Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Masyarakat

Pelayanan Masyarakat

Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama, dan Allah

Senin, 1 September 2025, menjadi peristiwa yang membahagiakan bagi Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Pada hari itu, KPTT merayakan usianya yang ke-60 tahun. Beberapa orang merasa heran bahwa hingga saat ini KPTT masih berdiri tegak dan berkarya melayani bidang kursus pertanian dan peternakan. Bahkan, seorang mantan direktur KPTT, Pater Bentvelzen, S.J., yang pernah 25 tahun bertugas di KPTT, heran bahwa KPTT masih ada hingga saat ini. Ini adalah suatu keajaiban.   Pada peringatan 60 tahun ini, KPTT mengangkat tema “Merajut Harmoni dengan Alam, Sesama dan Allah.” Tema ini secara khusus hendak menegaskan bahwa, KPTT saat ini bukan hanya sekedar tempat untuk belajar bertani dan beternak, namun sebagai tempat untuk membangun hubungan yang harmonis dengan alam, sesama, dan Allah. Dasar dari tema tersebut adalah seruan-seruan yang disampaikan oleh ensiklik Laudato Si dan Universal Apostolic preferences (UAP).   Bahkan, sejak tahun 2023, KPTT menginisiasi dirinya sebagai tempat untuk belajar spiritualitas manusia ekologis. Kata harmoni hendak menegaskan kepada siapa saja bahwa keseimbangan hubungan kita dengan alam, sesama, dan Allah tidaklah bisa dipisahkan. Ketiganya mesti dalam keadaan yang selaras dan tidak bisa diandaikan.   Rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) KPTT Rangkaian HUT KPTT dibagi dalam tiga bagian, yaitu family gathering, temu alumni KPTT, dan misa puncak peringatan HUT KPTT. Pada family gathering, acara secara khusus dipersembahkan untuk para karyawan KPTT dan keluarganya serta para siswa yang saat ini menempuh kursus dan magang hingga 30 Agustus 2025. Mereka semua terlibat aktif dalam tiga kegiatan pokok, yaitu jalan sehat, menanam cengkeh sebagai simbol usia KPTT yang ke 60, dan rangkaian kegiatan lomba serta bagi-bagi doorprize yang pada intinya meningkatkan keakraban keluarga KPTT. Wajah-wajah ceria para peserta family gathering ini memberikan warna syukur dan kegembiraan yang dialami KPTT.   Temu Alumni yang terjadi pada 31 Agustus sebagai rangkaian kedua HUT KPTT tidak terlalu banyak dihadiri oleh para alumni. Sebagian besar dari mereka yang bisa hadir adalah para alumni dari Purwodadi, Bawen, Bandungan, Malang dan yang paling jauh berasal dari Manado. Perjumpaan antar alumni sendiri memberikan suasana kebahagiaan dan nostalgia yang menghangatkan. Para alumni tidak pernah lupa jejak-jejak dan pengalaman-pengalaman formasi mereka ketika menjalani kursus di KPTT. Mereka sangat bersyukur bahwa pendidikan yang diberikan oleh KPTT, kendati singkat, baik satu tahun maupun tiga bulan, sungguh dapat memberikan orientasi yang kuat bagi roh hidup mereka. Hingga saat ini, sebagian besar dari mereka pun masih aktif di bidang pertanian dan peternakan. Dalam salah satu sambutan perwakilan alumni, Pak Teguh menyampaikan dengan penuh bangga dan syukur punya kesempatan mengenyam pendidikan di KPTT. Ia banyak menceritakan pengalaman karya dan atas jasa ilmu yang di dapat di KPTT, ia bahkan bisa bekerja mendampingi para mahasiswa pertanian di Universitas Brawijaya. Selain itu, ia juga menceritakan peran aktifnya di seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) di parokinya.   Rangkaian HUT 60 KPTT ditutup dengan perayaan misa yang dipimpin oleh Pater Paulus Wiryono Priyotamtama, S.J. didampingi oleh Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dan Pater Fransiskus Asisi Sugiarta, S.J. Dalam persiapan perayaan Ekaristi ini, panitia secara khusus menghias altar dengan berbagai macam jenis buah-buahan dan gunungan sayuran hasil panen KPTT. Di akhir misa, semua hasil panen tersebut dapat di-alap (diperebutkan) oleh para tamu undangan sebagai bagian dari berkah. Dalam homilinya, Pater Wir menyampaikan rasa syukur bahwa KPTT hingga saat ini bisa terus berkarya dan melayani banyak orang. Pater Wir sendiri pernah bertugas di KPTT sebagai direktur, kendati hanya 9 bulan. Hingga saat ini, Pater Wir tetap punya perhatian yang mendalam pada karya KPTT. Saat ini, beliau menjadi salah satu anggota pengawas Yayasan Taman Tani.   KPTT Menatap Masa Depan Pada saat ulang tahun KPTT ini, ada peristiwa penting lain yang patut untuk disyukuri, yaitu pergantian direktur KPTT. Selama 9 tahun terakhir, KPTT dipimpin oleh Pater F.A. Sugiarta, S.J. Selama itu pula, KPTT berusaha terus maju. Meskipun perlahan, KPTT saat ini menjelma sebagai karya pendidikan dan sosial Provindo yang melayani banyak orang muda. Dari data yang ada, jumlah orang yang dapat dilayani oleh KPTT semakin bertambah. Dalam arti tertentu, KPTT dengan karya pelayanannya masih diminati oleh banyak orang.   Hal lain yang juga tidak kalah penting perlu disyukuri adalah soal kemandirian KPTT. Tidak seperti sebelumnya, KPTT bisa berjalan karena dibantu banyak dana dari luar negeri, kini KPTT harus hidup dan berjalan secara mandiri. Karena alasan itu pula, KPTT meningkatkan kegiatan produksi dan pemasaran untuk mendapatkan dana yang cukup guna menghidupi dirinya dan para karyawan yang bekerja di dalamnya.   KPTT terus bercita-cita menjadi tempat rujukan belajar pertanian dan peternakan, sekaligus tempat belajar spiritualitas ekologis. Dalam spiritualitas ekologis tersebut, kami selalu menekankan tentang hubungan yang harmonis antara alam, sesama, dan Allah. Ketiganya adalah bagian yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, sebagai bentuk keterhubungan, KPTT juga terus ingin terhubung dengan banyak pihak. Dengan kata lain, KPTT ingin selalu berkolaborasi dengan pihak-pihak yang secara khusus bersedia memajukan pertanian, peternakan, dan pembinaan orang muda. Maka, kami mengundang siapa saja, kita semua, untuk ikut terlibat mengembangkan dan membantu KPTT meraih impian masa depan, yaitu menjadi lembaga rujukan kursus pertanian dan peternakan, serta membentuk pribadi-pribadi ekologis. Salam Lestari!   Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Oleh-Oleh dari Siem Riep, Kamboja

”Guru, kami sudah mempraktikkan ilmu pertanian yang sudah guru ajarkan. Baru kali ini, kami mengikuti kegiatan kursus pertanian yang terasa mudah, langsung ada kegiatan praktik dan menggunakan bahan-bahan murah dan mudah yang ada di sekitar kita. Maka, sesampai di sekolah kami masing-masing, kami langsung mempraktikkan apa yang guru ajarkan.” Demikianlah kesan singkat yang saya peroleh setelah memberikan kursus pertanian singkat di Reflection Center Midol Meta Karuna, Siem Reap, Kamboja.   Pada 4-5 Juli 2025, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga hadir di Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian. Seperti di banyak tempat lain, bidang pertanian adalah sektor penting bagi kehidupan banyak masyarakat namun kurang diminati. Karena memang kurang diminati, ilmu dan teknologi pertanian pun menjadi kurang berkembang. Selain itu, faktor alam dan tanah yang kurang subur menambah daftar keengganan banyak orang untuk berkecimpung di bidang pertanian. Untungnya, keprihatinan tersebut ditangkap oleh Rm. Jihnyuk, S.J. (seorang Jesuit dari Korea Selatan yang menjadi misionaris di Kamboja). Karena alasan itulah, KPTT yang diwakili oleh F. Dieng, S.J., hadir ke Kamboja untuk memberikan pelatihan pertanian.   Lebih dari 30 peserta pelatihan yang terdiri atas para Jesuit, guru, staf JRS, karyawan, dan aktivis lingkungan antusias mengikuti kegiatan kursus pertanian tersebut. Dalam kegiatan kursus ini, kami mengangkat tema integrated and sustainable farming. Di dalam praktik pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang sangat penting, yaitu konektivitas, saling melayani, dan harmoni. Tiga poin ini menjadi penting, khususnya bagi orang Kamboja karena pada dasarnya leluhur mereka juga adalah petani. Namun, kecintaan terhadap bidang pertanian ini sempat mengalami tantangan yang berat, terutama saat kekuasaan Rezim Khmer, di mana banyak orang dipaksa bekerja sebagai petani, bahkan sebagian besar hingga mati. Ibu So Kheng, penerjemah dari kursus ini, adalah saksi hidup bagaimana ia berjuang untuk hidup sebagai petani yang dipaksa bekerja hingga beberapa saudaranya meninggal.   Dalam kursus ini, KPTT menyampaikan langkah-langkah menjadi manusia ekologis sebagai dasar utama membangun pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan. Selebihnya, dasar-dasar ilmu pertanian pun kami sampaikan, seperti media tanam, nutrisi tanaman, pengendalian hama, dan penyakit tanaman. Para peserta cukup bersemangat, khususnya saat mereka harus praktik untuk membuat media tanam, hugelkultur, dan meracik mikroorganisme lokal.   Di akhir kegiatan kursus, Pater Jihnyuk merasa tersentuh dan baru menyadari bahwa kita semua terhubung antara satu dengan yang lain. Diri kita dengan sesama, alam, dan juga Allah. Ia sangat terkesan dengan penggalan video how trees secretly talk to each other. Ia baru menyadari bahwa tanaman pun dapat berkomunikasi dengan tanaman lain melalui jamur dan mikroorganisme lain yang ada di dalam tanah.     Reconciliation with Creation (RWC) Meeting Kegiatan kursus pertanian di atas sejatinya masih dalam satu rangkaian dengan pertemuan delegasi RWC tingkat JCAP yang diadakan di tempat yang sama. Dalam pertemuan RWC ini, ada dua agenda yang diusung. Agenda pertama adalah mengundang dan meminta para pemenang program Creator of Hope untuk mempresentasikan proyek ekologis mereka. Mereka adalah orang-orang muda yang sudah lebih dari dua tahun bergerak di bidang ekologi yaitu melalui berbagai macam kegiatan penyelamatan lingkungan hidup. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pemenang dari Indonesia yang bergerak di bidang konservasi karang dan biota laut di Kepulauan Anambas. Bersama dengan Yayasan Anambas, Fauzan Maulana, pemenang Creator of Hope, bahu-membahu memperbaiki kondisi bawah laut di perairan Anambas. Kendati kelihatan terpencil, perairan laut tersebut ternyata mengalami kerusakan yang cukup parah akibat penggunaan bom dan pukat harimau dalam menangkap ikan.   Inti dari program Creator of Hope adalah pemberian dukungan dari RWC terhadap orang-orang muda yang selama ini sudah bergerak dan berjuang bagi lingkungan hidup di mana mereka berkarya. Dengan memberikan dana sebesar $2000, RWC berharap orang-orang muda tersebut sungguh-sungguh tetap bersemangat menjadi agen-agen lingkungan hidup di tempat mereka masing-masing dan menciptakan harapan bagi lingkungan hidup dan sesama.   Agenda kedua dari RWC meeting adalah presentasi dari masing-masing provinsi dan regio mengenai kegiatan-kegiatan ekologi yang dilakukan di tempat masing-masing. Dalam kesempatan ini, kami juga memberikan waktu bagi delegasi yang tidak bisa hadir secara fisik, yaitu Pater Paul Tu Ja, S.J. dari Myanmar, yang karena kondisi perang tidak bisa hadir secara offline di Kamboja. Hal yang menarik dari apa yang dilakukan oleh Pater Tu Ja adalah kesetiaannya untuk tetap bersama umat di parokinya kendati serangan militer banyak terjadi di parokinya. Ia memaparkan, ada kondisi ekologis yang memprihatinkan saat perang, ada banyak lahan pertanian yang terkena bom dan ranjau. Selebihnya, para petani juga takut dan tidak nyaman karena situasi perang membuat segalanya tidak pasti, sehingga kegiatan pertanian pun juga menjadi tidak menentu. Di akhir pemaparannya, kami semua berharap agar konflik dan situasi di Myanmar segera membaik.   Di penghujung pertemuan RWC, kami menggagas macam-macam kegiatan yang bisa kita lakukan secara bersama antarprovinsi dan regio, serta apa saja bentuk bantuan yang bisa diberikan atau disumbangkan. Agar menjadi jelas dan konkret, kami akhirnya membentuk anggota inti yang kemudian diminta untuk merumuskan visi, misi, serta langkah-langkah praktis pelaksanaan kegiatan RWC ke depan. Salah satu langkah praktis yang bagi saya menarik dari bagian akhir pertemuan ini adalah keinginan para delegasi untuk mempraktikkan Finding God in Farming. Jargon ini sendiri saya angkat dari praktik pertanian yang dilakukan di KPTT. Bagi para delegasi lain, hal tersebut adalah praktik yang bagus dan sejatinya hampir semua delegasi juga melakukan praktik yang sama. Maka, kegiatan bertani dan menemukan Tuhan di dalamnya patut terus dilakukan.       Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Merayakan Kemerdekaan Tanpa Perbedaan dalam Kebersamaan

TUJUHBELASAN TOGETHER Siang itu, 19 Agustus 2025, Kampung Kongsi di Cisarua menjadi lebih ramai dari biasanya. Sebuah lapangan sederhana di tengah permukiman dipenuhi warga dan para pengungsi yang berkumpul untuk merayakan hari kemerdekaan. Bendera merah putih dipasang tegak di tengah lapangan sebagai tanda dimulainya acara, sementara anak-anak berlarian kesana-kemari sambil tertawa riang. Orang dewasa duduk berkelompok, sebagian menyiapkan perlengkapan lomba, sebagian lagi sibuk menyapa satu sama lain. Suasana akrab itu menjadi awal dari sebuah perayaan tujuhbelasan yang berbeda dari biasanya.     Pada kesempatan ini, Jesuit Refugee Service (JRS) menggandeng Hope Learning Center (HLC) mengadakan perayaan kemerdekaan bersama dengan warga lokal kampung Kongsi. HLC sendiri telah lama menjadi rumah bagi anak-anak pengungsi di kawasan Cisarua. Di tengah keterbatasan hidup di negeri asing, HLC menghadirkan kesempatan untuk belajar, bermain, dan bertumbuh bersama. Bagi anak-anak yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran, HLC adalah ruang harapan, tempat mereka tetap bisa merasakan suasana pendidikan dan menatap masa depan dengan optimisme.     JRS dan HLC bersama dengan warga Kampung Kongsi berkolaborasi menggelar kegiatan bertajuk Tujuhbelasan Together. Perayaan ini bukan hanya sekadar rangkaian lomba kemerdekaan, melainkan sebuah kesempatan untuk mempertemukan warga lokal dan para pengungsi dari berbagai negara seperti Afghanistan, Sudan, Syria, Iraq, Ethiopia, Myanmar, hingga Yaman. Semua hadir dengan semangat yang sama yaitu merayakan kemerdekaan tanpa perbedaan dalam kebersamaan.     Sejak siang hari, aneka lomba khas tujuhbelasan mulai digelar satu per satu. Sorakan langsung pecah saat lomba makan kerupuk dimulai, ketika anak-anak berjuang dengan penuh semangat menggigit kerupuk yang bergoyang ditiup angin. Tidak lama kemudian, gelak tawa membahana saat lomba balap karung berlangsung, membuat peserta berloncatan dengan karung goni, jatuh, lalu bangkit kembali sambil tetap tertawa.     Lomba tarik tambang menghadirkan momen paling mendebarkan, mempertemukan tim warga lokal dan tim pengungsi yang saling beradu tenaga, sementara penonton bersorak dengan semangat luar biasa. Keriuhan semakin bertambah dengan lomba cerdas cermat yang membuat peserta berpikir keras, lomba meniup gelas plastik yang menguji kelincahan, serta lomba mengaitkan topi keranjang yang memancing sorak sorai riuh. Tidak kalah seru, lomba memindahkan karet dengan sedotan dan lomba menebak gambar juga menghadirkan kegembiraan tersendiri, membuat semua yang hadir larut dalam rasa kebersamaan yang hangat.     Di tengah keceriaan itu, Amira (nama samaran), salah satu peserta dari HLC, berbagi kesannya: “I enjoyed so much today’s event. We gathered and had a lot of fun, especially with all the games. We rarely have fun activities in HLC and this event became a good opportunity for us to get to know better with the local community. We should continue this.” Ungkapan itu menjadi cerminan bagaimana perayaan sederhana mampu membuka ruang perjumpaan dan mempererat ikatan antara warga lokal dan pengungsi.     Menjelang sore, acara dilanjutkan dengan sesi sambutan. Ibu Novita Mulyasari, Ketua RW Kampung Kongsi, menyampaikan rasa bangganya melihat warganya dan para pengungsi bisa berkumpul, tertawa, dan merayakan kemerdekaan bersama. Dari pihak HLC, Ibu Shaima memberikan ucapan terima kasih yang hangat kepada JRS dan warga sekitar yang telah membuka ruang persaudaraan bagi para pengungsi dan anak-anak mereka. Sementara itu, Bapak Zainuddin mewakili JRS menegaskan pentingnya kolaborasi ini sebagai upaya nyata untuk merajut solidaritas lintas budaya dan bangsa, sejalan dengan misi JRS untuk menemani, melayani, dan membela mereka yang terpinggirkan.     Setelah sambutan, panggung perayaan diramaikan dengan berbagai persembahan. Koor dari warga Kampung Kongsi yang menyanyikan lagu religi membuat suasana terasa sangat khidmat, sementara anak-anak pengungsi menampilkan lagu tradisional Afganistan yang syahdu. Kejutan datang dari Harun Hussein, seorang pengungsi yang naik ke panggung dengan penuh percaya diri menirukan gaya menari Michael Jackson. Penampilannya membuat semua yang hadir bergoyang bersama, tertawa terbahak sekaligus berdecak kagum.     Acara kemudian berlanjut dengan pembagian hadiah bagi para pemenang lomba. Sesi pembagian hadiah berlangsung hangat. Bu RW menyerahkan hadiah untuk pemenang lomba balap karung dan makan kerupuk. Perwakilan HLC memberikan hadiah untuk pemenang tarik tambang dan gantung caping, sementara perwakilan JRS menyerahkan hadiah untuk pemenang back drawing dan tiup gelas.     Puncaknya, suasana menjadi semakin mengharukan ketika Pak Topik Hidayat, Ketua RT, mendapat kejutan berupa sebuah lukisan indah bertemakan persaudaraan karya anak-anak HLC sebagai tanda terima kasih. Tak berhenti di situ, Pak Zainuddin dari JRS juga menerima sebuah lukisan yang menggambarkan perpaduan logo JRS dan HLC, sebuah simbol persaudaraan, kolaborasi, dan harapan yang tumbuh di antara dua komunitas.   Menjelang akhir acara, semua orang berkumpul untuk bernyanyi dan menari bersama. Lagu “Gemu Fa Mi Re” atau yang lebih dikenal dengan “Maumere” mengalun riang, mengajak warga lokal dan para pengungsi bergandengan tangan, melompat, dan bergerak dalam satu irama ke kiri dan ke kanan. Saat itu, tidak ada lagi sekat negara, bahasa, atau identitas, yang tersisa hanyalah tawa, peluh, dan rasa persaudaraan yang begitu nyata.     Salah seorang kader Puskesmas Cisarua dari Kampung Kongsi pun memberikan kesannya: “Senang sekali bisa ketemu sama pengungsi di sini. Dan acara seperti ini jarang ada. Saya sendiri jadi tahu sedikit tentang mereka. Saya berharap acara ini bisa diadakan kembali tahun depan. Sering-sering atuh main ke sini.” Ungkapan tersebut memperlihatkan bagaimana keterbukaan dan interaksi sederhana mampu menumbuhkan rasa saling mengenal dan menghargai.     Hari itu, kemerdekaan dirayakan bukan sekadar dengan kibaran bendera atau derai tawa dalam lomba, melainkan dengan hati yang terbuka. Di tengah perbedaan yang ada, warga lokal dan para pengungsi menunjukkan bahwa persatuan bukan hanya kata-kata indah di atas kertas, melainkan sebuah kenyataan yang hidup dalam keriangan anak-anak, dalam semangat lomba sederhana, hingga dalam pelukan hangat yang menutup perayaan. Tujuhbelasan Together menjadi kisah kecil dengan pesan besar, bahwa kemerdekaan Indonesia memberi arti mendalam, tidak hanya bagi mereka yang lahir di tanah air, tetapi juga bagi para pengungsi yang kini menaruh harapan di bumi Nusantara. Perayaan ini membuktikan bahwa merdeka bukanlah milik satu bangsa semata, melainkan sebuah perayaan kebebasan, persaudaraan, dan harapan yang universal. Di tengah keberagaman budaya dan bahasa, mereka bersama-sama merajut makna kemerdekaan yang sejati, yaitu hidup dalam damai, saling menghargai, dan berbagi sukacita tanpa batas.       Kontributor: Sch. Alfonsus Ignatius Franky Njoto, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Membawa Pengharapan untuk Mengenal Pengungsi Luar Negeri Lebih Dekat

Hari Pengungsi Sedunia yang diperingati setiap 20 Juni merupakan peringatan yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang keadaan para pengungsi luar negeri. Selain itu, peringatan ini juga bertujuan untuk mengakui kekuatan pengungsi yang telah berjuang menghindari konflik dan penganiayaan di negara asal mereka dengan harapan mendapatkan perlindungan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di negara tujuan mereka.   Sebagai rangkaian peringatan Hari Pengungsi Sedunia, pada 21 Juni 2025 yang lalu diadakan bazar dengan tema A month of stories and solidarity yang diselenggarakan di M-Bloc Space, Jakarta. Event ini terselenggara atas partisipasi dan kolaborasi banyak pihak, antara lain UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), Refuture, SUAKA, JRS Indonesia, dan beberapa learning center.   Event ini melibatkan banyak stakeholder atau lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan kepada pengungsi. Ini merupakan event pertama yang saya ikuti sebagai staf JRS Indonesia dan sungguh menjadi pengalaman baru. Saya merasa sangat antusias terlibat di dalamnya. Saya bertugas sebagai penerima tamu atau bagian registrasi yang mencatat kedatangan pengunjung dan memberikan penjelasan terkait dengan kegiatan Hari Pengungsi Sedunia. Saya ditemani Diana, salah satu kawan dari SUAKA, dan Rahma dari CWS (Church World Service). Kami saling bekerja sama untuk menarik minat masyarakat umum agar bergabung dalam event Hari Pengungsi Sedunia dan mengetahui lebih jauh apa itu pengungsi luar negeri.   Banyak perwakilan dari lembaga kemanusiaan yang berpartisipasi dalam event ini, seperti menangani multimedia, sound system, MC, live streaming dan sosial media, fun games, engagement volunteer, guest usher, talk show support, dan banyak lagi. Di sinilah kami dipertemukan dengan banyak kawan yang tidak saling kenal sebelumnya. Kami juga merasa dikuatkan dan jaringan pertemanan menjadi semakin luas.     Acara dimulai pukul 07.00 WIB tetapi sudah banyak pengungsi yang hadir untuk mempersiapkan event ini, seperti membuka tenant yang berisi makanan khas dan handycraft dari para pengungsi, misalnya Afghanistan, Pakistan, Palestina, Somalia, dan Rohingya Myanmar. Selain makanan dan buah tangan, mereka juga mempersiapkan pertunjukan yang akan ditampilkan.   Dari acara ini saya mengetahui bahwa masih banyak masyarakat umum, terutama di Jakarta, yang belum memahami siapakah pengungsi itu dan apa yang mereka lakukan di Indonesia. Sebagai pekerja sosial dan dari pemahaman saya, pengungsi luar negeri adalah individu atau kelompok yang terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena konflik atau peperangan, karena perundungan atau persekusi yang berlatar agama, etnis, politik, dan lainnya. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait status pengungsi. Ini berarti Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan tempat permanen dan lapangan pekerjaan bagi pencari suaka dan pengungsi. Para pengungsi yang tinggal di Indonesia tentu mengalami banyak kesulitan karena tidak punya hak untuk bekerja dan lainnya. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan hidup dengan bergantung pada organisasi internasional seperti UNHCR, IOM, JRS Indonesia, dan lainnya.   Peringatan Hari Pengungsi Sedunia ini memberikan harapan dan rasa syukur untuk mengenal lebih dekat pengungsi luar negeri. Pertunjukan penampilan dari para pengungsi pun mengesankan. Sebagai staf JRS Indonesia saya sangat mengagumi pesan Paus Fransiskus. Ia sangat memperhatikan orang-orang tersingkir dan rentan: kaum miskin, pengungsi, dan mereka yang termarginalkan. Ia selalu menyerukan pentingnya solidaritas dan kasih sayang kepada sesama dan mereka yang membutuhkan. Nilai-nilai yang diajarkan oleh Paus Fransiskus tentang pengungsi ini menjadi pedoman yang saya bawa dalam melayani pengungsi luar negeri di Jakarta. Saya berharap event Hari Pengungsi Sedunia ini akan semakin menyadarkan masyarakat untuk peduli dan solider dengan para pengungsi luar negeri sebab para pengungsi ini menghadapi segala ketidakpastian dengan masa depan mereka.    Kontributor: Adi Priyanto – JRS Indonesia

Pelayanan Masyarakat

Menghidupi Spiritualitas Manusia Ekologis

Para bruder Jesuit merasa bangga dan gembira melihat perkembangan Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Mereka senang dan “gumun” bahwa KPTT hingga saat ini terus eksis. Apalagi, sebagian besar para bruder Jesuit pernah bertugas ataupun menjadi siswa di KPTT. Trend positif KPTT bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu kemandiriannya secara finansial, jumlah peserta kursus yang semakin meningkat, pelayanannya yang semakin meluas, dan menjadikan dirinya sebagai pusat studi ekologi.   Sustainable dan Integrated Farming Tahun ini, para bruder Provindo melanjutkan program tahun sebelumnya untuk mengadakan rekoleksi dan kunjungan keluarga. Bulan Juni 2025 ini, KPTT dan keluarga Br. Dieng menjadi pilihan untuk dikunjungi. Maka, saat berada di KPTT para bruder mendapatkan input tentang gambaran KPTT saat ini. Saat ini, KPTT telah berubah dan terus bertransformasi. Hal yang patut disyukuri adalah bahwa KPTT saat ini bisa hidup secara mandiri. Hal tersebut tidak lepas dari praktik sustainable dan integrated farming sebagai model pertanian yang kami usung. KPTT bukanlah tempat wisata, namun lembaga kursus pertanian yang hidup secara penuh dari hasil pertanian dan peternakan. Dengan cara ini, kami merasa percaya diri untuk mengajarkan model pertanian kepada banyak orang. Apa yang penting untuk dicatat dalam model sustainable dan integrated farming adalah tindakan untuk mau saling melayani. Pertanian dan hasilnya adalah salah satu bagian dari proses saling melayani dalam siklus alami. Dalam proses itu, manusia ekologis menjadi salah satu subyek yang penting namun tidak bisa melepaskan diri dari subyek-subyek alami lainya. Contoh kecil yang dapat kami ambil adalah saat manusia KPTT melayani kebutuhan ternak sapi, yaitu dengan memberikan makanan, minuman, dan menjaga kebersihanya. Sapi tersebut dengan sendirinya akan menghasilkan susu dan kotoran yang kemudian diproses hingga menghasilkan biogas. Susu dan biogas adalah benefit yang dapat diperoleh manusia secara langsung saat tindakan melayani sapi dilakukan. Seterusnya, kotoran sapi sendiri menjadi makanan bagi bakteri dan jamur yang kemudian mendekomposisi kotoran sapi menjadi pupuk kendang. Singkatnya, sapi melalui kotoranya melayani kebutuhan bakteri, jamur, dan tanaman untuk bisa hidup dan menghasilkan panenan. Ringkasnya, tindakan alami saling melayani inilah yang pada akhirnya melahirkan keberlanjutan dan kelestarian. Pada akhirnya dalam proses ini, manusialah yang paling banyak diuntungkan.   Spiritualitas Manusia Ekologis Bagi KPTT kursus pertanian dan peternakan adalah sarana untuk membentuk pribadi-pribadi ekologis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajarannya kami menawarkan spiritualitas manusia ekologis. Melalui praktik dan teori pertanian serta hidup bersama di KPTT kami menawarkan semangat keharmonisan hubungan antara manusia, Allah, sesama, dan alam. Berlandaskan prinsip-prinsip dasar dari Laudato si dan Universal Apostolic Preferences (UAP), KPTT mengajak setiap pribadi untuk menjadi pribadi yang sadar bahwa hidupnya tidak pernah lepas dari hubungan dengan Allah, sesama, dan alam. Di tempat yang sama kami menawarkan langkah-langkah untuk menjadi pribadi ekologis entah itu melalui pikiran, tindakan, kebiasaan, pembentukan karakter dan menjadikan semua itu sebagai bakti kita kepada Allah. Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2021 terjadi peningkatan pelayanan yang dilakukan KPTT melalui macam-macam programnya, yaitu berupa kursus, magang, live in, fieldtrip, dan pelayanan ke luar. Di bawah ini adalah data singkat para peserta yang pernah belajar di KPTT. Jika kami boleh berasumsi, seandainya 5% saja dari para peserta di atas yang sungguh-sungguh tertarik di bidang ekologi, tentu jumlah itu sudah patut syukuri.   Di akhir permenungan tentang KPTT, para bruder diajak untuk merenungkan beberapa pertanyaan mendasar terkait bagaimana menjadi manusia ekologis. Apakah aku sudah memeluk spiritualitas ekologis secara mendalam? Apa bentuk-bentuk konkret kecintaanku terhadap lingkungan hidup? Apa yang dapat aku usulkan terkait usaha untuk meningkatkan minat banyak orang di bidang ekologi?   Kunjungan Keluarga Br. Dieng, SJ di Paroki Ngawi Acara rekoleksi para bruder diawali dengan doa bersama dan “sapa aruh” antara para bruder. Pada kesempatan ini, para bruder menceritakan update tugas dan perutusan masing-masing. Apa saja sukacita dan tantangan-tantangan dalam karya yang saat ini sedang mereka alami. Hal yang menarik dari sesi ini adalah pengalaman iman masing-masing bruder yang secara langsung maupun tidak langsung saling menguatkan panggilan kami. Ada semacam ikatan kokoh dalam batin bahwa kami berjalan bersama meskipun tidak di tempat tugas yang sama.   Dalam rekoleksi dan kunjungan keluarga tahun ini ada 12 bruder yang hadir. Selanjutnya, pada hari Minggu, 22 Juni 2025, kegiatan rekoleksi para bruder di KPTT dilanjutkan dengan kunjungan keluarga. Kegiatan kunjungan keluarga diawali dengan mengikuti perayaan Ekaristi di kapel Stasi Santa Perawan Maria Kedunggalar. Dalam misa, selain memperingati Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, kami memperingati pula saudara kami almarhum Leo Agung Sapto Prioyo Ponco, adik Br. Dieng yang genap dua tahun lalu dipanggil Tuhan. Pada bagian akhir rekoleksi dan kunjungan, para bruder secara khusus berkunjung ke rumah keluarga Br. Dieng dan dilanjutkan dengan proses saling berkenalan. Para bruder satu persatu memperkenalkan siapa mereka dan tugas di mana. Begitu juga dengan anggota keluarga Br. Dieng. Bagi kami, keluarga adalah bagian yang penting dan tak terpisahkan dari kehidupan panggilan. Keluarga adalah rahim pertama yang melahirkan panggilan para bruder Jesuit. Pada akhirnya, kami berdoa bagi banyak keluarga, semoga makin banyak keluarga yang berkenan mempersembahkan putra-putra mereka untuk menjadi bruder Jesuit.   Kontributor: F Antonius Dieng Karnedi, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Senja di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Minggu, 27 April 2025, adalah hari yang dinantikan oleh para volunteer Perkampungan Sosial Pingit (PSP). Jam 16.00 WIB, volunteer PSP dan frater pendamping berkumpul di Pingit dan berangkat. Perjalanan yang ditempuh tidaklah jauh namun cukup tricky bagi pendatang pertama kali karena harus memasuki kampung daerah Cokrodiningratan yang banyak belokan. Lokasinya yang bisa dibilang tersembunyi pada sebuah kampung di belakang projek bangunan mangkrak seakan menyiratkan makna: ada sebuah kisah perjuangan hidup dari kelompok yang termarginalkan di balik megahnya kota Jogja yang jarang mendapat sapaan hangat dari masyarakat (atau mungkin sengaja tak disapa oleh masyarakat atas nama kebaikan, atas nama moral, dan mungkin, agama?). Dan di sinilah kami berada, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.   Para santri penghuni Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-fatah begitu hangat menyambut kehadiran kami yang hendak berdialog sore itu. Adalah Kak YS, seorang transgender perempuan (transpuan) yang sangat excited mempersilakan kami masuk. Kak YS menceritakan banyak hal bagaimana Ponpes Al-Fatah ini didirikan. (Alm) Ibu Shinta Ratri yang merupakan seorang transpuan Muslim sekaligus aktivis HAM mendirikan Ponpes Al-fatah pada tahun 2008. Berjalannya waktu, ponpes ini sempat berpindah-pindah lokasi akibat penolakan warga dan bahkan sempat ditutup akibat persekusi dari kelompok konservatif. Setelah sebelumnya dari Kota Gede, Ponpes Al-Fatah kini berlokasi tak jauh dari Tugu Jogja. Tujuan didirikannya ialah untuk memberi tempat bagi rekan-rekan LQBT, khususnya transpuan, untuk beribadah dengan nyaman serta belajar mengaji dan membaca Al-Quran didampingi beberapa rekan mahasiswa relawan, ustadz, dan bahkan pendeta.   Tak hanya santri yang beragama Islam saja, Ponpes Al-Fatah juga membuka pintu bagi rekan-rekan transpuan yang beragama Kristen. Melihat realita diskriminasi berupa penolakan yang dialami oleh rekan-rekan transpuan, Ponpes Al-Fatah menjadi rumah yang memenuhi kebutuhan afeksi cinta kasih sebagai seorang makhluk hidup. Mereka mendekatkan hati kepada Sang Sumber Kasih itu sendiri. Disela-sela pergulatan hidup dan berbagai tekanan yang dialami, kasih yang mereka terima melalui keluarga Ponpes Al-fatah diwujudkan pula dalam kehidupan sehari-hari. Banyak santri yang terlibat dalam kerja bakti masyarakat dan kegiatan LSM. Ada pula yang belajar make up, pijat, usaha catering, dan berjualan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di tengah keterbatasan akses akibat identitas yang mereka yakini, mereka tetap berjuang hidup mandiri. Beberapa ada yang masih bekerja sebagai pengamen jalanan dikarenakan tidak dapat memenuhi kriteria pekerja di lembaga-lembaga tertentu; mereka tidak memiliki kartu pengenal identitas seperti KTP.   Kak YS berkisah bahwa dirinya dan rekan-rekan transpuan masih saja mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dari pemuka agama. Contohnya, dalam sebuah kegiatan seminar edukasi, Kak YS yang mewakili kaum transgender mendapat pengalaman diberi label bahwa sebagai seorang transpuan merupakan perbuatan dosa dan disuruh bertobat, kembali menjadi laki-laki cisgender. “Padahal, aku emang sudah merasa sejak kecil bahwa aku ini perempuan walaupun terlahir sebagai laki-laki. Umur 3 tahun aja aku udah pakai rok. Ada, lho, fotonya!” Di balik diskriminasi yang mereka alami, prinsip hidup yang menjadi langkah awal bagi rekan-rekan santri Ponpes Al-Fatah ialah penerimaan diri. “Tetap akan selalu ada orang-orang yang menuntutmu menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Tapi selama kamu jadi diri sendiri, keinginan pribadi mereka tidak akan menggoyahkan dirimu. Dan langkah awalnya adalah menerima diri apa adanya, siapa pun diri kamu,” tutur Kak YS dengan mata berkaca-kaca.     Arif Nur Safri, ustadz yang mendampingi para santri belajar agama, memberi kami nasihat untuk berpikir lebih kritis dengan stigma dan label yang ada terhadap rekan-rekan transgender. Mungkin kita pernah mendengar stigma soal waria, banci, bencong atau apa pun sebutannya itu yang kemudian tanpa sadar pikiran mengadopsinya menjadi asumsi negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Membaca dan berdialog memampukan kita agar menjadi pribadi dengan pemikiran yang mandiri. Diskriminasi itu terus mereka alami selama masih belum banyak orang yang terbuka dan teredukasi bahwa tiap individu memiliki hak atas identitas pribadinya masing-masing.   Momen dialog ini memang momen yang kami nantikan. Seminggu seusai perayaan Paskah dan kurang dari sebulan perayaan Idul Fitri. Momen dialog yang menggugah kesadaran kami soal kasih, yaitu nilai utama yang Yesus ajarkan melalui pesan wafat-Nya di kayu salib. Perlu ada perspektif kasih dalam memandang kelompok tertentu yang termarginalkan. Sebagaimana Yesus yang selalu berpihak kepada orang miskin, lemah, dan tersingkir, kita diutus pula untuk merengkuh mereka dengan penuh kasih sebagai seorang sahabat yang sederajat, bahkan saudara. ”Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Injil Markus 3:35 mengajarkan bahwa persahabatan dan persaudaraan tidak hanya sebatas hubungan darah. Kita semua adalah anak-anak Allah jika hidup dalam kebaikan. Apalagi melakukan perbuatan yang dikehendaki Allah seperti mewujudkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian bagi sesama tanpa membeda-bedakan gender, agama, suku, dan lainnya.   Waktu terasa sangat singkat. Matahari mulai terbenam diiringi suara adzan maghrib. Kami pamit untuk kembali ke kesibukan kami masing-masing, namun dalam hati berjanji untuk tidak sibuk sendiri. Masih banyak teman-teman kami yang masih terpinggirkan oleh dunia. Satu hal yang menghidupkan kembali semangat kepedulian kami terhadap sesama yang terpinggirkan dengan menjadi volunteer mengajar anak-anak di Pingit. Kakak-kakak santri yang senyumnya tidak pernah lepas melepas kepulangan kami. Kami menghaturkan rasa terima kasih atas dialog singkat yang manis sore ini. Terima kasih atas inspirasi yang nyata bahwa keadilan dapat sungguh-sungguh diperjuangkan dengan penuh kasih.    Dan senja yang hangat sore itu mengantar kepulangan kami selepas bercengkrama bersama santri transpuan di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.   Kontributor: Basilika Rain (volunteer pengajar Perkampungan Sosial Pingit)

Pelayanan Masyarakat

“Sebuah Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus”

Refleksi Lintas Iman atas Warisan Paus Fransiskus dan Harapan akan Kepemimpinan Paus Leo XIV Jakarta, 10 Mei 2025 – Dalam rangka mengenang warisan moral dan spiritual Paus Fransiskus serta menyambut kepemimpinan Bapa Suci Paus Leo XIV, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan seminar reflektif bertajuk “Sebuah Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus” di Aula Gedung KWI, Jakarta. Seminar ini menjadi ruang perjumpaan lintas-iman dan lintas-sektor untuk merenungkan kontribusi Indonesia dalam visi Gereja universal yang inklusif, damai, dan berbela rasa.   Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka  Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Presidium KWI dan Uskup Bandung) Ignatius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia (Cendekiawan Muslim) Pdt. Jacklevyn F. Manuputty (Ketua Umum PGI)   Diskusi dipandu oleh Francisia Saveria Sika Ery Seda, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia.   Dalam sambutan pembuka, Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J., menegaskan bahwa momen ini adalah saat yang tepat untuk menghormati jembatan spiritual dan sosial yang dibangun oleh Paus Fransiskus, sekaligus menyambut Paus Leo XIV sebagai penerus harapan dunia. “Indonesia adalah sebuah mosaik indah—tempat di mana pesan kasih, dialog, dan persaudaraan menemukan bentuk nyata,” ujarnya. Acara ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya membangun jembatan persaudaraan yang mempersatukan umat manusia.     Mgr. Antonius Bunjamin, OSC menilai bahwa Paus Fransiskus adalah pemimpin yang menyerukan perubahan dari ketidakpedulian global menjadi solidaritas global. Ia juga melihat Paus Leo XIV sebagai penerus visi sosial Fransiskus, dengan nama yang mengingatkan dunia pada semangat Rerum Novarum dari Paus Leo XIII.   Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menegaskan bahwa warisan Paus Fransiskus adalah ajakan damai lintas agama. “Agama harus menjadi kekuatan yang mengangkat spiritualitas dan kemanusiaan,” ujarnya. Baginya, mengenang Paus Fransiskus berarti menghidupkan kembali semangat dialog dan perdamaian di tengah dunia yang mudah terpecah. Ini dilakukan dengan menghormati kehidupan dan hak asasi manusia, serta membangun dialog.    Pdt. Jacklevyn F. Manuputty menyebut Paus Fransiskus sebagai “Bapa Gembala Kemanusiaan” yang menghadirkan nilai-nilai profetik dalam realitas konkret. Ia menilai Paus Fransiskus sebagai tokoh spiritual yang mewakili keberpihakan pada dunia yang rentan.   Ignatius Jonan, umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta dan Ketua Panitia Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, mengajak peserta untuk menyadari penyelenggaraan ilahi dalam kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dan juga dalam konklaf yang memilih Paus Leo XIV. Menurut beliau, Paus Leo XIV bisa jadi dihadirkan oleh Yang Ilahi sebagai ajakan bagi seluruh Gereja untuk bertransformasi.     Seminar ini menjadi momentum spiritual dan moral untuk merayakan jejak Paus Fransiskus di hati bangsa Indonesia, serta menyambut dengan penuh harapan arah Gereja ke depan di bawah kepemimpinan Paus Leo XIV.   Tautan video dokumentasi: https://www.youtube.com/watch?v=wfpI54HoYmQ  dan www.praksis.id   Kontributor: P Angga Indraswara, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Tumbuh Dalam Cinta Sejati

Pengalaman melayani anak-anak marginal lewat Komunitas Belajar Realino (KBR) di wilayah Jombor dan Bongsuwung merupakan panggilan yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Ini adalah kesempatan meneladani Yesus yang selalu hadir bagi mereka yang tersingkir, menderita, dan dilupakan masyarakat. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di dalam diri mereka yang tersingkir, kita menemukan wajah Kristus sendiri.   Melayani anak-anak marjinal mengajarkan saya membuka hati dan mata pada realitas ketidakadilan dan penderitaan. Sebagai biarawan SCJ yang menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus, Hati yang terbuka menjadi semangat saya untuk mau menerima semua orang ke dalam hati saya. Selain itu saya juga diundang membagikan kasih Tuhan lewat diri saya kepada mereka tanpa membeda-bedakan latar belakang dan budaya.   Dalam pengalaman pengabdian sosial ini, saya belajar bukan hanya untuk memberi, melainkan juga menerima. Melalui pertemuan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino, saya menyadari bahwa dari mereka saya dapat belajar tentang kekuatan, keberanian, dan pengharapan. Saya belajar melihat manusia bukan dari penampilan luar atau status sosial, melainkan nilai dan martabat yang melekat pada setiap pribadi sebagai ciptaan Allah yang luhur.   Pengabdian sosial kepada anak-anak marjinal ini saya refleksikan sebagai tindakan nyata mengikuti jejak Yesus. Secara khusus ini merupakan bentuk mengikuti Dia memperjuangkan keadilan, memperlihatkan kasih yang nyata, dan memberi harapan. Saya tidak hanya hadir membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga mengingatkan diri saya bahwa keberadaan saya memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan mulia itu adalah menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di dunia ini.   Dalam refleksi ini, penting juga mengingat bahwa pengabdian sosial adalah panggilan mengasihi tanpa syarat. Kasih ini tidak mengharapkan balasan atau penghargaan, melainkan tumbuh dari keinginan melihat orang lain hidup dengan martabat dan sukacita. Setiap kali saya berbagi waktu, perhatian, dan kasih kepada anak-anak dan kaum marginal, saya berpartisipasi dalam misi Kristus di dunia ini. Misi itu adalah membawa terang dan harapan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Let us become a true light.   Akhirnya, pengalaman ini memanggil saya untuk berkomitmen lebih dalam terhadap semangat pelayanan. Saya dipanggil membawa transformasi tidak hanya bagi mereka yang saya layani, melainkan juga bagi diri saya sendiri agar semakin bertumbuh dalam cinta sejati.   Kontributor: Fr. Charles Oktavianus Markus Tada Wadan, SCJ – Volunteer Realino SPM