Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuit Refugee Service

Kuria Roma

Jesuit Melayani Lebih dari 100.000 Pengungsi Ukraina Sejak Perang Meletus

Melalui program One Proposal, Jesuit berusaha memberikan bantuan emergensi, tempat tinggal, psikososial, pendidikan, dan integrasi secara berkelanjutan bagi mereka yang mengungsi dari Ukraina akibat terjadinya perang dan kekerasan. Sejak perang meletus di Ukraina, organisasi-organisasi Jesuit telah melayani dan mendampingi 100.765 orang yang mengungsi karena kekerasan. Dikoordinasikan oleh JRS Eropa dan Jaringan Xaverius, bekerja sama dengan LSM dan mitra lokal, Serikat telah memberikan bantuan darurat, tempat tinggal, dukungan psikososial, pendidikan, integrasi, dan lainnya. Alberto Ares Mateos, S.J., Direktur Regional JRS Eropa, mengatakan, “Sejak hari pertama, kami telah menemani para pengungsi yang melarikan diri karena peperangan dengan respons holistik yang terkoordinasi di Ukraina, negara-negara tetangga, dan di seluruh Eropa. Meskipun mungkin tidak lagi muncul di halaman utama media massa, krisis ini masih terus berlangsung dan kami tetap berkomitmen memberikan dukungan jangka panjang bagi para pengungsi.” “Hati kami dipenuhi dengan harapan dari banyaknya kesaksian para pengungsi dan komunitas tuan rumah yang telah menunjukkan solidaritas dan penerimaan. Kita terus menyaksikan bahwa dalam konteks yang penuh dengan rasa sakit, tertekan dan penuh kesedihan, harapan masih tetap hidup. Kami sangat berterima kasih atas solidaritas yang tiada henti dari banyak orang, kemurahhatian banyak yayasan dan organisasi yang dipercayakan kepada karya Serikat Jesus.” Seiring dengan berlanjutnya keadaan darurat, kebutuhan para pengungsi telah berevolusi, dan responsnya pun menyesuaikan. Jika pada tahun pertama lebih dari separuh kegiatan bantuan ditujukan untuk bantuan jangka pendek dan darurat, maka pada tahun 2023, angka tersebut turun menjadi 17%. Sementara itu, kegiatan jangka menengah, seperti perumahan dan pendidikan, meningkat lebih dari dua kali lipat dari 20% menjadi 52%. Namun, peningkatan terbesar terjadi pada pendampingan jangka panjang, yang pada tahun 2022 kurang dari 10% menjadi tiga kali lipatnya, yaitu 31% di tahun 2023. One Proposal, yang dipresentasikan pada bulan Juli 2022, setelah assessment mendalam atas kebutuhan, mencakup berbagai layanan yang akan diberikan kepada 73.168 orang yang pada awalnya diproyeksikan selama tiga tahun. Sejak saat itu, rencana ini terus direvisi dan diperluas dengan penilaian kebutuhan tahunan. Program ini menjawab kebutuhan para pengungsi Ukraina yang mengungsi secara paksa di seluruh Eropa, mulai dari respons kemanusiaan dan bantuan darurat di Ukraina dan negara-negara tetangganya, hingga program jangka panjang untuk memajukan dan menyatukan para pengungsi. Oleh karena itu, program ini akan bermanfaat bagi para pengungsi internal, pengungsi berkewarganegaraan Ukraina, dan pengungsi berkewarganegaraan lain yang mengungsi akibat konflik di Ukraina. Unduh lembar fakta untuk mempelajari lebih lanjut tentang One Proposal, respon terkoordinasi dari Serikat. Untuk membaca laporan lengkap dan banyak kisah dari mereka yang kita layani, situs jrseurope.org/en/project/the-one-proposal/ dapat diakses dengan mudah. Situs tersebut juga menyediakan informasi lebih lanjut mengenai cara berdonasi atau berpartisipasi untuk membantu para pengungsi. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Jesuits Served More Than 100.000 Ukrainian Refugees Since The war Started” dalam https://www.jesuits.global/2024/02/23/jesuits-served-more-than-100-000-ukrainian-refugees-since-the-war-started/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 26 Februari 2024.

Pelayanan Masyarakat

Kenangan dan Pembelajaran sebagai Kekayaan Rohaniku

Februari ini, usia saya 58,5 tahun, usia pra-manula. Sudah sewajarnya berhenti bekerja di institusi formal. Saya akan banyak di rumah. Tak ada lagi pertanyaan dari tetangga atau teman saat berjumpa di kompleks perumahan, “Sekarang tugas di mana, Pak?” Tentu saya sangat berterima kasih kepada JRS Indonesia yang telah memberi saya kesempatan untuk bergabung, sejak pasca Tsunami, Displacement Prevention Program, Need Assessment untuk Returnee Papua, Be Friend with Refugee sampai Journey with de Facto Refugee di Bogor dalam rentang waktu sekitar 16 tahun. Apa Rencana setelah Purna Kerja? Memasuki masa purna kerja, tentu saya akan memasuki ritme baru dalam aktivitas hidup keseharian, dari yang semula bekerja dengan rule of game yang jelas dan tertib, masuk jam 8 dan pulang jam 5 sore, mulai Senin sampai Jumat, dan tinggal di perantauan, kemudian saya akan tinggal di rumah dengan kegiatan yang diatur dan disusun sendiri, tanpa rutinitas berangkat dan pulang. Bangun pagi itu pasti, namun setelah terjaga dan mulai beraktivitas, apalagi yang mesti dikerjakan, nyuci, masak, bersihin rumah atau pekerjaan domestik lainnya, lalu mau ngapain lagi ya? Tentu ritme hidup dengan aktivitas di seputaran rumah BTN yang kecil dan tak ada lahan pekarangan akan sangat membosankan. Belum ada gambaran aktivitas yang bersifat olah pikir atau intelektual, atau kerja meja, mungkin saya sudah nggak mampu. Saya berharap, masih bisa bekerja, meski bekerja kasar, turun ke sawah misalnya, jadi petani penggarap. Alat saya adalah cangkul dan sabit, dan tubuh saya siap dibakar matahari yang terik. Kebernilaian manusia adalah bekerja, meski hanya untuk diri sendiri, dan mungkin tampak tak berguna bagi orang lain, yang penting adalah niat, sehat, dan semangat untuk tetap beraktivitas. Dengan tetap beraktivitas, badan dan pikiran tidak statis sehingga menjadikan badan dan pikiran tetap seiring dan sejalan. Jika banyak bengong tanpa aktivitas, bisa jadi badan duduk atau rebah di mana, pikiran lari ke mana, terlalu banyak melamun adalah awal ketidakberdayaan. Pekerjaan dan Hidup Saya Sepanjang hidup, sudah banyak pekerjaan yang saya jalani. Mulai dari reporter saat koran lagi booming pada akhir tahun 1980an. Usia 25 tahun, saya bergabung dengan koran baru anak usaha Kompas-Gramedia Group di Jawa Timur. Itulah awal saya masuk dunia kerja formal. Lalu pada tahun 1993 selesai kuliah, saya bergabung dengan LSM yang masih ada kaitan dengan dunia pers dan pelatihan reporter di Yogyakarta. Pernah juga jadi kuli pabrik di Korea Selatan akhir dekade 1990-an (semata-mata ingin cari uang setelah krismon). Lalu saya kembali gabung LSM yang berfokus pada penelitian dan bermitra dengan LIN (Lembaga Informasi Nasional) untuk penelitian tentang potensi integrasi dan potensi konflik di beberapa daerah. Saya pernah ke perbatasan Aceh, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumut pada tahun 2002, ke Tapanuli Utara (Tarutung) pada 2003, dan ke Aceh Utara dan Kabupaten Jayapura, Papua pada tahun 2004. Barulah pasca Tsunami, 2005, tepatnya bulan Juli saya bergabung dengan JRS di Aceh. Saya berangkat ke Medan pada 09 Juli 2005 dan selanjutnya ke Meulaboh pada 12 Juli. Saat itu Aceh masih konflik. Setelah Respons Tsunami Aceh selesai 2007, JRS merambah ke wilayah Aceh Selatan untuk Program Displacement Prevention, dengan proyek andalan Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) setelah UU Penanggulangan Bencana disahkan tahun 2007 ((UU NO 24/Tahun 2007). Saya bergabung sejak need assessment sampai jadi IAO untuk untuk Proyek Komunitas. Pertengahan 2011, saya berhenti dan pulang ke Yogyakarta. Saya sempat berkuliah Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma selama 3 semester. Lalu pada awal 2013, saya bergabung lagi dengan JRS selama enam bulan untuk melakukan need assessment kepada para returnee yang berada di kabupaten perbatasan Provinsi Papua dan Papua Nugini (New Guinea). Saya sempat ke Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura, juga ke Kabupaten Merauke. Saya menemani Bung Doni (Donatus Akur) yang sebelumnya juga sebagai koordinator di Proyek Komunitas Program Displacement Prevention di Aceh Selatan. Bulan Oktober dan November, saya ditugasi lagi oleh JRS untuk kembali ke Aceh Selatan untuk penjajagan evaluasi proyek Displacement Prevention setelah ditutup dua tahun. Dua kali saya ke Aceh Selatan, pertama dengan Mbak Elis untuk penjajagan evaluasi eksternal dan yang kedua dengan Bung Enggal (mantan IAO Proyek Aceh Selatan) untuk menemani para evaluator eksternal. Kembali ke JRS Saya mulai aktif bergabung kembali sebagai staf JRS sejak 2014 untuk proyek Be Friend with Refugees, untuk para pencari suaka yang ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya, tepatnya di Bangil, Kabupaten Pasuruan. Saya bertugas sebagai Information and Advocacy Officer (IAO) dan juga caregivers untuk para refugee yang ditahan di Rudenim dengan memberikan kegiatan psikososial. Di Rudenim ada tiga lembaga yang bertanggung jawab, yaitu Imigrasi, IOM, dan UNHCR. JRS ikut memberikan pelayanan psikososial untuk para pencari suaka. Pernah suatu waktu, seorang pencari suaka mengatakan bahwa UNHCR ibarat ayah karena melindungi pencari suaka, IOM ibarat Ibu karena memberi makan dan fasilitas lainnya, dan JRS hanyalah teman. Tapi pencari suaka paling dekat dengan teman, karena JRS lah yang mau mendengar dan memenuhi yang pencari suaka minta, seperti kegiatan psikososial antara lain turnamen futsal, turnamen bola voli, berenang, berkebun dan juga piknik ke taman Safari di Pandaan Pasuruan. Tiga tahun saya mendampingi pengungsi di Rudenim Surabaya. Setelah itu, awal 2017 saya ditugasi untuk mencoba program yang sama di Rudenim Pontianak, Kalimantan Barat namun tidak dapat terlaksana. Kemudian Program Psikososial untuk deteni di Rudenim dipindahkan ke Rudenim Medan, Sumatera Utara. Di Rudenim Medan, saya jalankan kegiatan psikososial sampai akhir 2018. Pada tahun ini, ada kebijakan Rudenim tidak lagi menahan para pencari suaka sejak Maret 2018 dan pelan-pelan semua pencari suaka yang sudah ditahan dikeluarkan kemudian dipindah ke Community Housing. Praktis Rudenim kosong sampai akhir 2018. Kemudian pada 2019 saya ditugaskan ke PSS (Psychosocial Support) selama tiga tahun, dan pada 2022 ditugaskan sebagai IAO pada proyek Journey with de facto Refugees. Praktis total saya bergabung dengan JRS hampir 16 tahun, hampir setengah dari masa kerja saya. Tentu banyak kenangan dan dinamika yang dirasakan selama kurun waktu tersebut. Selain mengenal teman-teman sekerja dari berbagai latar belakang, saya juga mengenal beberapa Pater dari Serikat Jesus, mulai dari Pater Edy Mulyono, S.J.; Pater Adrianus Suyadi, S.J.; Pater Thomas Aquinas Maswan Susinto, S.J.; Pater Peter Benedicto Devantara SJ, dan direktur baru JRS Pater Martinus Dam Febrianto, S.J. Saya

Kuria Roma

Paus Fransiskus dan 10 Tahun Perjalanannya bersama Para Pengungsi (Bag. 1)

“Saudara-saudara yang terkasih, masing-masing dari anda mempunyai kisah hidup yang bertutur tentang tragedi perang dan konflik yang amat sering terkait dengan politik internasional. Namun, di atas segalanya, masing-masing dari anda memiliki kekayaan kemanusiaan dan makna religius daripada rasa takut. Kedua hal itu merupakan harta karun yang perlu disyukuri. Banyak dari anda adalah kaum Muslim atau orang-orang beragama lain. Anda berasal dari komunitas yang beragam dan dari situasi yang berbeda-beda. Kita tidak harus takut pada perbedaan. Persaudaraan membuat kita mampu menemukan bahwa perbedaan adalah kekayaan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Marilah kita hidup dalam persaudaraan!”1 Kata-kata ini dipakai Paus Fransiskus untuk menyapa para pengungsi di dapur umum tempat pembagian makan bernama Centro Astalli pada tahun 2013. Centro Astalli adalah salah satu tempat yang dikelola oleh Jesuit Refugee Service di Italia dan merupakan salah satu proyek pertama yang didirikan oleh P Pedro Arrupe, S.J. pada awal tahun 1980-an. Pada acara itu, Carol, seorang pengungsi perempuan dari Syria yang baru saja tiba di Italia menjelaskan, “Orang-orang Syria di Eropa ingin bertanggung jawab akan hidupnya sehingga tidak menjadi beban. Kami ingin aktif terlibat dalam masyarakat. Kami ingin menawarkan bantuan, keahlian dan pengetahuan yang kami bawa, termasuk budaya kami dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan ramah terhadap orang-orang yang lari menghindari perang dan penganiayaan seperti kami. Kami orang-orang dewasa masih bisa menanggung penderitaan, jika penderitaan ini membantu menjamin masa depan yang damai bagi anak-anak kami. Kami mohon agar mereka dapat pergi ke sekolah dan bertumbuh dalam lingkungan yang damai.” Sepanjang masa kepemimpinannya sebagai Paus, Fransiskus menunjukkan teladan dan berbicara tentang Allah yang penuh keadilan dan belas kasih. Dia menjadikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para migran dan pengungsi di seluruh dunia sebagai kunci utama bukan menjadi sekadar kata-kata tetapi mewujud dalam tindakannya. Contoh terbaru ialah kunjungannya ke Sudan dan Republik Demokratik Kongo pada bulan Februari 2023, di mana ia bertemu para pemimpin komunitas dan pengungsi. Pesan yang disampaikannya pada Hari Perdamaian Sedunia 2018 ialah “Migran dan pengungsi: laki-laki dan perempuan yang mencari kedamaian.” Dengan gayanya yang khas dan tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya “Mengapa banyak sekali pengungsi dan migran?” Bahkan beberapa tahun sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II telah menunjukkan ‘rentetan tanpa akhir dan mengerikan dari perang, konflik, pembunuhan massal, dan pembersihan etnis’.”2 Paus Fransiskus juga mengenali bahwa manusia memiliki keinginan alamiah untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan melihat bahwa kerusakan alam dan lingkungan juga menjadi faktor penyebab migrasi. Tekanan pada keadilan sosial ini sangat dalam terpusat pada Kristus. Fransiskus sama sekali tidak mengabaikan karya teologis dari para pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dan Benedictus XVI, yang memberikan sumbangan penting dan berkelanjutan teologi Katolik selama masa kepemimpinannya, khususnya ajaran sosial. Bahkan, mereka memberi dasar teologis yang menjadi tempat Paus Fransiskus terus membangun ajaran sosial Katolik. Contohnya, Pesan Paus Fransiskus pada Hari Perdamaian Dunia 2018, sebagaimana disebutkan di atas, terinspirasi dari kata-kata Santo Yohanes Paulus II: “Jika ‘mimpi’ akan dunia yang damai dimiliki oleh semua orang, jika sumbangan pengungsi dan migran dievaluasi secara tepat, maka kemanusiaan bisa menjadi sebuah keluarga yang makin universal dan bumi kita menjadi ‘rumah milik bersama’ yang sesungguhnya’.”3 Yang menyedihkan ialah beberapa tahun belakangan ini karena meningkatnya konflik dan faktor-faktor kerusakan berat lainnya seperti perubahan iklim sehingga banyak bangsa dan negara disibukkan dengan urusan orang-orang yang masuk ke wilayah mereka untuk mencari kedamaian dan rasa aman. Kadang-kadang, keinginan untuk mempertahankan diri yang tidak pada tempatnya berakibat pada obsesi untuk menghalangi para migran melewati perbatasan negara. Sikap ini menutup hati dan budi atas realitas harapan, ketakutan dan aspirasi dari sebagian kelompok masyarakat dunia yang sangat membutuhkan. Paus Fransiskus mengusulkan agar kita yang hidup dalam rasa nyaman dan rasa aman untuk mendengarkan kisah mereka dan menghargai gambaran utuh perjalanan mereka. Paus Fransiskus, sepanjang masa kepemimpinannya, secara konsisten telah mempertahankan keikutsertaannya dan mengarahkan sebuah visi radikal dan jelas bagi sebuah pendekatan alternatif dan lebih manusiawi atas tantangan migrasi paksa. Lampedusa, bulan Juli 2013: Globalisasi Ketidakpedulian Di Lampedusa, Fransiskus berkata, “’Kaum migran sekarat di laut. Kapal-kapal yang membawa mereka telah berubah dari kendaraan harapan menjadi kendaraan kematian.’ Demikianlah berita utama yang saya baca. Ketika saya pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu lalu, dan menyadari bahwa hal ini terlalu sering terjadi, situasi ini terus-menerus kembali ke dalam pikiran saya seperti duri tajam yang menyakitkan menusuk jantung.”4 Pada bulan Juli 2013, yang menjadi perjalanan pertama dalam kepemimpinannya, Bapa Suci dengan kapal mengunjungi Pulau Lampedusa, yang terletak di luar pantai selatan Sisilia. Waktu dan konteks kunjungannya sangat penting. Libya sedang dilanda situasi kekerasan dan ketidakstabilan. Negara-negara Afrika yang lebih miskin, yang sebelumnya tertarik dengan ekspansi ekonomi yang ada di bawah kepemimpinan Gaddafi sekarang mencari tempat-tempat lain, khususnya di seberang Laut Tengah. Sewaktu di Lampedusa, Fransiskus merayakan misa untuk mengenang ribuan migran yang mati dalam upaya menyeberangi Laut Tengah. Dia juga menyampaikan homilinya yang sekarang terkenal di mana dia merasa dipaksa untuk datang “berdoa dan menawarkan tanda kedekatan, tapi juga mengusik suara hati kami sehingga tragedi ini tidak terulang lagi. Tolongkah, agar hal ini tidak terulang!” Dia kemudian merefleksikan dua pertanyaan pertama yang diajukan Allah dalam Kitab Suci kepada manusia. “Ini adalah pertanyaan pertama yang diajukan Allah kepada manusia setelah dia berdosa. ‘Adam dimanakah engkau?’ Adam kehilangan arah, kehilangan tempatnya dalam penciptaan karena dia menyangka dia sangat berkuasa, bisa mengendalikan segala sesuatu, bisa menjadi Allah. Harmoni hilang; dan manusia melakukan kesalahan. Dan kesalahan ini terjadi terus-menerus termasuk dalam relasi dengan sesama. ‘Yang lain bukan lagi menjadi saudara dan saudari untuk dicintai tetapi hanya seseorang yang mengganggu kehidupanku dan rasa nyamanku.” Paus Fransiskus beberapa kali menggunakan narasi Adam dan Kain sebagai analogi termasuk dalam cara dia melihat ekologi secara integral dalam ensikliknya tahun 2015 Laudato Si (LS). “Berapa banyak dari kita,” tanya Paus Fransiskus di hadapan migran di Lampedusa, “telah kehilangan arah. Kita tidak lagi memberi perhatian terhadap dunia tempat kita hidup; kita tidak lagi peduli; kita tidak lagi melindungi apa yang telah diciptakan Allah bagi semua orang, dan kita berakhir dengan ketidakmampuan untuk peduli satu sama lain!” Bagi Paus, “ketika kemanusiaan secara keseluruhan kehilangan arah, akibatnya ialah tragedi seperti yang kita saksikan. […] Kita jatuh dalam kemunafikan imam

Kuria Roma

Tanggap Darurat Gempa Bumi Turki dan Suriah

Situasi masih terlihat tak menentu setelah gempa bumi dahsyat pada malam hari 5-6 Februari yang melanda Suriah dan Turki. Bangunan gereja Katedral Iskenderun runtuh. Uskup Paolo Bizzeti, S.J., Uskup Anatolia di Turki Timur, sedang berada di luar negeri saat bencana terjadi. Namun demikian, ia bisa segera mengorganisasi bantuan. Pater Antuan Ilgit S.J. yang berada di lokasi juga langsung mengorganisasi bantuan untuk para umat. Situasi berubah-ubah dan informasi terus diperbarui. Gambaran di sekitar nampak kacau: rumah sakit runtuh atau tidak dapat melayani pasien, kurangnya pasokan listrik, dan koneksi internet yang rusak atau sangat sulit. “Dari hati terdalam, kami menyampaikan belarasa dan belasungkawa yang terdalam kepada keluarga dan semua orang yang terdampak gempa bumi di Suriah dan Turki,” kata Pater Arturo Sosa. “Kami turut berduka atas mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, mereka yang kehilangan tempat tinggal dan komunitas. Kami berdoa semoga semua segera pulih dan mereka yang terluka mendapat perawatan yang aman dan mereka yang terdampak bencana mendapatkan kenyamanan kembali.” Di Aleppo, di sebuah komunitas yang terdiri atas tiga Jesuit, mereka terpaksa turut mengungsi setelah gempa pertama dan bergabung dengan penduduk Aleppo lainnya dalam cuaca yang sangat dingin sepanjang malam. Banyak rumah telah runtuh. Orang-orang tidak mau kembali ke rumah karena takut akan gempa susulan. Lembaga kita telah membuka rumah di Aziziyé, sebuah rumah yang telah dibangun dengan sangat baik, sebagai tempat pengungsian sementara. JRS berdiri di depan untuk melakukan respon tanggap darurat dan sekaligus mereka telah meluncurkan permohonan bantuan dana. Tony O’Riordan, imam Jesuit Irlandia, mengatakan, “Saya baru saja tiba di Aleppo untuk melakukan assessment kebutuhan dan respon tanggap darurat yang akan dilakukan JRS. Menyelamatkan hidup dan memenuhi kebutuhan kesehatan menjadi prioritas utama dan kami berusaha segera membuka kembali klinik kesehatan setelah semuanya dibersihkan dan disiapkan oleh para tukang hari ini. Kami akan terus meningkatkan sokongan perlindungan dasar terhadap cuaca dingin dan hal lainnya yang tidak memungkinkan para korban kembali ke rumah. Prioritas kedua kami adalah membantu para korban agar tetap tangguh secara mental.” Turki: untuk informasi lebih lanjut dan tautan untuk donasi silakan klik www.amo-fme.org Suriah: untuk informasi lebih lanjut dan tautan untuk donasi silakan klik https://jrs.net/. Donasi dari AS klik di sini.