Pilgrims of Christ’s Mission

pope Francis

Feature

Grazie, Francesco!

Homili Kenangan Paus Fransiskus Misa Requiem Paus Fransiskus  Saudara-saudari terkasih,  Petang itu, 13 Maret 2013, setelah beberapa hari melihat asap hitam,  sekitar pukul 19.00 lewat sedikit, saya mendengar lonceng-lonceng  Gereja berdentang bersahut-sahutan. Saya bertanya-tanya, “Sepertinya jam 7 malam baru saja lewat, mengapa lonceng-lonceng  gereja terdengar di mana-mana? Jangan-jangan…” Saya bergegas  mencari tahu dan ternyata benar. Tradisi lonceng semua gereja di  Roma dibunyikan saat asap putih pertanda Paus baru terpilih, sedang terjadi. Tanpa banyak menunggu, kami segera berlari menerjang  gerimis menuju alun-alun Vatikan untuk menyaksikan upacara pengenalan Paus baru, “Habemus papam…”    Kami segera berada di tengah-tengah Piazza San Pietro bersama  dengan ratusan, mungkin ribuan, orang yang mulai menyemut. Di bawah dingin kami berdiri menunggu. Mungkin sejam atau dua jam  kemudian, akhirnya beliau diperkenalkan. Betapa terkejutnya kami  ketika mendengar bahwa Kardinal Bergoglio, salah satu saudara Jesuit kami, terpilih. Sontak euforia pecah. Bersama dengan semua orang di situ kami berteriak kegirangan seperti orang gila mengelu-elukan Paus. Momen yang selalu saya kenang karena selalu membuat merinding adalah kontras yang muncul saat beliau meminta doa dan  berkat dari semua yang ada di situ. Persis ketika beliau  membungkukkan badan saat didoakan, saat itulah keheningan tiba tiba menyapu riuh rendah teriakan peziarah. Semua diam berdoa.  Mereka yang tidak paham bahasa Italia pun ikut larut dalam keheningan itu. Momen hening dalam doa itu, sungguh-sungguh peristiwa yang menggetarkan dan menghangatkan hati. Saat itu saya sungguh terpukau melihat gestur ramah penuh senyum, sederhana, dan  rendah hati dari pimpinan Gereja Katolik. Gestur yang rupanya selalu  mewarnai dua belas tahun masa pontifikatnya.    ***  Saya bukan seorang ahli pengamat Paus; bukan pula pejabat eklesiastik yang sering bertemu dan berelasi dekat dengan beliau. Kenangan dan apresiasi saya bagi beliau berasal dari umat biasa dari  kejauhan, yang merasakan efek, dampak dari apa yang beliau  kerjakan selama ini. Sekiranya tidak berlebihan jika saya mengenang Paus Fransiskus sebagai manusia Paskah: Manusia yang mengalami, mengimani, menghidupi kuasa kebangkitan Kristus dan digerakkan oleh-Nya.  ***  Saudara/i terkasih,  Manusia paskah adalah manusia yang mengalami kerahiman Allah. Kidung Exultet yang kita dengarkan di liturgi malam Paskah  menyampaikan felix culpa, “O kesalahan yang menguntungkan, karena memberikan Penebus yang sedemikian rupa.” Di situlah  sejarah kedosaan di masa lalu dimaknai secara retrospektif dari sudut pandang keselamatan yang dibawa oleh Yesus yang bangkit. Rupanya, itu pula yang terjadi pada Paus kita. Barangkali kita pernah mendengar masa lalu yang tidak mudah, bahkan mengundang  kontroversi, dari Paus kita saat beliau menjadi provinsial Jesuit dan rektor skolastikat Jesuit di Argentina. Beliau mengalami situasi yang  tidak mudah. Saya ingat, setelah diumumkan menjadi Paus, beberapa teman serumah saya yang berasal dari Amerika Latin tidak percaya dan sedikit merasa takut bahwa Bergoglio terpilih menjadi Paus.    Namun, beliau tidak terpenjara oleh kegagalan, kesulitan, dosa manusia. Seperti yang dikatakannya pada homili di Gelora Bung Karno (GBK), September  yang lalu, “Non restare prigioneri dei nostri fallimenti…No, per favore. Non restiamo prigioneri dei nostri fallimenti.” (Janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita. Jangan, saya  mohon, janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita).    Masa lalu yang berat dengan segala kesalahan dan kegagalan yang  dilakukan dimaknai dari sudut pandang kerahiman, pengampunan dan keselamatan dari Yesus yang bangkit jaya.  Jumat Agung dipandang dari sudut pandang Minggu Paskah. Kebangkitan Kristus membebaskan dan memberi kita jaminan agar tidak terpenjara di dalam pengalaman Jumat Agung kita masing masing. Siapa di antara kita yang tidak memiliki drama kehidupan;  tidak memiliki pengalaman gagal dan dosa di masa lalu; tidak  memiliki pengalaman Jumat Agung? Tapi itu semua bukanlah kata  terakhir karena terdapat Minggu Paskah yang menyelamatkan. Saya  yakin, Paus Fransiskus mengalami hal itu dan saya merasa dia mengajak kita untuk memasuki pengalaman ini juga. Pertobatan dan  usaha memperbaiki diri dari sisi manusia bertemu dengan pengampunan dan kerahiman Allah yang berpuncak pada misteri  kebangkitan Kristus.    Mengalami kerahiman, pengampunan, dan pembebasan dari Allah; itulah  juga yang saya rasakan ketika beliau mengajak seluruh Gereja untuk memasuki tahun jubileum kerahiman ilahi pada 2016 yang lalu.  Memang sejak awal masa pontifikatnya, seperti saat itu, di Audiensi  General 17 Maret 2013, beliau mengatakan Tuhan tidak pernah lelah  mengampuni kita! Mungkin kita yang lelah memohon pengampunan dari Allah; tetapi Allah tidak pernah lelah mengampuni. Di Ekshortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injili) §44, Paus  Fransiskus mengingatkan para imam agar ruang pengakuan dosa bukan menjadi ruang interogasi, melainkan ruang untuk bertemu  dengan kerahiman Tuhan Sang Pengampun.      Bertemu dengan Kristus yang bangkit; yang maharahim dan  mengampuni; yang membebaskan kita dari pengalaman Jumat Agung  kehidupan kita, bukan berarti menjadi permisif, laksis terhadap dosa.  Kita memang perlu untuk terus bertobat dan memperbaiki diri. Bertemu dengan Kristus yang bangkit adalah sebuah pengalaman  rohani, pengalaman mistik ketika seseorang dalam  ketidakberdayaannya akibat dosa, kesalahan, kegagalan diangkat  kembali oleh daya kekuatan Ilahi yang memberinya kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bertemu dengan Kristus yang  bangkit dan karenanya menjadi manusia Paskah adalah sebuah pengalaman mistik bertemu dengan wajah Allah yang lembut  berbelas kasih dan memahami; bukan wajah Allah yang keras, kejam, menghakimi. Betapa dunia hari ini memerlukan pengalaman rohani mistik seperti ini! Menjadi saudara satu dengan yang lain yang saling  memahami dan mengasihi, bukan terlalu cepat menghakimi.   ***  Saudara/i terkasih,  Injil yang kita baca kemarin dan hari ini memberi kita inspirasi : kisah  perjalanan dua murid ke Emmaus. Kita melihat suasana batin dua murid yang berjalan itu. Muram. Peristiwa Jumat Agung masih sedemikian menggelayuti mereka. Jiwa mereka kosong karena Tuhan  yang mereka ikuti malahan mati dengan sedemikian tragis di kayu  salib. Mereka putus harapan, sedemikian hingga mereka pergi  menjauh dari Yerusalem tempat semua perkara itu terjadi. Mereka  masih sulit menerima dan memahami kesaksian dari para wanita  tentang Yesus yang telah bangkit.   Dari kisah yang lain, kita melihat pula kekosongan dan keputusasaan  yang sama dari para rasul. Kita ingat kisah dari Injil Yohanes 20, ketika Petrus dan beberapa rasul lain ingin kembali menjala ikan selepas peristiwa Jumat Agung (Yoh. 20). Mungkin mereka ingin  kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan, karena Yesus  yang mereka ikuti malahan mati mengenaskan.     Namun, tepat di jantung kekosongan dan keputusasaan seperti itu Tuhan hadir. Dia berjalan bersama dua murid itu ke Emmaus dan  membuat hati mereka berkobar-kobar. Dia menampakkan diri bagi 

Feature

Paus Fransiskus dan Pesan Perjuangan Keadilan

Sebuah tribute bagi Bapa Suci Paus Fransiskus Berpulangnya Bapa Suci Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio pada Senin, 21 April 2025 dalam usia ke-88, meninggalkan kenangan yang sangat personal dan mendalam. Kami, (Feliks Erasmus Arga dan A. A. Ferry Setiawan)  kembali mengenang salah satu momen audiensi privat bersama para Jesuit pada Rabu, 4 September 2024 ketika melakukan kunjungan apostoliknya di Indonesia. Kunjungannya mewariskan pesan yang sangat mengesan, mendalam, menyentuh, dan menggerakan. Salah satunya, tanggapan orisinil Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang disuarakan dalam kesempatan audiensi privat tersebut. Paus Fransiskus berkata, “Tugas kita adalah menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara (korban pelanggaran berat HAM). Ingatlah, inilah tugas kita: turut memperjuangkan keadilan, seperti para Ibu di Plaza de Mayo di Argentina yang berani menghadapi kekejaman kediktatoran demi kebenaran dan keadilan. Kita harus selalu memperjuangkan keadilan.”    Prakarsa dan Perutusan Pertemuan privat Paus Fransiskus dengan para Jesuit merupakan sebuah pola yang dilakukannya setiap kali melakukan kunjungan apostolik kenegaraan. Di mana ada komunitas Jesuit, Paus Fransiskus selalu meluangkan waktu untuk melakukan pertemuan privat kekeluargaan. Pertemuan dengan para Jesuit ini tentu sangatlah beralasan. Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit dan ia ingin menyapa saudara-saudara se-Serikatnya. Membaca situasi ini, prakarsa untuk menyuarakan Aksi Kamisan di dalam audiensi muncul. Tujuannya sebenarnya sederhana, yakni supaya Paus Fransiskus tahu bahwa di Indonesia ada sebuah gerakan yang terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Plaza de Mayo, Argentina. Paus Fransiskus sangat mengenal gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo karena ia pernah menjadi uskup Buenos Aires, Argentina.   Prakarsa tersebut tidak lepas dari ide Ibu Maria Katarina Sumarsih dan kawan-kawan Aksi Kamisan yang ingin menyampaikan surat kepada Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang terinspirasi dari Plaza de Mayo ini. Setelah Bu Sumarsih menghaturkan ide tersebut, kami berdua sepakat untuk mendiskusikannya dengan Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ. Bukan sebuah kebetulan, dalam peringatan 25 tahun Imamat beberapa Jesuit di Gereja Blok Q, kami bertemu Pater Provinsial dan saat acara ramah-tamah, kami langsung duduk bersama dan mendiskusikan prakarsa tersebut. Kami terkejut ketika tahu bahwa Bu Sumarsih telah mengontak Pater Beni dan berharap surat tersebut dapat diserahkan kepada Paus Fransiskus dalam audiensi. Kami merasa bersyukur karena ide ini sangat didukung oleh Pater Provinsial. Pertemuan singkat tersebut diakhiri dengan perutusan dari Pater Provinsial kepada kami berdua untuk menyerahkan surat yang telah ditulis Bu Sumarsih kepada Paus Fransiskus dalam audiensi privat nanti.   Menyuarakan Aksi Kamisan Pada Rabu, 4 September 2024 di Nunciatura atau Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, kami diminta memberi pengantar sebelum menyerahkan surat kepada Paus Fransiskus. Kami menceritakan bahwa kami hendak memberikan surat dari Bu Sumarsih, seorang ibu yang putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, menjadi korban ketidakadilan tragedi Semanggi I tahun 1998. Bu Sumarsih juga merupakan salah satu pemrakarsa Aksi Kamisan, sebuah aksi yang terinspirasi dari Gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo. Setelah mendengarkan apa yang kami suarakan, Paus Fransiskus menanggapinya dengan sederhana tetapi penuh makna.     Berikut ini kutipan Paus Fransiskus yang ditulis dalam transkrip pertemuan Paus Fransiskus dengan para Jesuit dan dipublikasikan oleh Pater Antonio Spadaro, S.J. dari Italia melalui majalah La Civilta Cattolica. Dalam bahasa Indonesia, tanggapan Paus Fransiskus diterjemahkan secara bebas demikian. “Apakah kalian tahu bahwa presiden gerakan Plaza de Mayo datang menemui saya? Saya merasa terharu dan sangat terbantu ketika berbicara dengannya. Dia memberi saya semangat untuk menyuarakan suara-suara dari mereka yang tidak bisa bersuara. Inilah tugas kita (sebagai seorang Jesuit): menyuarakan suara-suara mereka yang tidak bisa bersuara. Ingat: ini adalah tugas kita. Situasi di bawah kediktatoran Argentina sangat sulit, dan para perempuan ini, para ibu ini, berjuang untuk keadilan. Selalu berusahalah untuk memperjuangkan keadilan!” Setelah menyuarakan Aksi Kamisan dan Bu Sumarsih, Bapa Suci meminta kami berdua maju ke depan untuk menyerahkan surat tersebut. Di luar perkiraan kami, Paus Fransiskus langsung membuka surat tersebut di depan kami dan membacanya sekilas, “Ahh, Marta Taty Almeida. Beliau datang kepada saya sebelum ia meninggal.” Bapa Paus berkata demikian sembari menunjuk nama yang dicantumkan Bu Sumarsih dalam surat tersebut. Seketika, suasana Nunciatura riuh dengan tepuk-tangan dukungan sekitar 200 Jesuit yang hadir dalam audiensi tersebut. Penyerahan surat tersebut diakhiri dengan bersalaman dengan Paus Fransiskus.   Paus Fransiskus, Plaza de Mayo, dan Kamisan Pada akhir tahun 2022, Bapa Suci Paus Fransiskus menulis surat yang ditujukan kepada ibu-ibu Plaza de Mayo untuk memberi penghormatan kepada Hebe de Bonafini, salah satu pendiri Asociación Madres de Plaza de Mayo yang meninggal pada tanggal 20 November 2022. Dalam suratnya, Paus Fransiskus turut mendoakan para ibu Plaza de Mayo sebagai “Mothers of Memory” yang menjaga memori kolektif agar tragedi dan impunitas tidak menjadi warisan di masa depan. Media Vatikan juga memberitakan bahwa dalam surat tersebut, Paus Fransiskus mengekspresikan rasa duka yang mendalam atas meninggalnya pemimpin dan pendiri Plaza de Mayo, Hebe de Bonafini, dengan menuliskan, “Perjuangan dan keberaniannya di kala hening, selalu menghidupkan pencarian akan kebenaran dan merawat memori.”   Kenangan Paus Fransiskus atas Plaza de Mayo sekiranya teresonansi pada Aksi Kamisan. Dengan cita-cita yang serupa, Paus Fransiskus juga mendukung Aksi Kamisan yang diperjuangkan oleh Bu Sumarsih, ibu-ibu lainnya, serta mereka yang berkehendak baik untuk terus menerus merawat memori kolektif dan terus menyuarakan keadilan di tengah rezim yang sedang berjalan di negeri ini. Paus Fransiskus dengan gamblang berpesan untuk melanjutkan perjuangan ini. Kadangkala tak dipungkiri keputusasaan yang terjadi karena rasa-rasanya pemerintah tak pernah mendengarkan seruan-seruan moral serta tuntutan-tuntutan nyata dalam Aksi Kamisan. Akan tetapi, lagi-lagi, Paus Fransiskus melalui bulla “Spes non Confundit” terus mengingatkan kita akan harapan yang tidak pernah mengecewakan. Perjuangan Aksi Kamisan tidak pernah sia-sia, tetapi menjadi asa untuk terus merawat harapan yang bersumber pada cinta.     Paus Fransiskus, Keadilan, dan Kedamaian Paus Fransiskus adalah pribadi yang telah banyak ditempa hidup hingga akhirnya memiliki komitmen pada keadilan. Komitmennya terbentuk melalui jatuh-bangunnya sebagai  Provinsial (1973), Rektor Colegio de San Jose (1975-1985), Uskup Agung Buenos Aires (1998), Kardinal Argentina (2001), hingga bertugas menjadi Paus (2013-2025). Belarasanya pada ibu-ibu Plaza de Mayo (1976-1983) yang berlanjut dalam masa-masa pontifikalnya menunjukkan komitmennya yang semakin jelas pada keadilan. Dalam kunjungan di Indonesia, Paus Fransiskus turut menyapa para migran dan pengungsi serta anak-anak disabilitas. Di negara-negara lain yang Paus Fransiskus kunjungi, pilihan-pilihannya

Feature

Antara Keberanian, Kasih dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus (1936-2025), pemimpin Gereja Katolik Roma pertama dari Amerika Latin dan anggota Serikat Jesus pertama yang menjabat sebagai Paus, wafat pada usia 88 tahun pada Senin, 21 April 2025, di kediamannya di Domus Sanctae Marthae, Vatikan. Kabar duka ini diumumkan oleh Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo Kepausan, pada pukul 09.45 waktu setempat.   Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, Paus Fransiskus dikenal luas karena pendekatan pastoralnya yang penuh kasih, kesederhanaan hidup, dan komitmennya terhadap keadilan sosial. Sejak terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, ia membawa angin segar dalam kepemimpinan Gereja Katolik dengan menekankan pentingnya merangkul kaum miskin, memperjuangkan lingkungan hidup, dan mendorong dialog antaragama.   Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus secara konsisten menyuarakan keprihatinannya terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan krisis kemanusiaan akibat peperangan serta migrasi-paksa. Ia juga mencatatkan langkah penting dalam reformasi internal Gereja, khususnya dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penanganan lebih serius terhadap skandal pelecehan seksual yang menjerat banyak tokoh klerus.   Kesehatan Paus Fransiskus menurun dalam beberapa bulan terakhir akibat pneumonia ganda yang dideritanya. Namun, hingga saat-saat terakhir hidupnya, ia tetap menjalankan tugas-tugas kepausan dengan penuh dedikasi, termasuk penampilan publik terakhirnya saat Misa Minggu Paskah di Lapangan Santo Petrus, sehari sebelum wafatnya.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3–6 September 2024 menjadi tonggak sejarah penting dalam hubungan Vatikan dengan dunia Islam dan negara-negara selatan (Global South). Sebagai Paus pertama yang mengunjungi Indonesia sejak 1989, kehadiran beliau disambut antusias oleh masyarakat lintas iman dan budaya. Dalam pertemuan kenegaraan dengan Presiden Joko Widodo, Paus Fransiskus menekankan bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh hidup bagaimana pluralisme tidak hanya bisa ditoleransi, tetapi dirayakan dan dijadikan fondasi keadilan sosial.   Salah satu momen paling monumental adalah kunjungannya ke Masjid Istiqlal, tempat di mana bersama Imam Besar Nasaruddin Umar, ia turut menyatakan “Deklarasi Bersama Istiqlal” yang menyerukan kerja sama antaragama dalam menghadapi krisis global, mulai dari kemiskinan struktural hingga bencana ekologis. Pesan universalnya tentang kasih sayang dan keadilan ekologis kemudian digaungkan kembali dalam homili di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang dihadiri lebih dari 80.000 umat, di mana ia menyerukan agar Indonesia menjadi “bangsa pembawa harapan” bagi dunia.   Dalam konteks sosial-politik Indonesia, pesan-pesan Paus Fransiskus mengandung makna mendalam. Di tengah meningkatnya politik identitas, pembelahan sosial, dan tren otoritarianisme yang merongrong institusi demokrasi, ajakannya untuk mengedepankan welas asih, penghormatan pada martabat manusia, dan dialog yang tulus menjadi suara profetik yang sangat relevan. Dalam pernyataannya, Paus Fransiskus menekankan bahwa pembangunan harus tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan dan perlindungan atas kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan minoritas agama. Dalam pandangannya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai penyelenggara birokrasi, tetapi harus menjadi pelindung kemanusiaan.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia meninggalkan bukan hanya kesan, tapi warisan yang mendalam, bukan hanya dalam bentuk seremonial atau simbolik, tetapi dalam substansi etis dan moral yang dihadirkannya pada ruang publik nasional. Pesan-pesannya memperkuat komitmen terhadap dialog antaragama, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan, tiga pilar yang saat ini tengah diuji dalam dinamika politik dan pembangunan Indonesia. Di tengah meningkatnya politik dan politisasi identitas, erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara, serta memburuknya kualitas demokrasi deliberatif, kehadiran Paus Fransiskus menjadi pengingat akan pentingnya menempatkan martabat manusia, kesetaraan, dan kasih sebagai fondasi tata kelola yang beradab.   Lebih dari sekadar seruan moral, kunjungan Paus Fransiskus membawa implikasi langsung terhadap arah kebijakan publik. Dalam konteks pembangunan yang kerap meminggirkan suara komunitas adat dan marjinal, ia menggarisbawahi pentingnya model pembangunan yang partisipatif, adil, dan ekologis. Hal ini relevan dengan tantangan Indonesia hari-hari ini: bagaimana memastikan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) termasuk Ibu Kota Nusantara tidak mengulang pola eksklusi, bagaimana perlindungan sosial dan berbagai reformasi publik sungguh menyentuh yang terpinggirkan, dan bagaimana negara melindungi kebebasan beragama serta ruang sipil yang semakin menyempit. Warisan ajaran Paus Fransiskus bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi untuk seluruh warga bangsa: bahwa kepemimpinan sejati ditandai bukan oleh kuasa, melainkan oleh keberpihakan kepada yang lemah. Dan bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun jika keberagaman dirawat, bukan diperalat; jika suara yang kecil didengar, bukan dibungkam.   Sebagai penghormatan atas wafatnya Paus Fransiskus, lonceng-lonceng gereja berdentang di seluruh Roma, dan berbagai negara mengumumkan masa berkabung nasional. Di Italia, seluruh pertandingan sepak bola Serie A ditunda. Jenazah beliau disemayamkan di Basilika Santo Petrus dan akan dimakamkan dalam prosesi agung yang akan dihadiri para pemimpin agama dan negara dari seluruh dunia.   Paus Fransiskus meninggalkan dunia ini yang akan dikenang sebagai pemimpin rohani yang berani, penuh kasih, dan visioner. Seorang Paus yang menyatukan iman dengan tindakan nyata, yang meletakkan kasih sebagai hukum tertinggi, dan yang menjadikan keberpihakan kepada yang tertindas sebagai spiritualitas utama kepemimpinannya. Dunia kehilangan suara nurani yang langka. Namun warisan moral dan perjuangannya akan terus hidup -dalam doa, dalam tindakan, dan dalam semangat zaman yang ia wariskan.   Yogyakarta, 21 April 2025   Kontributor: Yanuar Nugroho

Kuria Roma

Selamat Jalan Paus Fransiskus

Saudara-saudara yang terkasih,   Serikat Jesus turut merasakan duka semua umat Allah di dalam Gereja dan dalam persatuan dengan semua orang yang berkehendak baik, atas meninggalnya Paus Fransiskus. Bela duka ini diungkapkan dengan penuh ketulusan dan dengan kekhusukan yang lahir dari harapan teguh akan kebangkitan, yang dengan kebangkitan-Nya ini, Yesus membukakan pintu bagi kita semua sehingga bisa turut serta secara penuh dalam hidup Allah.   Kita berduka atas meninggalnya seorang pelayan Gereja Universal yang telah mengemban karya perutusannya selama lebih dari 12 tahun. Jorge Mario Bergoglio, saudara terkasih dalam Serikat kita yang kecil dan dina ini telah pergi. Di dalam Serikat ini, kita menghidupi karisma rohani dan cara yang sama dengan Paus Fransiskus dalam mengikuti Yesus Kristus.   Kepergiannya tentu membuat kita sangat sedih, namun terbersit pula rasa syukur mendalam kepada Allah Bapa yang penuh belas kasih. Rasa syukur ini muncul secara spontan atas begitu banyak kebaikan yang kita terima melalui pelayanan hidup dan caranya menuntun Gereja selama masa kepausannya, yang tentu saja dalam persekutuan dan kesinambungan dengan para pendahulunya dalam upaya mempraktikkan semangat dan pedoman sesuai Konsili Ekumenis Vatikan II.   Paus Fransiskus terus memperhatikan apa yang terjadi di seluruh dunia demi menawarkan sebentuk harapan bagi semua orang. Ensikliknya yang luar biasa, Laudato Si’ dan Fratelli tutti, tidak hanya mengungkapkan analisis jernih atas kondisi umat manusia, tetapi, dalam terang Injili, keduanya juga menawarkan alternatif cara memajukan rekonsiliasi dengan semua ciptaan dan menyingkirkan penyebab begitu banyak ketidakadilan. Bagi Paus Fransiskus, saling berdialog satu sama lain, antara para politikus dengan rival mereka atau antara agama dan budaya, menjadi cara untuk terus memajukan perdamaian dan stabilitas sosial, menciptakan lingkungan yang saling memahami, peduli, dan solider. Dalam banyak kesempatan, kita mendengarkan ajakannya, refleksi pastoralnya, dan mengagumi pelayanannya yang tak kenal lelah, ketika ia menyampaikan inisiatif atau turut bergabung dengan inisiatif orang lain, selalu yakin akan kekuatan nilai dialog dan perjumpaan. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan momen luar biasa saat ia sendirian menyerukan doa ketika darurat pandemi corona pada bulan Maret 2020 di Lapangan Santo Petrus yang kosong? Atau kepeduliannya yang terus-menerus bagi perdamaian dalam menghadapi intoleransi dan peperangan yang mengancam koeksistensi internasional dan menimbulkan penderitaan luar biasa bagi mereka yang paling tidak berdaya. Juga empatinya atas gelombang pengungsi yang dipaksa pergi dari negara mereka di seluruh dunia, terutama mereka yang terpaksa mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi lautan Mediterania.   Pada malam hari 13 Maret 2013, dalam kata sambutannya saat terpilih paus dan menyapa umat beriman yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, kita telah menemukan dua dimensi utama pelayanannya, yaitu pentingnya berjalan beriringan antara Uskup dengan umat, menapaki jalan persaudaraan, cinta kasih, saling percaya, dan penuh pengharapan, serta pentingnya doa, terutama doa-doa melalui perantaraan para kudus.   Makna penting atas dikembangkannya Sinode para Uskup dan perhatian besar pada sinodalitas sebagai cakupan konstitutif menggereja secara jelas meneladankan dimensi “berjalan bersama” tersebut. Hal ini sama sekali tidak mengurangi keutamaan penggembalaan Petrus atau tanggung jawab episkopal para uskup melainkan sebaliknya, justru memungkinkan terwujudnya partisipasi aktif dari semua orang yang dibaptis atau umat Allah yang sedang berjalan, mengakui kehadiran dan tindakan Tuhan melalui Roh Kudus dalam hidup gerejawi.   Ajakan untuk berdoa, yang ia sampaikan pada malam itu kepada seluruh umat beriman, sangat membekas dalam ingatan kita. “Marilah kita berdoa bersama, Uskup dan umat. Marilah kita berdoa kepada Tuhan, semoga Ia pun berkenan memberkati saya.” Sepanjang masa kepausannya, ia mengakhiri homili-homilinya, termasuk Angelus hari Minggu, dengan ajakan yang sama, yaitu jangan lupa untuk mendoakannya. Ia tidak pernah lelah mengingatkan kita bahwa doa lahir dari kepercayaan kepada Tuhan dan dari keakraban kita dengan-Nya. Dalam doa, kita dapat menemukan rahasia kehidupan orang-orang kudus (bdk. Audiensi Umum 28 September 2022).   Ketika ia berbicara kepada kita, para konfrater Jesuit-nya, ia selalu menekankan pentingnya meluangkan waktu yang cukup, di sela kesibukan pelayanan kita, untuk berdoa dan memperhatikan pengalaman rohani. Kita hanya perlu mengingat kembali surat yang ia tulis kepada saya sebagai Pater Jenderal tertanggal 6 Februari 2019, dimana ia menyampaikan persetujuan dan penegasannya terhadap Preferensi Kerasulan Universal, yaitu bahwa Preferensi pertama (menunjukkan jalan menuju Allah melalui Latihan Rohani dan discernment) sangat penting karena mengandaikan syarat dasar hubungan seorang Jesuit dengan Tuhan, dalam hidup doa dan discerment baik secara pribadi maupun bersama. “Saya (Paus Fransiskus) menganjurkan agar dalam pelayanannya sebagai Superior Jenderal, Anda menekankan hal ini. Tanpa laku doa, preferensi lainnya tidak akan menghasilkan buah.” Dengan cara ini, ia menegaskan kembali nasihat yang ia sampaikan dalam pertemuannya dengan para peserta Kongregasi Jenderal 36 (24 Oktober 2016), saat secara tegas ia menekankan perlunya memohon penghiburan rohani secara terus-menerus, membiarkan diri digerakkan oleh Tuhan yang dipaku pada kayu salib, yaitu Ia yang menggerakkan kita untuk melayani banyak orang yang tersalib di dunia saat ini.   Pada kesempatan itu, ia menunjukkan sesuatu yang dapat kita anggap sebagai elemen penting identitas kita sebagai Jesuit. Seolah-olah menjawab pertanyaan implisit tentang siapakah Jesuit itu, Paus Fransiskus berbicara kepada KJ dan menegaskan bahwa seorang Jesuit adalah pelayan sukacita Injil dalam perutusan apapun yang ia emban. Dari sukacita ini mengalirlah ketaatan pada kehendak Tuhan, pengutusan kita untuk melayani misi Gereja dan kerasulan kita, serta kesediaan diri untuk melayani orang miskin. Sukacita inilah yang harus menjadi ciri utama cara kita melangkah sehingga menjadi gerejawi, berbudaya, miskin, fokus pada pelayanan, dan bebas dari semua ambisi duniawi.   Panggilan kepada sukacita yang datang dari Dia yang disalib lalu dibangkitkan, dan Injil-Nya, yang melaluinya warta sukacita ini dikabarkan, telah menjadi ciri khas yang menetap dalam masa kepausan Paus Fransiskus. Bukanlah suatu kebetulan bahwa banyak dari dokumen kepausannya, yang dimulai dengan nasihat apostolik Evangelii Gaudium yang menjadi dasar kepausannya, bahkan di dalam judul-judulnya terdapat rujukan pada sukacita yang mendalam yang bagi dia menjadi sesuatu yang tak tergantikan.   Justru atas dasar hubungan yang hidup dan memberi hidup dengan Tuhan itulah, yang didasarkan pada penghiburan dan sukacita, kita mampu melaksanakan penggembalaan. Tetapi di atas semua itu, kita akan mampu memberikan kesaksian hidup yang sepenuhnya diabdikan untuk melayani Gereja, Sang Mempelai Kristus, ragi Injili dunia, dalam pencarian tanpa henti demi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa. (Tanggapan Paus Fransiskus kepada Pater Adolfo Nicolás atas ucapan selamat ketika terpilih Paus

Kuria Roma

Marilah Bersama-sama Berjalan dalam Pengharapan

Pesan Prapaskah 2025 Paus Fransiskus Saudara dan saudari yang terkasih, Kita memulai masa Prapaskah dalam iman dan harapan dengan ritus penitensi pengurapan abu. Gereja, sebagai ibu dan guru, mengundang kita agar membuka hati kepada rahmat Allah sehingga kita dapat merayakan dengan penuh sukacita kemenangan Paskah Kristus Tuhan atas dosa dan maut, yang membuat Santo Paulus berseru, “Maut telah disingkirkan. Dimanakah kemenangan dan sengatmu, hai maut?” (1 Kor 15:54-55). Sesungguhnya, Yesus Kristus, yang disalibkan dan bangkit, adalah inti iman dan janji pengharapan akan janji agung Tuhan sebagaimana telah digenapi dalam diri Putra-Nya yang terkasih: hidup yang kekal (bdk. Yoh 10:28; 17:3).1    Pada masa Prapaskah ini, dalam rahmat Tahun Yubileum, saya ingin berefleksi tentang apa artinya berjalan bersama dalam pengharapan dan tentang panggilan pertobatan yang Allah sampaikan kepada kita, baik sebagai individu maupun komunitas.   Pertama adalah perjalanan. Semboyan Yubileum, “Peziarah Pengharapan,” menggambarkan perjalanan panjang bangsa Israel menuju Tanah Perjanjian seperti dikisahkan dalam Kitab Keluaran. Jalan yang sulit dari perbudakan menuju kebebasan ini dikehendaki dan dibimbing oleh Tuhan yang mengasihi umat-Nya dan tetap setia kepada mereka. Sulit memikirkan tentang eksodus dalam Alkitab tanpa memikirkan saudara-saudari kita yang pada zaman ini sedang melarikan diri dari situasi kesengsaraan dan kekerasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai. Panggilan pertama untuk bertobat datang dari kesadaran bahwa kita semua adalah peziarah dalam hidup ini; masing-masing dari kita diundang untuk sejenak berhenti dan bertanya bagaimana hidup kita mencerminkan kenyataan ini. Apakah kita benar-benar sedang dalam perjalanan ataukah sedang berdiam diri, tidak bergerak, baik karena ketakutan dan keputusasaan maupun keengganan keluar dari zona nyaman kita? Apakah kita mencari cara untuk meninggalkan kesempatan-kesempatan berbuat dosa dan situasi yang merendahkan martabat manusia? Ini akan menjadi laku Prapaskah yang baik untuk membandingkan kehidupan sehari-hari kita dengan kehidupan para migran atau orang asing, untuk belajar bagaimana bersimpati dengan pengalaman mereka sehingga dengan cara ini kita menemukan apa yang dikehendaki Tuhan sehingga kita dapat maju lebih baik dalam perjalanan ke rumah Bapa. Ini akan menjadi “ujian hati nurani” yang baik bagi kita para peziarah.   Kedua, berjalan bersama. Gereja dipanggil untuk berjalan bersama dan menjadi sinodal. 2 Umat kristiani dipanggil untuk berjalan bersama orang lain, bukan sendirian. Roh Kudus mendorong kita agar tidak mementingkan diri sendiri melainkan menyangkal diri dan terus berjalan bersama Allah dan semua saudara kita. 3 Berjalan bersama berarti mengkonsolidasikan kesatuan yang didasarkan pada martabat sebagai anak-anak Allah (bdk. Gal. 3:26-28). Ini berarti berjalan beriringan, tanpa mendorong atau menginjak orang lain, tanpa iri hati atau kemunafikan, tanpa membiarkan siapapun tertinggal atau tersisih. Marilah kita semua berjalan ke arah yang sama, menuju tujuan yang sama, saling memperhatikan satu sama lain dalam kasih dan kesabaran.   Pada masa Prapaskah ini, Tuhan meminta kita untuk memeriksa apakah dalam hidup, keluarga, dan tempat kerja, kita mampu berjalan bersama dengan orang lain, mendengarkan mereka, dan melawan godaan untuk menjadi egoistis. Marilah kita merenung di hadapan Tuhan, entah sebagai uskup, imam, biarawan/biarawati, ataupun awam yang melayani Kerajaan Allah, sudah bekerja sama dengan orang lain. Apakah kita sudah bisa menunjukkan keramahtamahan secara konkret kepada mereka yang dekat maupun jauh? Apakah kita membuat orang lain merasa menjadi bagian dari komunitas atau malahan kita menjaga jarak dengan mereka? 4 Oleh karenanya, inilah ajakan pertobatan kedua, yaitu panggilan untuk sinodalitas.   Ketiga, marilah kita berjalan bersama dalam pengharapan sebab kita telah diberi janji. Semoga pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm. 5:5), sebagai pesan utama Yubileum,5 menjadi fokus peziarahan Prapaskah kita menuju kemenangan Paskah. Seperti yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Spe Salvi, “Manusia membutuhkan cinta tanpa syarat.  Ia membutuhkan kepastian yang memampukannya berkata, ‘Baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, atau sesuatu yang lain dari segala yang ada, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita’ (Rm. 8:38-39).”6 Kristus, pengharapan kita, telah bangkit!7 Dia hidup dan meraja dalam kemuliaan. Kematian telah diubah menjadi kemenangan, dan iman serta pengharapan besar umat kristiani terletak pada hal ini, yaitu kebangkitan Kristus!   Maka, inilah panggilan ketiga untuk bertobat, yaitu panggilan untuk berharap dan percaya kepada Allah dan janji agung-Nya atas kehidupan kekal. Marilah kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita yakin bahwa Tuhan mengampuni dosa-dosa kita? Atau apakah kita bertindak seolah-olah dapat menyelamatkan diri sendiri? Apakah kita merindukan keselamatan dan meminta pertolongan Tuhan untuk mendapatkannya? Apakah secara konkret kita mengalami pengharapan yang memampukan kita menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah dan mengilhami komitmen dalam diri terhadap keadilan dan persaudaraan, untuk merawat rumah kita bersama sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun merasa dikecualikan?   Saudara-saudara yang terkasih, berkat kasih Allah di dalam Yesus Kristus, kita ditopang dalam pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm. 5:5). Pengharapan adalah “jangkar jiwa yang teguh dan pasti.”8 Pengharapan ini menggerakkan Gereja untuk mendaras doa agar “semua orang diselamatkan” (1 Tim 2:4) dan menantikan persatuannya dengan Kristus, sang mempelai laki-laki di dalam kemuliaan surga. Inilah doa Santa Teresa dari Avila, “Berharaplah, hai jiwaku, berharaplah. Engkau tidak tahu hari maupun saatnya. Berjaga-jagalah karena segala sesuatu berlalu dengan cepat meskipun ketidaksabaranmu telah membuat apa yang sudah pasti menjadi keraguan dan mengubah waktu yang sangat singkat menjadi waktu yang sangat panjang” (Seruan Jiwa kepada Tuhan, 15:3).9   Semoga Perawan Maria, Bunda Pengharapan, menjadi perantara bagi kita dan menemani kita dalam perjalanan Prapaskah kita.   Roma, pada pesta Santo Yohanes Lateran, 6 Februari 2025 dan peringatan Santo Paulus Miki dan para sahabat, martir.   Paus Fransiskus    1  Bdk. Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), 220 . 2 Bdk. Homili Misa Kanonisasi Giovanni Battista Scalabrini dan Artemide Zatti, 9 Oktober 2022. 3 sda. 4  sda. 5 Bdk. Bulla Spes Non Confundit , 1. 6 Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 26. 7 Bdk. Urutan Paskah (Easter Sequence/Victimae paschali laudes). 8 Bdk. Katekismus Gereja Katolik , 1820. 9 sda, 1821.   Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Message of His Holiness Pope Francis for Lent 2025” link https://www.vatican.va/content/francesco/en/messages/lent/documents/20250206-messaggio-quaresima2025.html Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 26 Februari

Feature

Bapa Suci bersyukur kepada Tuhan atas kunjungannya ke empat negara di Asia-Pasifik

Lawatan Paus Fransiskus menebarkan belas kasih dan persaudaraan di Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura   Paus Fransiskus, kini berusia 87 tahun, bersyukur kepada Tuhan karena telah mengizinkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan sebagai seorang paus yang sudah sepuh, sebagaimana yang ingin dilakukan seorang Jesuit muda pendahulunya, yaitu melakukan perjalanan ke Asia untuk mewartakan kabar gembira.   Seperti biasa, Paus memanfaatkan audiensi publik pertamanya dalam kunjungannya ke Asia Pasifik pada 2-13 September 2024 untuk membagikan hal-hal yang ia lakukan, ia lihat, dan semua hal yang paling menarik yang ia temui selama perjalanannya.   Berbicara kepada ribuan orang di Lapangan Santo Petrus pada 18 September, ia menamai perjalanannya sebagai “lawatan kerasulan” karena memang bukan perjalanan wisata melainkan perjalanan untuk mewartakan sabda Tuhan sehingga Dia dikenal sekaligus menjadi kesempatan bagi Paus untuk mengenal jiwa-jiwa. “Itu semua sangatlah indah,” katanya.     Paus mengunjungi Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Paus mengatakan bahwa beberapa orang “masih terlalu Eurosentris” ketika berpikir tentang Gereja Katolik. Namun kunjungannya menunjukkan kenyataan bahwa ternyata Gereja itu jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma atau Eropa, dan jauh lebih hidup di negara-negara itu.   Di Indonesia, negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, Paus mengatakan, “Saya menerima penegasan bahwa belas kasih adalah jalan yang dapat dan harus dilalui oleh umat Kristiani untuk memberikan kesaksian tentang Kristus sang juru selamat, dan pada saat yang sama untuk bertemu dengan tradisi-tradisi agama dan budaya yang sungguh luhur.”   “Seorang beriman Kristiani tetapi tanpa belas kasih tidaklah berharga. Iman, persaudaraan, belas kasih menjadi moto yang dipilih para uskup Indonesia untuk perjalanan ini, sebagaimana terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta,” kata Paus Fransiskus. “Mengunjungi terowongan dan Masjid, saya melihat bahwa persaudaraan adalah masa depan dan menjadi jawaban untuk melawan anti peradaban, kebencian, persekutuan jahat, dan perang.”   Di Papua Nugini, ia mengatakan kepada umat bahwa ia terkesan dengan pengabdian para misionaris, termasuk sekelompok imam dan biarawan-biarawati dari Argentina, dan para katekis sebagai pewarta Injil utama.   Di hadapan kaum muda negara itu, ia berkata, “Saya melihat masa depan yang baru, tanpa kekerasan rasial, tanpa ketergantungan, tanpa penjajahan ekonomi dan ideologi. Masa depan yang penuh dengan persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan alam yang menakjubkan.”     Paus Fransiskus mengatakan bahwa di Timor-Leste, sebagai sebuah negara yang masih berjuang dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, ia sangat terkesan dengan keanggunan para penduduknya, yaitu orang-orang yang telah mengalami banyak hal namun tetap mampu bersukacita, orang-orang yang bijaksana meski dalam penderitaan.   “Orang Timor Leste adalah orang-orang yang tidak hanya melahirkan banyak anak, ada lautan anak-anak, tetapi juga mengajarkan mereka untuk tersenyum. Di Timor-Leste saya melihat Gereja dengan jiwa muda: keluarga, anak-anak, OMK, banyak seminaris dan calon-calon religius. Saya tidak berlebihan dengan mengatakan bahwa saya menghirup ‘udara musim semi,” kata Paus.   Meskipun kemakmuran Singapura sangat kontras dengan tiga negara lainnya, katanya, minoritas Katolik di negara itu membentuk “Gereja yang hidup, terlibat dalam memupuk kerukunan dan persaudaraan di antara berbagai etnis, budaya, dan agama. Bahkan di Singapura yang makmur pun terdapat ‘orang-orang kecil’ yang mengikuti Injil, menjadi garam dan terang, menjadi saksi akan harapan yang lebih besar daripada yang dapat dijamin oleh keberhasilan ekonomi.   Paus Fransiskus memulai pertemuannya dengan memperkenalkan para pegawai Vatikan yang membacakan ringkasan pidatonya dalam bahasa Spanyol dan Polandia. Arturo López Ramírez dan Monika Nowak dijadwalkan akan menikah pada hari Sabtu, dan paus mengatakan, “Sungguh indah ketika cinta menuntun dua orang untuk memulai sebuah keluarga baru.”     Seperti biasanya, Paus mengakhiri audiensinya dengan berdoa untuk perdamaian di Israel, Palestina, Ukraina, Myanmar, dan banyak tempat lainnya di mana ada perang yang mengerikan.   Dengan memejamkan mata, ia berdoa, “Semoga Tuhan memberi kita semua hati yang mengusahakan perdamaian demi mengalahkan peperangan, di mana perang selalu merupakan kekalahan.”   Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “‘Old Pope’ thanks God for four-nation trip to Asia-Pasific” https://www.ucanews.com/news/old-pope-thanks-god-for-four-nation-trip-to-asia-pacific/106452 Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.

Feature

Pantang Mundur, Arif Tanpa Kenal Takut

Pertemuan Paus Fransiskus dengan Jesuit Indonesia Rabu pagi (4/9) sekitar pukul 11.30 WIB setelah menemui Presiden Indonesia, para pejabat pemerintah, dan korps diplomatik, Paus Fransiskus kembali ke Wisma Kedutaan Vatikan untuk menemui sekitar 200 Jesuit Provinsi Indonesia yang telah menunggunya. Mereka ini, sekitar 2/3 dari keseluruhan Jesuit di Indonesia, hadir bersama Provinsial Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. Paus Fransiskus hadir di ruang pertemuan berbentuk “T” dengan penuh senyum sambil menyapa mereka. Komentar pertamanya adalah, “Ada banyak orang muda di sini!” Demikianlah, karena 1/3 dari yang hadir adalah para Jesuit muda yang sedang menjalani formasi filsafat, teologi (magisterium), dan regensi atau orientasi kerasulan yang dilaksanakan setelah lulus filsafat sebelum masuk teologi. Karena waktu terbatas, Paus Fransiskus segera mempersilakan mereka untuk mengajukan pertanyaan.   “Yang ingin bertanya, silakan tunjuk jari!”   Dialog berlangsung dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Italia.   Paus Fransiskus, terima kasih berkenan datang ke Indonesia dan menemui kami. Saya skolastik teologan. Pertanyaan saya, bagaimana kita menangani masalah-masalah yang sangat mendesak dalam Gereja saat ini, khususnya dalam membantu mereka yang paling terpinggirkan dan tersingkir? Saya ingin para Jesuit bersuara. Bacalah Kisah Para Rasul untuk melihat apa yang mereka lakukan pada awal Kristianitas! Roh Kudus menuntun kepada “keriuhan” bukannya membiarkan segala sesuatu diam. Singkatnya, ini adalah cara untuk menghadapi isu-isu penting. Ingatlah bahwa para Jesuit harus berada di tempat-tempat yang paling sulit. Ini adalah cara kita untuk “melangkah lebih jauh” demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Untuk membuat suara yang baik yang dibimbing oleh Roh Kudus, kita harus banyak berdoa. Saya selalu teringat apa yang dikatakan Pater Arrupe, yaitu agar para Jesuit jangan meninggalkan doa. Pater Arrupe ingin agar Jesuit melayani karya bagi para pengungsi, sebuah kerasulan sulit di tapal batas. Hal pertama dan terutama yang ia minta adalah berdoa dan berdoa. Pidato terakhirnya yang ia sampaikan di Bangkok menjadi wasiat bagi semua Jesuit. Hanya dalam doa kita menemukan kekuatan dan inspirasi untuk menghadapi ketidakadilan sosial. Lihatlah juga kisah hidup Fransiskus Xaverius, Matteo Ricci dan banyak Jesuit lainnya. Mereka mampu bergerak maju karena semangat doa mereka.   Terkait dialog lintas agama dan pentingnya kerukunan antaragama, para Jesuit yang tinggal di Pakistan hidup bersama orang-orang yang menjadi korban penganiayaan. Apa saran Bapa Suci? Saya merasa bahwa jalan orang Kristiani selalu merupakan jalan “kemartiran,” yaitu bersaksi. Kita harus bersaksi dengan bijak dan penuh keberanian. Dua elemen yang berjalan beriringan dan tergantung pada masing-masing orang untuk menemukan jalannya sendiri. Berbicara tentang Pakistan, saya teringat sosok Asia Bibi yang dipenjara selama hampir 10 tahun. Saya bertemu dengan putrinya, yang secara diam-diam membawakannya komuni. Ia menunjukkan kesaksian penuh keberanian selama bertahun-tahun. Maju terus dengan bijaksana dan penuh keberanian! Kebijaksanaan selalu memberikan nyali untuk mengambil risiko. Sebaliknya, jiwa penakut itu bernyali ciut.   Bagaimana Bapa Suci berdoa di tengah kesibukan? Saya sangat perlu berdoa dan benar-benar membutuhkannya! Di usia tua ini, saya bisa tidur nyenyak dan selalu bangun pagi-pagi, sekitar sekitar pukul 04.00, lalu mulai berdoa sejam kemudian. Saya mendoakan brevir dan memanjatkan doa pribadi kepada Tuhan. Jika doa terasa “membosankan,” maka saya berdoa rosario. Kemudian saya pergi ke Istana Kepausan untuk audiensi. Setelah itu saya makan siang dan beristirahat sejenak. Kadang-kadang di hadapan Tuhan saya berdoa hening. Saya berdoa dan tentu saja merayakan Ekaristi. Di malam hari, saya melakukan lebih banyak doa. Dalam berdoa, bacaan rohani juga menjadi sangat penting; kita harus menumbuhkan kerohanian kita dengan bacaan yang baik. Saya berdoa seperti ini, secara sederhana. Sederhana saja dan malah terkadang saya tertidur dalam doa. Tidak masalah karena bagi saya itu menjadi tanda bahwa saya baik-baik saja dengan Tuhan! Saya beristirahat dengan berdoa. Jangan pernah meninggalkan doa!   Bapa Suci, saya seorang formator. Apa saran Bapa Suci agar para formator dapat membentuk para formandi sehingga terbangun interkulturalitas dan rasa saling menghormati latar belakang multikultural dalam sebuah komunitas internasional? Saya punya cerita “lelucon” yang dilakukan oleh Roh Kudus. Tahu apa yang Dia lakukan? Seperti saya katakan sebelumnya, setelah kebangkitan Kristus, hal pertama yang Roh Kudus lakukan adalah membuat “kekacauan.” Saya ulangi lagi, bacalah Kisah Para Rasul dengan saksama. Roh Kudus “menciptakan,” dan dengan cara ini Ia menyertai kita sepanjang hidup. Apa yang diceritakan oleh Kisah Para Rasul kepada kita? Yaitu bahwa di Yerusalem terdapat orang-orang dari segala bangsa: ada orang Partia, Media, dan Elam. Mereka semua berbeda satu sama lain dan berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Inilah anugerah Roh Kudus, yaitu mereka “bersuara riuh,” berbicara dalam bahasa mereka sendiri tetapi semua saling memahami satu sama lain. Hal ini sesuai dengan para Jesuit, yakni menjadi alat Roh Kudus yang berarti membuat keriuhan ini.   Inilah inkulturasi. Jesuit harus memiliki kemampuan untuk berinkulturasi seperti telah dilakukan oleh banyak misionaris di berbagai benua. Ini berarti bahwa seorang Jesuit berkhotbah dalam bahasa dan bentuk yang pas sesuai tempat dan waktunya. Dua pilarnya adalah inkulturasi Injil dan penginjilan kultural. Inilah mengapa Jesuit itu berbeda satu sama lain, dan itu baik. Tidak ada model tunggal. Panggilan kita adalah membiarkan Tuhan memampukan kita mewartakan Injil dengan segala kekayaan yang telah diberikan-Nya kepada kita.   Hal ini juga berlaku untuk kondisi personal, temperamen dan karakter, misalnya, usia. Orang muda tidak dapat membuat dirinya menjadi tua, dan orang tua tidak dapat membuat dirinya menjadi muda sebab jika itu terjadi maka itu konyol. Setiap orang dipanggil untuk mewartakan Injil sesuai dengan usia, pengalaman, dan budayanya masing-masing. Saya garis bawahi inilah mengapa kebijaksanaan itu begitu penting. Seseorang harus mampu ber-discernment untuk melakukan inkulturasi: mencari dan menemukan Allah di mana Ia telah berada dan telah hadir dalam budaya-budaya. Latihan discernment adalah sesuatu yang dinamis. Hal ini membantu kita untuk tidak bersembunyi di balik ungkapan “selalu dilakukan dengan cara ini,” dan terus berjalan seperti yang biasa dilakukan. Ini tidak baik. Kita perlu melakukan discernment setiap saat. Discernment menuntun kita untuk terus maju.   Penting juga berdiskresi bersama dan berdialog dengan pembesar kita. Jika engkau menerima perutusan yang membosankan atau yang menurut kita bukan perutusan yang benar-benar cocok, lakukanlah eksamen. Diskresi yang baik tidak selalu dapat dilakukan sendirian. Dibutuhkan kebersamaan. Saya mengatakan ini kepada mereka yang masih dalam masa formasi dan mereka yang telah selesai menjalani semua

Feature

Audiensi Fraternal Paus Fransiskus dengan para Jesuit Indonesia

Paus Fransiskus mengadakan pertemuan persaudaraan dengan para Jesuit Indonesia pada hari kedua kunjungannya ke Indonesia, tepatnya pada Rabu siang, 4 September 2024, di Wisma Kedutaan Vatikan, Jakarta setelah ia menemui pihak berwenang, pemerintah, dan korps diplomatik Indonesia di Istana Kepresidenan. Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan fraternal di kedutaan adalah Pater Julius Kardinal Riyadi Darmaatmadja, S.J., Uskup Agung Emeritus Jakarta (1996-2010) yang kini berusia 89 tahun. Seperti yang biasa dilakukannya, Paus berbicara dengan para Jesuit secara pribadi selama sekitar satu jam dan menjawab beberapa pertanyaan.   Kunjungan persaudaraan di antara para konfrater  Menurut Pater Antonio Spadaro, S.J., Wakil Sekretaris Dikasteri Bidang Kebudayaan dan Pendidikan, pertemuan berlangsung hangat dan akrab. “Paus Fransiskus selalu sangat santai,” kata Pater Spadaro kepada Vatikan News. “Dia merasa seperti di rumah sendiri sehingga dapat memberikan masukan awal tentang kunjungannya ini.” Paus merasa sangat terkejut sekaligus gembira karena ada begitu banyak orang muda di Jesuit Provinsi Indonesia.   “Ini mungkin yang paling mengejutkan Paus. Ada banyak Jesuit muda dalam formasi di Indonesia,” kata Pater Spadaro. Dia mengatakan bahwa Paus berbicara tentang Serikat Jesus dan pentingnya discernment dan doa.   “Jesuit termuda bertanya kepada Paus di manakah ia menemukan waktu untuk berdoa. Paus menjawabnya dengan diselingi beberapa anekdot,” jelas Pater Spadaro seraya menambahkan topik yang dibahas terkait isu-isu penting lainnya di Indonesia, seperti dialog antaragama dan inkulturasi. Dua ini hal yang sangat ditekankan oleh Paus Fransiskus.     “Paus Fransiskus mencintai Gereja-Gereja nol koma (0….%). Di Indonesia, jumlah umat Katolik hanya 3%. Jumlah yang sangat kecil dari keseluruhan populasi, 8 juta orang, Namun jumlah cukup berperan signifikan di negara ini. Tujuan umat Kristiani adalah untuk berkontribusi pada pertumbuhan negara, menjadi seperti ragi yang dicampurkan ke dalam adonan, dan ini benar-benar penting bagi Paus. Pesan bagi umat Kristiani adalah untuk berkolaborasi sepenuhnya demi kebaikan bersama. Bagi Bapa Suci, yang terpenting adalah vitalitas dan kapasitas generatif,” jelas Pater Spadaro.   Setelah dari Indonesia, Paus dijadwalkan mengadakan dua pertemuan lagi dengan para konfraternya, yaitu di Timor Leste dan Singapura. “Paus Fransiskus melihat sebuah potensi di negeri ini, yaitu potensi harmoni dalam konteks yang majemuk,” katanya. “Bahkan presiden hari ini berbicara tentang harmoni dan pluralisme. Saya percaya di sini ada harapan untuk masa depan di tengah berbagai ancaman keterpecahbelahan. Jadi Paus sangat terbuka terhadap realitas dan pencarian akan masa depan.” Transkrip lengkap pertemuan Bapa Suci dengan para Jesuit biasanya diterbitkan di La Civiltà Cattolica beberapa minggu setelah ia kembali ke Roma.   Ditulis oleh Salvatore Cernuzio dan Devin Watkins – Vatican News Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Pope Francis holds ‘brotherly encounter’ with Jesuits in Indonesia – Vatican News’ https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2024-09/pope-francis-indonesia-society-jesus-encounter.html Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.