Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Gereja

Pelayanan Gereja

Menuju Satu Abad Penuh Sukacita

HUT Gereja KotaBaru Ke-99: Berbeda dengan misa harian pada umumnya, umat Gereja Kotabaru tampak memenuhi gedung gereja bersiap merayakan ulang tahun Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru ke-99 pada Jumat, 26 September 2025. Diawali dengan misa secara konselebran oleh Pater Andrianus Maradiyo, Pr, Pater Nicolaus Devianto Fajar Trinugroho, S.J., Pater Yohanes Agus Setiyono, S.J., Pater Floribertus Hasto Rosariyanto, S.J., Pater Vincentius Doni Erlangga, S.J., dan Pater Cyprianus Kuntoro Adi, S.J.   Perayaan Ekaristi dibuka dengan iringan lagu pembuka dan tarian. Pater Maradiyo dalam homilinya mengajak umat mengenang kembali perjalanan Gereja Kotabaru hingga menjadi gereja inklusif yang umum dikenal saat ini.   Sebelum berkat penutup, pemberkatan Taman Doa Maria Concordia dilakukan. Taman Doa diberkati oleh Pater Maradiyo didampingi para imam lainnya. Acara berlanjut dengan launching logo dan maskot HUT ke-100 Gereja Kotabaru. Pater Agus, Pater Fajar dan Pater Kuntoro bersama-sama menggunting pita, membuat kain yang menutupi logo dan maskot langsung terbuka. Logo dan maskot yang ada pun juga diberkati oleh Pater Maradiyo.     Seusai perayaan Ekaristi, para umat berpindah di halaman gereja untuk melanjutkan acara dengan pesta umat yang dibuka dengan pemotongan tumpeng nasi kuning. Pater Maradiyo memotong tumpeng dan memberikan secara simbolis kepada Pater Fajar dan Pater Agus. Dalam pesta umat ini turut diadakan penyerahan hadiah bagi para pemenang sayembara serta peluncuran jingle HUT ke-100 Gereja Kotabaru yang dimeriahkan dengan flashmob dari kakak-kakak PIA.   Suasana hangat dan penuh sukacita mencerminkan harmonisasi umat Kotabaru. Momen ini menjadi pembuka kesiapan Kotabaru menyongsong usia ke-100. Setelah melewati berbagai sejarah dan proses, sejalan dengan prinsip Gereja yang terbuka, semoga Gereja Kotabaru senantiasa menjadi rumah bagi siapa pun yang membutuhkan tempat untuk pulang.   Selamat ulang tahun bagi Gereja Kotabaru!     Kontributor: Emanuella Gracia & Jessica Juliani – Kotabaru Digital Service

Pelayanan Gereja

Dalam Mendampingi Kita Didampingi

Halo, kami adalah Anak-Anak Bunda Maria. Kelompok ini awalnya dibentuk pada tahun 2012 sebagai wadah belajar Kitab Suci bagi anak-anak, namun karena berkat Tuhan, kami berkembang menjadi kelompok pelayanan belajar Kitab Suci, koor, dan persiapan sakramen bagi anak dan remaja. Kelompok ini berada di bawah reksa Paroki Blok B, Jakarta yang terbuka bagi semua anak, termasuk anak-anak dari luar negeri yang sebagian besar bukan berasal dari negara berbahasa Inggris dan juga siswa-siswi dari sekolah internasional.   Perjalanan kami menjelajahi spiritualitas Ignasian dimulai saat Pastor Paroki Blok B, Pater Aluisius Pramudya Daniswara, S.J. atau akrab disapa Pater Pram, (dengan bahasanya) memaksa kami mencoba melakukan Percakapan Rohani dalam retret tahunan kami. Saat itu kami mengira itu hanya program biasa seperti yang lainnya. Tak disangka, justru menjadi benih transformasi bagi kami para katekis dan anak-anak yang kami dampingi.   Sebagai katekis, kami berusaha mengadakan retret sehari sekali setahun. Momen itu menjadi waktu bagi kami untuk mengisi ulang energi, berhenti sejenak dari rencana pembelajaran dan prakarya, serta merasakan kesatuan dalam kelompok. Biasanya, suasananya hening dan berpusat pada mendengarkan refleksi pater.   Namun kali ini, pater mengajak kami melakukan aktivitas berbeda, yaitu Percakapan Rohani—di mana kami mendengarkan dengan seksama, berbagi cerita secara bebas dan nyaman, serta membiarkan Roh membimbing apa yang akan terjadi di tengah kami. Awalnya terasa aneh, tetapi nyatanya berhasil. Kami merasa tidak hanya disegarkan, tetapi juga lebih terhubung satu sama lain. Kami berbagi harapan dan usaha-usaha kami, bukan sekadar sebagai sesama rekan katekis, melainkan sebagai sahabat dalam perutusan bersama. Sejak itu, kami sering mempraktikkannya berkali-kali. Dalam formasi 12 minggu bagi para katekis baru yang terakhir ini dilakukan, kami mengakhirinya dengan percakapan Rohani, di mana setiap peserta berbagi hal-hal yang mengejutkan mereka, ketakutan-ketakutan, serta harapan dalam karya pelayanan mereka. Tak salah lagi, buah dari kegiatan ini adalah rasa persaudaraan dan perjumpaan satu sama lain dalam suasana otentik tanpa dibatasi peran, jabatan, maupun tugas. Kami mulai melihat diri kami bukan lagi sekadar sesama katekis, melainkan sahabat dalam perjalanan bersama.   Tentu saja, setelah bercerita kepada Pater Pram tentang buah-buah rohani yang kami alami, ia “memaksa” kami lagi, untuk melakukan Examen. Sebagai awam yang melayani di paroki Jesuit, kami mengira sudah memahami Examen. Selama bertahun-tahun, kami telah mengajarkan anak-anak untuk berdoa dalam tiga langkah sederhana, yaitu pertama bersyukur kepada Tuhan, kedua memohon pengampunan, dan terakhir mengungkapkan harapan/permohonan. Kami berpikir, “Sudah! Kami mengerti ini!” Namun, ia mengingatkan bahwa doa lebih dari sekadar kata-kata, itu adalah pengangkatan hati dan jiwa kepada Tuhan. Dengan lembut namun tegas ia meminta kami tidak hanya mempraktikkan Examen sendiri, setiap hari dan secara tertulis, tetapi juga membawanya ke dalam sesi dengan anak-anak. “Melalui ini,” ia bersikeras, “kita dan anak-anak akan mengenal diri kita lebih dalam.”   Jujur saja, kami sempat menunda-nunda. Di tengah rencana pembelajaran, pekerjaan, dan persiapan sakramen yang harus ditangani, latihan ini terasa seperti satu beban tambahan. Namun, dalam semangat Jesuit yang sejati, kami tetap menjalankannya. Kami mulai dengan para calon Krisma, meminta mereka melakukan doa Examen setiap malam dan menuliskannya. Awalnya kami tidak banyak berkomentar, hanya memastikan mereka melakukannya. Setelah tiga minggu, kami menjadwalkan percakapan rohani satu per satu dengan setiap calon. Kami tidak tahu apa yang akan muncul. Tidak terbayangkan, apa yang terjadi justru mengejutkan kami. Saya tidak akan pernah lupa seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun yang dengan setia menulis Examen setiap malam. Buku catatannya penuh refleksi. Saya membacanya seperti seorang detektif, lalu bertanya: “Apa pola yang kamu lihat? Apa yang paling sering kamu syukuri, yang kamu mohonkan pengampunan, dan apa yang menjadi permohonanmu?” Ia membalik halaman-halaman bukunya, lalu menatap saya dengan suara pelan, “Saya cenderung sering mengumpat.” Ia menunjuk beberapa catatan yang menuliskannya. Saya bertanya dengan lembut, “Mengapa kamu melakukan itu? Apakah mengumpat betul cara terbaik untuk mengekspresikan diri?” Ia berpikir cukup lama sebelum menjawab, “Karena itu yang dilakukan teman-temanku. Rasanya biasa saja, meskipun dalam hati saya tahu itu salah.” Kami diam. Lalu aku bertanya, “Jika kamu bisa memberi nasihat pada dirimu sendiri, apa yang akan kamu katakan?” Dia berhenti sejenak, lebih lama kali ini, dan akhirnya berkata dengan kata-kata yang menusuk hati, “Jangan lakukan apa yang menurut kita biasa!”   Pada saat itu, Roh Kudus menyentuh hatinya: sederhana namun jelas dan kuat. Melalui Examen, anak muda ini tidak hanya menemukan kelemahan pribadinya, tetapi juga keberanian untuk menolak kepatuhan buta. Itu adalah pengenalan akan kehendak Tuhan yang nyata, lahir bukan dari ceramah, melainkan dari doanya sendiri. Aku begitu terharu hingga hampir menangis.   Percakapan lainnya sama mengharukannya. Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun mengaku merasa terjebak dalam rutinitas, kosong, dan jauh dari Tuhan. Seorang gadis remaja berbagi bagaimana Examen membantunya menyadari dan bersyukur atas berkat-berkat kecil dan biasa yang ia terima setiap hari. Seorang lagi berbicara jujur tentang frustrasi akibat tekanan tak berujung untuk berprestasi di sekolah. Dan seorang gadis berani, dengan air mata di matanya, mengajukan pertanyaan yang membebani hatinya, “Apakah nenekku yang sudah meninggal diselamatkan?” Ada senyuman, tawa, dan ya, air mata. Kami belum pernah melihat kejujuran seperti itu dalam program-program sebelumnya.   Kami tidak siap menghadapi emosi yang muncul, tetapi itu adalah jenis kelebihan yang kudus. Setelah 13 tahun melayani MMK, kami semakin memahami bahwa menjadi seorang katekis tidak berarti melulu mengajarkan doktrin tetapi juga mendampingi sebagai teman dan rekan seperjalanan. Itulah anugerah sejati dari percakapan rohani dan Examen.   Pada malam itu juga, kami menelepon Pater Pram untuk berbagi kegembiraan dan kekaguman kami. Kami bukanlah ahli spiritualitas Ignatian, melainkan sekadar saksi dari buah-buahnya. Dan jika Anda adalah seorang katekis yang membaca ini, kami ingin mendorong Anda untuk membiarkan diri “dipaksa” juga melakukan Percakapan Rohani dan Examen, bahkan ketika terasa canggung dan seolah seperti melakukan pekerjaan tambahan. Sebab justru di saat-saat seperti itu Roh bekerja. Kadang, kebijaksanaan terdalam muncul begitu saja dari mulut seorang anak laki-laki berusia 13 tahun:   “Jangan lakukan apa yang tampak biasa dan normal!”     Kontributor: Joanne – Katekis Mother Mary’s Kids (MMK) 

Pelayanan Gereja

Gedangan dalam Langkah dan Cerita

Amazing Race: Salam hangat, saya Lusia dari OMK Gedangan. Mungkin Anda masih ingat, di edisi sebelumnya saya menulis tentang Gereja Gedangan. Kali ini, saya kembali tetapi dengan cerita berbeda meski masih dari tempat yang sama. Semoga pembaca belum lupa dengan cerita saya sebagai pemandu Jelajah Gedangan pada Internos Agustus lalu.   Masih seputar Perayaan 150 Tahun Gedung Gereja Gedangan, bulan lalu saya dan beberapa teman, beberapa dewan paroki, Pater Cahyo Christanto dan Pater Mathando (Dodo), sedang mempersiapkan acara jalan sehat sambil menelusuri kembali sejarah gereja kami tercinta. Jalan sehat dipilih bukan hanya untuk menyehatkan tubuh, tapi juga untuk mengenang perjalanan iman. Acara ini diberi nama “Amazing Race.” Kegiatan kali ini menggabungkan olahraga, pengenalan sejarah Gedangan, dan persaudaraan antarumat. Kali ini saya terlibat dalam sie acara, membantu membuat soal untuk tiap pos perhentian dan juga membuat buku panduan yang nantinya digunakan umat untuk mengerjakan tantangan di tiap pos perhentian.   Umat diajak berjalan melalui rute berbeda dan nantinya di setiap rute ada beberapa pos perhentian yang berisi permainan yang berkaitan dengan sejarah Gereja Gedangan. Dengan cara ini, sejarah tidak hanya dibaca, tetapi sungguh dialami dan dirasakan oleh setiap orang yang terlibat, entah sebagai panitia atau peserta.   Setiap pos menghadirkan pengalaman berbeda. Ada pos “Pecahkan Kodenya!” Di pos ini, disediakan soal-soal yang ditulis dalam bentuk sandi Morse, yang sekilas mungkin mengingatkan kita pada kegiatan Pramuka. Namun sebenarnya, pos ini bertujuan mengajak peserta merenungkan cara berkomunikasi, sekaligus menyadari bahwa iman dapat diteruskan dalam berbagai bahasa. Ada pos “Tentukan Kebenarannya!”, di mana peserta diajak untuk lebih teliti dalam memahami dan mengingat sejarah serta iman. Lalu, ada pos “Isi Teka-Tekinya!”, di mana peserta diminta mengisi TTS dengan tujuan mengenal kembali perjalanan sejarah secara menyenangkan, sekaligus merasa tertantang untuk menyelesaikannya.   Tak kalah menarik, ada pos “Susun Agar Utuh!” Di pos ini, peserta diminta menyusun puzzle yang menampilkan foto Gereja Gedangan dari tahun 1900-an. Melalui potongan-potongan kecil itu, peserta diajak merenungkan bahwa sejarah Gereja dan umat bagaikan kepingan yang, bila disatukan, membentuk gambaran indah karya Allah. Terakhir, ada pos “Siapakah Saya?”, di mana peserta harus menebak sosok dari potongan gambar yang tersedia. Permainan sederhana ini menjadi kesempatan untuk mengenang kembali tokoh-tokoh yang pernah berkarya di Gedangan, sekaligus melatih ketelitian dan menghidupkan ingatan akan sejarah komunitas.   Semuanya sudah siap, rancangan acara sudah beres, hadiah sudah tersedia, semua panitia yang terlibat sudah tahu tugasnya masing-masing. Technical Meeting pun tinggal menghitung hari. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, acara ini dapat tersusun dan siap untuk dilaksanakan. Umat juga nampak antusias, sudah membuat yel-yel untuk tiap tim, dan menyiapkan pakaian terbaik. Bayangan suasana akan hari itu sudah ada di kepala, yaitu peserta jalan beramai-ramai, pos perhentian yang penuh dengan tawa, beberapa panitia yang sibuk lari kesana-kemari memastikan semuanya berjalan lancar. Sungguh, momen itu bukan sekadar acara jalan sehat namun juga wujud kebersamaan umat Gedangan.   Namun, rencana indah ini harus tertahan sejenak. Pada akhir Agustus hingga awal September 2025, suasana Indonesia tengah memanas. Aksi demonstrasi besar pertama kali muncul di Jakarta, lalu gaungnya terasa ke banyak kota, termasuk Semarang. Massa memenuhi jalan, beberapa titik kota jadi ruang menyuarakan tuntutan. Tidak sedikit juga rencana publik yang terdampak. Kawasan Kota Lama pun jadi salah satunya.   Bulan September ini sebenarnya dipenuhi dengan berbagai acara budaya yang menarik. Namun, demi keamanan bersama, beberapa di antaranya harus ditunda—bahkan ada yang dibatalkan. Keadaan ini juga dirasakan di Gedangan, di mana kegiatan Amazing Race terpaksa harus ditunda. Tentu saja banyak umat merasa kecewa; tak sedikit yang kesal karena sudah mempersiapkan diri—ini dan itu—untuk mengikuti kegiatan tersebut. Namun menjelang hari-H, yang datang justru kabar penundaan acara. Jika saya berada di posisi mereka, saya pun mungkin akan kecewa dan kesal.   Tapi bagaimanapun juga, keselamatan bersama lebih utama daripada semarak acara yang, dalam situasi seperti ini, memang sebaiknya ditunda. Meski harus ditunda, makna rohaninya tetap utuh.   Sebagai panitia, saya juga merasa sedikit kecewa dengan penundaan ini. Namun di saat yang sama saya juga merasa tenang. Sejujurnya, saya sempat khawatir, jika kondisi belum aman, bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya rasa itu lebih buruk daripada penundaan Amazing Race sendiri. Setidaknya, acara yang telah dipersiapkan ini masih bisa dilaksanakan di waktu mendatang.   Jalan sehat ini tetap menjadi simbol perjalanan iman bersama. Sejarah Gereja Gedangan tidak hanya ada di buku, tetapi hidup dalam langkah umat yang terus berjalan. Meski kadang perjalanan tertahan oleh situasi zaman, namun penundaan ini bukanlah akhir melainkan jeda untuk menyiapkan hati. Kegiatan ini kelak akan tetap mengajak umat lebih mengenal sejarah, lebih mencintai Gereja, dan lebih bersatu. Mengutip semangat Ignatian, kita dapat menemukan Allah dalam segala hal, termasuk dalam rencana yang belum sempat terlaksana.   Kontributor: Lusia Pamungkas – Gedangan Muda

Pelayanan Gereja

Catatan Seorang Pemandu

Cerita di Balik Tembok Gedangan: Hai, namaku Lusia tapi biasa dipanggil Aisul dan aku adalah satu dari banyak OMK di Gedangan. Aku suka jalan-jalan, sejarah, dan yang paling favorit adalah jalan sambil mendengarkan cerita sejarah. Kali ini gantian aku yang mau cerita tentang Gereja Gedangan, gereja Katolik paling tua di Semarang. Di OMK Gedangan, kami punya satu wadah seru untuk kenalan—dan pastinya makin sayang—dengan gereja kami sendiri lho! Namanya Jelajah Gedangan. Tujuan awalnya sederhana, yaitu mengenalkan kembali Gereja Santo Yusup Gedangan ke siapa pun yang penasaran, terutama dari sisi sejarah dan kekayaan warisan imannya. Dan karena ini adalah kegiatan OMK, tour guide-nya juga dari kami-kami sendiri, OMK Gedangan. Kami sering berkumpul, ngobrol, dan cari tahu cerita-cerita lama tentang gereja ini. Lalu, semua yang kami temukan itu kami bagikan ke siapa saja yang tertarik untuk menelusuri jejak masa lalu di balik tembok tua Gedangan.   Akhir 2019 sampai awal 2020 adalah waktu kami memulai penjelajahan di Gereja Gedangan. Masih hangat di pikiran kita bukan? Kala itu awal mula adanya Covid-19? Memang agak melanggar aturan pemerintah yang seharusnya duduk diam di rumah yang saat itu masih ramai dengan hastag #mendingdirumahaja, tapi kami malah berkumpul untuk mengajak banyak orang jalan-jalan virtual. Bermodalkan sejarah yang kami baca dan kami cari tahu lebih lanjut sumbernya dan didukung kemajuan teknologi yang juga mumpuni, kami mulai dengan Jelajah Gedangan Virtual. Kami tidak hanya mengajak teman-teman dari Gedangan, tetapi juga semua orang yang ingin tahu tentang Gedangan. Mungkin, Anda yang sedang membaca tulisan ini juga jadi salah satunya? Dari yang awalnya hanya bercerita tentang sejarah Gedangan, tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, dan ornamen yg biasa kita lihat kalau sedang misa, sekarang jadi makin banyak tema yang bisa kami ceritakan ke banyak orang.    Di 2025 ini, Gereja Gedangan merayakan 150 tahun pemberkatan gedung gereja dan sepanjang tahun ini ada banyak rangkaian acara untuk memeriahkannya, salah satunya adalah Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang sudah terlaksana bulan Juni lalu dengan mengusung tema Di Balik Tembok Gedangan sebuah momen langka untuk para peserta Jelajah yang biasanya diajak berjalan sambil mendengarkan cerita dan berkeliling Gedangan, kala itu mereka cukup duduk manis sambil mendengarkan beberapa narasumber yang punya cerita dan pengalaman seru mengenai Gereja Gedangan.    Ada tiga narasumber saat itu, yaitu pertama Pater Vincentius Suryatma Suryawiyata, S.J. atau yang akrab dipanggil Pater Surya. Obrolan saat itu cukup menarik, informatif, dan penuh nuansa nostalgia yang membuat peserta bisa turut ‘menyusuri waktu’ bersama Pater Surya lewat tokoh dan sosok yang membentuk wajah Gereja Gedangan. Dari Pater Surya kami diajak menyadari bahwa Gedangan tidak hanya bangunan tua yang indah, namun juga menjadi tempat lahirnya semangat misi yang besar dan tempat di mana banyak kisah bermula, bahkan jejaknya masih sangat bisa dirasakan sampai sekarang.   Selain Pater Surya yang mengajak bernostalgia, ada juga Pater Ignatius Windar Santoso, S.J. yang juga berbagi cerita. Kali ini dengan latar belakang sebagai archivist Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Windar menunjukkan salah satu dokumentasi catatan baptisan di zaman dulu yang masih tersimpan rapi. Melalui dokumen baptisan, kami jadi tahu bahwa Semarang adalah salah satu tempat penting dalam perkembangan Katolik di masa Hindia Belanda. Gedangan memiliki cukup banyak peran sebagai gerbang awal misi katolik di Jawa, maka dari itu arsip-arsip ini bisa jadi semacam ‘harta karun’ sejarah yang sangat berharga.      Masih tentang arsip baptisan, ada satu lagi narasumber yang membawakan cerita ‘mengejutkan’ dengan fun fact-nya! Namanya Mas Yogi, seorang pengamat sejarah sekaligus founder dari Bersukaria Walk Tour (Bersukaria Walk Tour bisa dicari di instagram. Anda pasti jadi ingin ikut semua rute Walking Tour-nya). Mas Yogi berbagi cerita seru tentang arsip Gereja Gedangan. Beberapa waktu lalu Mas Yogi membawa rombongan orang Belanda yang sedang mencari tahu sejarah leluhur mereka. Menurut cerita yang mereka dengar, para leluhurnya dibaptis di Gedangan. Yang mengejutkan adalah setelah ditelusuri dan ketemu, ternyata salah satu leluhurnya adalah artis terkenal di masa itu! Selain itu orang-orang Belanda ini juga membawa beberapa foto untuk membandingkan gereja dulu dan sekarang. Semacam ingin tahu before-after.   Dari cerita Pater Surya, Pater Windar, dan Mas Yogi, aku jadi makin tahu, betapa pentingnya keberadaan para Pater pendahulu dan arsip yang berupa catatan baptisan bagi gereja. Tidak hanya jadi bukti adanya sejarah tapi juga bisa menjadi jembatan penghubung lintas generasi. Tidak pernah terbayangkan, kalau catatan puluhan bahkan ratusan tahun lalu itu bisa membantu seseorang menemukan keluarganya dan menyambung cerita hidup mereka. Ternyata, banyak hal yang patut untuk disyukuri dari Mini Talk Show Jelajah Gedangan ini. Setiap pembicara punya warna dan cerita yg unik. Pater Surya yang penuh nostalgia dengan mengingat kembali tokoh-tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, Pater Windar yang menunjukkan betapa pentingnya arsip dan catatan baptisan, dan juga Mas Yogi yang menunjukkan secara nyata terhubungnya masa lalu dan masa sekarang melalui peninggalan sejarah berupa catatan baptisan.   Untukku sendiri, aku bersyukur bisa jadi bagian dari tour guide di Jelajah Gedangan dan juga jadi bagian dalam rangkaian perayaan 150 tahun ini. Bukan hanya berbagi dan belajar bersama mengenai sejarah, tetapi tentang memunculkan kembali kisah-kisah yang mungkin nyaris terlupakan. Dan pastinya membagikan pada Anda dan banyak orang adalah salah satu usaha kecil yang bisa aku lakukan untuk merawat Gedangan agar tidak hanya menjadi bagian masa lalu tapi juga menjadi bagian yang tetap terasa dekat juga hidup di segala zaman.    Kabar baiknya OMK Gedangan masih akan mengadakan Jelajah Gedangan dan di bulan November nanti akan ada Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang kedua. Pastinya akan ada banyak cerita baru, perspektif yang menarik nan seru, dan mungkin mendapat fun fact sejarah lain yang belum pernah kita dengar sebelumnya! Tetap stay tune dan jangan lupa follow instagram @gerejagedangan dan @gedanganmuda. Sampai Jumpa di Gereja Gedangan!    Kontributor: Lusia Pamungkas – Gedangan Muda

Pelayanan Gereja

Finding God Through the Lens

Canon Community Goes To Paroki Bongsari Sebuah acara yang diprakarsai oleh OMK Paroki Bongsari bekerja sama dengan Canon Indonesia sukses diselenggarakan di Ballroom Grha Argya, Gereja Paroki Bongsari, pada Minggu, 9 Maret 2025. Acara yang mengangkat tema Finding God Through the Lens ini dihadiri oleh sekitar 70 peserta dengan rentang usia mulai dari 10 hingga 70 tahun. Mereka berasal dari berbagai paroki di Semarang dan luar kota Semarang. Fenomena ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap dunia fotografi dan bagaimana seni ini dapat menjadi sarana refleksi iman.   Menemukan Tuhan Melalui Fotografi Sejak pukul 08.00 pagi, peserta telah berkumpul dengan semangat untuk menyelami dunia fotografi lebih dalam. Acara ini menghadirkan dua narasumber profesional, Misbachul Munir dan Angelie Ivone, yang berbagi ilmu serta pengalaman mereka dalam dunia fotografi.   Misbachul Munir membahas teknik dasar fotografi, mulai dari pemahaman pencahayaan, komposisi, hingga pengaturan kamera yang tepat untuk menangkap gambar berkualitas. Sementara itu, Angelie Ivone membimbing peserta dalam memahami fotografi sebagai sarana untuk menangkap keindahan dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.   Melalui konsep Finding God Through the Lens, peserta diajak untuk melihat bahwa setiap momen, keindahan alam, dan ekspresi manusia adalah refleksi kasih Tuhan yang dapat diabadikan melalui kamera. Baik peserta yang masih anak-anak maupun yang sudah berusia lanjut, semuanya menemukan perspektif baru dalam mengamati dunia melalui lensa kamera.   Dari Teori ke Praktik: Mengabadikan Momen dengan Makna Selain sesi teori, peserta juga diajak untuk langsung mempraktikkan teknik yang telah dipelajari. Dalam sesi ini, mereka diberikan tantangan fotografi yang tidak hanya menekankan aspek teknis, tetapi juga mendorong mereka untuk menangkap gambar dengan makna spiritual.   Menariknya, berbagai generasi yang hadir dalam acara ini memberikan sudut pandang yang unik dalam menangkap momen. Anak-anak mencoba mengabadikan dunia dengan keceriaan mereka, kaum muda lebih menonjolkan ekspresi artistik, sementara peserta yang lebih senior banyak mengambil gambar yang merefleksikan pengalaman hidup dan spiritualitas mereka.   Dukungan dari Canon Indonesia dan Datascript Sebagai penyelenggara utama, Canon Indonesia dan Datascript turut menghadirkan berbagai perangkat fotografi yang bisa dicoba langsung oleh peserta. Mereka juga memberikan wawasan tentang perkembangan teknologi kamera terbaru serta cara memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia untuk mendukung hasil foto yang optimal.   Refleksi dan Harapan ke Depan Acara yang berlangsung hingga pukul 16.00 sore ini ditutup dengan sesi tanya jawab serta pemberian sertifikat kepada peserta. Banyak dari mereka mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan belajar yang diberikan dan berharap acara serupa dapat kembali diadakan di masa mendatang.   Dengan adanya pelatihan fotografi ini, diharapkan komunitas Gereja semakin mampu mendokumentasikan setiap momen penting dalam kehidupan menggereja dengan lebih baik. Lebih dari sekadar keterampilan teknis, Finding God Through the Lens menjadi ajang refleksi bahwa fotografi dapat menjadi sarana evangelisasi dan komunikasi iman yang kuat.   Gereja Paroki Bongsari mengucapkan terima kasih kepada Canon Indonesia dan Datascript atas dukungan serta kolaborasi yang telah terjalin. Semoga semangat belajar dan berkarya terus berkembang, membawa terang bagi banyak orang melalui seni fotografi.   Kontributor: Bonaventura Satria Hagi Putra – Panitia

Pelayanan Gereja

OM JAMARI – Orang Muda Mengajar, Bermain, dan Berbagi

Inilah inisiasi kegiatan oleh Gedangan Muda, yaitu kunjungan ke Panti Asuhan St. Thomas Bergas pada Minggu, 15 Desember 2024. Kunjungan ini merupakan wujud syukur Gedangan Muda atas kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana sebelumnya yang sekaligus menjadi momentum refleksi bersama untuk mensyukuri setiap hal kecil yang diterima dan memupuk semangat berbagi. Dalam kunjungan ini, selain bantuan berupa donasi materi, kami juga ingin membagikan pengalaman berharga melalui kegiatan bermakna. Salah satu bentuk kegiatan bermakna yang kami selenggarakan adalah menghias pot tanaman bersama mereka. Aktivitas ini mengajarkan anak-anak untuk menghargai ciptaan Tuhan, seperti tanaman, dan menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan. Ternyata pot-pot yang dihiasi dengan berbagai warna dan kreativitas semakin menghidupkan suasana dan menambah semangat untuk merawat tanaman. Kami berharap kegiatan ini tidak hanya memberi kebahagiaan bagi anak-anak tetapi juga mengingatkan kami untuk terus mensyukuri hal-hal sederhana. Ternyata, berbagi itu bukan hanya soal materi tetapi juga waktu, perhatian, dan kasih. Semangat dalam kunjungan ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Banyak umat yang tergerak berdonasi kebutuhan pokok, uang, dan buku bacaan. Rupanya, buku bacaan sangat mereka butuhkan karena kegiatan membaca merupakan salah satu kegiatan favorit dan hobi mereka. Semoga bantuan tersebut dapat membantu kelangsungan kebutuhan anak-anak di Panti Asuhan St. Thomas. Dalam kebersamaan yang terjalin, terasa nyata bagaimana cinta kasih Kristus yang hadir melalui setiap senyuman dan tawa yang dibagikan.   Kunjungan ini mengingatkan kami akan slogan yang selalu diusung, “Gedangan Muda, Aku Muda Aku Bisa!” Kami berharap semoga semangat dan jiwa muda selalu ada dalam diri kami di manapun berada. Rasa syukur dan sukacita bisa diwujudkan melalui tindakan kecil nan bermakna. Semoga kami selalu bisa mengupayakan langkah nyata yang berdampak bagi diri kami dan lingkungan sekitar!   Kontributor: Maria Godeliva Diantita K. – Ketua OMK Paroki St. Yusup Gedangan  

Pelayanan Gereja

Tidak Ada Salahnya Mencoba

SHARING ANAK MUDA DIDIKAN ALA PAROKI JESUIT Perkenalkan, nama saya adalah Alberta Pangestika Silvera Putri. Biasanya saya dipanggil Alberta atau Silvera. Selain aktif sebagai Lektor di Paroki St. Yusup Gedangan, saya juga merupakan seorang siswi kelas XII salah satu SMK di Semarang. Tulisan ini adalah sharing saya sebagai salah seorang anak muda yang mengalami didikan ala paroki yang dikelola Jesuit. Salah satu didikan yang saya alami adalah dalam hal kesiapsediaan dan kemauan berproses saat diberi tanggung jawab. Didikan itu sangat terasa ketika saya terlibat menjadi bagian dari kepanitiaan Lomba Baca Kitab Suci yang diselenggarakan oleh Tim Lektor Gereja St. Yusup Gedangan. Tepatnya saat itu saya menjadi Ketua Panitia.   Jalannya Acara Lomba Baca Kitab Suci ini sendiri berlangsung pada 8 Desember 2024. Dibuka oleh MC, serta diawali doa bersama, sambutan pendamping dan Ketua Panitia, lomba dijalani para peserta dengan begitu semangat dan antusias. Mulai dari anak-anak, remaja, orang muda, sampai orang tua menunjukkan kemampuan terbaik dari segi teknik vokal, penghayatan, dan penyampaian isi perikop yang dibacakan. Mereka maju bergantian sesuai kategori dan tata tertib yang sudah diterangkan panitia di awal acara. Penampilan mereka dinilai oleh Ibu Tessa dan Pak Widodo, dua Lektor senior yang pernah aktif di Gedangan, dibantu Romo Dodo, SJ sebagai salah satu Pendamping Lektor.   Dengan mengikuti lomba ini, para peserta ditanamkan rasa percaya diri dan keberanian tampil di depan umum. Para peserta dan penonton juga diajak menumbuhkan semangat membaca, merenungkan, dan mencintai Firman Tuhan, memperdalam iman, serta memupuk rasa persaudaraan satu sama lain. Menjadi Bagian dari Kepanitiaan Menjadi ketua atau koordinator suatu kepanitiaan sebenarnya bukan pengalaman pertama bagi saya. Baik ketika terlibat di Pendampingan Iman Anak (PIA) maupun di sekolah, saya pernah menjadi koordinator kegiatan. Akan tetapi, bagi saya, semua itu tidaklah seberapa menantang dibandingkan dengan menjadi Ketua Panitia Lomba Baca Kitab Suci kali ini.   Yang menjadikan Kepanitiaan kegiatan ini menantang adalah hubungan kami dengan pihak eksternal, bukan hanya internal tim Lektor Gedangan. Oleh karena itu, bagi saya, keseluruhan acara perlu dipikirkan secara matang. Jika perencanaan dan pelaksanaannya kurang matang atau detail, bisa jadi ada yang mengkritik kegiatan ini. Dengan kemungkinan menerima kritik itu pula, sebagai ketua, saya juga harus menyiapkan hati dan mental. Jadi, tanggung jawab yang diemban memang besar. Selain itu juga, terkadang saya yang masih belajar ini kewalahan dalam membagi waktu dengan beberapa tugas lain di luar Lektor.   Oleh karena itu, saya sadar bahwa mulai dari mempersiapkan hingga memastikan acara dapat berjalan dengan baik, semuanya membutuhkan kerja keras dan koordinasi dalam sebuah  Kepanitiaan. Sesekali, dalam proses persiapan itu memunculkan perbedaan pendapat dalam beberapa hal di antara kami, tapi semua itu bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Setiap orang menjalankan perannya masing-masing dan mendukung satu sama lain.   Perasaan saya pribadi campur aduk saat terlibat dalam kepanitiaan ini. Ada perasaan bangga karena diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kegiatan besar ini. Selain itu, kebanggaan pun muncul saat melihat para peserta tampil dengan optimal atau ketika penonton dan juri memberikan apresiasi atas kelancaran acara. Perasaan hangat dan haru juga muncul saat melihat kerelaan, semangat, dan kerja sama yang hebat antara sesama panitia. Rasa lelah seakan hilang saat melihat antusiasme dari semua pihak yang terlibat. Proses jatuh bangun yang dialami bersama juga membuat hubungan kami sebagai tim kepanitiaan semakin erat.   Dari teman-teman di dalam Kepanitiaan, saya belajar, terutama tentang pentingnya saling pengertian dan kerja sama. Momen lucu, jengkel, tegang, gugup, dan cemas dialami bersama sebagai satu-kesatuan Tim Kepanitiaan. Demikian pula, kebahagiaan dan rasa syukur menjadi milik kami bersama ketika acara berhasil berjalan dengan lancar.   Saya juga menjadi paham rasanya memikul tanggung jawab, yang menurut saya agak berat. Dari situ saya belajar untuk lebih percaya diri. Saya juga mengembangkan keutamaan dalam diri, yaitu berani mencoba hal-hal positif baru yang ditawarkan dalam hidup. Saya dididik untuk menyadari bahwa kegagalan mungkin bisa terjadi saat mencoba, tetapi kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Walaupun agak takut untuk memulai dan mengakhiri semuanya, tetapi saya percaya, semua akan baik-baik saja saat selalu berserah kepada Tuhan. Bagi saya, pengalaman itu pembelajaran hidup yang sangat berharga dan  bisa membuat pemikiran saya menjadi lebih dewasa.   Saya juga bersyukur karena para Jesuit turut mendampingi saya sebagai anak muda. Bukan hanya soal bagaimana membawa diri di depan umat, saya juga belajar mengenai makna yang mendalam dari setiap tugas yang saya jalani. Para Jesuit selalu memberi nasihat yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi paham apa arti melayani dengan hati. Nilai-nilai khas Jesuit yang diajarkan tidak hanya membantu saya berkembang sebagai bagian dari Lektor, tetapi juga mengubah cara pandang saya dalam banyak hal. Ada beberapa momen kecil saat pendampingan yang membuat saya berpikir, “Oh, iya ya, benar juga”. Selain itu, mereka juga selalu ada dan benar-benar mau mendengarkan ketika saya mencurahkan isi hati. Hal itu membuat saya sangat merasa didukung dan dipahami.   Penutup Bagi saya, berproses sebagai anak muda merupakan perjalanan hidup yang sangat bermakna. Saya bersyukur bisa belajar melalui berbagai sarana, mulai dari menjadi lektor sampai koordinator Lomba Baca Kitab Suci. Saya berharap pengalaman ini akan terus memberikan inspirasi dan motivasi dalam kehidupan saya ke depan. Saya juga terdorong untuk semakin mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui Sabda-Nya yang hidup.   Selain itu, saya juga dapat belajar bahwa tidak ada salahnya mencoba apa yang sudah dimulai. Walaupun masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, saya dididik untuk berusaha semaksimal mungkin yang saya bisa. Setidaknya, saya sudah berani bertanggung jawab dengan baik sampai akhir.   Kontributor: Alberta Pangestika Silvera Putri – Lektor Paroki St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

Maguyub Welas Asih

Perayaan Ekaristi Syukur Hari Ulang Tahun (HUT) ke-92 Gereja St Stanislaus Kostka Paroki Girisonta yang bertema “Maguyub Welas Asih” berlangsung khidmat dan meriah. Misa syukur ini dipimpin langsung oleh Pater Agustinus Sigit Widisana, S.J. selaku Pastor Paroki dan Pater Leonardus Dibyawiyata, S.J., yang dulu pernah berkarya menjadi pastor paroki tahun 1973-1977.   Ekaristi dimulai pukul 08.00 WIB yang diawali dengan lagu pramisa, sambutan panitia, dan persembahan tarian dari siswi-siswi TK Santa Anna, Girisonta. Kegembiraan dan kebahagiaan melingkupi seluruh umat yang hadir. Tak lupa paduan suara gabungan keluarga besar SMPK Girisonta dan para alumni semakin menyemarakkan perayaan Ekaristi syukur ini. Suasana Minggu, 10 November 2024 ini sungguh membangkitkan semangat maguyub seluruh umat Girisonta, yang jumlahnya 4.873 jiwa.   Sepenggal Sejarah Lahirnya Gereja di Girisonta tidak lepas dari berdirinya rumah Retret dan Novisiat Girisonta. Rumah retret yang dibangun pada tahun 1930, dengan peletakan batu pertama pada 3 Oktober 1930. Rumah retret ini kemudian diberi nama Girisonta, Giri berarti gunung dan Sonta berarti Suci. Girisonta dimaksudkan sebagai tempat di kaki gunung yang sepi, cocok untuk bersemedi, menyucikan diri.     Pada tahun 1932 Girisonta menjadi Komunitas S.J. untuk pertama kali . Saat itu Pater H. Koch, S.J. sebagai rektor, Pater G. Schmedding sebagai magister, Pater Th. Verhoeven sebagai direktur rumah retret, Pater J. Hellings sebagai minister scholasticorum, dan Pater J. Schouten menjalani tersiat. Pada waktu itu ada 7 frater yunior, 7 frater novis dan 3 bruder novis; juga ada 2 orang postulan berminat menjadi bruder. Dari antara mereka, Pater Schmedding dan Verhoeven tahan paling lama, sampai zaman Jepang masih di Girisonta.   Lahirnya Gereja di Girisonta Pada waktu Girisonta lahir, di sekitar Karangjati hampir tidak ada orang Katolik, hanya di Ungaran ada kelompok kecil. Dalam buku “De Katholieke Missie” tahun 1933, jumlah orang Katolik di Ungaran dan Girisonta hanya 99 orang. Jumlah itu telah termasuk baptisan baru sebanyak 21 orang. Pada Hari Raya Paskah yang menerima Komuni mencapai 38 orang.   Awal mulanya, Pater G. Schmedding, S.J. mulai mengajar katekese kepada para karyawan kolese. Para novis mulai menjelajah desa-desa sekitar, sehingga sedikit demi sedikit orang mulai mengenal Pater. Tanggapan masyarakat sekitar Karangjati masih minim, tetapi mereka yang tinggal di desa-desa yang agak jauh dari Girisonta memberi tanggapan lebih baik. Maka untuk pertama kali, pada tahun 1932 Pater G. Schmedding, S.J. membaptis dan merintis buku baptis di Girisonta sebagai awal lahirnya Gereja di Girisonta. Baptisan pertama yang dicatat dalam buku pertama, terjadi pada 22 Februari 1932.     Maguyub Welas Asih Perayaan ulang tahun paroki jatuh pada peringatan Pesta Nama St. Stanislaus Kostka setiap 13 November. Minggu 10 November 2024, genap 92 tahun Paroki Girisonta hadir di bumi pertiwi, menapaki perjalanan sejarah yang tidak mudah, baik pada masa penjajahan maupun masa perang kemerdekaan.   Perkembangan dan kemajuan Paroki Girisonta selalu berkesinambungan. Kini, jumlah jiwa yang tercatat sekitar 5000 umat, tersebar di 13 wilayah, 46 lingkungan, dan 1 stasi yaitu Stasi Santa Maria Assumpta Glodogan yang masih berada dalam wilayah teritorial Kabupaten Semarang. Perayaan ekaristi HUT ke-92 ini mengambil tema “Maguyub Welas Asih” yang merupakan kelanjutan dari tema sebelumnya pada HUT ke-91 yang mengambil tema “Maguyub Sanggup“. Kata maguyub yang mempunyai makna mendalam, yaitu bahwa segenap umat Katolik di Paroki Girisonta ini mengupayakan untuk selalu bersatu (maguyub) dengan landasan rasa kasih dan sayang terhadap sesama (welas asih). Maguyub welas asih merupakan pesan untuk semua umat Paroki Girisonta agar selalu berbelas kasih dan penuh cinta kasih dalam melayani sesama demi kemajuan bersama gereja Paroki tercinta.   Sebelum berkat penutup, Romo Paroki memotong tumpeng yang diserahkan kepada ketua panitia HUT Paroki sebagai simbol syukur atas suksesnya perayaan Ekaristi dan kegiatan penyerta dalam rangkaian perayaan ulang tahun ini.   Perayaan Ekaristi dilanjutkan dengan pesta umat yang diawali dengan pengambilan buah dan aneka sayuran dari gunungan yang sudah diberkati. Acara dilanjutkan dengan santap bersama nasi kuning yang telah disiapkan oleh tiap-tiap lingkungan. Pesta umat dimeriahkan dengan berbagai penampilan: drumband dari SDK Girisonta, drumband SMK Theresiana Bandungan, drum-blak persembahan dari Wilayah 3 Yulius, yang merupakan Panitia HUT ke-92 Paroki Santo Stanislaus Girisonta.   Kemeriahan acara ini tercipta berkat kerja sama dari Panitia, Dewan Paroki, dan semua pihak yang terlibat. Semoga gereja Girisonta semakin maguyub sanggup dan maguyub welas asih, dan umat semakin semangat dan terlibat aktif dalam aneka bentuk karya pelayanan yang membumi dan menyapa sesuai teladan St. Stanislaus.   Kontributor: KOMSOS Girisonta