capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Menyusuri Jejak Misionaris Jesuit

Date

NAPAK TILAS IMAN DI FLORES:

Ada rasa haru sekaligus bangga ketika kaki kami menapaki tanah Flores, tanah yang sejak lama menjadi ladang pelayanan penuh pengorbanan dan kasih para misionaris Serikat Jesus. Di penghujung Agustus 2025, Komunitas Beato Miguel Pro Jakarta mendapat anugerah istimewa, melakukan perjalanan rohani ke Ende, Maumere, dan Larantuka. Perjalanan ini bukan sekadar jeda dari rutinitas ibu kota, melainkan undangan untuk kembali menimba inspirasi dari semangat misionaris yang pernah menyalakan api iman di bumi Nusa Bunga. Pesan Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Uskup Larantuka, masih terngiang, Serikat Jesus yang memulai misi di tanah Flores, dan kami selalu terbuka bagi Serikat Jesus untuk membantu karya di sini. Kalimat sederhana itu menjadi pengingat sekaligus amanat bahwa misi yang dahulu dimulai para pendahulu kini menunggu untuk dilanjutkan.

 

Ende: Jejak Sejarah, Iman, dan Persaudaraan

Langkah pertama kami berhenti di Ende, kota pesisir yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat sejarah bangsa dan Gereja. Kami mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno, tempat Sang Proklamator merenung, menulis, dan menyalakan semangat kemerdekaan. Di dekatnya, Serambi Soekarno berdiri di kompleks Katedral Kristus Raja. Di sinilah Bung Karno sering berdiskusi dengan para imam SVD, merajut gagasan yang kelak menjadi Pancasila. Kami berdiri di ruang lahirnya fondasi bangsa, di mana iman dan nasionalisme berkelindan erat.

 

Tak jauh dari sana, kami memasuki Katedral Kristus Raja, pusat iman umat sekaligus saksi sejarah panjang misi Katolik di Flores. Nama Mgr. Aloysius Ogihara S.J., Uskup Ende asal Jepang yang melayani di masa sulit Perang Dunia II, kembali mengingatkan bahwa kesetiaan gembala kerap diuji justru di tengah badai.

 

Di Istana Keuskupan Ende, sambutan hangat Romo Efraim Pea membuka kisah-kisah pelayanan Gereja. Patung Bunda Maria setinggi lebih dari 10 meter menjulang di halaman istana, seakan melindungi kota kecil ini dalam naungan kasih Ilahi. Dari sana, kami berlanjut ke Universitas Flores, buah perjuangan tokoh lokal dan Gereja sejak 1980. Menyaksikan semangat para mahasiswa, kami sadar bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari misi Gereja.

 

Tidak lupa kami singgah di sebuah kampung adat. Rumah-rumah kayu beratap rumbia, suguhan kopi Ende yang harum, dan keripik singkong buatan tangan penduduk menjadi pengalaman sederhana namun penuh makna. Sejarah, iman, pendidikan, dan budaya berpadu dalam harmoni, inilah wajah Ende yang menyapa dengan persaudaraan tulus.

 

Maumere: Iman yang Berbuah dalam Karya

Dari Ende, perjalanan berlanjut ke Maumere. Langkah pertama membawa kami ke “La Storta,” makam para Jesuit yang sejak abad ke-19 berkarya di tanah ini. Di antara nisan-nisan sederhana, kami berdoa dalam hening, merasakan bahwa pengorbanan mereka tidak pernah hilang, iman yang ditabur tetap hidup dalam umat.

 

Suasana berubah penuh harapan ketika kami memasuki Bengkel Misi Santo Yoseph. Dari bengkel pertukangan sederhana, tempat ini kini berkembang menjadi pusat pembinaan keterampilan kaum muda, bekerja sama dengan ATMI Solo. Kami menyaksikan anak-anak muda dengan latar belakang sederhana membentuk masa depan lewat keterampilan, karakter, dan doa. Produk-produk mereka, meubel kayu, mesin pertanian, kopi, cokelat, hingga teh kelor, dipasarkan dengan merek Mai Sai yang berarti “Mari sini.” Nama itu seakan menjadi undangan ramah untuk berbagi harapan dengan semua. Pesan Mgr. Ewaldus Martinus Sedu saat meresmikan bengkel otomotif beberapa waktu lalu begitu membekas, “Gereja hadir bukan hanya untuk mendoakan, tetapi juga untuk memberdayakan.” Kami melihat sendiri bagaimana kata-kata itu menjelma nyata di Maumere.

 

Kunjungan berikutnya menuntun kami ke Politeknik Cristo Re, lembaga pendidikan tinggi yang menyiapkan generasi muda Flores menjadi tenaga profesional. Semangat serupa kami temukan di Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa, tempat benih panggilan ditanam dalam kesederhanaan fasilitas dan semangat para seminaris muda.

 

Salah satu momen paling menyentuh dalam perjalanan kami adalah ketika mengunjungi Gereja Tua Sikka, gereja Katolik tertua di Flores yang berdiri sejak tahun 1899. Gereja ini didirikan oleh seorang misionaris Serikat Jesus asal Belanda, Pater Joannes Engbersen S.J. Bangunan jati tua ini bukan sekadar situs sejarah, tetapi rumah iman yang masih hidup. Tradisi “Logu Senhor” setiap Jumat Agung menjadi bukti bahwa iman dapat berakar dalam budaya lokal tanpa kehilangan kedalaman rohaninya.

 

Perjalanan di Maumere kami akhiri dengan ziarah ke Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Nilo, patung setinggi 28 meter yang berdiri megah di atas fondasi 18 meter di puncak bukit. Dari sana, kami memandang luasnya kota Maumere yang seolah berada dalam naungan tangan penuh kasih Bunda Maria. Tidak jauh dari sana, kami juga berkunjung ke biara dan rumah retret milik para Romo Pasionis. Suasana biara yang sangat megah namun hening menjadi penutup yang indah bagi perjalanan kami, memberi ruang bagi kami untuk merenung bahwa setiap karya, besar atau kecil, selalu berakar pada doa.

 

Larantuka: Kota Reinha Rosari

Perjalanan napak tilas akhirnya sampai di Larantuka, kota kecil di ujung timur Flores yang sejak lama dijuluki “Kota Reinha Rosari.” Di Kapela Tuan Ana dan Kapela Tuan Ma, kami merasakan denyut iman yang diwariskan turun-temurun. Patung Kristus dan Bunda Berduka bukan sekadar simbol, melainkan wajah iman yang hidup dalam devosi Semana Santa. Prosesi Jumat Agung yang menyeberangi darat dan laut menjadi warisan rohani yang mempersatukan umat lintas generasi.

 

Kami juga mendapat kehormatan bertemu langsung dengan Mgr. Fransiskus Kopong Kung di istana keuskupan. Dalam perjumpaan itu, beliau menceritakan sejarah keuskupan Larantuka dan mengingatkan bahwa benih iman di Larantuka telah berakar sejak zaman Portugis, dipelihara oleh para Jesuit, dan terus hidup hingga kini.

 

Di pemakaman para misionaris Jesuit di Larantuka, kami berdiri hening di hadapan pusara dua belas imam yang menghabiskan hidupnya untuk Flores. Kesetiaan mereka berbicara tanpa kata-kata. Dan akhirnya, di Katedral Reinha Rosari, kami menutup ziarah dengan doa syukur. Suasana hening katedral agung itu seakan merangkum seluruh perjalanan, iman yang tumbuh, bertahan, dan memberi hidup.

 

Sebuah Akhir yang Menjadi Perjalanan Baru

Perjalanan napak tilas di Ende, Maumere, dan Larantuka meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar kenangan rohani. Dari sejarah perjuangan iman di Ende, buah karya pemberdayaan umat di Maumere, hingga kesetiaan tradisi devosi di Larantuka, kami belajar bahwa iman sejati selalu berakar pada pengorbanan, bertumbuh dalam pelayanan, dan berbuah dalam persaudaraan. Kami diingatkan bahwa misi bukan hanya kisah masa lalu para misionaris, melainkan tanggung jawab yang kini ada di pundak kami untuk dilanjutkan sesuai zaman. Napak tilas ini menjadi cermin bahwa karya Allah selalu hidup dalam sejarah, budaya, dan wajah sederhana umat, dan tugas kami adalah menjaga agar api iman itu tetap menyala untuk generasi berikutnya.

 

Dari Ende, Maumere, hingga Larantuka, kami menemukan wajah Gereja yang hidup, sejarah yang mendalam, budaya yang menyatu dengan iman, dan umat yang setia menjaga warisan misionaris. Setiap tempat yang kami kunjungi bukan hanya monumen masa lalu, melainkan sumber inspirasi masa kini. Ketika perjalanan ini berakhir, sesungguhnya sebuah perjalanan baru dimulai. Ziarah ini tidak berhenti pada makam, patung, atau bangunan bersejarah, melainkan berlanjut dalam hati kami. Kami pulang dengan syukur, hati yang diperkaya, dan tekad untuk melayani dengan setia, belajar dengan rendah hati, dan berjalan bersama umat di mana pun Tuhan menuntun langkah. Flores telah mengajarkan kami satu hal: iman yang ditabur dengan pengorbanan akan selalu berbuah, asalkan kita mau terus merawatnya. 

 

Kontributor: Sch. Alfonsus Ignatius Franky Njoto, S.J.

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *