”Guru, kami sudah mempraktikkan ilmu pertanian yang sudah guru ajarkan. Baru kali ini, kami mengikuti kegiatan kursus pertanian yang terasa mudah, langsung ada kegiatan praktik dan menggunakan bahan-bahan murah dan mudah yang ada di sekitar kita. Maka, sesampai di sekolah kami masing-masing, kami langsung mempraktikkan apa yang guru ajarkan.” Demikianlah kesan singkat yang saya peroleh setelah memberikan kursus pertanian singkat di Reflection Center Midol Meta Karuna, Siem Reap, Kamboja.
Pada 4-5 Juli 2025, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga hadir di Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian. Seperti di banyak tempat lain, bidang pertanian adalah sektor penting bagi kehidupan banyak masyarakat namun kurang diminati. Karena memang kurang diminati, ilmu dan teknologi pertanian pun menjadi kurang berkembang. Selain itu, faktor alam dan tanah yang kurang subur menambah daftar keengganan banyak orang untuk berkecimpung di bidang pertanian. Untungnya, keprihatinan tersebut ditangkap oleh Rm. Jihnyuk, S.J. (seorang Jesuit dari Korea Selatan yang menjadi misionaris di Kamboja). Karena alasan itulah, KPTT yang diwakili oleh F. Dieng, S.J., hadir ke Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian.
Lebih dari 30 peserta pelatihan yang terdiri atas para Jesuit, guru, staf JRS, karyawan, dan aktivis lingkungan antusias mengikuti kegiatan kursus pertanian tersebut. Dalam kegiatan kursus ini, kami mengangkat tema integrated and sustainable farming. Di dalam praktik pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang sangat penting, yaitu konektivitas, saling melayani, dan harmoni. Tiga poin ini menjadi penting, khususnya bagi orang Kamboja karena pada dasarnya leluhur mereka juga adalah petani. Namun, kecintaan terhadap bidang pertanian ini sempat mengalami tantangan yang berat, terutama saat kekuasaan Rezim Khmer, di mana banyak orang dipaksa bekerja sebagai petani, bahkan sebagian besar hingga mati. Ibu So Kheng, penerjemah dari kursus ini, adalah saksi hidup bagaimana ia berjuang untuk hidup sebagai petani yang dipaksa bekerja hingga beberapa saudaranya meninggal.
Dalam kursus ini, KPTT menyampaikan langkah-langkah menjadi manusia ekologis sebagai dasar utama membangun pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan. Selebihnya, dasar-dasar ilmu pertanian pun kami sampaikan, seperti media tanam, nutrisi tanaman, pengendalian hama, dan penyakit tanaman. Para peserta cukup bersemangat, khususnya saat mereka harus praktik untuk membuat media tanam, hugelkultur, dan meracik mikroorganisme lokal.
Di akhir kegiatan kursus, Pater Jihnyuk merasa tersentuh dan baru menyadari bahwa kita semua terhubung antara satu dengan yang lain. Diri kita dengan sesama, alam, dan juga Allah. Ia sangat terkesan dengan penggalan video how trees secretly talk to each other. Ia baru menyadari bahwa tanaman pun dapat berkomunikasi dengan tanaman lain melalui jamur dan mikroorganisme lain yang ada di dalam tanah.
Reconciliation with Creation (RWC) Meeting
Kegiatan kursus pertanian di atas sejatinya masih dalam satu rangkaian dengan pertemuan delegasi RWC tingkat JCAP yang diadakan di tempat yang sama. Dalam pertemuan RWC ini, ada dua agenda yang diusung. Agenda pertama adalah mengundang dan meminta para pemenang program Creator of Hope untuk mempresentasikan proyek ekologis mereka. Mereka adalah orang-orang muda yang sudah lebih dari dua tahun bergerak di bidang ekologi yaitu melalui berbagai macam kegiatan penyelamatan lingkungan hidup. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pemenang dari Indonesia yang bergerak di bidang konservasi karang dan biota laut di Kepulauan Anambas. Bersama dengan Yayasan Anambas, Fauzan Maulana, pemenang Creator of Hope, bahu-membahu memperbaiki kondisi bawah laut di perairan Anambas. Kendati kelihatan terpencil, perairan laut tersebut ternyata mengalami kerusakan yang cukup parah akibat penggunaan bom dan pukat harimau dalam menangkap ikan.
Inti dari program Creator of Hope adalah pemberian dukungan dari RWC terhadap orang-orang muda yang selama ini sudah bergerak dan berjuang bagi lingkungan hidup di mana mereka berkarya. Dengan memberikan dana sebesar $2000, RWC berharap orang-orang muda tersebut sungguh-sungguh tetap bersemangat menjadi agen-agen lingkungan hidup di tempat mereka masing-masing dan menciptakan harapan bagi lingkungan hidup dan sesama.
Agenda kedua dari RWC meeting adalah presentasi dari masing-masing provinsi dan regio mengenai kegiatan-kegiatan ekologi yang dilakukan di tempat masing-masing. Dalam kesempatan ini, kami juga memberikan waktu bagi delegasi yang tidak bisa hadir secara fisik, yaitu Pater Paul Tu Ja, S.J. dari Myanmar, yang karena kondisi perang tidak bisa hadir secara offline di Kamboja. Hal yang menarik dari apa yang dilakukan oleh Pater Tu Ja adalah kesetiaannya untuk tetap bersama umat di parokinya kendati serangan militer banyak terjadi di parokinya. Ia memaparkan, ada kondisi ekologis yang memprihatinkan saat perang, ada banyak lahan pertanian yang terkena bom dan ranjau. Selebihnya, para petani juga takut dan tidak nyaman karena situasi perang membuat segalanya tidak pasti, sehingga kegiatan pertanian pun juga menjadi tidak menentu. Di akhir pemaparannya, kami semua berharap agar konflik dan situasi di Myanmar segera membaik.
Di penghujung pertemuan RWC, kami menggagas macam-macam kegiatan yang bisa kita lakukan secara bersama antarprovinsi dan regio, serta apa saja bentuk bantuan yang bisa diberikan atau disumbangkan. Agar menjadi jelas dan konkret, kami akhirnya membentuk anggota inti yang kemudian diminta untuk merumuskan visi, misi, serta langkah-langkah praktis pelaksanaan kegiatan RWC ke depan. Salah satu langkah praktis yang bagi saya menarik dari bagian akhir pertemuan ini adalah keinginan para delegasi untuk mempraktikkan Finding God in Farming. Jargon ini sendiri saya angkat dari praktik pertanian yang dilakukan di KPTT. Bagi para delegasi lain, hal tersebut adalah praktik yang bagus dan sejatinya hampir semua delegasi juga melakukan praktik yang sama. Maka, kegiatan bertani dan menemukan Tuhan di dalamnya patut terus dilakukan.
Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.