featured several priests, including Father Andrianus Maradiyo, who began with an opening hymn and traditional dance. Father Maradiyo’s homily encouraged the attendees to reflect on the church’s journey toward inclusivity.   Before concluding the service, the prayer garden of Maria Concordia was blessed by Father Maradiyo and other concelebrant priests. The celebration continued with the unveiling of the logo and mascot for the upcoming 100th anniversary, which involved a ribbon-cutting ceremony led by Frs. Agus, Fajar, and Kuntoro. Father Maradiyo also blessed the logo and mascot.   After the Mass, the festivities moved to the church courtyard for a congregational feast, starting with Father Maradiyo ceremonially cutting a yellow rice cone and presenting it to Frs. Fajar and Agus. The celebration included awards for competition winners and the launch of the church’s 100th anniversary jingle, featuring a children’s flash mob. The joyful atmosphere signified the unity of the Kotabaru congregation and marked the start of readiness for the centenary celebration.   Happy birthday to the Church of St. Antonius Padua of Kotabaru!     Contributor: Emanuella Gracia & Jessica Juliani – Kotabaru Digital Service