Pilgrims of Christ’s Mission

Kisah dan Refleksi Karya
dalam Semangat IGNATIAN

Pelatihan Media Pembelajaran Berbasis Audio-Visual

Hari Jumat hingga Minggu, 19-21 September 2025, Studio Audio Visual – USD menyelenggarakan Pelatihan Media Pembelajaran Berbasis Audio-Visual bagi 20 guru terpilih (TK-SD-SMP) dari Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta. Sebagian besar peserta adalah guru-guru tetap yang masih muda. Pelatihan gelombang 3 ini terselenggara berkat kerja sama antara Universitas Sanata Dharma dan Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta. Pelatihan yang waktunya relatif singkat ini dilaksanakan di Studio Audio Visual-USD, Sinduharjo dan para peserta menginap di Kampoeng Media.   Dalam kata sambutannya, Ibu Nur Sukapti, Direktur Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, menyampaikan rasa terima kasih atas kemurahan hati Universitas Sanata Dharma yang mendukung kegiatan pelatihan gelombang 3 ini. Pembekalan ketrampilan ini sungguh berarti bagi para guru. Terbukti para alumni pelatihan gelombang 1 dan 2 sudah menghasilkan banyak media pembelajaran dan juga liputan-liputan audio visual yang bermanfaat untuk promosi Sekolah Kanisius dan juga bahan-bahan presentasi dalam seminar di luar negeri, termasuk Amerika Latin.   Selain mengucapkan “Selamat Datang” kepada para peserta, menyambung sambutan dari Ibu Nur Sukapti, Pater Yosephus Ispuroyanto Iswarahadi, S.J., Penanggungjawab Program, menegaskan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk membekali para guru dengan pengetahuan dan ketrampilan membuat media pembelajaran berbasis audio visual. Pada zaman ini para guru ditantang untuk bisa mengampu proses pembelajaran dengan menarik dan berkualitas. Hal ini sesuai dengan karakter generasi sekarang yang lebih mengutamakan perasaan daripada pemikiran. Feeling is first. Diharapkan bahwa dengan didampingi oleh para tutor yang berpengalaman para guru dapat mengikuti pelatihan ini dengan gembira dan menghasilkan media pembelajaran yang kreatif. Penanggungjawab materi pelatihan ini adalah Pater F.X. Murti Hadi Wijayanto, S.J. dan ia dibantu para pendamping antara lain Mas Niko, Mas Haryo, Mas Daniel, Mas Mantep, dan Mbak Kristy (Koordinator Pelatihan). Para peserta bersama-sama mempelajari dan mengolah materi: pembelajaran a la Montessori, prinsip-prinsip sinematografi, penulisan naskah, proses produksi, proses editing, dan evaluasi program. Pada materi pertama Pater Murti menegaskan bahwa pelatihan kali ini lebih menantang daripada pelatihan sebelumnya karena para peserta sudah mempunyai dasar keterampilan audio visual dan fokus pelatihan diarahkan pada kontennya. Konten yang diangkat kali ini adalah Model Pembelajaran Montessori. Oleh karena itu, 6 mahasiswi PGSD-USD (Sesilia, dkk) ikut menjelaskan bagaimana alat-alat pembelajaran a la Montessori dipergunakan.   Setelah mempelajari prinsip-prinsip sinematografi, para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok untuk menyusun naskah video instruksional tentang model pembelajaran Montessori. Pada hari Jumat pukul 09.30 naskah video yang sudah disusun dipresentasikan kepada Tutor Pendamping untuk dikoreksi. Setelah naskah diperbaiki, setiap kelompok melaksanakan produksi (syuting) di tiga lokasi yang berbeda (Studio Biru, Ruang Mawar, dan Wisma Teratai). Masing-masing anggota kelompok mendapatkan peran, misalnya menjadi penulis naskah, sutradara, penata kamera, pemain, dan editor. Waktu untuk produksi adalah Jumat 20 September 2025 pukul 10.00 – 18.00. Selama proses produksi setiap kelompok ditemani oleh seorang pendamping.     Pada petang harinya, setiap kelompok mulai mengerjakan editing. Tugas editing ini membutuhkan stamina yang prima karena harus memilih shot-shot yang begitu banyak dan disesuaikan kerangka film sebagaimana telah ditulis di dalam naskah. Dibutuhkan ketelitian untuk menyambung shot yang satu dengan shot berikutnya. Kemudian editor harus pandai-pandai menyelaraskan warna dan ritme sajian sesuai musik ilustrasi yang dipilih. Mengingat program video yang diproduksi adalah program instruksional yang materinya amat kaya, proses editing membutuhkan waktu lama. Setelah berjuang melawan rasa kantuk dan lelah, para peserta dapat menyelesaikan film mereka. Ada yang selesai pada pukul 01.00 WIB, ada yang selesai pada pukul 02.30 WIB dan bahkan pukul 03.30 WIB dini hari.   Pada hari ketiga, ketika hutang tidur belum tersembuhkan, para peserta mengadakan acara apresiasi dan evaluasi atas video yang telah diproduksi. Penayangan video dilaksanakan di Studio Biru dengan menggunakan layar lebar. Kelompok 1 menayangkan video dengan judul “Feli dan Manik-manik Emas”. Kelompok 2 menyanjikan video “Grammar Sense Game”, sedangkan video yang dihasilkan oleh Kelompok 3 berjudul “Serunya Mengenal Pecahan a la Montessori.” Setiap penayangan ditanggapi oleh peserta dari kelompok lain, kemudian kelompok pembuat menceritakan pengalaman berproduksi dan menanggapi komentar anggota kelompok lain. Pada bagian terakhir komentar disampaikan oleh para pendamping dan tutor. Proses evaluasi dan refleksi ini menjadi bagian penting dari proses learning by doing. Para peserta merasa sangat diperkaya dengan latihan selama 3 hari ini. Mereka merasa dibekali untuk melayani peserta didik dengan lebih baik. Para peserta mengakui bahwa proses pelatihan ini sangat menarik dan menambah pengalaman.   Sebelum acara penutupan, para peserta mengikuti Misa Syukur yang dipersembahkan oleh Pater Iswarahadi di Studio Biru. Dalam kata sambutan penutupan, Bapak Alex yang mewakili Direktur Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta sangat berterima kasih kepada Universitas Sanata Dharma dan Studio Audio Visual atas kesempatan pelatihan yang telah diberikan secara murah hati dan didampingi oleh para tutor/pendamping yang luar biasa. Bapak Alex juga memotivasi para peserta agar menggunakan keterampilan yang diperoleh untuk mendidik siswa-siswi generasi muda dengan lebih kreatif. Pelatihan semacam ini sangat penting, karena membekali para guru dengan ilmu perfilman yang berstandar internasional. Selain memberi apresiasi atas kreativitas, kerja keras, dan kerja tim yang telah dibuktikan oleh para peserta, Pater Iswarahadi menyerahkan sertifikat kepada semua peserta. Para guru dapat kembali ke sekolah masing-masing dengan kepala tegak dan semakin bersemangat untuk mengabdi negeri.     Kontributor: P. Yoseph Ispuroyanto, S.J.

Read More »

Semangat Hijau dan Upaya Merawat Bumi

Sampah plastik sering dianggap masalah, namun di tangan siswa-siswi SMK Katolik St. Mikael Surakarta, sampah bisa berubah menjadi peluang. Dengan semangat belajar dan kreativitas, para siswa menjadikan daur ulang sebagai bagian dari pelajaran sehari-hari. Inilah wujud nyata kepedulian mereka dalam merawat bumi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.   Merangkai ilmu menjadi harapan bagi bumi Pada 11-14 Agustus 2025, para siswa kelas X SMK Mikael melaksanakan pembelajaran bertemakan Circular Economy. Kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan melalui konsep ekonomi sirkular, yakni upaya memperpanjang masa pakai produk melalui prinsip daur ulang (recycle). Serangkaian kegiatan dimulai dari pemaparan konsep dasar Circular Economy oleh tim Recycle dari PT ATMI IGI. Pemaparan materi tersebut meliputi definisi, proses, dampak, dan rencana tindak lanjut kegiatan daur ulang. Antusiasme siswa terlihat jelas dalam sesi tanya jawab yang interaktif. Tim Recycle PT ATMI IGI pun juga turut memberi souvenir berupa gantungan kunci dari tutup botol yang didaur ulang membentuk logo SMK Mikael. Setelah sesi materi, Ibu Yanti selaku guru pengampu mata pelajaran IPAS memberikan tugas lanjutan kepada para siswa, yaitu mengumpulkan tutup botol sebanyak mungkin dalam kurun waktu dua minggu sebagai bentuk praktik nyata dari konsep yang telah dipelajari.   Tiba saatnya para siswa melaksanakan kegiatan daur ulang. Mereka sudah membawa tutup botol dari rumah kemudian dilakukan pembersihan dengan pencucian dan pemilahan berdasarkan warna hingga akhirnya dicacah menggunakan mesin crusher. Tak disangka, ternyata terdapat beberapa siswa yang membawa tutup botol berjumlah ribuan. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak sampah plastik yang belum terkelola dengan baik. Beberapa siswa mengatakan bahwa mereka mendapatkan tutup botol tersebut dari lingkungan masyarakat yang memiliki bank sampah. Dari 7 kelas yang mengumpulkan tutup botol, total terkumpul sejumlah 16 kg tutup botol.   SMK Katolik St. Mikael Surakarta menggaet PT ATMI IGI untuk berpartisipasi dalam memberikan edukasi Circular Economy dan fasilitas daur ulang plastik. Fasilitas tersebut mencakup dua mesin yaitu Manual Injection dan Small Press beserta 1 mold/cetakan untuk masing masing mesin. Didampingi oleh guru beserta tim recycle PT ATMI IGI, siswa/i berkesempatan untuk mempraktikkan proses daur ulang secara langsung. Mereka membuat gantungan kunci berbentuk logo SMK Mikael dengan menggunakan mesin press. Proses pencetakan tersebut memakan waktu 1 jam, hal ini dikarenakan cacahan tutup botol perlu untuk dilelehkan kemudian menunggu proses pendinginan. Sementara gantungan kunci di cetak, masing masing siswa secara bergiliran membuat manik-manik menggunakan mesin Manual Injection. Berbeda dengan mesin press yang membutuhkan waktu 1 jam untuk 1 produk, mesin Manual Injection hanya membutuhkan waktu dua menit untuk mencetak 1 set manik-manik. Hasil yang mereka cetak mempunyai corak warna yang sangat indah yang dipengaruhi oleh material tutup botol yang dilelehkan. Perpaduan dua warna berbeda menghasilkan gradasi warna yang memanjakan mata. Pada akhirnya manik-manik yang mereka cetak dapat dirangkai sehingga menjadi rosario, tasbih, gelang, maupun kalung.     Spiritualitas Ignatian dalam upaya merawat Bumi Kegiatan daur ulang plastik ini linear dengan nilai 4C yang ditanamkan kepada para siswa SMK Kolese Mikael. Competence, dengan kemampuan kompetensi di bidang teknik pemesinan siswa mampu membuat mold/cetakan sesuai dengan kreativitas masing-masing. Compassion, membangun kesadaran dan kepedulian pentingnya menjaga Bumi dari pencemaran sampah. Conscience, mampu membedakan perilaku yang baik maupun buruk dan dampaknya bagi lingkungan sekitar. Commitment, janji untuk merawat alam demi keberlangsungan makhluk hidup. Hal tersebut pun selaras dengan Universal Apostolic Preferences (UAP) keempat tentang Merawat Rumah Kita Bersama dan mendukung program Sustainable Development Goals (SDG’S) nomor 4 tentang pendidikan berkualitas dan nomor 13 tentang Aksi Perubahan Iklim. Besar harapan agar kegiatan daur ulang ini dapat berkelanjutan dan bisa memberikan nilai lebih bagi SMK Mikael sebagai sekolah peduli lingkungan. Melalui kegiatan ini, para siswa SMK Katolik St. Mikael Surakarta tidak hanya belajar tentang konsep Circular Economy tetapi juga membuktikan bahwa perubahan dapat dimulai dari langkah kecil di lingkungan sekolah. Dengan mengolah sampah menjadi sesuatu yang bernilai, mereka menunjukkan bahwa generasi muda memiliki peran penting dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.     Kontributor: Fransiskus Marcelino Utama – Siswa SMK Katolik St. Mikael Surakarta

Read More »

Menuju Satu Abad Penuh Sukacita

HUT Gereja KotaBaru Ke-99: Berbeda dengan misa harian pada umumnya, umat Gereja Kotabaru tampak memenuhi gedung gereja bersiap merayakan ulang tahun Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru ke-99 pada Jumat, 26 September 2025. Diawali dengan misa secara konselebran oleh Pater Andrianus Maradiyo, Pr, Pater Nicolaus Devianto Fajar Trinugroho, S.J., Pater Yohanes Agus Setiyono, S.J., Pater Floribertus Hasto Rosariyanto, S.J., Pater Vincentius Doni Erlangga, S.J., dan Pater Cyprianus Kuntoro Adi, S.J.   Perayaan Ekaristi dibuka dengan iringan lagu pembuka dan tarian. Pater Maradiyo dalam homilinya mengajak umat mengenang kembali perjalanan Gereja Kotabaru hingga menjadi gereja inklusif yang umum dikenal saat ini.   Sebelum berkat penutup, pemberkatan Taman Doa Maria Concordia dilakukan. Taman Doa diberkati oleh Pater Maradiyo didampingi para imam lainnya. Acara berlanjut dengan launching logo dan maskot HUT ke-100 Gereja Kotabaru. Pater Agus, Pater Fajar dan Pater Kuntoro bersama-sama menggunting pita, membuat kain yang menutupi logo dan maskot langsung terbuka. Logo dan maskot yang ada pun juga diberkati oleh Pater Maradiyo.     Seusai perayaan Ekaristi, para umat berpindah di halaman gereja untuk melanjutkan acara dengan pesta umat yang dibuka dengan pemotongan tumpeng nasi kuning. Pater Maradiyo memotong tumpeng dan memberikan secara simbolis kepada Pater Fajar dan Pater Agus. Dalam pesta umat ini turut diadakan penyerahan hadiah bagi para pemenang sayembara serta peluncuran jingle HUT ke-100 Gereja Kotabaru yang dimeriahkan dengan flashmob dari kakak-kakak PIA.   Suasana hangat dan penuh sukacita mencerminkan harmonisasi umat Kotabaru. Momen ini menjadi pembuka kesiapan Kotabaru menyongsong usia ke-100. Setelah melewati berbagai sejarah dan proses, sejalan dengan prinsip Gereja yang terbuka, semoga Gereja Kotabaru senantiasa menjadi rumah bagi siapa pun yang membutuhkan tempat untuk pulang.   Selamat ulang tahun bagi Gereja Kotabaru!     Kontributor: Emanuella Gracia & Jessica Juliani – Kotabaru Digital Service

Read More »

Hidup yang Penuh

Pekan Kaul Bersama 2025: Senin, 1 September 2025 hingga Jumat, 5 September 2025 menjadi momen sukacita bagi para novis Serikat Jesus dan beberapa kongregasi lain. Pasalnya selama lima hari ini mereka belajar bagaimana mengusahakan diri menghayati ketiga kaul yang akan mereka peluk selamanya: kaul kemiskinan, kaul kemurnian, dan kaul ketaatan. Kegiatan Pekan Kaul Bersama (PKB) 2025 diikuti oleh beberapa ordo/kongregasi, yakni: SJ, CSA, OSU, OSF, PMY, SDP, dan AK.   Mereka menyebut momen perjumpaan ini sebagai Pekan Kaul Bersama, meski beberapa memelesetkannya menjadi Pekan Konsolasi Bersama. Kegiatan PKB ini sejatinya adalah kegiatan tahunan yang dilakukan oleh beberapa ordo/kongregasi untuk saling memperkaya sudut pandang mengenai ketiga kaul. Pada tahun ini, kegiatan PKB diadakan di Rumah Retret Gedanganak, Ungaran.   Pada hari pertama, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. memberikan pengantar mengenai ketiga kaul. Dipaparkan olehnya tiga contoh teladan penghayatan kaul, yakni: teladan hidup Fransiskus Asisi, Bunda Teresa dari Kalkuta, dan Paus Fransiskus. Ia juga memaparkan pentingnya tiga daya jiwa (nalar, rasa, dan kehendak) dalam menghidupi kaul-kaul tersebut. Lagu Doraemon dinyanyikan untuk menggambarkan pribadi yang memiliki kehendak kuat dan melaksanakannya. “Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini, ingin itu banyak sekali.” Dalam pengantar itu pula, Pater Sunu mengajak para novis untuk melihat akar afeksi dalam keluarga yang menjadi asas dan dasar panggilan hidup mereka.   Di hari kedua, dimulailah pemaparan-pemaparan materi dalam sesi-sesi. Setiap kaul mendapat empat porsi sesi yang dibahas dari tinjauan historis-biblis; tinjauan psiko-fisik, psiko-sosial, dan spiritual-rational; kaul dalam kekhasan tarekat; serta tantangan dan penghayatan di masa kini. Pada setiap sesi tersebut, diadakan presentasi oleh para novis yang dilanjutkan dengan sharing tiga putaran dalam kelompok-kelompok kecil.   Sharing tiga putaran merupakan terobosan untuk mengatasi ketegangan yang bisa terjadi dalam sesi tanya-jawab. Tak hanya itu, kesempatan sharing tersebut mengantarkan hasil presentasi pada nilai-nilai rohani yang membadan pada setiap novis. Dengan demikian PKB ini membawa suasana yang lebih spiritual ketimbang diskusi intelektual. Kesempatan tersebut menjadi waktu yang tepat melatih kerendahan hati untuk mau dan mampu menginspirasi, serta diinspirasi orang lain. Kerendahan hati itulah yang rasanya menjadi benang merah dari keutamaan ketiga kaul. Keutamaan tersebut pada akhirnya, juga membantu setiap pribadi yang memeluknya untuk lebih terbuka pada realitas di luar dirinya. Inilah modal awal untuk hidup berkomunitas dan saling berkolaborasi.   Nilai spiritualitas Ignatian juga beberapa kali disinggung, di antaranya diskresi dan menemukan Allah dalam segala hal. Dalam hal ini, kesadaran merupakan kunci. Keheningan pun tak luput dari sorotan. Pribadi yang hening akan mampu menyadari idealitas dan realitas baik di dalam dirinya maupun di sekitarnya. Pada akhirnya, menjadi pribadi yang merdeka dari segala kelekatan adalah cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap pribadi berkaul. Kemerdekaan pribadi tersebut tak lepas dari kematangan pribadi terkait. Pada hari Rabu, 3 September 2025, Pater Yulius Eko Sulistyo, S.J. memberikan gambaran tersebut, di mana pribadi yang matang adalah pribadi yang memiliki relasi yang afektif kepada diri sendiri, sesama, dan Tuhan.     Pada sesi penutupan, Pater Hilarius Budi Gomulia, S.J. memberi kesimpulan yang rasanya menjadi hal yang perlu dipegang oleh setiap pribadi berkaul, yakni “orang berkaul itu tidak merepotkan orang lain.” Dalam menghayati kaul, para novis semakin digerakkan untuk membagikan diri secara total demi pelayanan pada Allah yang lebih luhur. Sebagaimana kata-kata St. Ireneus, “Gloria Dei, homo vivens” – kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup. Para novis diajak untuk hidup sepenuhnya dan memandang Tuhan selalu.   Kontributor: nSJ Arnoldus Iga Pradipta Wihantara

Read More »

Dalam Mendampingi Kita Didampingi

Halo, kami adalah Anak-Anak Bunda Maria. Kelompok ini awalnya dibentuk pada tahun 2012 sebagai wadah belajar Kitab Suci bagi anak-anak, namun karena berkat Tuhan, kami berkembang menjadi kelompok pelayanan belajar Kitab Suci, koor, dan persiapan sakramen bagi anak dan remaja. Kelompok ini berada di bawah reksa Paroki Blok B, Jakarta yang terbuka bagi semua anak, termasuk anak-anak dari luar negeri yang sebagian besar bukan berasal dari negara berbahasa Inggris dan juga siswa-siswi dari sekolah internasional.   Perjalanan kami menjelajahi spiritualitas Ignasian dimulai saat Pastor Paroki Blok B, Pater Aluisius Pramudya Daniswara, S.J. atau akrab disapa Pater Pram, (dengan bahasanya) memaksa kami mencoba melakukan Percakapan Rohani dalam retret tahunan kami. Saat itu kami mengira itu hanya program biasa seperti yang lainnya. Tak disangka, justru menjadi benih transformasi bagi kami para katekis dan anak-anak yang kami dampingi.   Sebagai katekis, kami berusaha mengadakan retret sehari sekali setahun. Momen itu menjadi waktu bagi kami untuk mengisi ulang energi, berhenti sejenak dari rencana pembelajaran dan prakarya, serta merasakan kesatuan dalam kelompok. Biasanya, suasananya hening dan berpusat pada mendengarkan refleksi pater.   Namun kali ini, pater mengajak kami melakukan aktivitas berbeda, yaitu Percakapan Rohani—di mana kami mendengarkan dengan seksama, berbagi cerita secara bebas dan nyaman, serta membiarkan Roh membimbing apa yang akan terjadi di tengah kami. Awalnya terasa aneh, tetapi nyatanya berhasil. Kami merasa tidak hanya disegarkan, tetapi juga lebih terhubung satu sama lain. Kami berbagi harapan dan usaha-usaha kami, bukan sekadar sebagai sesama rekan katekis, melainkan sebagai sahabat dalam perutusan bersama. Sejak itu, kami sering mempraktikkannya berkali-kali. Dalam formasi 12 minggu bagi para katekis baru yang terakhir ini dilakukan, kami mengakhirinya dengan percakapan Rohani, di mana setiap peserta berbagi hal-hal yang mengejutkan mereka, ketakutan-ketakutan, serta harapan dalam karya pelayanan mereka. Tak salah lagi, buah dari kegiatan ini adalah rasa persaudaraan dan perjumpaan satu sama lain dalam suasana otentik tanpa dibatasi peran, jabatan, maupun tugas. Kami mulai melihat diri kami bukan lagi sekadar sesama katekis, melainkan sahabat dalam perjalanan bersama.   Tentu saja, setelah bercerita kepada Pater Pram tentang buah-buah rohani yang kami alami, ia “memaksa” kami lagi, untuk melakukan Examen. Sebagai awam yang melayani di paroki Jesuit, kami mengira sudah memahami Examen. Selama bertahun-tahun, kami telah mengajarkan anak-anak untuk berdoa dalam tiga langkah sederhana, yaitu pertama bersyukur kepada Tuhan, kedua memohon pengampunan, dan terakhir mengungkapkan harapan/permohonan. Kami berpikir, “Sudah! Kami mengerti ini!” Namun, ia mengingatkan bahwa doa lebih dari sekadar kata-kata, itu adalah pengangkatan hati dan jiwa kepada Tuhan. Dengan lembut namun tegas ia meminta kami tidak hanya mempraktikkan Examen sendiri, setiap hari dan secara tertulis, tetapi juga membawanya ke dalam sesi dengan anak-anak. “Melalui ini,” ia bersikeras, “kita dan anak-anak akan mengenal diri kita lebih dalam.”   Jujur saja, kami sempat menunda-nunda. Di tengah rencana pembelajaran, pekerjaan, dan persiapan sakramen yang harus ditangani, latihan ini terasa seperti satu beban tambahan. Namun, dalam semangat Jesuit yang sejati, kami tetap menjalankannya. Kami mulai dengan para calon Krisma, meminta mereka melakukan doa Examen setiap malam dan menuliskannya. Awalnya kami tidak banyak berkomentar, hanya memastikan mereka melakukannya. Setelah tiga minggu, kami menjadwalkan percakapan rohani satu per satu dengan setiap calon. Kami tidak tahu apa yang akan muncul. Tidak terbayangkan, apa yang terjadi justru mengejutkan kami. Saya tidak akan pernah lupa seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun yang dengan setia menulis Examen setiap malam. Buku catatannya penuh refleksi. Saya membacanya seperti seorang detektif, lalu bertanya: “Apa pola yang kamu lihat? Apa yang paling sering kamu syukuri, yang kamu mohonkan pengampunan, dan apa yang menjadi permohonanmu?” Ia membalik halaman-halaman bukunya, lalu menatap saya dengan suara pelan, “Saya cenderung sering mengumpat.” Ia menunjuk beberapa catatan yang menuliskannya. Saya bertanya dengan lembut, “Mengapa kamu melakukan itu? Apakah mengumpat betul cara terbaik untuk mengekspresikan diri?” Ia berpikir cukup lama sebelum menjawab, “Karena itu yang dilakukan teman-temanku. Rasanya biasa saja, meskipun dalam hati saya tahu itu salah.” Kami diam. Lalu aku bertanya, “Jika kamu bisa memberi nasihat pada dirimu sendiri, apa yang akan kamu katakan?” Dia berhenti sejenak, lebih lama kali ini, dan akhirnya berkata dengan kata-kata yang menusuk hati, “Jangan lakukan apa yang menurut kita biasa!”   Pada saat itu, Roh Kudus menyentuh hatinya: sederhana namun jelas dan kuat. Melalui Examen, anak muda ini tidak hanya menemukan kelemahan pribadinya, tetapi juga keberanian untuk menolak kepatuhan buta. Itu adalah pengenalan akan kehendak Tuhan yang nyata, lahir bukan dari ceramah, melainkan dari doanya sendiri. Aku begitu terharu hingga hampir menangis.   Percakapan lainnya sama mengharukannya. Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun mengaku merasa terjebak dalam rutinitas, kosong, dan jauh dari Tuhan. Seorang gadis remaja berbagi bagaimana Examen membantunya menyadari dan bersyukur atas berkat-berkat kecil dan biasa yang ia terima setiap hari. Seorang lagi berbicara jujur tentang frustrasi akibat tekanan tak berujung untuk berprestasi di sekolah. Dan seorang gadis berani, dengan air mata di matanya, mengajukan pertanyaan yang membebani hatinya, “Apakah nenekku yang sudah meninggal diselamatkan?” Ada senyuman, tawa, dan ya, air mata. Kami belum pernah melihat kejujuran seperti itu dalam program-program sebelumnya.   Kami tidak siap menghadapi emosi yang muncul, tetapi itu adalah jenis kelebihan yang kudus. Setelah 13 tahun melayani MMK, kami semakin memahami bahwa menjadi seorang katekis tidak berarti melulu mengajarkan doktrin tetapi juga mendampingi sebagai teman dan rekan seperjalanan. Itulah anugerah sejati dari percakapan rohani dan Examen.   Pada malam itu juga, kami menelepon Pater Pram untuk berbagi kegembiraan dan kekaguman kami. Kami bukanlah ahli spiritualitas Ignatian, melainkan sekadar saksi dari buah-buahnya. Dan jika Anda adalah seorang katekis yang membaca ini, kami ingin mendorong Anda untuk membiarkan diri “dipaksa” juga melakukan Percakapan Rohani dan Examen, bahkan ketika terasa canggung dan seolah seperti melakukan pekerjaan tambahan. Sebab justru di saat-saat seperti itu Roh bekerja. Kadang, kebijaksanaan terdalam muncul begitu saja dari mulut seorang anak laki-laki berusia 13 tahun:   “Jangan lakukan apa yang tampak biasa dan normal!”     Kontributor: Joanne – Katekis Mother Mary’s Kids (MMK) 

Read More »

Gedangan dalam Langkah dan Cerita

Amazing Race: Salam hangat, saya Lusia dari OMK Gedangan. Mungkin Anda masih ingat, di edisi sebelumnya saya menulis tentang Gereja Gedangan. Kali ini, saya kembali tetapi dengan cerita berbeda meski masih dari tempat yang sama. Semoga pembaca belum lupa dengan cerita saya sebagai pemandu Jelajah Gedangan pada Internos Agustus lalu.   Masih seputar Perayaan 150 Tahun Gedung Gereja Gedangan, bulan lalu saya dan beberapa teman, beberapa dewan paroki, Pater Cahyo Christanto dan Pater Mathando (Dodo), sedang mempersiapkan acara jalan sehat sambil menelusuri kembali sejarah gereja kami tercinta. Jalan sehat dipilih bukan hanya untuk menyehatkan tubuh, tapi juga untuk mengenang perjalanan iman. Acara ini diberi nama “Amazing Race.” Kegiatan kali ini menggabungkan olahraga, pengenalan sejarah Gedangan, dan persaudaraan antarumat. Kali ini saya terlibat dalam sie acara, membantu membuat soal untuk tiap pos perhentian dan juga membuat buku panduan yang nantinya digunakan umat untuk mengerjakan tantangan di tiap pos perhentian.   Umat diajak berjalan melalui rute berbeda dan nantinya di setiap rute ada beberapa pos perhentian yang berisi permainan yang berkaitan dengan sejarah Gereja Gedangan. Dengan cara ini, sejarah tidak hanya dibaca, tetapi sungguh dialami dan dirasakan oleh setiap orang yang terlibat, entah sebagai panitia atau peserta.   Setiap pos menghadirkan pengalaman berbeda. Ada pos “Pecahkan Kodenya!” Di pos ini, disediakan soal-soal yang ditulis dalam bentuk sandi Morse, yang sekilas mungkin mengingatkan kita pada kegiatan Pramuka. Namun sebenarnya, pos ini bertujuan mengajak peserta merenungkan cara berkomunikasi, sekaligus menyadari bahwa iman dapat diteruskan dalam berbagai bahasa. Ada pos “Tentukan Kebenarannya!”, di mana peserta diajak untuk lebih teliti dalam memahami dan mengingat sejarah serta iman. Lalu, ada pos “Isi Teka-Tekinya!”, di mana peserta diminta mengisi TTS dengan tujuan mengenal kembali perjalanan sejarah secara menyenangkan, sekaligus merasa tertantang untuk menyelesaikannya.   Tak kalah menarik, ada pos “Susun Agar Utuh!” Di pos ini, peserta diminta menyusun puzzle yang menampilkan foto Gereja Gedangan dari tahun 1900-an. Melalui potongan-potongan kecil itu, peserta diajak merenungkan bahwa sejarah Gereja dan umat bagaikan kepingan yang, bila disatukan, membentuk gambaran indah karya Allah. Terakhir, ada pos “Siapakah Saya?”, di mana peserta harus menebak sosok dari potongan gambar yang tersedia. Permainan sederhana ini menjadi kesempatan untuk mengenang kembali tokoh-tokoh yang pernah berkarya di Gedangan, sekaligus melatih ketelitian dan menghidupkan ingatan akan sejarah komunitas.   Semuanya sudah siap, rancangan acara sudah beres, hadiah sudah tersedia, semua panitia yang terlibat sudah tahu tugasnya masing-masing. Technical Meeting pun tinggal menghitung hari. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, acara ini dapat tersusun dan siap untuk dilaksanakan. Umat juga nampak antusias, sudah membuat yel-yel untuk tiap tim, dan menyiapkan pakaian terbaik. Bayangan suasana akan hari itu sudah ada di kepala, yaitu peserta jalan beramai-ramai, pos perhentian yang penuh dengan tawa, beberapa panitia yang sibuk lari kesana-kemari memastikan semuanya berjalan lancar. Sungguh, momen itu bukan sekadar acara jalan sehat namun juga wujud kebersamaan umat Gedangan.   Namun, rencana indah ini harus tertahan sejenak. Pada akhir Agustus hingga awal September 2025, suasana Indonesia tengah memanas. Aksi demonstrasi besar pertama kali muncul di Jakarta, lalu gaungnya terasa ke banyak kota, termasuk Semarang. Massa memenuhi jalan, beberapa titik kota jadi ruang menyuarakan tuntutan. Tidak sedikit juga rencana publik yang terdampak. Kawasan Kota Lama pun jadi salah satunya.   Bulan September ini sebenarnya dipenuhi dengan berbagai acara budaya yang menarik. Namun, demi keamanan bersama, beberapa di antaranya harus ditunda—bahkan ada yang dibatalkan. Keadaan ini juga dirasakan di Gedangan, di mana kegiatan Amazing Race terpaksa harus ditunda. Tentu saja banyak umat merasa kecewa; tak sedikit yang kesal karena sudah mempersiapkan diri—ini dan itu—untuk mengikuti kegiatan tersebut. Namun menjelang hari-H, yang datang justru kabar penundaan acara. Jika saya berada di posisi mereka, saya pun mungkin akan kecewa dan kesal.   Tapi bagaimanapun juga, keselamatan bersama lebih utama daripada semarak acara yang, dalam situasi seperti ini, memang sebaiknya ditunda. Meski harus ditunda, makna rohaninya tetap utuh.   Sebagai panitia, saya juga merasa sedikit kecewa dengan penundaan ini. Namun di saat yang sama saya juga merasa tenang. Sejujurnya, saya sempat khawatir, jika kondisi belum aman, bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya rasa itu lebih buruk daripada penundaan Amazing Race sendiri. Setidaknya, acara yang telah dipersiapkan ini masih bisa dilaksanakan di waktu mendatang.   Jalan sehat ini tetap menjadi simbol perjalanan iman bersama. Sejarah Gereja Gedangan tidak hanya ada di buku, tetapi hidup dalam langkah umat yang terus berjalan. Meski kadang perjalanan tertahan oleh situasi zaman, namun penundaan ini bukanlah akhir melainkan jeda untuk menyiapkan hati. Kegiatan ini kelak akan tetap mengajak umat lebih mengenal sejarah, lebih mencintai Gereja, dan lebih bersatu. Mengutip semangat Ignatian, kita dapat menemukan Allah dalam segala hal, termasuk dalam rencana yang belum sempat terlaksana.   Kontributor: Lusia Pamungkas – Gedangan Muda

Read More »

Melampaui Teknologi, Menemukan Makna

Bellarminus Day 2025: Mrican, 17 September 2025 — Dalam semangat syukur dan inspirasi iman, civitas akademika Universitas Sanata Dharma (USD) bersama Komunitas Serikat Jesus Bellarminus merayakan Bellarminus Day 2025 dengan penuh sukacita di Kapel Bellarminus, Mrican.   Perayaan tahun ini terasa jauh lebih istimewa. Tidak hanya karena semangat Santo pelindung yang menyala, tetapi juga karena Kapel Bellarminus telah selesai direnovasi dan kini tampil lebih anggun, syahdu, serta mendukung suasana doa. Dalam Ekaristi yang meriah ini, turut dilakukan prosesi pemberkatan patung Santo Robertus Bellarminus. Diharapkan, kehadiran patung ini menjadi pengingat akan semangat cinta pada kebenaran, kesetiaan dalam pengajaran, dan pengabdian tanpa lelah dari St. Robertus bagi Gereja dan masyarakat.   Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Rektor USD, Pater A. Bagus Laksana S.J., didampingi oleh sembilan Jesuit anggota Komunitas Bellarminus. Dalam homilinya, Pater Bagus menyandingkan dua tokoh kudus lintas generasi: St. Carlo Acutis—santo milenial—dan St. Robertus Bellarminus—kardinal, Jesuit, sekaligus ilmuwan. Meski hidup di zaman berbeda, keduanya sama-sama menanggapi panggilan Tuhan, mengejar kekudusan, dan memberi makna bagi sesama lewat zaman dan tantangan yang kurang lebih mirip yaitu sains-teknologi dan iman. Bellarminus menghadapi perdebatan kosmologi, sedangkan Acutis menghadapi era internet. Pater Bagus mengajak seluruh civitas akademika untuk meneladani mereka, yaitu menjadi kudus di zaman ini berarti menjadi kreatif dan bijak dalam memanfaatkan teknologi, terutama Artificial Intelligence (AI).   Semangat perayaan semakin diteguhkan melalui dua sambutan inspiratif. Sambutan pertama disampaikan oleh Ketua Pengurus Yayasan Sanata Dharma, Pater C. Kuntoro Adi, S.J. Ia berharap kapel yang telah direnovasi ini dapat menjadi tempat perjumpaan yang akrab antara manusia dan Tuhan. Sambutan kedua adalah dari Pater G. Budi Subanar S.J. yang mewakili Komunitas Apostolik Kolese Santo Robertus Bellarminus. Ia menyampaikan sejarah menarik tentang Kapel dan Pastoran Bellarminus di mana keduanya tercatat pertama kali dalam katalog Serikat Jesus pada tahun 1961. Saat itu ada 10 Jesuit misionaris dan hanya satu dari Indonesia, Pater N. Driyarkara, S.J. Kini, situasinya terbalik, dari 10 Jesuit selebran, hanya ada satu misionaris luar negeri, Pater Spillane S.J. Pater Banar juga menyampaikan bahwa Pater F.A. Susilo, S.J. ditahbiskan di kapel ini pada tahun 1979, dan dalam dua tahun terakhir semangat menggali kembali warisan St. Robertus Bellarminus mulai hidup kembali di USD. Ia berharap semangat ini menjadi sumber inspirasi bagi seluruh civitas.    Setelah Ekaristi, suasana semakin semarak dalam acara ramah tamah yang dimulai dengan simbolisasi pemotongan tumpeng oleh Pater A. Hartana S.J., pemimpin proyek renovasi kapel. Halaman depan Kapel Bellarminus malam itu tampak memesona berkat pancaran cahaya dari lampu-lampu artistik yang menyentuh dinding putih dan kaca patri klasik, menciptakan kesan hangat dan sakral.   Kemeriahan semakin terasa lewat pertunjukan seni dan tari dari berbagai komunitas mahasiswa, mulai dari Komunitas Flobamora, Komunitas Mentawai, KMHD Swastikataruna, CANA Community, Jalinan Kasih Mahasiswa Katolik (JKMK), Komunitas Paingan (KOMPAI), hingga Forum Keluarga Muslim (FKM) Budi Utama. Perayaan Bellarminus Day 2025 ini menjadi momen reflektif sekaligus pengingat bersama, yaitu bahwa seluruh civitas akademika diajak menapaki jalan kekudusan di tengah dinamika zaman, khususnya dalam dunia pendidikan yang semakin menantang. Ad Maiorem Dei Gloriam.   Kontributor: Campus Ministry Universitas Sanata Dharma

Read More »

Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama, dan Allah

Senin, 1 September 2025, menjadi peristiwa yang membahagiakan bagi Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Pada hari itu, KPTT merayakan usianya yang ke-60 tahun. Beberapa orang merasa heran bahwa hingga saat ini KPTT masih berdiri tegak dan berkarya melayani bidang kursus pertanian dan peternakan. Bahkan, seorang mantan direktur KPTT, Pater Bentvelzen, S.J., yang pernah 25 tahun bertugas di KPTT, heran bahwa KPTT masih ada hingga saat ini. Ini adalah suatu keajaiban.   Pada peringatan 60 tahun ini, KPTT mengangkat tema “Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama dan Allah.” Tema ini secara khusus hendak menegaskan bahwa, KPTT saat ini bukan hanya sekedar tempat untuk belajar bertani dan beternak, namun sebagai tempat untuk membangun hubungan yang harmonis dengan alam, sesama, dan Allah. Dasar dari tema tersebut adalah seruan-seruan yang disampaikan oleh ensiklik Laudato Si dan Universal Apostolic preferences (UAP).   Bahkan, sejak tahun 2023, KPTT menginisiasi dirinya sebagai tempat untuk belajar spiritualitas manusia ekologis. Kata harmoni hendak menegaskan kepada siapa saja bahwa keseimbangan hubungan kita dengan alam, sesama, dan Allah tidaklah bisa dipisahkan. Ketiganya mesti dalam keadaan yang selaras dan tidak bisa diandaikan.   Rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) KPTT Rangkaian HUT KPTT dibagi dalam tiga bagian, yaitu family gathering, temu alumni KPTT, dan misa puncak peringatan HUT KPTT. Pada family gathering, acara secara khusus dipersembahkan untuk para karyawan KPTT dan keluarganya serta para siswa yang saat ini menempuh kursus dan magang hingga 30 Agustus 2025. Mereka semua terlibat aktif dalam tiga kegiatan pokok, yaitu jalan sehat, menanam cengkeh sebagai simbol usia KPTT yang ke 60, dan rangkaian kegiatan lomba serta bagi-bagi doorprize yang pada intinya meningkatkan keakraban keluarga KPTT. Wajah-wajah ceria para peserta family gathering ini memberikan warna syukur dan kegembiraan yang dialami KPTT.   Temu Alumni yang terjadi pada 31 Agustus sebagai rangkaian kedua HUT KPTT tidak terlalu banyak dihadiri oleh para alumni. Sebagian besar dari mereka yang bisa hadir adalah para alumni dari Purwodadi, Bawen, Bandungan, Malang dan yang paling jauh berasal dari Manado. Perjumpaan antar alumni sendiri memberikan suasana kebahagiaan dan nostalgia yang menghangatkan. Para alumni tidak pernah lupa jejak-jejak dan pengalaman-pengalaman formasi mereka ketika menjalani kursus di KPTT. Mereka sangat bersyukur bahwa pendidikan yang diberikan oleh KPTT, kendati singkat, baik satu tahun maupun tiga bulan, sungguh dapat memberikan orientasi yang kuat bagi roh hidup mereka. Hingga saat ini, sebagian besar dari mereka pun masih aktif di bidang pertanian dan peternakan. Dalam salah satu sambutan perwakilan alumni, Pak Teguh menyampaikan dengan penuh bangga dan syukur punya kesempatan mengenyam pendidikan di KPTT. Ia banyak menceritakan pengalaman karya dan atas jasa ilmu yang di dapat di KPTT, ia bahkan bisa bekerja mendampingi para mahasiswa pertanian di Universitas Brawijaya. Selain itu, ia juga menceritakan peran aktifnya di seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) di parokinya.   Rangkaian HUT 60 KPTT ditutup dengan perayaan misa yang dipimpin oleh Pater Paulus Wiryono Priyotamtama, S.J. didampingi oleh Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dan Pater Fransiskus Asisi Sugiarta, S.J. Dalam persiapan perayaan Ekaristi ini, panitia secara khusus menghias altar dengan berbagai macam jenis buah-buahan dan gunungan sayuran hasil panen KPTT. Di akhir misa, semua hasil panen tersebut dapat di-alap (diperebutkan) oleh para tamu undangan sebagai bagian dari berkah. Dalam homilinya, Pater Wir menyampaikan rasa syukur bahwa KPTT hingga saat ini bisa terus berkarya dan melayani banyak orang. Pater Wir sendiri pernah bertugas di KPTT sebagai direktur, kendati hanya 9 bulan. Hingga saat ini, Pater Wir tetap punya perhatian yang mendalam pada karya KPTT. Saat ini, beliau menjadi salah satu anggota pengawas Yayasan Taman Tani.   KPTT Menatap Masa Depan Pada saat ulang tahun KPTT ini, ada peristiwa penting lain yang patut untuk disyukuri, yaitu pergantian direktur KPTT. Selama 9 tahun terakhir, KPTT dipimpin oleh Pater F.A. Sugiarta, S.J. Selama itu pula, KPTT berusaha terus maju. Meskipun perlahan, KPTT saat ini menjelma sebagai karya pendidikan dan sosial Provindo yang melayani banyak orang muda. Dari data yang ada, jumlah orang yang dapat dilayani oleh KPTT semakin bertambah. Dalam arti tertentu, KPTT dengan karya pelayanannya masih diminati oleh banyak orang.   Hal lain yang juga tidak kalah penting perlu disyukuri adalah soal kemandirian KPTT. Tidak seperti sebelumnya, KPTT bisa berjalan karena dibantu banyak dana dari luar negeri, kini KPTT harus hidup dan berjalan secara mandiri. Karena alasan itu pula, KPTT meningkatkan kegiatan produksi dan pemasaran untuk mendapatkan dana yang cukup guna menghidupi dirinya dan para karyawan yang bekerja di dalamnya.   KPTT terus bercita-cita menjadi tempat rujukan belajar pertanian dan peternakan, sekaligus tempat belajar spiritualitas ekologis. Dalam spiritualitas ekologis tersebut, kami selalu menekankan tentang hubungan yang harmonis antara alam, sesama, dan Allah. Ketiganya adalah bagian yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, sebagai bentuk keterhubungan, KPTT juga terus ingin terhubung dengan banyak pihak. Dengan kata lain, KPTT ingin selalu berkolaborasi dengan pihak-pihak yang secara khusus bersedia memajukan pertanian, peternakan, dan pembinaan orang muda. Maka, kami mengundang siapa saja, kita semua, untuk ikut terlibat mengembangkan dan membantu KPTT meraih impian masa depan, yaitu menjadi lembaga rujukan kursus pertanian dan peternakan, serta membentuk pribadi-pribadi ekologis. Salam Lestari!   Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Read More »

Pekan Kateketik Novisiat Girisonta

Sabtu hingga Rabu, 9-13 Agustus 2025, Novisiat Girisonta mengadakan acara Pekan Katekese untuk para novis dan pranovis. Agenda rutin setiap tahun ini diadakan guna membekali para frater dengan materi katekese dari tim Pendikkat Sanata Dharma yang digawangi oleh Romo Hendra Dwi Asmara, S.J., Bapak Rudi dan Ibu Sindi, serta dua mahasiswa tingkat akhir, Ariel dan Caroline.   Setiap hari para frater dikenalkan dengan games ice breaking yang baru untuk membantu kerasulan PIA, PIR, OMK di lingkungan-lingkungan di Paroki Girisonta. Kak Caroline dan Ariel pun membawakan games untuk para frater agar para frater mengerti dan memahami cara memainkan games tersebut, misalnya ‘Berjalan Bersama’, melipat koran, ’Awas-Siap-Tembak-Dor’, games kerja sama dengan baik (Kyotobosi), games berhitung dan masih banyak games yang lain.   Selain permainan, para frater juga diberi materi peta perkembangan katekese. Dengan materi ini, para frater diharapkan memiliki tujuan ketika melaksanakan kerasulan lingkungan, yaitu transformasi, komunitas umat yang semakin beriman, perkembangan spiritual, dan pengajaran agama.   Yang menarik dari tim Pendikkat Sanata Dharma ini, selain membimbing/memaparkan materi di ruang belajar bersama para Novis, mereka juga ikut terjun langsung praktik kerasulan lingkungan naik sepeda bersama para Novis. Para pengajar Pak Rudi, Bu Sindi, Ariel, dan Caroline ikut bersama para novis pergi kerasulan lingkungan melewati jalan yang menanjak, menurun, dan tantangan lainnya. Berbagai sharing menarik pun muncul dari mereka karena ikut merasakan perjuangan novis setiap Senin sore menaiki sepeda untuk kerasulan lingkungan. Ada yang merasa lelah, namun bahagia; ada yang hanya dapat bersepeda hanya saat berangkat, lalu pulangnya naik ojek, karena medan yang dilalui naik-turun bukit, bukan jalan yang tidak datar.   Katekese Simbolik Selain itu, aktivitas menarik lainnya di dalam Pekan Katekese ini adalah materi tentang membuat katekese simbolik. Kami diminta untuk menjelaskan pengertian katekese dengan menggunakan simbol atau suatu benda di sekitar kami. Aktivitas ini kami lakukan dalam kelompok yang beranggotakan tiga orang. Hasil yang kami peroleh pun cukup unik. Dari 7 kelompok, muncullah 7 simbol katekese yang unik.   Salah satu simbol yang unik itu datang dari kelompok enam (Lino, Fred dan Alfons). Simbol yang mereka pakai adalah moke. Moke adalah minuman keras tradisional suku Bajawa, yang terkenal di dataran Flores, NTT. Kadar alkohol dalam moke terbilang cukup tinggi. Meminum moke secara berlebihan dapat membuat orang mabuk. Pada titik ini, kami heran: mengapa mereka memakai jenis miras ini untuk menjelaskan hal yang suci?    Ternyata, mereka mampu memaknainya secara berbeda. Lino menjelaskan bahwa katekese itu seperti moke yang membuat orang kecanduan dan mabuk cinta Tuhan. Katekese mesti dirancang agar umat mau datang lagi dan lagi, bukan karena untuk bertemu para fraternya, melainkan untuk lebih mengenal Tuhan. Menurut kami, simbol ini unik dan out of the box.   Katekese simbolik ini sangat membantu kami untuk lebih mengenal katekese itu apa sehingga memberikan kami orientasi yang jelas dalam katekese atau kerasulan di lingkungan. Dengan demikan, kami bisa lebih mudah membuat preparasi kerasulan dan mempraktikkannya kemudian.   Kerasulan: Probasi dasar hidup menjesuit Dalam kegiatan kerasulan atau berkatekese, para frater novis seringkali berjumpa dengan tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda di lingkungan tempat diutus. Tantangan itu dimulai dari kondisi perjalanan bersepeda yang tidak mudah, yaitu jalan terjal, curam, minim penerangan di beberapa titik, dan juga harus sungguh berhati-hati ketika melewati jalan besar karena beriringan dengan banyak kendaraan besar. Tantangan lainnya adalah ketika bertemu dengan kelompok/umat yang kami layani, khususnya dengan kelompok PIA dan PIR, karena kami harus mengenal dinamika batin mereka dan mencari cara yang tepat dalam berkomunikasi atau menyampaikan materi katekese.   Salah satu pengalaman menarik, yakni kerasulan di lingkungan Sambeng. Kebetulan Kak Ariel mendampingi frater-frater (Higa dan Deva) yang merasul di situ. Anak PIA dan PIR di situ cukup unik dan boleh dikata susah. Kak Ariel sebelumnya sudah tahu tentang kondisi lingkungan Sambeng dari cerita. Ketika memulai mengajar, Kak Ariel memberi contoh pada kami cara membangun dinamika yang hidup serta komunikasi yang baik dengan kelompok PIA-PIR ini. Pengalaman ini membuat para frater belajar dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi kekurangan mereka selama ini.   Kak Ariel memberi masukan dan evaluasi kepada frater. Dia tersenyum dan kemudian menjelaskan bahwa para frater harus tekun dan setia dalam proses. Karena para frater baru beberapa pertemuan datang ke sini, maka butuh waktu untuk bonding dengan anak-anak.   Selanjutnya, yang bisa dilakukan para frater yaitu tetap semangat dalam menyiapkan materi kerasulan tanpa merisaukan apakah nanti di lapangan berhasil atau gagal.   Kami bersyukur atas Pekan Katekese ini. Lewat kursus beberapa hari ini, kami disadarkan bahwa kerasulan merupakan salah satu probasi dasar yang harus kami latih dan kerasulan adalah bagian dari hidup menjesuit sebab Jesuit adalah mereka yang dipanggil untuk selalu siap sedia diutus ke manapun.     Kontributor: nS Martin, Edgar, dan Higa

Read More »

Perjumpaan yang Menumbuhkan

Permulaan yang Dimulai Kembali Ignatian Student Leadership Forum (ISLF) kembali diselenggarakan pada tahun 2025 di Iloilo, Filipina setelah sempat terhenti sejak tahun 2018 akibat pandemi. Forum ini mempertemukan para pelajar dari sekolah Jesuit di sebagian wilayah Asia-Pasifik yakni, Filipina, Australia, Timor Leste, Makau, Taiwan, Hongkong, Kamboja, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Indonesia mengirim 15 orang dari 7 kolese sebagai perwakilan untuk mengikuti acara ini. Christopher Kana Cahyadi, Mikaela Calista Amara, Valencia Audra Sumito mewakili Kolese Gonzaga. Leonard Hazel Widjaja, Jovan Nugroho, Amazel Olavio Siagian mewakili Kolese Kanisius. William Nugroho Setiyo, Daniel Edhi Wicaksono, Bumi Praba Murti mewakili Kolese De Britto. Eugeneus Dimas Prameswardhana mewakili Kolese Mikael, Kevin Anthony Setiawan, Joanna Evanya Ozora Christine, Emanuella Kirana Rosari Lestari mewakili Kolese Loyola. Nathanel Satriya Genggam Darma dan Christopher Lebdo Kusumo mewakili Seminari Mertoyudan. Seluruh peserta dari Indonesia didampingi oleh Pater Baskoro Poedjinoegroho, S.J., Frater Klemens Yuris Widya Denanta, S.J., dan Ibu Maria Pramudita Wetty, M.Si.    Sebelum keberangkatan, Frater Yuris menemani seluruh peserta dari Indonesia mempersiapkan diri dengan memperdalam Ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus agar siap berdinamika dalam ISLF. Setiap kolese mendapat bagian dari masing-masing bab Ensiklik untuk dipelajari lalu mempresentasikannya secara daring. Proses persiapan ini menjadi ruang untuk memperdalam pemahaman tentang permasalahan ekologi sekaligus menghayati semangat Ignasian dalam melihat hubungan antara manusia, alam, dan Allah. Para peserta juga bertemu dengan Pater Baskoro Poedjinoegroho, S.J. di Kolese Kanisius. Dalam pertemuan tersebut, Pater Baskoro memberikan arahan sekaligus dorongan bagi para peserta untuk terlibat secara aktif selama forum seperti aktif bertanya, berpartisipasi dalam setiap sesi, dan tidak ragu untuk duduk di baris terdepan.   ISLF 2025 mengusung tema “Engaging the Youth to Engage the World”. Tema ini menjadi sebuah ajakan bagi kaum muda untuk berperan aktif dalam membangun dunia melalui semangat dialog dan kolaborasi lintas budaya. Dalam kegiatan ini para peserta dari berbagai negara diajak untuk mendalami isu ekologi, menjelajahi kekayaan budaya lokal, dan saling berbagi tradisi. ISLF 2025 mengusung nilai sosial dan budaya yang kuat. Jika kita menelusuri lebih dalam, seluruh rangkaian kegiatan ISLF 2025 sejatinya mengacu pada semangat dialog yang hidup. Dalam pembukaan ISLF ini, Frater Bien E. Cruz, S.J. mengajak peserta untuk menyadari peran kaum muda yang signifikan, bukan di masa depan saja, melainkan sejak dari saat ini. Semangat dialog juga tampak dalam proses pembuatan impact tree poster. Para peserta dipertemukan dalam kelompok balay. Di dalamnya, kami diajak untuk menuangkan ide dan gagasan satu sama lain serta mempresentasikannya dalam karya seni. Tidak hanya dalam sesi materi saja, semangat dialog juga terbangun melalui kegiatan cultural night, saat setiap negara menampilkan kebudayaannya masing-masing melalui games dari masing-masing negara yang membuka interaksi lintas budaya secara terbuka. Momen-momen inilah yang membuat dialog terasa hidup selama acara ini berlangsung.   Bila kita meneropong berbagai macam kegiatan yang ditawarkan dalam ISLF 2025, kita akan menemukan kesamaan nilai di dalamnya, yakni perjumpaan. Dalam konteks ini, perjumpaan tidak bisa dimaknai secara sempit sebagai ruang yang di dalamnya terdapat banyak orang. Arti perjumpaan dalam ISLF 2025 sangatlah luas. Peserta tidak hanya diajak untuk menjalin jejaring dengan masyarakat lokal maupun global, tetapi juga berjumpa dengan harta warisan Iloilo City, dengan warga lokal yang merespons masalah ekologi dengan membangun esplanade, bahkan berjumpa dengan dirinya sendiri.     Menemukan Makna Perjumpaan Dengan memasuki ruang perjumpaan, seseorang sedang diajak atau bahkan ditantang untuk menggunakan inderanya. Dalam setiap kegiatan yang ada selama ISLF, selalu ada momen ketika peserta melihat, mendengarkan, menyentuh atau meraba. Kedengarannya sederhana dan mudah diterapkan, namun, perjumpaan akan selalu diikuti dengan tantangan. Untuk masuk ke dalamnya, seseorang harus berani melangkah ke luar dari dirinya sendiri. Di luar diri sendiri, ada banyak hal yang kerap kali tidak kita inginkan.   Melihat realita bahwa dunia terus berkembang, kehadiran kaum muda dalam forum ISLF menjadi semakin penting. Mereka tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi sebagai pribadi yang membawa pengalaman, pertanyaan, dan semangatnya masing-masing. Forum ini menjadi ruang belajar untuk menumbuhkan kepekaan terhadap realita yang lebih luas sekaligus melatih keberanian untuk terlibat secara aktif. Kehadiran kaum muda tidak terlepas dari tantangan yang ada seperti over screen time dan inferiority complex yang kerap membatasi keberanian mereka untuk hadir dan bersuara. Melalui dialog dan perjumpaan yang dialami, para peserta perlahan belajar untuk melampaui batas tersebut.   ISLF 2025 menjadi pengalaman yang lebih dari sekadar forum kepemimpinan lintas negara. Selama beberapa hari, para peserta sungguh diajak untuk hidup dalam ruang dialog dan perjumpaan. Bukan hanya dengan orang-orang dari berbagai budaya, melainkan juga dengan lingkungan sekitar dan dengan diri mereka sendiri. Berbagai kegiatan mulai dari sesi refleksi, diskusi kelompok, cultural night, hingga games membentuk proses yang membangun dan memperkaya pengalaman para peserta. Di dalamnya, para peserta dapat menemukan arti keterbukaan, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan keindahan dalam keragaman. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan tidak selalu mulai dari hal besar, tetapi dari kesediaan untuk mendengar, hadir, dan tumbuh bersama. Semangat dan relasi yang lahir tidak padam begitu saja setelah acara ini berakhir. Pengalaman yang berharga ini juga dibagikan dan dihidupkan kembali di lingkungan masing-masing. Apa yang diperoleh dari ruang perjumpaan lintas budaya ini tidak berhenti di Iloilo saja, tetapi juga menjadi inspirasi untuk membangun dialog dan keterlibatan nyata.     Kontributor: Emanuella Kirana Rosari Lestari (Siswa SMA Kolese Loyola) & Nathanel Satriya Genggam Darma (Siswa Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan)

Read More »

Kanisius Belajar

Sharing Praktik PPR dan Bedah Buku Men and Women for Others Jumat, 10 Oktober 2025, keluarga besar Yayasan Kanisius Cabang Semarang dan sejumlah Yayasan Pendidikan Katolik di Kota Semarang mengikuti acara Kanisius Belajar: Sharing Praktik Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) dan Bedah Buku Men and Women for Others karya Pater Melkyor Pando, S.J., di KB-TK Kanisius Kurmosari. Acara ini diselenggarakan Yayasan Kanisius Cabang Semarang dalam rangka menyambut ulang tahun ke-107 Yayasan Pendidikan Kanisius.   Acara ini dibuka dengan materi penguatan PPR dari Ketua Yayasan Kanisius, Pater Heru Hendarto, S.J. Mantan Rektor Kolese Kanisius Jakarta ini mengajak para peserta untuk menyadari bahwa perutusan di karya Pendidikan Kanisius merupakan “Missio Dei” dan para guru adalah Collaboratores Missio Dei tersebut. Semua dipanggil untuk turut serta melakukan stewardship (merawat) karya ini. Seperti dalam Lukas 5:4, semua diundang Yesus untuk Duc in Altum atau bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mendalam berelasi dengan Tuhan, mendalam dalam bidang yang diajarkan, dan mendalam melalui cura personalis-caring for the whole person terhadap setiap peserta didik.   Pedagogi Paradigma Ignatian di Tingkat Sekolah Yohana Rosana Meiwati, S.Pd, Kepala Sekolah SD Kanisius Sukorejo berbagi best practice PPR di lingkungan sekolahnya. Cura personalis mereka bangun sedemikian rupa mulai dari kepala sekolah dan para guru serta karyawan. Sekolah menjadi rumah bersama melalui dinamika bersama, baik doa, belajar, rekreasi, dan kegiatan menjaga kebersihan sekolah.   Praktik cura personalis terhadap anak pun dilakukan melalui aneka bentuk. Setiap siswa didampingi secara optimal sesuai bakat, minat, dan kemampuannya sehingga banyak dari siswa di sekolah ini yang berprestasi secara akademik, seni, olahraga, dan sebagainya. Para guru juga mendampingi beberapa siswa berkebutuhan khusus dengan tekun dan sabar sehingga anak-anak tersebut memiliki kepercayaan diri, bahkan ada anak tunadaksa yang menjadi juara dalam ajang paralimpik tingkat Provinsi Jawa Tengah. Lebih lanjut, cura personalis tidak hanya berhenti di lingkungan sekolah, melainkan juga sampai ke rumah orangtua. Home visit ketika ada bayi baru lahir menjadi cara para guru Kanisius untuk menyapa orang tua dan ikut memberi pendampingan.   Kepala Sekolah SMP Kanisius Argotiloso Sukorejo, Yohanes Martono, S.Pd. berbagi cerita praktik cura personalis melalui Canisian Angels (CA). Melalui CA, adik kelas mendapat pendampingan dari kakak kelas, mulai dari studi dan sejenisnya. Selain itu, terdapat kegiatan Kanisius Peduli, dimana para siswa menyisihkan uang saku untuk membantu teman yang kesulitan memiliki sepatu, tas, dan kebutuhan belajar lainnya. Siswa juga belajar menjadi penyiar radio melalui Radio Rehat, berkreasi melalui Mading Digital dan sebagainya. Semua itu dilakukan atas pendampingan para guru yang dengan berbagai cara memfasilitasi kebutuhan anak demi optimalnya perkembangan anak didik.   Men and Women for Others Pater Melkyor Pando, S.J. hadir sebagai penulis buku sekaligus pembicara dalam bedah buku berjudul, Men and Women for Others. Pater Melky sebagai skolastik yang pernah melaksanakan program formasi orientasi karya di Yayasan Kanisius Cabang Semarang, menyampaikan bahwa buku ini lahir dari ketergerakan hatinya melihat terbatasnya sumber-sumber mengenai kekayaan pendidikan Jesuit dalam bahasa Indonesia. Ia berharap, kehadiran buku ini dapat menambah khazanah pengetahuan bagi mereka yang ingin memperdalam keutamaan-keutamaan pendidikan Jesuit dan relevansinya di zaman ini.   Buku yang lahir dari doa dan refleksi yang tekun selama menjalani masa tersiat di Australia ini menampilkan pilar-pilar pokok pendidikan Jesuit sejak awal hingga kini. Buku yang sebagian besar sumbernya ini berasal dari dokumen-dokumen Serikat menegaskan, pendidikan adalah cara menyelamatkan jiwa-jiwa. Aneka best practices di dalam pendidikan Jesuit sepanjang sejarah menunjukkan, meski pendidikan terus mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, inti dan semangatnya tetap sama, yakni demi membentuk pribadi-pribadi yang utuh sebab pendidikan Jesuit adalah perpaduan model pendidikan skolastik yang berfokus pada critical thinking dan juga humanisme (humaniora – kepekaan hati).   Di hadapan perubahan zaman yang cair ini, sebuah istilah yang Pater Melky ambil dari gagasan pemikir Zygmut Bauman, yakni era yang penuh ketidakpastian, terus berubah, dan ditandai dengan ketidakpastian permanen, model pendidikan Jesuit tetaplah relevan. Kesetiaan menghidupi visi pendidikan Jesuit yang menekankan 4C competence, compassion, commitment, and conscience menjadi kunci untuk membentuk pribadi-pribadi men and women for others di zaman ini.   Sesi bedah buku Men and Women for Others karya Pater Melkyor Pando, S.J. (Dokumentasi: Penulis)   Panggilan Zaman Bagi Bu Sindy, dosen pendidikan agama Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang hadir sebagai pengulas turut menegaskan, buku Pater Melky memberikan cara pandang dan semangat bahwa nilai-nilai dalam pendidikan a la Jesuit dapat menjadi oase di tengah dunia yang penuh ketidakpastian dan individualisme.   Nilai-nilai Pendidikan Jesuit itu menyalakan harapan bagi generasi Z dan Alpha yang cenderung haus akan makna di tengah kehidupan yang tidak pasti. Semangat refleksi, kecakapan intelektual, dan hati yang peka pada penderitaan sesama akan membantu manusia memukan makna (meaning making) di tengah kecemasan hidup yang kini terus menggerogoti kaum muda. Lebih lanjut, melalui semangat men and women for others, generasi di zaman ini dibantu untuk menemukan tujuan hidupnya, bahwa hidup bukan tentang aku saja, tetapi juga ada sesama di sekitarku yang perlu aku perhatikan.   Momen kebersamaan ini bertambah meriah dengan acara bagi-bagi hadiah dan makan siang bersama. Menariknya, meski hadiah dalam doorprize kali ini bukan untuk dibawa pulang oleh para guru ke rumahnya masing-masing, melainkan untuk menambah fasilitas di sekolah, para peserta tetap begitu antusias mengikutinya. Pada akhirnya, semoga momen belajar dan bersukacita bersama ini mendorong para pendidik di Kanisius untuk siap sedia menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam membentuk diri dan para murid yang dilayani menjadi men and women for others!   Kontributor: Sch. Engelbertus Viktor Daki, S.J.

Read More »

Menemukan Tuhan dalam Penugasan di Tlogosari

Refleksi Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah Kamis, 10 April, 2025 menjadi awal dari sebuah pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saat itu, saya mengira ini hanya sekadar tugas sekolah yang berat, asing, dan cukup membuat cemas. Namun ternyata, justru dari pengalaman itulah saya mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Kegiatan ini bernama Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM), sebuah program tahunan dari SMK Katolik St. Mikael Surakarta yang diperuntukkan bagi siswa-siswi kelas XI. LKTM bukan sekadar pelatihan atau pertemuan biasa. Kami diutus untuk tinggal bersama keluarga asuh dan berkarya di sekolah-sekolah Kanisius di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang mulai dari jenjang TK, SD, hingga SMP. Suatu hal yang menarik adalah kami sama sekali tidak diberi tahu tujuan penempatan kami. Kami hanya menerima amplop berisi nama dan alamat, lalu diminta mencari jalan sendiri menggunakan transportasi umum. Tidak boleh membawa ponsel, tidak boleh bertanya kepada teman. Kami benar-benar dilatih untuk mandiri.   Saya sendiri ditempatkan di TK-SD Kanisius Tlogosari, Semarang. Awalnya saya merasa sangat gugup karena ternyata saya berangkat sendiri. Pikiran-pikiran negatif mulai muncul. Bagaimana kalau nyasar? Bagaimana kalau tidak ada yang menjemput? Tapi sesampainya di sana, saya bertemu Wahyu, teman saya yang ternyata juga ditempatkan di kompleks yang sama, meskipun pada jenjang berbeda. Saya di TK dan dia di SD.   Setiap pagi, saya membantu guru-guru TK dari pukul 07.00–10.00. Saya bermain bersama anak-anak, membantu mewarnai, menyusun lego, dan ikut serta dalam kegiatan harian mereka. Salah satu anak yang paling saya ingat bernama Chinchin, yang awalnya adalah anak yang sangat pemalu dan sering menangis, namun lambat laun mulai terbuka. Belakangan saya baru mengetahui bahwa ia memiliki hambatan dalam berbicara. Saya juga sempat membantu di SD, mengajar matematika khususnya soal jaring-jaring bangun ruang hingga membuat miniatur sekolah.   Kami tinggal bersama seorang ibu asuh yang luar biasa, Ibu Maria, seorang guru TK yang ramah dan penuh perhatian. Ia tinggal bersama suami, dua anaknya, Mbak Tata dan Bimbim, serta beberapa hewan peliharaan yang cukup mengejutkan, seperti anjing, ular, bahkan tarantula. Jujur saja, awalnya saya takut, namun lama-kelamaan saya mulai terbiasa. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa rasa nyaman bisa tumbuh jika kita berani membuka diri. Di rumah itu, saya merasa diterima sepenuh hati seperti bagian dari keluarga sendiri.   Suatu malam, kami diajak Mbak Tata berkunjung ke Kolese Loyola, tempat ia bersekolah. Bangunannya tampak megah, dengan fasilitas modern, termasuk perpustakaan yang dilengkapi lift. Namun bukan fasilitasnya yang paling membekas di hati saya, melainkan cara Mbak Tata menceritakan pengalamannya. Ia terlihat begitu bangga menjadi bagian dari tempat yang membentuk dirinya. Saat mendengarnya, saya terdiam sejenak. Dalam hati saya bergumam: seharusnya saya juga bisa merasa bangga terhadap sekolah saya sendiri, SMK Mikael. Bukan karena besar atau mewahnya, tapi karena nilai-nilai yang ditanamkan kepada kami. Di sekolah itulah saya belajar arti kepemimpinan, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan semangat untuk hadir bagi sesama. Di sanalah karakter saya ditempa dengan kedisiplinan, pelayanan, dan cinta akan keheningan. Saya tersadar bahwa menjadi bagian dari SMK Mikael bukan sekadar status, tetapi panggilan untuk menjadi pribadi yang siap diutus.   Satu sosok yang juga membekas bagi saya adalah Pak Adi, penjaga kapel sekolah. Hidupnya sederhana, tinggal seorang diri karena keluarganya telah tiada. Namun semangatnya luar biasa. Setiap pagi dan sore saya membantu membersihkan kapel. Dari Pak Adi saya belajar tentang arti kesetiaan dalam hal-hal kecil. Beliau selalu tersenyum meski hidupnya sunyi. Dalam diamnya, ada ketulusan yang menyentuh hati saya.   Hari terakhir menjadi momen yang sangat emosional. Anak-anak TK memeluk kami erat, beberapa guru meneteskan air mata, dan saya sendiri nyaris tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya baru saja mengenal mereka, tetapi sudah harus berpamitan. Dalam pelukan dan air mata itu, saya menyadari bahwa lima hari ini bukanlah waktu yang sebentar. Kami memang hanya membantu sedikit, tetapi kasih sayang yang kami terima jauh lebih besar.   LKTM bagi saya bukan sekadar soal menjadi pemimpin. Lebih dari itu, menjadi sebuah proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Takut, bingung, senang, terharu, semua rasa datang silih berganti. Namun justru dari semua itulah saya sadar bahwa Tuhan hadir dalam wajah anak-anak, dalam obrolan bersama guru, dalam tawa keluarga asuh. Bukan di tempat yang megah, tetapi dalam hal-hal paling sederhana. Saya juga semakin memahami dunia pendidikan. Para guru di sana bekerja dalam keterbatasan, namun tetap penuh semangat. Mereka sabar, telaten, dan tidak pernah mengeluh. Melihat mereka, saya merasa kecil. Tetapi juga tergerak untuk lebih menghargai pendidikan sebagai sebuah panggilan, bukan sekadar profesi.   Banyak momen kecil yang membekas dalam LKTM ini, seperti anak TK yang tiba-tiba memeluk saya, Pak Adi yang berkata bahwa kami seperti cucunya, dan Bu Maria yang mendoakan kami dengan mata berkaca-kaca. Saya belajar bahwa dalam pelayanan, yang kita beri tidak akan pernah lebih besar dari yang kita terima. Justru dalam memberi, hati kita dipulihkan kembali. Pengalaman ini juga menyadarkan saya bahwa menjadi pemuda Katolik bukan hanya soal aktif dalam kegiatan, tetapi juga berani diutus, hadir, mendengarkan, menemani, bahkan dalam keheningan. LKTM mengajak saya untuk berjalan bukan dengan peta, tetapi dengan iman. Perlahan, saya percaya bahwa langkah kecil yang saya ambil kemarin adalah awal dari perjalanan panjang menuju kedewasaan.   Saat saya menulis ini, berbagai kenangan muncul kembali. Ada banyak cerita sederhana yang ternyata menyimpan makna besar. LKTM bukan sekadar program sekolah, namun juga berperan sebagai ziarah hati, proses pembentukan diri yang pelan-pelan mengubah cara pandang saya terhadap dunia, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Saya berharap kisah ini dapat menjadi pengingat, bukan hanya bagi saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya bahwa dalam setiap perjalanan, Tuhan senantiasa menyertai. Kadang kita tidak menyadarinya. Tetapi Ia hadir dalam pelukan, dalam tawa, dalam keheningan, dan dalam setiap detik yang kita jalani dengan hati yang terbuka.       Kontributor: Helarius Hido Setiawan – Siswa SMK Katolik St. Mikael Surakarta

Read More »

Oleh-Oleh dari Siem Riep, Kamboja

”Guru, kami sudah mempraktikkan ilmu pertanian yang sudah guru ajarkan. Baru kali ini, kami mengikuti kegiatan kursus pertanian yang terasa mudah, langsung ada kegiatan praktik dan menggunakan bahan-bahan murah dan mudah yang ada di sekitar kita. Maka, sesampai di sekolah kami masing-masing, kami langsung mempraktikkan apa yang guru ajarkan.” Demikianlah kesan singkat yang saya peroleh setelah memberikan kursus pertanian singkat di Reflection Center Midol Meta Karuna, Siem Reap, Kamboja.   Pada 4-5 Juli 2025, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga hadir di Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian. Seperti di banyak tempat lain, bidang pertanian adalah sektor penting bagi kehidupan banyak masyarakat namun kurang diminati. Karena memang kurang diminati, ilmu dan teknologi pertanian pun menjadi kurang berkembang. Selain itu, faktor alam dan tanah yang kurang subur menambah daftar keengganan banyak orang untuk berkecimpung di bidang pertanian. Untungnya, keprihatinan tersebut ditangkap oleh Rm. Jihnyuk, S.J. (seorang Jesuit dari Korea Selatan yang menjadi misionaris di Kamboja). Karena alasan itulah, KPTT yang diwakili oleh F. Dieng, S.J., hadir ke Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian.   Lebih dari 30 peserta pelatihan yang terdiri atas para Jesuit, guru, staf JRS, karyawan, dan aktivis lingkungan antusias mengikuti kegiatan kursus pertanian tersebut. Dalam kegiatan kursus ini, kami mengangkat tema integrated and sustainable farming. Di dalam praktik pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang sangat penting, yaitu konektivitas, saling melayani, dan harmoni. Tiga poin ini menjadi penting, khususnya bagi orang Kamboja karena pada dasarnya leluhur mereka juga adalah petani. Namun, kecintaan terhadap bidang pertanian ini sempat mengalami tantangan yang berat, terutama saat kekuasaan Rezim Khmer, di mana banyak orang dipaksa bekerja sebagai petani, bahkan sebagian besar hingga mati. Ibu So Kheng, penerjemah dari kursus ini, adalah saksi hidup bagaimana ia berjuang untuk hidup sebagai petani yang dipaksa bekerja hingga beberapa saudaranya meninggal.   Dalam kursus ini, KPTT menyampaikan langkah-langkah menjadi manusia ekologis sebagai dasar utama membangun pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan. Selebihnya, dasar-dasar ilmu pertanian pun kami sampaikan, seperti media tanam, nutrisi tanaman, pengendalian hama, dan penyakit tanaman. Para peserta cukup bersemangat, khususnya saat mereka harus praktik untuk membuat media tanam, hugelkultur, dan meracik mikroorganisme lokal.   Di akhir kegiatan kursus, Pater Jihnyuk merasa tersentuh dan baru menyadari bahwa kita semua terhubung antara satu dengan yang lain. Diri kita dengan sesama, alam, dan juga Allah. Ia sangat terkesan dengan penggalan video how trees secretly talk to each other. Ia baru menyadari bahwa tanaman pun dapat berkomunikasi dengan tanaman lain melalui jamur dan mikroorganisme lain yang ada di dalam tanah.     Reconciliation with Creation (RWC) Meeting Kegiatan kursus pertanian di atas sejatinya masih dalam satu rangkaian dengan pertemuan delegasi RWC tingkat JCAP yang diadakan di tempat yang sama. Dalam pertemuan RWC ini, ada dua agenda yang diusung. Agenda pertama adalah mengundang dan meminta para pemenang program Creator of Hope untuk mempresentasikan proyek ekologis mereka. Mereka adalah orang-orang muda yang sudah lebih dari dua tahun bergerak di bidang ekologi yaitu melalui berbagai macam kegiatan penyelamatan lingkungan hidup. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pemenang dari Indonesia yang bergerak di bidang konservasi karang dan biota laut di Kepulauan Anambas. Bersama dengan Yayasan Anambas, Fauzan Maulana, pemenang Creator of Hope, bahu-membahu memperbaiki kondisi bawah laut di perairan Anambas. Kendati kelihatan terpencil, perairan laut tersebut ternyata mengalami kerusakan yang cukup parah akibat penggunaan bom dan pukat harimau dalam menangkap ikan.   Inti dari program Creator of Hope adalah pemberian dukungan dari RWC terhadap orang-orang muda yang selama ini sudah bergerak dan berjuang bagi lingkungan hidup di mana mereka berkarya. Dengan memberikan dana sebesar $2000, RWC berharap orang-orang muda tersebut sungguh-sungguh tetap bersemangat menjadi agen-agen lingkungan hidup di tempat mereka masing-masing dan menciptakan harapan bagi lingkungan hidup dan sesama.   Agenda kedua dari RWC meeting adalah presentasi dari masing-masing provinsi dan regio mengenai kegiatan-kegiatan ekologi yang dilakukan di tempat masing-masing. Dalam kesempatan ini, kami juga memberikan waktu bagi delegasi yang tidak bisa hadir secara fisik, yaitu Pater Paul Tu Ja, S.J. dari Myanmar, yang karena kondisi perang tidak bisa hadir secara offline di Kamboja. Hal yang menarik dari apa yang dilakukan oleh Pater Tu Ja adalah kesetiaannya untuk tetap bersama umat di parokinya kendati serangan militer banyak terjadi di parokinya. Ia memaparkan, ada kondisi ekologis yang memprihatinkan saat perang, ada banyak lahan pertanian yang terkena bom dan ranjau. Selebihnya, para petani juga takut dan tidak nyaman karena situasi perang membuat segalanya tidak pasti, sehingga kegiatan pertanian pun juga menjadi tidak menentu. Di akhir pemaparannya, kami semua berharap agar konflik dan situasi di Myanmar segera membaik.   Di penghujung pertemuan RWC, kami menggagas macam-macam kegiatan yang bisa kita lakukan secara bersama antarprovinsi dan regio, serta apa saja bentuk bantuan yang bisa diberikan atau disumbangkan. Agar menjadi jelas dan konkret, kami akhirnya membentuk anggota inti yang kemudian diminta untuk merumuskan visi, misi, serta langkah-langkah praktis pelaksanaan kegiatan RWC ke depan. Salah satu langkah praktis yang bagi saya menarik dari bagian akhir pertemuan ini adalah keinginan para delegasi untuk mempraktikkan Finding God in Farming. Jargon ini sendiri saya angkat dari praktik pertanian yang dilakukan di KPTT. Bagi para delegasi lain, hal tersebut adalah praktik yang bagus dan sejatinya hampir semua delegasi juga melakukan praktik yang sama. Maka, kegiatan bertani dan menemukan Tuhan di dalamnya patut terus dilakukan.       Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Read More »

Merayakan Kemerdekaan Tanpa Perbedaan dalam Kebersamaan

TUJUHBELASAN TOGETHER Siang itu, 19 Agustus 2025, Kampung Kongsi di Cisarua menjadi lebih ramai dari biasanya. Sebuah lapangan sederhana di tengah permukiman dipenuhi warga dan para pengungsi yang berkumpul untuk merayakan hari kemerdekaan. Bendera merah putih dipasang tegak di tengah lapangan sebagai tanda dimulainya acara, sementara anak-anak berlarian kesana-kemari sambil tertawa riang. Orang dewasa duduk berkelompok, sebagian menyiapkan perlengkapan lomba, sebagian lagi sibuk menyapa satu sama lain. Suasana akrab itu menjadi awal dari sebuah perayaan tujuhbelasan yang berbeda dari biasanya.     Pada kesempatan ini, Jesuit Refugee Service (JRS) menggandeng Hope Learning Center (HLC) mengadakan perayaan kemerdekaan bersama dengan warga lokal kampung Kongsi. HLC sendiri telah lama menjadi rumah bagi anak-anak pengungsi di kawasan Cisarua. Di tengah keterbatasan hidup di negeri asing, HLC menghadirkan kesempatan untuk belajar, bermain, dan bertumbuh bersama. Bagi anak-anak yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran, HLC adalah ruang harapan, tempat mereka tetap bisa merasakan suasana pendidikan dan menatap masa depan dengan optimisme.     JRS dan HLC bersama dengan warga Kampung Kongsi berkolaborasi menggelar kegiatan bertajuk Tujuhbelasan Together. Perayaan ini bukan hanya sekadar rangkaian lomba kemerdekaan, melainkan sebuah kesempatan untuk mempertemukan warga lokal dan para pengungsi dari berbagai negara seperti Afghanistan, Sudan, Syria, Iraq, Ethiopia, Myanmar, hingga Yaman. Semua hadir dengan semangat yang sama yaitu merayakan kemerdekaan tanpa perbedaan dalam kebersamaan.     Sejak siang hari, aneka lomba khas tujuhbelasan mulai digelar satu per satu. Sorakan langsung pecah saat lomba makan kerupuk dimulai, ketika anak-anak berjuang dengan penuh semangat menggigit kerupuk yang bergoyang ditiup angin. Tidak lama kemudian, gelak tawa membahana saat lomba balap karung berlangsung, membuat peserta berloncatan dengan karung goni, jatuh, lalu bangkit kembali sambil tetap tertawa.     Lomba tarik tambang menghadirkan momen paling mendebarkan, mempertemukan tim warga lokal dan tim pengungsi yang saling beradu tenaga, sementara penonton bersorak dengan semangat luar biasa. Keriuhan semakin bertambah dengan lomba cerdas cermat yang membuat peserta berpikir keras, lomba meniup gelas plastik yang menguji kelincahan, serta lomba mengaitkan topi keranjang yang memancing sorak sorai riuh. Tidak kalah seru, lomba memindahkan karet dengan sedotan dan lomba menebak gambar juga menghadirkan kegembiraan tersendiri, membuat semua yang hadir larut dalam rasa kebersamaan yang hangat.     Di tengah keceriaan itu, Amira (nama samaran), salah satu peserta dari HLC, berbagi kesannya: “I enjoyed so much today’s event. We gathered and had a lot of fun, especially with all the games. We rarely have fun activities in HLC and this event became a good opportunity for us to get to know better with the local community. We should continue this.” Ungkapan itu menjadi cerminan bagaimana perayaan sederhana mampu membuka ruang perjumpaan dan mempererat ikatan antara warga lokal dan pengungsi.     Menjelang sore, acara dilanjutkan dengan sesi sambutan. Ibu Novita Mulyasari, Ketua RW Kampung Kongsi, menyampaikan rasa bangganya melihat warganya dan para pengungsi bisa berkumpul, tertawa, dan merayakan kemerdekaan bersama. Dari pihak HLC, Ibu Shaima memberikan ucapan terima kasih yang hangat kepada JRS dan warga sekitar yang telah membuka ruang persaudaraan bagi para pengungsi dan anak-anak mereka. Sementara itu, Bapak Zainuddin mewakili JRS menegaskan pentingnya kolaborasi ini sebagai upaya nyata untuk merajut solidaritas lintas budaya dan bangsa, sejalan dengan misi JRS untuk menemani, melayani, dan membela mereka yang terpinggirkan.     Setelah sambutan, panggung perayaan diramaikan dengan berbagai persembahan. Koor dari warga Kampung Kongsi yang menyanyikan lagu religi membuat suasana terasa sangat khidmat, sementara anak-anak pengungsi menampilkan lagu tradisional Afganistan yang syahdu. Kejutan datang dari Harun Hussein, seorang pengungsi yang naik ke panggung dengan penuh percaya diri menirukan gaya menari Michael Jackson. Penampilannya membuat semua yang hadir bergoyang bersama, tertawa terbahak sekaligus berdecak kagum.     Acara kemudian berlanjut dengan pembagian hadiah bagi para pemenang lomba. Sesi pembagian hadiah berlangsung hangat. Bu RW menyerahkan hadiah untuk pemenang lomba balap karung dan makan kerupuk. Perwakilan HLC memberikan hadiah untuk pemenang tarik tambang dan gantung caping, sementara perwakilan JRS menyerahkan hadiah untuk pemenang back drawing dan tiup gelas.     Puncaknya, suasana menjadi semakin mengharukan ketika Pak Topik Hidayat, Ketua RT, mendapat kejutan berupa sebuah lukisan indah bertemakan persaudaraan karya anak-anak HLC sebagai tanda terima kasih. Tak berhenti di situ, Pak Zainuddin dari JRS juga menerima sebuah lukisan yang menggambarkan perpaduan logo JRS dan HLC, sebuah simbol persaudaraan, kolaborasi, dan harapan yang tumbuh di antara dua komunitas.   Menjelang akhir acara, semua orang berkumpul untuk bernyanyi dan menari bersama. Lagu “Gemu Fa Mi Re” atau yang lebih dikenal dengan “Maumere” mengalun riang, mengajak warga lokal dan para pengungsi bergandengan tangan, melompat, dan bergerak dalam satu irama ke kiri dan ke kanan. Saat itu, tidak ada lagi sekat negara, bahasa, atau identitas, yang tersisa hanyalah tawa, peluh, dan rasa persaudaraan yang begitu nyata.     Salah seorang kader Puskesmas Cisarua dari Kampung Kongsi pun memberikan kesannya: “Senang sekali bisa ketemu sama pengungsi di sini. Dan acara seperti ini jarang ada. Saya sendiri jadi tahu sedikit tentang mereka. Saya berharap acara ini bisa diadakan kembali tahun depan. Sering-sering atuh main ke sini.” Ungkapan tersebut memperlihatkan bagaimana keterbukaan dan interaksi sederhana mampu menumbuhkan rasa saling mengenal dan menghargai.     Hari itu, kemerdekaan dirayakan bukan sekadar dengan kibaran bendera atau derai tawa dalam lomba, melainkan dengan hati yang terbuka. Di tengah perbedaan yang ada, warga lokal dan para pengungsi menunjukkan bahwa persatuan bukan hanya kata-kata indah di atas kertas, melainkan sebuah kenyataan yang hidup dalam keriangan anak-anak, dalam semangat lomba sederhana, hingga dalam pelukan hangat yang menutup perayaan. Tujuhbelasan Together menjadi kisah kecil dengan pesan besar, bahwa kemerdekaan Indonesia memberi arti mendalam, tidak hanya bagi mereka yang lahir di tanah air, tetapi juga bagi para pengungsi yang kini menaruh harapan di bumi Nusantara. Perayaan ini membuktikan bahwa merdeka bukanlah milik satu bangsa semata, melainkan sebuah perayaan kebebasan, persaudaraan, dan harapan yang universal. Di tengah keberagaman budaya dan bahasa, mereka bersama-sama merajut makna kemerdekaan yang sejati, yaitu hidup dalam damai, saling menghargai, dan berbagi sukacita tanpa batas.       Kontributor: Sch. Alfonsus Ignatius Franky Njoto, S.J.

Read More »

Catatan Seorang Pemandu

Cerita di Balik Tembok Gedangan: Hai, namaku Lusia tapi biasa dipanggil Aisul dan aku adalah satu dari banyak OMK di Gedangan. Aku suka jalan-jalan, sejarah, dan yang paling favorit adalah jalan sambil mendengarkan cerita sejarah. Kali ini gantian aku yang mau cerita tentang Gereja Gedangan, gereja Katolik paling tua di Semarang. Di OMK Gedangan, kami punya satu wadah seru untuk kenalan—dan pastinya makin sayang—dengan gereja kami sendiri lho! Namanya Jelajah Gedangan. Tujuan awalnya sederhana, yaitu mengenalkan kembali Gereja Santo Yusup Gedangan ke siapa pun yang penasaran, terutama dari sisi sejarah dan kekayaan warisan imannya. Dan karena ini adalah kegiatan OMK, tour guide-nya juga dari kami-kami sendiri, OMK Gedangan. Kami sering berkumpul, ngobrol, dan cari tahu cerita-cerita lama tentang gereja ini. Lalu, semua yang kami temukan itu kami bagikan ke siapa saja yang tertarik untuk menelusuri jejak masa lalu di balik tembok tua Gedangan.   Akhir 2019 sampai awal 2020 adalah waktu kami memulai penjelajahan di Gereja Gedangan. Masih hangat di pikiran kita bukan? Kala itu awal mula adanya Covid-19? Memang agak melanggar aturan pemerintah yang seharusnya duduk diam di rumah yang saat itu masih ramai dengan hastag #mendingdirumahaja, tapi kami malah berkumpul untuk mengajak banyak orang jalan-jalan virtual. Bermodalkan sejarah yang kami baca dan kami cari tahu lebih lanjut sumbernya dan didukung kemajuan teknologi yang juga mumpuni, kami mulai dengan Jelajah Gedangan Virtual. Kami tidak hanya mengajak teman-teman dari Gedangan, tetapi juga semua orang yang ingin tahu tentang Gedangan. Mungkin, Anda yang sedang membaca tulisan ini juga jadi salah satunya? Dari yang awalnya hanya bercerita tentang sejarah Gedangan, tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, dan ornamen yg biasa kita lihat kalau sedang misa, sekarang jadi makin banyak tema yang bisa kami ceritakan ke banyak orang.    Di 2025 ini, Gereja Gedangan merayakan 150 tahun pemberkatan gedung gereja dan sepanjang tahun ini ada banyak rangkaian acara untuk memeriahkannya, salah satunya adalah Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang sudah terlaksana bulan Juni lalu dengan mengusung tema Di Balik Tembok Gedangan sebuah momen langka untuk para peserta Jelajah yang biasanya diajak berjalan sambil mendengarkan cerita dan berkeliling Gedangan, kala itu mereka cukup duduk manis sambil mendengarkan beberapa narasumber yang punya cerita dan pengalaman seru mengenai Gereja Gedangan.    Ada tiga narasumber saat itu, yaitu pertama Pater Vincentius Suryatma Suryawiyata, S.J. atau yang akrab dipanggil Pater Surya. Obrolan saat itu cukup menarik, informatif, dan penuh nuansa nostalgia yang membuat peserta bisa turut ‘menyusuri waktu’ bersama Pater Surya lewat tokoh dan sosok yang membentuk wajah Gereja Gedangan. Dari Pater Surya kami diajak menyadari bahwa Gedangan tidak hanya bangunan tua yang indah, namun juga menjadi tempat lahirnya semangat misi yang besar dan tempat di mana banyak kisah bermula, bahkan jejaknya masih sangat bisa dirasakan sampai sekarang.   Selain Pater Surya yang mengajak bernostalgia, ada juga Pater Ignatius Windar Santoso, S.J. yang juga berbagi cerita. Kali ini dengan latar belakang sebagai archivist Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Windar menunjukkan salah satu dokumentasi catatan baptisan di zaman dulu yang masih tersimpan rapi. Melalui dokumen baptisan, kami jadi tahu bahwa Semarang adalah salah satu tempat penting dalam perkembangan Katolik di masa Hindia Belanda. Gedangan memiliki cukup banyak peran sebagai gerbang awal misi katolik di Jawa, maka dari itu arsip-arsip ini bisa jadi semacam ‘harta karun’ sejarah yang sangat berharga.      Masih tentang arsip baptisan, ada satu lagi narasumber yang membawakan cerita ‘mengejutkan’ dengan fun fact-nya! Namanya Mas Yogi, seorang pengamat sejarah sekaligus founder dari Bersukaria Walk Tour (Bersukaria Walk Tour bisa dicari di instagram. Anda pasti jadi ingin ikut semua rute Walking Tour-nya). Mas Yogi berbagi cerita seru tentang arsip Gereja Gedangan. Beberapa waktu lalu Mas Yogi membawa rombongan orang Belanda yang sedang mencari tahu sejarah leluhur mereka. Menurut cerita yang mereka dengar, para leluhurnya dibaptis di Gedangan. Yang mengejutkan adalah setelah ditelusuri dan ketemu, ternyata salah satu leluhurnya adalah artis terkenal di masa itu! Selain itu orang-orang Belanda ini juga membawa beberapa foto untuk membandingkan gereja dulu dan sekarang. Semacam ingin tahu before-after.   Dari cerita Pater Surya, Pater Windar, dan Mas Yogi, aku jadi makin tahu, betapa pentingnya keberadaan para Pater pendahulu dan arsip yang berupa catatan baptisan bagi gereja. Tidak hanya jadi bukti adanya sejarah tapi juga bisa menjadi jembatan penghubung lintas generasi. Tidak pernah terbayangkan, kalau catatan puluhan bahkan ratusan tahun lalu itu bisa membantu seseorang menemukan keluarganya dan menyambung cerita hidup mereka. Ternyata, banyak hal yang patut untuk disyukuri dari Mini Talk Show Jelajah Gedangan ini. Setiap pembicara punya warna dan cerita yg unik. Pater Surya yang penuh nostalgia dengan mengingat kembali tokoh-tokoh yang pernah tinggal di Gedangan, Pater Windar yang menunjukkan betapa pentingnya arsip dan catatan baptisan, dan juga Mas Yogi yang menunjukkan secara nyata terhubungnya masa lalu dan masa sekarang melalui peninggalan sejarah berupa catatan baptisan.   Untukku sendiri, aku bersyukur bisa jadi bagian dari tour guide di Jelajah Gedangan dan juga jadi bagian dalam rangkaian perayaan 150 tahun ini. Bukan hanya berbagi dan belajar bersama mengenai sejarah, tetapi tentang memunculkan kembali kisah-kisah yang mungkin nyaris terlupakan. Dan pastinya membagikan pada Anda dan banyak orang adalah salah satu usaha kecil yang bisa aku lakukan untuk merawat Gedangan agar tidak hanya menjadi bagian masa lalu tapi juga menjadi bagian yang tetap terasa dekat juga hidup di segala zaman.    Kabar baiknya OMK Gedangan masih akan mengadakan Jelajah Gedangan dan di bulan November nanti akan ada Mini Talk Show Jelajah Gedangan yang kedua. Pastinya akan ada banyak cerita baru, perspektif yang menarik nan seru, dan mungkin mendapat fun fact sejarah lain yang belum pernah kita dengar sebelumnya! Tetap stay tune dan jangan lupa follow instagram @gerejagedangan dan @gedanganmuda. Sampai Jumpa di Gereja Gedangan!    Kontributor: Lusia Pamungkas – Gedangan Muda

Read More »

Sebuah Catatan di Satu Semester

Perkampungan Sosial Pingit Seperti biasa, pada Senin sore saya bersiap dan bergegas terutama karena langit sudah berubah menjadi gelap. Doaku sore itu semoga hujan tidak turun sebab menurutku hujan hanya romantis bagi mereka yang mampu, yang mempunyai privilese untuk melihat indahnya rintik hujan dari balik kaca mobil. Namun tidak untuk penunggang ojek online seperti saya, pengguna kendaraan roda dua dan transportasi umum. Juga tidak romantis, terutama bagi  orang-orang yang harus mencari rezeki di jalanan. Petang itu, kami sudah janjian dengan anak-anak di Perkampungan Sosial Pingit (PSP) untuk memasak bersama, sebuah rencana sejak beberapa minggu sebelumnya. Ini harus terlaksana, sebab jika gagal, tentu anak-anak sakan sangat kecewa.    Malam itu kami akan masak seblak sebagai menu utama. Berbekal resep hasil berguru dari adik dan cookpad, merapal doa dan harap di hati kepada Sang Penentu Hidup supaya kelas perdana memasak kami hari itu berjalan lancar dan mudah, saya pun berangkat dari rumah menuju Pingit dengan wajah yang berusaha terlihat yakin meski hati khawatir tidak karuan. Rasa cemas muncul karena takut perkakas masak ada yang terlupa, bahan masakan ada yang terlewat, bumbu yang sudah diracik dari rumah tidak cukup, hingga  rasa takut jangan-jangan kompor gunung yang kami sewa tidak bisa bekerja ciamik layaknya kompor-kompor rumahan pada umumnya.    Tak disangka, anak-anak PSP luar biasa antusias terhadap kelas memasak ini. Bukan hanya dari kelas inti yang kami ampu, yaitu anak-anak SMP, tetapi juga anak-anak dari kelas sebelah juga sama bersemangatnya. Seperti biasa, anak-anak lebih memilih kelas diselenggarakan di Balai karena sirkulasi udara yang lebih terbuka dan mereka merasa lebih nyaman dan leluasa. Kelas memasak malam itu juga kami selenggarakan di Balai. Kami berdoa bersama sebelum memulai kelas. Salah seorang dari anak-anak kami pasti akan bertugas untuk memimpin dengan doa yang sangat singkat, dan tak jarang, sambil bercanda. Tetapi sepertinya pertanyaan musikus Sal Priadi dalam lagunya Gala Bunga Matahari tentang apakah Dia suka bercanda? terjawab malam itu. Sepertinya Dia memang suka bercanda sebab nyatanya doa kami yang kurang ‘serius’ pun tetap didengar dan dikabulkan. Doa kami malam itu adalah semoga kelas memasak pada malam itu berjalan dengan sangat riang, mudah, dan penuh kehangatan. Baik laki-laki maupun perempuan sangat bersemangat, bahu-membahu mempersiapkan semuanya, ikut mencuci sayur, memotong bahan isi seblak, hingga menyalakan kompor. Waktu terasa berjalan dengan cepat dan kelas kami pun melebihi jam pembelajaran sehingga anak-anak dari kelas lain untuk ikut bergabung memasak dan menyantap bersama hasil masakan perdana ini. Rasa masakannya? Lumayan enak.     Memang sejak awal kami terpilih untuk bergabung menjadi sukarelawan di Perkampungan Sosial Pingit, ada beberapa pesan yang menyarankan bahwa sedapat mungkin, materi yang kami akan berikan kepada anak-anak bukanlah materi pembelajaran yang mirip seperti silabus mata pelajaran mereka, namun sesuatu yang berbeda. Kami para sukarelawan yang tergabung ke dalam Tim SMP dari pertama urun rembug, kami memilih beberapa core values yang akan menjadi ‘benang merah; dari materi kami selama setahun ke depan, yaitu Survive and Sustain. Kami ingin materi yang akan kami bagi selama setahun ke depan, meskipun tidak banyak, namun bisa masuk menjadi ‘core memories’ anak-anak yang akan selalu mereka ingat, rasa dan gunakan ketika kelak mereka dewasa. Seperti kelas memasak yang kami pilih untuk malam ini, kelas ini memang sudah masuk ke dalam silabus materi rencana pembelajaran kami untuk satu tahun ke depan, karena untuk anak-anak kami yang memang baru mulai memasuki masa SMP, dimana mereka juga mulai masuk ke dalam fase pubertas dan pencarian jati diri, kami berharap materi-materi yang kami berikan kepada mereka akan membantu mereka menghargai dan sabar terhadap yang namanya ‘proses’. Proses daur hidup yang tidak selalu gembira. Sebelum kelas memasak ini, kami juga memberikan mereka kesempatan untuk berkreasi menghias kue untuk melatih kreativitas mereka. Harapan kami, kelak di masa depan, mungkin ada dari mereka yang tertarik untuk menjadi seorang Chef handal atau jika harapan itu dianggap terlalu tinggi, paling tidak suatu saat ketika kesulitan mendapatkan pekerjaan, mereka bisa membuat usaha sendiri, menjadi pengusaha makanan gerobak. Sekali waktu, kami juga pernah dalam satu jadwal kelas, memberikan mereka tantangan untuk mengisi peta buta negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara, harapan kami, dengan itu mereka tahu bahwa ada kehidupan lain di luar Pingit, bahkan di luar Indonesia. Jika berharap salah satu dari mereka berhasil menjadi Diplomat juga terlalu muluk, setidaknya minimal mereka tahu bahwa mereka mungkin suatu hari nanti bisa bertahan hidup dengan menjadi pejuang devisa di negara tetangga.   Kembali kepada proses pembelajaran kami di kelas memasak malam itu. Ada satu catatan yang mungkin akan saya ingat dan menjadi salah satu pembelajaran hidup berharga untuk saya selamanya. Ada satu momen, di tengah proses kami memasak, kami kehabisan bumbu penyedap. Seorang anak perempuan kecil, dengan wajah lugu dan suara lantang langsung menawarkan diri kepada saya. “Mbak, aku belikan ya bumbunya di warung atas sebentar?”. “Loh, memangnya ga jauh? Sebentar biar Mbak minta tolong kakak yang lain untuk belikan, Mbak juga ambil uangnya dulu ya,” jawab saya. “Ga usah Mbak, kelamaan nanti, biar aku belikan saja, aku ada uang kok,” ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan uang seribuan nya ke saya. “Loh jangan, masak pakai uang kamu, sebentar ya biar Mbak minta kakak sukarelawan saja yang belikan” tegas saya. “Gapapa Mbak, biar pakai uang aku aja, lagian kan ini untuk kita makan rame-rame juga, jadi ya gapapa,” ujar gadis kecil itu tetap memaksa dan seketika langsung lari pergi menghilang, menuju warung di atas. Seketika saya terdiam dan terhenyak. Fokus saya terpecah. Perasaan kaget, haru, dan senang menjadi satu. Ada perasaan hangat yang menjalar. Dari penampilan gadis kecil itu, bisa jadi, uang seribu yang ia tunjukkan kepada saya adalah uang jajan satu-satunya yang ia punya di hari itu, namun dengan lantang dan berani, ia tawarkan uang satu-satunya itu tanpa rasa takut, alasannya pun luar biasa, karena nanti masakan ini juga akan dimakan bersama-sama. Ucapan yang berjiwa besar dan tanpa rasa takut sedikitpun, terucap dari bibir seorang anak kecil.    Momentum itu membuat saya akhirnya merenung. Sambil memperhatikan sisa menit-menit terakhir menuju berakhirnya kelas kami di malam itu. Mungkin dunia orang dewasa menjadi sangat rumit karena tanpa sadar, seiring proses kita menjadi tua dan dewasa, perlahan kita juga

Read More »

Menulis Bab Baru Pendidikan Tinggi Jesuit

IAJU Assembly 2025 Bogotá, Kolombia – International Association of Jesuit Universities (IAJU) Assembly 2025 telah diselenggarakan pada 30 Juni hingga 3 Juli 2025 di Pontificia Universidad Javeriana, Bogotá, Kolombia. Pertemuan tiga tahunan ini menjadi momentum penting bagi Universitas Sanata Dharma (USD), bersama 170 universitas Jesuit dari seluruh dunia, untuk membangun strategi bersama dalam menjawab tantangan pendidikan tinggi global.   Mengangkat tema “Our Mission in Challenging Times: Let’s Write the Next Chapter of Jesuit’s Higher Education History,” pertemuan ini dibuka dengan pidato inspiratif dari Pater Jenderal Arturo Sosa SJ. Dalam pidato tersebut, ia menekankan pentingnya universitas Jesuit menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma Ignasian.    ”Universitas Jesuit harus menjadi kehadiran yang kreatif dan dialogis, berakar pada identitas yang mengalir dari karisma kita,” tegasnya.    Pater Jenderal juga menyampaikan tiga pilar utama yang harus menjadi fondasi pendidikan tinggi Jesuit: Charism (karisma), Context (konteks), dan Way (jalan).    Pesan ini disampaikan kepada lebih dari 300 peserta dari lima benua, termasuk delegasi dari Universitas Sanata Dharma yang diwakili oleh Rektor Albertus Bagus Laksana SJ dan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Caecilia Tutyandari. Dalam berbagai sesi dan diskusi, USD menunjukkan komitmennya untuk memperkuat jaringan global pendidikan tinggi Jesuit dan menghadirkan pendidikan yang transformatif, kontekstual, serta berdampak sosial.     Salah satu sesi pleno IAJU 2025 di Javeriana Pontifical University, Bogota, Kolombia ini, secara khusus mengangkat tema tantangan sekularisme bagi pendidikan tinggi Katolik, sebuah tantangan yang kompleks dan semakin nyata. Rektor USD, Pater Bagus, tampil sebagai panelis dalam sesi bertema “Contextual Intercultural Engagement.” bersama dengan Mgr Carlo Maria Polvani,  Sekretaris pada Dikasteri untuk Budaya dan Pendidikan, dan Dewan Kepausan untuk Budaya, Tahta Suci.    Sekularisme dan sekularisasi terjadi dalam pelbagai bentuk yang tidak sama dan seragam dalam pelbagai konteks. Msgr Polvani menekankan peran terdepan dan  strategis dari  universitas Katolik untuk  berhadapan langsung dengan fenomena sekularisasi. Beliau mengajak para peserta untuk mempelajari dengan seksama gejala dan tantangan sekularisme pada konteks masing-masing, juga bagaimana  agama menghadapi sekularisasi.   Dalam tanggapannya, Pater Bagus menjelaskan bahwa sekularisasi di Indonesia memiliki dinamika yang berbeda dengan di Barat. Di Indonesia, terutama di kalangan muda perkotaan, ada kecenderungan mengambil jarak dari institusi agama, namun tanpa sepenuhnya meninggalkan pencarian makna spiritual. Identitas keagamaan menjadi lebih cair, terbuka, dan sering kali hibrid, seiring dengan tumbuhnya budaya plural dan tantangan global.   “Fenomena ini menantang kita untuk menghadirkan wajah agama yang otentik, terbuka, dan kontekstual—bukan yang kaku dan menghakimi, tetapi yang mendampingi dan menumbuhkan,” ujar Pater Bagus.     Menurutnya, tantangan utama bukan datang dari represi terhadap iman Katolik, tetapi dari melemahnya nilai-nilai Katolik dalam kehidupan publik. Pengaruh mekanisme pasar, sistem pendidikan yang kompetitif, serta tawaran budaya instan menjadi kekuatan sekular yang perlahan mengikis nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan spiritualitas dalam masyarakat.   Pater Bagus menawarkan pendekatan berbasis human flourishing atau perkembangan manusiawi sebagai kerangka alternatif yang menyatukan aspek religius, etis, dan sosial secara kreatif. “Human flourishing memberi jalan bagi kita untuk tetap relevan di tengah pluralitas dan sekularisasi, sekaligus menghidupi misi Jesuit untuk membentuk pribadi yang berpikir kritis, peduli, dan terbuka terhadap yang lain,” ungkapnya.   USD sendiri telah mengintegrasikan kerangka human flourishing dalam tridarma perguruan tinggi, antara lain melalui kerja sama dengan Australian Catholic University (ACU) dan Universitas Gadjah Mada. Sebuah konferensi internasional tentang topik ini baru saja digelar di kampus ACU di Roma, menghadirkan peneliti dari Harvard, Baylor University, dan delegasi pemerintah Indonesia.   Pater Bagus juga menekankan peran penting universitas Jesuit seperti USD dalam menciptakan ruang dialog antarbudaya dan antariman, mendampingi mahasiswa dalam pencarian makna hidup, serta membentuk kepemimpinan publik yang berakar pada keadilan dan belas kasih. Dalam konteks ini, sekularisasi tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperbarui iman dan spiritualitas secara otentik dan kontekstual.     Selama empat hari pelaksanaan, IAJU Assembly 2025 membahas berbagai isu penting lainnya seperti dampak kecerdasan buatan terhadap pembelajaran, keadilan lingkungan sebagai respons terhadap penderitaan bumi dan kaum miskin, serta kesejahteraan mental mahasiswa melalui pendekatan spiritualitas Ignasian. Selain itu, para peserta juga berdiskusi tentang isu migrasi, pengungsi, kolaborasi jejaring antaruniversitas Jesuit, serta tantangan demokrasi dan identitas di tengah dunia yang semakin kompleks.   Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 menegaskan perannya sebagai bagian dari Association of Jesuit Colleges and Universities Asia Pacific (AJCU-AP). Menurut Wakil Rektor Caecilia Tutyandari, keikutsertaan ini mencerminkan komitmen jangka panjang USD dalam membangun pendidikan yang yang menjadi ruang formasi integral yang mendorong kolaborasi internasional.   “Partisipasi USD dalam IAJU Assembly 2025 merupakan bagian dari komitmen jangka panjang universitas dalam mengembangkan pendidikan yang holistik dan transformatif, memperkuat identitas Jesuit-Katolik dalam konteks Indonesia, berkontribusi pada solusi global melalui pendidikan tinggi, dan membangun solidaritas dengan universitas Jesuit sedunia,” ungkapnya.   IAJU Assembly 2025 diharapkan menghasilkan penguatan visi bersama pendidikan tinggi Jesuit global, strategi konkret menghadapi tantangan zaman, dan perluasan jaringan kolaborasi lintas negara dalam bidang pendidikan dan riset. Momentum ini semakin mengukuhkan USD sebagai salah satu universitas Jesuit terkemuka di Asia Tenggara yang terus berkontribusi dalam membangun dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh harapan.   Kontributor: Antonius Febri Harsanto – Humas Universitas Sanata Dharma

Read More »

Nasi Berkah, Berkah bagi Sesama

Pada Minggu, 8 Juni 2025, skolastik Kolese Hermanum berkumpul bersama dengan para donatur untuk mengadakan rapat evaluasi dan refleksi terkait program nasi berkah. Sepanjang Oktober 2024 hingga Juni 2025, program ini terus memberikan kekayaan pembelajaran bagi para frater. Program nasi berkah di Kolese Hermanum terus berlanjut sebagai bentuk konkret kehadiran dan solidaritas terhadap saudara-saudari kita yang mengalami kesulitan ekonomi. Dari yang mulanya hanya dilaksanakan di Unit Pulo Nangka, program ini telah berkembang ke unit-unit lain seperti Kampung Ambon, Johar Baru, Kramat 6, dan Kramat 7 (Wisma Dewanto).    Setiap unit tetap mempertahankan pembagian 30 kupon nasi berkah per minggu, yang masing-masing bernilai subsidi Rp10.000. Para penerima diminta memberikan kontribusi sebesar Rp2.000 ke warung mitra sebagai bentuk partisipasi mereka atas kegiatan ini.    Namun, dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menghadapi sejumlah tantangan, yaitu (1) pergantian PIC dan perubahan komposisi unit membuat alur koordinasi sempat tidak stabil; (2) beberapa warung mengajukan kenaikan harga karena biaya bahan baku yang meningkat; (3) miskomunikasi terkait sistem pembayaran juga sempat terjadi, terutama ketika PIC berhalangan hadir dan digantikan oleh orang lain yang belum sepenuhnya memahami alur; dan (4) ketidakteraturan dalam pembagian kupon juga muncul ketika para frater mengalami kesibukan akademik atau kegiatan internal sehingga perlu saling mengingatkan agar kupon tetap dibagikan tepat waktu.   Relasi dengan Penerima dan Warung Salah satu kekuatan program ini terletak pada relasi yang terbangun secara personal. Banyak frater membagikan pengalaman bagaimana kupon yang diberikan bukan sekadar akses ke makanan tetapi menjadi pintu perjumpaan yang bermakna. Dari para frater yang membagikan kupon, mereka membagikan cerita tentang para penerima kupon yang dengan setia menanti setiap minggu. Pemilik warung juga merasa terlibat dalam kegiatan nasi berkah ini. Bahkan ada warung yang tanpa diminta menambahkan lauk seperti daging sebagai bentuk keterlibatan memberi.    Keluarga Ibu Fifi dan keluarga Ibu Khim, yang sebelumnya telah menjadi inspirasi bagi program ini, tetap menjadi mitra dan donatur aktif. Mereka melihat bahwa membantu menyediakan makanan secara layak adalah bentuk nyata menghargai sesama. Bagi mereka, program ini bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga kesempatan rutin berbagi kasih dan kemurahan hati yang juga menjadi sumber pemasukan stabil bagi para pemilik warung.   Refleksi Sosial dan Rohani Sebagaimana telah menjadi semangat awal program ini, kegiatan nasi berkah bukanlah sekadar pembagian makanan murah. Hal ini adalah bentuk tanggapan terhadap Universal Apostolic Preferences (UAP) nomor dua, yaitu berjalan bersama mereka yang terpinggirkan. Program ini membawa pesan bahwa tidak ada seorang pun yang sendirian di dunia ini — bahwa Tuhan, dalam cara-Nya yang sederhana, hadir melalui komunitas yang peduli.   Banyak PIC menyadari bahwa proses ini membentuk mereka secara pribadi dan rohani. Bagi para skolastik ekspatriat, kegiatan ini menjadi sarana belajar bahasa dan budaya Indonesia sekaligus menyentuh realitas sosial secara langsung. Di tengah tantangan praktis, selalu ada momen kecil yang menjadi ruang belajar mencintai lebih dalam dengan cara yang konkret.   Arah ke Depan Beberapa keputusan pun diambil selama periode ini untuk menjalankan program agar berjalan lebih baik, yaitu: (1) penyesuaian harga kupon dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan warung. Biaya subsidi yang awalnya Rp10.000 meningkat jadi Rp13.000. Dengan cara yang sama pula para penerima harus membayar Rp2.000; (2) bukti pembayaran lebih diperjelas melalui nota atau dokumentasi foto agar ada transparansi dan pertanggungjawaban; (3) komunikasi dengan warung mitra harus diprioritaskan, baik dalam hal harga, menu, maupun sistem pembayaran; dan (4) Kriteria penerima kupon ditekankan pada kebutuhan riil, bukan pada status sosial atau penampilan luar. Orang yang menunggu dengan harapan, mereka layak untuk menerima tanpa harus dibebani verifikasi yang kaku.   Kini apa yang telah kami mulai kiranya menjadi gerakan kolektif yang membentuk kepedulian. Kegiatan ini telah menyentuh kehidupan banyak orang — baik penerima kupon, pemilik warung, para frater, maupun donatur. Sekecil apapun yang dibagikan, ketika dilakukan secara konsisten dan dengan hati, akan menjadi rahmat. Pertanyaannya ini kembali pada kita, “Maukah kita menjadi saluran rahmat bagi sesama dan menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan meski dengan cara yang sederhana namun penuh arti?”   Kontributor: Sch. Laurensius Herdian Pambudi, S.J.

Read More »

Menjadi Sahabat di Jalan Pengharapan

Empat diakon Serikat Jesus ditahbiskan imam oleh Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, pada Rabu, 23 Juli 2025 di Gereja Santo Antonius Padua, Kotabaru, Yogyakarta. Keempat diakon tersebut adalah:  Diakon Antonius Septian Marhenanto, S.J. (Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Cilangkap, Keuskupan Agung Jakarta),  Diakon Isodorus Bangkit Susetyo Adi Nugroho, S.J. (Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Keuskupan Agung Semarang),  Diakon Jacobus Aditya Christie Manggala, S.J. (Paroki Santo Petrus dan Paulus, Babadan, Keuskupan Agung Semarang), dan  Diakon Leo Perkasa Tanjung, S.J. (Paroki Roh Kudus Katedral Denpasar, Keuskupan Denpasar).  Misa tahbisan yang dihadiri oleh keluarga serta tamu undangan berlangsung khidmat dan penuh syukur. Dalam homilinya, Mgr. Rubiyatmoko memberikan bahan permenungan bagi para diakon agar sungguh-sungguh memberikan diri secara total yang diwujudkan melalui komitmen dan tekad mendalam. Sakramen imamat yang diterima hendaknya dihayati sebagai perayaan syukur atas rahmat yang mengatasi kelemahan manusia itu sendiri.   Menjadi Sahabat di Jalan Pengharapan adalah tema tahbisan tahun ini. Tema tersebut diharapkan mampu mengingatkan bahwa imam adalah sahabat Yesus sendiri dan sahabat dari teman-teman Yesus yang kecil, tersingkir, terluka, dan tak berpengharapan. Menjadi imam di masa ini kiranya bukan sekadar mengajar dan memimpin ibadah-ibadah. Imam perlu berperan sebagai sahabat yang berani hadir secara nyata, menjadi pendengar yang penuh empati, dan berani membalut luka-luka hati dengan berbagai macam cara sehingga mampu membuat mereka bangkit kembali membangun pengharapan sekaligus mempunyai masa depan kembali.      Meskipun menjadi sahabat Yesus tidak selalu mudah, dalam homilinya Mgr. Rubiyatmoko berpesan agar jangan putus dalam pengharapan sebab pengharapan tidak mengecewakan. “Selagi kita punya pengharapan yang besar maka akan ada usaha dan nantinya akan ada hasil yang bisa kita tawarkan kepada umat yang kita layani.” Para imam ini pun nantinya tidak akan sendirian karena mereka memiliki Tuhan serta rekan dalam Serikat Jesus yang akan mendukung dan menguatkan.   Mengakhiri homilinya, Mgr. Robertus Rubiyatmoko berharap agar para imam yang ditahbiskan hari ini mampu menjadi sahabat Yesus yang nyata, khususnya bagi mereka yang kecil, terluka, dan kebingungan, serta mampu memberikan pengharapan. Pelayanan yang dilakukan hendaknya dilakukan sebagai wujud cinta kepada Yesus, sang sahabat sejati. Ketika mengalami penderitaan dan kesulitan, teladanilah Santo Paulus yang mampu menemukan sukacita bahkan dalam penderitaan sebab penderitaan adalah bagian dari persekutuan dengan Kristus.    Setelah ditahbiskan, keempat imam baru ini akan menjalani perutusan ke berbagai tempat sesuai dengan tugas perutusan yang disampaikan oleh Pater provincial.  P. Antonius Septian Marhenanto, S.J. bertugas sebagai Koordinator Purna Waktu Tim Komunikator SJ Indonesia  P. Isodorus Bangkit Susetyo Adi Nugroho, S.J. bertugas sebagai anggota staf SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire, Papua  P. Jacobus Aditya Christie Manggala, S.J. bertugas sebagai Direktur Campus Ministry Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan  P. Leo Perkasa Tanjung, S.J. bertugas menjalani studi Kitab Suci di Biblicum, Roma.  Pada akhir misa tahbisan, para imam baru memberikan berkat perdana kepada seluruh umat. Seusai misa, acara dilanjutkan dengan ramah tamah di Kolese Santo Ignatius. Semoga para neomis ini senantiasa mampu menggembalakan umat dengan penuh cinta, kasih, dan perhatian. Proficiat!   Kontributor: Bonifasia Amanda – Tim Komunikator Jesuit Indonesia

Read More »

Membawa Pengharapan untuk Mengenal Pengungsi Luar Negeri Lebih Dekat

Hari Pengungsi Sedunia yang diperingati setiap 20 Juni merupakan peringatan yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang keadaan para pengungsi luar negeri. Selain itu, peringatan ini juga bertujuan untuk mengakui kekuatan pengungsi yang telah berjuang menghindari konflik dan penganiayaan di negara asal mereka dengan harapan mendapatkan perlindungan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di negara tujuan mereka.   Sebagai rangkaian peringatan Hari Pengungsi Sedunia, pada 21 Juni 2025 yang lalu diadakan bazar dengan tema A month of stories and solidarity yang diselenggarakan di M-Bloc Space, Jakarta. Event ini terselenggara atas partisipasi dan kolaborasi banyak pihak, antara lain UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), Refuture, SUAKA, JRS Indonesia, dan beberapa learning center.   Event ini melibatkan banyak stakeholder atau lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan kepada pengungsi. Ini merupakan event pertama yang saya ikuti sebagai staf JRS Indonesia dan sungguh menjadi pengalaman baru. Saya merasa sangat antusias terlibat di dalamnya. Saya bertugas sebagai penerima tamu atau bagian registrasi yang mencatat kedatangan pengunjung dan memberikan penjelasan terkait dengan kegiatan Hari Pengungsi Sedunia. Saya ditemani Diana, salah satu kawan dari SUAKA, dan Rahma dari CWS (Church World Service). Kami saling bekerja sama untuk menarik minat masyarakat umum agar bergabung dalam event Hari Pengungsi Sedunia dan mengetahui lebih jauh apa itu pengungsi luar negeri.   Banyak perwakilan dari lembaga kemanusiaan yang berpartisipasi dalam event ini, seperti menangani multimedia, sound system, MC, live streaming dan sosial media, fun games, engagement volunteer, guest usher, talk show support, dan banyak lagi. Di sinilah kami dipertemukan dengan banyak kawan yang tidak saling kenal sebelumnya. Kami juga merasa dikuatkan dan jaringan pertemanan menjadi semakin luas.     Acara dimulai pukul 07.00 WIB tetapi sudah banyak pengungsi yang hadir untuk mempersiapkan event ini, seperti membuka tenant yang berisi makanan khas dan handycraft dari para pengungsi, misalnya Afghanistan, Pakistan, Palestina, Somalia, dan Rohingya Myanmar. Selain makanan dan buah tangan, mereka juga mempersiapkan pertunjukan yang akan ditampilkan.   Dari acara ini saya mengetahui bahwa masih banyak masyarakat umum, terutama di Jakarta, yang belum memahami siapakah pengungsi itu dan apa yang mereka lakukan di Indonesia. Sebagai pekerja sosial dan dari pemahaman saya, pengungsi luar negeri adalah individu atau kelompok yang terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena konflik atau peperangan, karena perundungan atau persekusi yang berlatar agama, etnis, politik, dan lainnya. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait status pengungsi. Ini berarti Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan tempat permanen dan lapangan pekerjaan bagi pencari suaka dan pengungsi. Para pengungsi yang tinggal di Indonesia tentu mengalami banyak kesulitan karena tidak punya hak untuk bekerja dan lainnya. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan hidup dengan bergantung pada organisasi internasional seperti UNHCR, IOM, JRS Indonesia, dan lainnya.   Peringatan Hari Pengungsi Sedunia ini memberikan harapan dan rasa syukur untuk mengenal lebih dekat pengungsi luar negeri. Pertunjukan penampilan dari para pengungsi pun mengesankan. Sebagai staf JRS Indonesia saya sangat mengagumi pesan Paus Fransiskus. Ia sangat memperhatikan orang-orang tersingkir dan rentan: kaum miskin, pengungsi, dan mereka yang termarginalkan. Ia selalu menyerukan pentingnya solidaritas dan kasih sayang kepada sesama dan mereka yang membutuhkan. Nilai-nilai yang diajarkan oleh Paus Fransiskus tentang pengungsi ini menjadi pedoman yang saya bawa dalam melayani pengungsi luar negeri di Jakarta. Saya berharap event Hari Pengungsi Sedunia ini akan semakin menyadarkan masyarakat untuk peduli dan solider dengan para pengungsi luar negeri sebab para pengungsi ini menghadapi segala ketidakpastian dengan masa depan mereka.    Kontributor: Adi Priyanto – JRS Indonesia

Read More »

Dua Spiritualitas Satu Tujuan

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 17 Mei 2025, saya (Dionisius Adven Pramana) dan teman-teman kelas X SMA Kolese de Britto, berkunjung ke Keraton Surakarta dalam rangka pelaksanaan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Tujuan kami ke sana adalah untuk mengetahui dan mempelajari budaya Keraton Surakarta yang hendaknya bisa kami dapatkan dari pihak keraton. Kami menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 1 jam lamanya. Jalan-jalan yang kami lalui terlihat nyaman untuk dinikmati. Sayangnya saya tidak duduk disamping jendela. Namun hal itu bukanlah suatu kekurangan, justru hal ini merupakan kesempatan bagi saya untuk bersosialisasi dengan teman sebelah saya. Untungnya, teman sebelah saya merupakan orang yang dekat dan bisa diajak bersosialisasi, sehingga perjalanan menuju Keraton Surakarta tidak sepi. Setelah sekian waktu memperhatikan jalan dan sekeliling, kami sampai di Keraton Surakarta.   Kami datang melalui pintu utama, pintu yang berupa gerbang besar, tempat kendaraan masuk ke wilayah Keraton. Keraton ini memiliki 7 bagian unik, dan kami telah melewati pintu yang pertama. Uniknya setiap pintu dalam keraton memiliki filosofinya tersendiri. Seperti gerbang pertama yang kami lewati ini namanya adalah Nggladhak. Memiliki filosofi kelahiran seorang manusia ke dunia. Terdiri atas dua Arca Gupala, manusia yang lahir harus menerima apa adanya (Nrima Ing Pandun). Secara fungsi, biasanya tempat ini digunakan sebagai tempat penyembelihan hewan pada acara tertentu. Setelah melewati pintu pertama, kami masuk lebih dalam dan menemui dua pasang beringin. Kali ini filosofi dari tempat ini adalah kewibawaan seorang pria dan keanggunan seorang perempuan. Ini menyimbolkan bahwa di dunia ini hanya ada dua manusia, laki-laki dan perempuan. Masuk lebih dalam, kami sampai pada tempat bernama Kori Wijil, yaitu tempat di mana manusia sedang menuju kedewasaannya. Tempat ini merupakan arah menuju bagian dalam keraton yang dapat dilewati kendaraan juga, terutama motor. Filosofinya pula, dalam fase ini, manusia sudah harus mengetahui tujuan dan kedudukannya dalam hidup. Menyeberang jalan Kori Wijil, kami melewati tempat bernama Kori Mangu. Cermin besar terpampang di tempat ini. Fungsinya untuk berintrospeksi diri, apakah kita sudah layak, secara fisik, penampilan, sikap, dan yang terpenting, sudahkah hati kita siap memasuki area yang lebih dalam di keraton? Setelah melewati Kori Mangu, selanjutnya kami melewati Braja Nala. Braja Nala memiliki makna Senjata Batin.   Filosofinya, manusia harus mempertajam batinnya untuk bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Tempat ini memiliki dua bangunan, Marchu Kunda (berfungsi untuk menghukum Putra Dalem yang melanggar aturan keraton) dan Kedhaton (Kenaikan pangkat Abdi Dalem). Uniknya, walaupun kedhaton merupakan tempat menerima ganjaran/kenaikan pangkat, kami tetap diterima sebagai tamu dan dipersilakan istirahat di sini. Setelah itu, kami masuk lebih dalam ke tempat bernama Kori Kemandungan. Tempat ini adalah tempat untuk sekali lagi berintrospeksi diri, apakah sudah layak secara penampilan, fisik, pikiran, dan hati untuk memasuki Keraton? Setelah melewati Kori Kemandungan, kita akan sampai kepada tempat yang bernama Sri Manganti. Tempat ini berupa Gerbang dengan pintu biru besar. Jika seseorang ingin bertemu dengan Raja, maka orang tersebut harus menunggu di gerbang ini hingga ada utusan dari Raja yang memanggil. Itulah kenapa arti nama Sri Manganti adalah raja menanti. Dari segi filosofinya, tempat ini melambangkan surga. Setelah kita hidup sekian lama dengan berbagai macam dinamikanya, kita pada akhirnya akan kembali ke dalam rumah bapa.     Sebenarnya masih banyak lagi tempat tempat keraton yang hendak saya tuliskan, namun itulah tempat yang sempat kami kunjungi. Dari pengalaman itu, saya dapat melihat nilai budaya yang terukir di sana menarik untuk didalami. Uniknya, nilai budaya dan spiritualitas yang ada dalam keraton ini memiliki kesamaan dengan spiritualitas Ignasian-Jesuit yang dipegang oleh SMA Kolese de Britto.   Corak warna biru pada bangunan keraton menunjukkan Ketuhanan, seperti warna langit biru yang melambangkan ketinggian dan besarnya Tuhan. Keraton Surakarta juga percaya kepada Tuhan dan mengharapkan tuntunan dari-Nya dalam menjalani hidup seperti de Britto yang memiliki spiritualitas Ad Maiorem Dei Gloriam, demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Artinya dalam hidup pun de Britto juga mengharapkan tuntunan dan menyandarkan pengharapan kepada Tuhan agar hidup ini sejalan dengan rencana-Nya. Bukankah ini berarti de Britto dan Keraton Surakarta memegang Spiritualitas yang sama tentang pengharapan kepada Tuhan meski dengan bahasa yang berbeda?   Spiritualitas lain yang sangat menarik adalah dua cermin besar yang terdapat dalam Keraton. Cermin itu mengajak kita merefleksikan dan juga introspeksi kita apakah kita sudah layak untuk masuk Keraton atau belum. Bangunan dalam keraton, diinterpretasikan sebagai surga, sedangkan dua cermin itu adalah tempat untuk mengintrospeksikan diri kita apakah sudah layak untuk masuk atau belum. Spiritualitas ini mirip dengan Examen yaitu merefleksikan apa yang sudah kita lakukan hari ini dan kesalahan apakah yang bisa diperbaiki dan juga apakah yang bisa kita perbuat selanjutnya. Hal ini menarik karena terdapat dua kali kesempatan untuk berefleksi. Ini penting karena refleksi menjadi waktu untuk menyadari apa yang sekiranya kurang dan dapat diperbaiki. Terkadang, refleksi yang sudah kita lakukan harus kita beri pendalaman kembali agar lebih berkesan, terasa, dan tidak ada yang mengganjal di hati. Karena inti tujuan dari refleksi bukanlah sekadar berhenti pada menyadari kesalahan dan kekurangan dan mengerti bagaimana cara mengatasinya, melainkan melakukannya. Saat ingin melakukan suatu kegiatan kita memang harus merencanakannya terlebih dahulu. Namun jika rencana tersebut tidak dijalankan, maka tidak akan ada hasil atau nilainya. Oleh karena itu, pemaknaan dan pendalaman sangat penting agar kita tertarik dan tergerak untuk melakukan apa yang sudah kita rencanakan. Mirip seperti Examen yang dianjurkan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu siang dan malam. Ini juga menunjukkan spiritualitas lain yang sama dengan de Britto. Spiritualitas atau semangat untuk melakukan pembenahan diri melalui refleksi yang lebih mendalam yang tidak hanya berhenti pada mengetahui dan menyadari, namun melakukannya. Tidak menjadi persoalan besar meski refleksi yang dilakukan oleh Keraton dan de Britto memiliki bentuk yang berbeda.     Hal ini menunjukkan bahwa dalam mencapai tujuan yang sama, tidak hanya dapat dicapai hanya dengan satu jalan tetapi dapat pula melalui berbagai jalan yang berbeda yang mengarah pada satu tujuan yang sama. Contohnya adalah tentang spiritualitas yang dimiliki di SMA Kolese De Britto dan Keraton Surakarta. Dimana keduanya memiliki cara dan ciri yang berbeda namun mengarah pada satu tujuan yang sama. Itulah inti dari P5 kami pada hari itu. Dan itulah alasan judul refleksi ini ditulis sedemikian rupa.   Hal ini tidak hanya

Read More »