Refleksi Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah
Kamis, 10 April, 2025 menjadi awal dari sebuah pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saat itu, saya mengira ini hanya sekadar tugas sekolah yang berat, asing, dan cukup membuat cemas. Namun ternyata, justru dari pengalaman itulah saya mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Kegiatan ini bernama Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM), sebuah program tahunan dari SMK Katolik St. Mikael Surakarta yang diperuntukkan bagi siswa-siswi kelas XI. LKTM bukan sekadar pelatihan atau pertemuan biasa. Kami diutus untuk tinggal bersama keluarga asuh dan berkarya di sekolah-sekolah Kanisius di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang mulai dari jenjang TK, SD, hingga SMP. Suatu hal yang menarik adalah kami sama sekali tidak diberi tahu tujuan penempatan kami. Kami hanya menerima amplop berisi nama dan alamat, lalu diminta mencari jalan sendiri menggunakan transportasi umum. Tidak boleh membawa ponsel, tidak boleh bertanya kepada teman. Kami benar-benar dilatih untuk mandiri.
Saya sendiri ditempatkan di TK-SD Kanisius Tlogosari, Semarang. Awalnya saya merasa sangat gugup karena ternyata saya berangkat sendiri. Pikiran-pikiran negatif mulai muncul. Bagaimana kalau nyasar? Bagaimana kalau tidak ada yang menjemput? Tapi sesampainya di sana, saya bertemu Wahyu, teman saya yang ternyata juga ditempatkan di kompleks yang sama, meskipun pada jenjang berbeda. Saya di TK dan dia di SD.
Setiap pagi, saya membantu guru-guru TK dari pukul 07.00–10.00. Saya bermain bersama anak-anak, membantu mewarnai, menyusun lego, dan ikut serta dalam kegiatan harian mereka. Salah satu anak yang paling saya ingat bernama Chinchin, yang awalnya adalah anak yang sangat pemalu dan sering menangis, namun lambat laun mulai terbuka. Belakangan saya baru mengetahui bahwa ia memiliki hambatan dalam berbicara. Saya juga sempat membantu di SD, mengajar matematika khususnya soal jaring-jaring bangun ruang hingga membuat miniatur sekolah.
Kami tinggal bersama seorang ibu asuh yang luar biasa, Ibu Maria, seorang guru TK yang ramah dan penuh perhatian. Ia tinggal bersama suami, dua anaknya, Mbak Tata dan Bimbim, serta beberapa hewan peliharaan yang cukup mengejutkan, seperti anjing, ular, bahkan tarantula. Jujur saja, awalnya saya takut, namun lama-kelamaan saya mulai terbiasa. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa rasa nyaman bisa tumbuh jika kita berani membuka diri. Di rumah itu, saya merasa diterima sepenuh hati seperti bagian dari keluarga sendiri.
Suatu malam, kami diajak Mbak Tata berkunjung ke Kolese Loyola, tempat ia bersekolah. Bangunannya tampak megah, dengan fasilitas modern, termasuk perpustakaan yang dilengkapi lift. Namun bukan fasilitasnya yang paling membekas di hati saya, melainkan cara Mbak Tata menceritakan pengalamannya. Ia terlihat begitu bangga menjadi bagian dari tempat yang membentuk dirinya. Saat mendengarnya, saya terdiam sejenak. Dalam hati saya bergumam: seharusnya saya juga bisa merasa bangga terhadap sekolah saya sendiri, SMK Mikael. Bukan karena besar atau mewahnya, tapi karena nilai-nilai yang ditanamkan kepada kami. Di sekolah itulah saya belajar arti kepemimpinan, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan semangat untuk hadir bagi sesama. Di sanalah karakter saya ditempa dengan kedisiplinan, pelayanan, dan cinta akan keheningan. Saya tersadar bahwa menjadi bagian dari SMK Mikael bukan sekadar status, tetapi panggilan untuk menjadi pribadi yang siap diutus.
Satu sosok yang juga membekas bagi saya adalah Pak Adi, penjaga kapel sekolah. Hidupnya sederhana, tinggal seorang diri karena keluarganya telah tiada. Namun semangatnya luar biasa. Setiap pagi dan sore saya membantu membersihkan kapel. Dari Pak Adi saya belajar tentang arti kesetiaan dalam hal-hal kecil. Beliau selalu tersenyum meski hidupnya sunyi. Dalam diamnya, ada ketulusan yang menyentuh hati saya.
Hari terakhir menjadi momen yang sangat emosional. Anak-anak TK memeluk kami erat, beberapa guru meneteskan air mata, dan saya sendiri nyaris tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya baru saja mengenal mereka, tetapi sudah harus berpamitan. Dalam pelukan dan air mata itu, saya menyadari bahwa lima hari ini bukanlah waktu yang sebentar. Kami memang hanya membantu sedikit, tetapi kasih sayang yang kami terima jauh lebih besar.
LKTM bagi saya bukan sekadar soal menjadi pemimpin. Lebih dari itu, menjadi sebuah proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Takut, bingung, senang, terharu, semua rasa datang silih berganti. Namun justru dari semua itulah saya sadar bahwa Tuhan hadir dalam wajah anak-anak, dalam obrolan bersama guru, dalam tawa keluarga asuh. Bukan di tempat yang megah, tetapi dalam hal-hal paling sederhana. Saya juga semakin memahami dunia pendidikan. Para guru di sana bekerja dalam keterbatasan, namun tetap penuh semangat. Mereka sabar, telaten, dan tidak pernah mengeluh. Melihat mereka, saya merasa kecil. Tetapi juga tergerak untuk lebih menghargai pendidikan sebagai sebuah panggilan, bukan sekadar profesi.
Banyak momen kecil yang membekas dalam LKTM ini, seperti anak TK yang tiba-tiba memeluk saya, Pak Adi yang berkata bahwa kami seperti cucunya, dan Bu Maria yang mendoakan kami dengan mata berkaca-kaca. Saya belajar bahwa dalam pelayanan, yang kita beri tidak akan pernah lebih besar dari yang kita terima. Justru dalam memberi, hati kita dipulihkan kembali. Pengalaman ini juga menyadarkan saya bahwa menjadi pemuda Katolik bukan hanya soal aktif dalam kegiatan, tetapi juga berani diutus, hadir, mendengarkan, menemani, bahkan dalam keheningan. LKTM mengajak saya untuk berjalan bukan dengan peta, tetapi dengan iman. Perlahan, saya percaya bahwa langkah kecil yang saya ambil kemarin adalah awal dari perjalanan panjang menuju kedewasaan.
Saat saya menulis ini, berbagai kenangan muncul kembali. Ada banyak cerita sederhana yang ternyata menyimpan makna besar. LKTM bukan sekadar program sekolah, namun juga berperan sebagai ziarah hati, proses pembentukan diri yang pelan-pelan mengubah cara pandang saya terhadap dunia, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Saya berharap kisah ini dapat menjadi pengingat, bukan hanya bagi saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya bahwa dalam setiap perjalanan, Tuhan senantiasa menyertai. Kadang kita tidak menyadarinya. Tetapi Ia hadir dalam pelukan, dalam tawa, dalam keheningan, dan dalam setiap detik yang kita jalani dengan hati yang terbuka.
Kontributor: Helarius Hido Setiawan – Siswa SMK Katolik St. Mikael Surakarta