Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

Menyusuri Jejak Misionaris Jesuit

NAPAK TILAS IMAN DI FLORES: Ada rasa haru sekaligus bangga ketika kaki kami menapaki tanah Flores, tanah yang sejak lama menjadi ladang pelayanan penuh pengorbanan dan kasih para misionaris Serikat Jesus. Di penghujung Agustus 2025, Komunitas Beato Miguel Pro Jakarta mendapat anugerah istimewa, melakukan perjalanan rohani ke Ende, Maumere, dan Larantuka. Perjalanan ini bukan sekadar jeda dari rutinitas ibu kota, melainkan undangan untuk kembali menimba inspirasi dari semangat misionaris yang pernah menyalakan api iman di bumi Nusa Bunga. Pesan Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Uskup Larantuka, masih terngiang, “Serikat Jesus yang memulai misi di tanah Flores, dan kami selalu terbuka bagi Serikat Jesus untuk membantu karya di sini.” Kalimat sederhana itu menjadi pengingat sekaligus amanat bahwa misi yang dahulu dimulai para pendahulu kini menunggu untuk dilanjutkan.   Ende: Jejak Sejarah, Iman, dan Persaudaraan Langkah pertama kami berhenti di Ende, kota pesisir yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat sejarah bangsa dan Gereja. Kami mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno, tempat Sang Proklamator merenung, menulis, dan menyalakan semangat kemerdekaan. Di dekatnya, Serambi Soekarno berdiri di kompleks Katedral Kristus Raja. Di sinilah Bung Karno sering berdiskusi dengan para imam SVD, merajut gagasan yang kelak menjadi Pancasila. Kami berdiri di ruang lahirnya fondasi bangsa, di mana iman dan nasionalisme berkelindan erat.   Tak jauh dari sana, kami memasuki Katedral Kristus Raja, pusat iman umat sekaligus saksi sejarah panjang misi Katolik di Flores. Nama Mgr. Aloysius Ogihara S.J., Uskup Ende asal Jepang yang melayani di masa sulit Perang Dunia II, kembali mengingatkan bahwa kesetiaan gembala kerap diuji justru di tengah badai.   Di Istana Keuskupan Ende, sambutan hangat Romo Efraim Pea membuka kisah-kisah pelayanan Gereja. Patung Bunda Maria setinggi lebih dari 10 meter menjulang di halaman istana, seakan melindungi kota kecil ini dalam naungan kasih Ilahi. Dari sana, kami berlanjut ke Universitas Flores, buah perjuangan tokoh lokal dan Gereja sejak 1980. Menyaksikan semangat para mahasiswa, kami sadar bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari misi Gereja.   Tidak lupa kami singgah di sebuah kampung adat. Rumah-rumah kayu beratap rumbia, suguhan kopi Ende yang harum, dan keripik singkong buatan tangan penduduk menjadi pengalaman sederhana namun penuh makna. Sejarah, iman, pendidikan, dan budaya berpadu dalam harmoni, inilah wajah Ende yang menyapa dengan persaudaraan tulus.   Maumere: Iman yang Berbuah dalam Karya Dari Ende, perjalanan berlanjut ke Maumere. Langkah pertama membawa kami ke “La Storta,” makam para Jesuit yang sejak abad ke-19 berkarya di tanah ini. Di antara nisan-nisan sederhana, kami berdoa dalam hening, merasakan bahwa pengorbanan mereka tidak pernah hilang, iman yang ditabur tetap hidup dalam umat.   Suasana berubah penuh harapan ketika kami memasuki Bengkel Misi Santo Yoseph. Dari bengkel pertukangan sederhana, tempat ini kini berkembang menjadi pusat pembinaan keterampilan kaum muda, bekerja sama dengan ATMI Solo. Kami menyaksikan anak-anak muda dengan latar belakang sederhana membentuk masa depan lewat keterampilan, karakter, dan doa. Produk-produk mereka, meubel kayu, mesin pertanian, kopi, cokelat, hingga teh kelor, dipasarkan dengan merek Mai Sai yang berarti “Mari sini.” Nama itu seakan menjadi undangan ramah untuk berbagi harapan dengan semua. Pesan Mgr. Ewaldus Martinus Sedu saat meresmikan bengkel otomotif beberapa waktu lalu begitu membekas, “Gereja hadir bukan hanya untuk mendoakan, tetapi juga untuk memberdayakan.” Kami melihat sendiri bagaimana kata-kata itu menjelma nyata di Maumere.   Kunjungan berikutnya menuntun kami ke Politeknik Cristo Re, lembaga pendidikan tinggi yang menyiapkan generasi muda Flores menjadi tenaga profesional. Semangat serupa kami temukan di Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa, tempat benih panggilan ditanam dalam kesederhanaan fasilitas dan semangat para seminaris muda.   Salah satu momen paling menyentuh dalam perjalanan kami adalah ketika mengunjungi Gereja Tua Sikka, gereja Katolik tertua di Flores yang berdiri sejak tahun 1899. Gereja ini didirikan oleh seorang misionaris Serikat Jesus asal Belanda, Pater Joannes Engbersen S.J. Bangunan jati tua ini bukan sekadar situs sejarah, tetapi rumah iman yang masih hidup. Tradisi “Logu Senhor” setiap Jumat Agung menjadi bukti bahwa iman dapat berakar dalam budaya lokal tanpa kehilangan kedalaman rohaninya.   Perjalanan di Maumere kami akhiri dengan ziarah ke Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Nilo, patung setinggi 28 meter yang berdiri megah di atas fondasi 18 meter di puncak bukit. Dari sana, kami memandang luasnya kota Maumere yang seolah berada dalam naungan tangan penuh kasih Bunda Maria. Tidak jauh dari sana, kami juga berkunjung ke biara dan rumah retret milik para Romo Pasionis. Suasana biara yang sangat megah namun hening menjadi penutup yang indah bagi perjalanan kami, memberi ruang bagi kami untuk merenung bahwa setiap karya, besar atau kecil, selalu berakar pada doa.   Larantuka: Kota Reinha Rosari Perjalanan napak tilas akhirnya sampai di Larantuka, kota kecil di ujung timur Flores yang sejak lama dijuluki “Kota Reinha Rosari.” Di Kapela Tuan Ana dan Kapela Tuan Ma, kami merasakan denyut iman yang diwariskan turun-temurun. Patung Kristus dan Bunda Berduka bukan sekadar simbol, melainkan wajah iman yang hidup dalam devosi Semana Santa. Prosesi Jumat Agung yang menyeberangi darat dan laut menjadi warisan rohani yang mempersatukan umat lintas generasi.   Kami juga mendapat kehormatan bertemu langsung dengan Mgr. Fransiskus Kopong Kung di istana keuskupan. Dalam perjumpaan itu, beliau menceritakan sejarah keuskupan Larantuka dan mengingatkan bahwa benih iman di Larantuka telah berakar sejak zaman Portugis, dipelihara oleh para Jesuit, dan terus hidup hingga kini.   Di pemakaman para misionaris Jesuit di Larantuka, kami berdiri hening di hadapan pusara dua belas imam yang menghabiskan hidupnya untuk Flores. Kesetiaan mereka berbicara tanpa kata-kata. Dan akhirnya, di Katedral Reinha Rosari, kami menutup ziarah dengan doa syukur. Suasana hening katedral agung itu seakan merangkum seluruh perjalanan, iman yang tumbuh, bertahan, dan memberi hidup.   Sebuah Akhir yang Menjadi Perjalanan Baru Perjalanan napak tilas di Ende, Maumere, dan Larantuka meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar kenangan rohani. Dari sejarah perjuangan iman di Ende, buah karya pemberdayaan umat di Maumere, hingga kesetiaan tradisi devosi di Larantuka, kami belajar bahwa iman sejati selalu berakar pada pengorbanan, bertumbuh dalam pelayanan, dan berbuah dalam persaudaraan. Kami diingatkan bahwa misi bukan hanya kisah masa lalu para misionaris, melainkan tanggung jawab yang kini ada di pundak kami untuk dilanjutkan sesuai zaman. Napak tilas ini menjadi cermin bahwa karya Allah

Feature

Grazie, Francesco!

Homili Kenangan Paus Fransiskus Misa Requiem Paus Fransiskus  Saudara-saudari terkasih,  Petang itu, 13 Maret 2013, setelah beberapa hari melihat asap hitam,  sekitar pukul 19.00 lewat sedikit, saya mendengar lonceng-lonceng  Gereja berdentang bersahut-sahutan. Saya bertanya-tanya, “Sepertinya jam 7 malam baru saja lewat, mengapa lonceng-lonceng  gereja terdengar di mana-mana? Jangan-jangan…” Saya bergegas  mencari tahu dan ternyata benar. Tradisi lonceng semua gereja di  Roma dibunyikan saat asap putih pertanda Paus baru terpilih, sedang terjadi. Tanpa banyak menunggu, kami segera berlari menerjang  gerimis menuju alun-alun Vatikan untuk menyaksikan upacara pengenalan Paus baru, “Habemus papam…”    Kami segera berada di tengah-tengah Piazza San Pietro bersama  dengan ratusan, mungkin ribuan, orang yang mulai menyemut. Di bawah dingin kami berdiri menunggu. Mungkin sejam atau dua jam  kemudian, akhirnya beliau diperkenalkan. Betapa terkejutnya kami  ketika mendengar bahwa Kardinal Bergoglio, salah satu saudara Jesuit kami, terpilih. Sontak euforia pecah. Bersama dengan semua orang di situ kami berteriak kegirangan seperti orang gila mengelu-elukan Paus. Momen yang selalu saya kenang karena selalu membuat merinding adalah kontras yang muncul saat beliau meminta doa dan  berkat dari semua yang ada di situ. Persis ketika beliau  membungkukkan badan saat didoakan, saat itulah keheningan tiba tiba menyapu riuh rendah teriakan peziarah. Semua diam berdoa.  Mereka yang tidak paham bahasa Italia pun ikut larut dalam keheningan itu. Momen hening dalam doa itu, sungguh-sungguh peristiwa yang menggetarkan dan menghangatkan hati. Saat itu saya sungguh terpukau melihat gestur ramah penuh senyum, sederhana, dan  rendah hati dari pimpinan Gereja Katolik. Gestur yang rupanya selalu  mewarnai dua belas tahun masa pontifikatnya.    ***  Saya bukan seorang ahli pengamat Paus; bukan pula pejabat eklesiastik yang sering bertemu dan berelasi dekat dengan beliau. Kenangan dan apresiasi saya bagi beliau berasal dari umat biasa dari  kejauhan, yang merasakan efek, dampak dari apa yang beliau  kerjakan selama ini. Sekiranya tidak berlebihan jika saya mengenang Paus Fransiskus sebagai manusia Paskah: Manusia yang mengalami, mengimani, menghidupi kuasa kebangkitan Kristus dan digerakkan oleh-Nya.  ***  Saudara/i terkasih,  Manusia paskah adalah manusia yang mengalami kerahiman Allah. Kidung Exultet yang kita dengarkan di liturgi malam Paskah  menyampaikan felix culpa, “O kesalahan yang menguntungkan, karena memberikan Penebus yang sedemikian rupa.” Di situlah  sejarah kedosaan di masa lalu dimaknai secara retrospektif dari sudut pandang keselamatan yang dibawa oleh Yesus yang bangkit. Rupanya, itu pula yang terjadi pada Paus kita. Barangkali kita pernah mendengar masa lalu yang tidak mudah, bahkan mengundang  kontroversi, dari Paus kita saat beliau menjadi provinsial Jesuit dan rektor skolastikat Jesuit di Argentina. Beliau mengalami situasi yang  tidak mudah. Saya ingat, setelah diumumkan menjadi Paus, beberapa teman serumah saya yang berasal dari Amerika Latin tidak percaya dan sedikit merasa takut bahwa Bergoglio terpilih menjadi Paus.    Namun, beliau tidak terpenjara oleh kegagalan, kesulitan, dosa manusia. Seperti yang dikatakannya pada homili di Gelora Bung Karno (GBK), September  yang lalu, “Non restare prigioneri dei nostri fallimenti…No, per favore. Non restiamo prigioneri dei nostri fallimenti.” (Janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita. Jangan, saya  mohon, janganlah menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan kita).    Masa lalu yang berat dengan segala kesalahan dan kegagalan yang  dilakukan dimaknai dari sudut pandang kerahiman, pengampunan dan keselamatan dari Yesus yang bangkit jaya.  Jumat Agung dipandang dari sudut pandang Minggu Paskah. Kebangkitan Kristus membebaskan dan memberi kita jaminan agar tidak terpenjara di dalam pengalaman Jumat Agung kita masing masing. Siapa di antara kita yang tidak memiliki drama kehidupan;  tidak memiliki pengalaman gagal dan dosa di masa lalu; tidak  memiliki pengalaman Jumat Agung? Tapi itu semua bukanlah kata  terakhir karena terdapat Minggu Paskah yang menyelamatkan. Saya  yakin, Paus Fransiskus mengalami hal itu dan saya merasa dia mengajak kita untuk memasuki pengalaman ini juga. Pertobatan dan  usaha memperbaiki diri dari sisi manusia bertemu dengan pengampunan dan kerahiman Allah yang berpuncak pada misteri  kebangkitan Kristus.    Mengalami kerahiman, pengampunan, dan pembebasan dari Allah; itulah  juga yang saya rasakan ketika beliau mengajak seluruh Gereja untuk memasuki tahun jubileum kerahiman ilahi pada 2016 yang lalu.  Memang sejak awal masa pontifikatnya, seperti saat itu, di Audiensi  General 17 Maret 2013, beliau mengatakan Tuhan tidak pernah lelah  mengampuni kita! Mungkin kita yang lelah memohon pengampunan dari Allah; tetapi Allah tidak pernah lelah mengampuni. Di Ekshortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Kegembiraan Injili) §44, Paus  Fransiskus mengingatkan para imam agar ruang pengakuan dosa bukan menjadi ruang interogasi, melainkan ruang untuk bertemu  dengan kerahiman Tuhan Sang Pengampun.      Bertemu dengan Kristus yang bangkit; yang maharahim dan  mengampuni; yang membebaskan kita dari pengalaman Jumat Agung  kehidupan kita, bukan berarti menjadi permisif, laksis terhadap dosa.  Kita memang perlu untuk terus bertobat dan memperbaiki diri. Bertemu dengan Kristus yang bangkit adalah sebuah pengalaman  rohani, pengalaman mistik ketika seseorang dalam  ketidakberdayaannya akibat dosa, kesalahan, kegagalan diangkat  kembali oleh daya kekuatan Ilahi yang memberinya kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bertemu dengan Kristus yang  bangkit dan karenanya menjadi manusia Paskah adalah sebuah pengalaman mistik bertemu dengan wajah Allah yang lembut  berbelas kasih dan memahami; bukan wajah Allah yang keras, kejam, menghakimi. Betapa dunia hari ini memerlukan pengalaman rohani mistik seperti ini! Menjadi saudara satu dengan yang lain yang saling  memahami dan mengasihi, bukan terlalu cepat menghakimi.   ***  Saudara/i terkasih,  Injil yang kita baca kemarin dan hari ini memberi kita inspirasi : kisah  perjalanan dua murid ke Emmaus. Kita melihat suasana batin dua murid yang berjalan itu. Muram. Peristiwa Jumat Agung masih sedemikian menggelayuti mereka. Jiwa mereka kosong karena Tuhan  yang mereka ikuti malahan mati dengan sedemikian tragis di kayu  salib. Mereka putus harapan, sedemikian hingga mereka pergi  menjauh dari Yerusalem tempat semua perkara itu terjadi. Mereka  masih sulit menerima dan memahami kesaksian dari para wanita  tentang Yesus yang telah bangkit.   Dari kisah yang lain, kita melihat pula kekosongan dan keputusasaan  yang sama dari para rasul. Kita ingat kisah dari Injil Yohanes 20, ketika Petrus dan beberapa rasul lain ingin kembali menjala ikan selepas peristiwa Jumat Agung (Yoh. 20). Mungkin mereka ingin  kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan, karena Yesus  yang mereka ikuti malahan mati mengenaskan.     Namun, tepat di jantung kekosongan dan keputusasaan seperti itu Tuhan hadir. Dia berjalan bersama dua murid itu ke Emmaus dan  membuat hati mereka berkobar-kobar. Dia menampakkan diri bagi 

Feature

Paus Fransiskus dan Pesan Perjuangan Keadilan

Sebuah tribute bagi Bapa Suci Paus Fransiskus Berpulangnya Bapa Suci Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio pada Senin, 21 April 2025 dalam usia ke-88, meninggalkan kenangan yang sangat personal dan mendalam. Kami, (Feliks Erasmus Arga dan A. A. Ferry Setiawan)  kembali mengenang salah satu momen audiensi privat bersama para Jesuit pada Rabu, 4 September 2024 ketika melakukan kunjungan apostoliknya di Indonesia. Kunjungannya mewariskan pesan yang sangat mengesan, mendalam, menyentuh, dan menggerakan. Salah satunya, tanggapan orisinil Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang disuarakan dalam kesempatan audiensi privat tersebut. Paus Fransiskus berkata, “Tugas kita adalah menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara (korban pelanggaran berat HAM). Ingatlah, inilah tugas kita: turut memperjuangkan keadilan, seperti para Ibu di Plaza de Mayo di Argentina yang berani menghadapi kekejaman kediktatoran demi kebenaran dan keadilan. Kita harus selalu memperjuangkan keadilan.”    Prakarsa dan Perutusan Pertemuan privat Paus Fransiskus dengan para Jesuit merupakan sebuah pola yang dilakukannya setiap kali melakukan kunjungan apostolik kenegaraan. Di mana ada komunitas Jesuit, Paus Fransiskus selalu meluangkan waktu untuk melakukan pertemuan privat kekeluargaan. Pertemuan dengan para Jesuit ini tentu sangatlah beralasan. Paus Fransiskus adalah seorang Jesuit dan ia ingin menyapa saudara-saudara se-Serikatnya. Membaca situasi ini, prakarsa untuk menyuarakan Aksi Kamisan di dalam audiensi muncul. Tujuannya sebenarnya sederhana, yakni supaya Paus Fransiskus tahu bahwa di Indonesia ada sebuah gerakan yang terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Plaza de Mayo, Argentina. Paus Fransiskus sangat mengenal gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo karena ia pernah menjadi uskup Buenos Aires, Argentina.   Prakarsa tersebut tidak lepas dari ide Ibu Maria Katarina Sumarsih dan kawan-kawan Aksi Kamisan yang ingin menyampaikan surat kepada Paus Fransiskus mengenai Aksi Kamisan yang terinspirasi dari Plaza de Mayo ini. Setelah Bu Sumarsih menghaturkan ide tersebut, kami berdua sepakat untuk mendiskusikannya dengan Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Pater Benedictus Hari Juliawan, SJ. Bukan sebuah kebetulan, dalam peringatan 25 tahun Imamat beberapa Jesuit di Gereja Blok Q, kami bertemu Pater Provinsial dan saat acara ramah-tamah, kami langsung duduk bersama dan mendiskusikan prakarsa tersebut. Kami terkejut ketika tahu bahwa Bu Sumarsih telah mengontak Pater Beni dan berharap surat tersebut dapat diserahkan kepada Paus Fransiskus dalam audiensi. Kami merasa bersyukur karena ide ini sangat didukung oleh Pater Provinsial. Pertemuan singkat tersebut diakhiri dengan perutusan dari Pater Provinsial kepada kami berdua untuk menyerahkan surat yang telah ditulis Bu Sumarsih kepada Paus Fransiskus dalam audiensi privat nanti.   Menyuarakan Aksi Kamisan Pada Rabu, 4 September 2024 di Nunciatura atau Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, kami diminta memberi pengantar sebelum menyerahkan surat kepada Paus Fransiskus. Kami menceritakan bahwa kami hendak memberikan surat dari Bu Sumarsih, seorang ibu yang putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, menjadi korban ketidakadilan tragedi Semanggi I tahun 1998. Bu Sumarsih juga merupakan salah satu pemrakarsa Aksi Kamisan, sebuah aksi yang terinspirasi dari Gerakan Ibu-Ibu Plaza de Mayo. Setelah mendengarkan apa yang kami suarakan, Paus Fransiskus menanggapinya dengan sederhana tetapi penuh makna.     Berikut ini kutipan Paus Fransiskus yang ditulis dalam transkrip pertemuan Paus Fransiskus dengan para Jesuit dan dipublikasikan oleh Pater Antonio Spadaro, S.J. dari Italia melalui majalah La Civilta Cattolica. Dalam bahasa Indonesia, tanggapan Paus Fransiskus diterjemahkan secara bebas demikian. “Apakah kalian tahu bahwa presiden gerakan Plaza de Mayo datang menemui saya? Saya merasa terharu dan sangat terbantu ketika berbicara dengannya. Dia memberi saya semangat untuk menyuarakan suara-suara dari mereka yang tidak bisa bersuara. Inilah tugas kita (sebagai seorang Jesuit): menyuarakan suara-suara mereka yang tidak bisa bersuara. Ingat: ini adalah tugas kita. Situasi di bawah kediktatoran Argentina sangat sulit, dan para perempuan ini, para ibu ini, berjuang untuk keadilan. Selalu berusahalah untuk memperjuangkan keadilan!” Setelah menyuarakan Aksi Kamisan dan Bu Sumarsih, Bapa Suci meminta kami berdua maju ke depan untuk menyerahkan surat tersebut. Di luar perkiraan kami, Paus Fransiskus langsung membuka surat tersebut di depan kami dan membacanya sekilas, “Ahh, Marta Taty Almeida. Beliau datang kepada saya sebelum ia meninggal.” Bapa Paus berkata demikian sembari menunjuk nama yang dicantumkan Bu Sumarsih dalam surat tersebut. Seketika, suasana Nunciatura riuh dengan tepuk-tangan dukungan sekitar 200 Jesuit yang hadir dalam audiensi tersebut. Penyerahan surat tersebut diakhiri dengan bersalaman dengan Paus Fransiskus.   Paus Fransiskus, Plaza de Mayo, dan Kamisan Pada akhir tahun 2022, Bapa Suci Paus Fransiskus menulis surat yang ditujukan kepada ibu-ibu Plaza de Mayo untuk memberi penghormatan kepada Hebe de Bonafini, salah satu pendiri Asociación Madres de Plaza de Mayo yang meninggal pada tanggal 20 November 2022. Dalam suratnya, Paus Fransiskus turut mendoakan para ibu Plaza de Mayo sebagai “Mothers of Memory” yang menjaga memori kolektif agar tragedi dan impunitas tidak menjadi warisan di masa depan. Media Vatikan juga memberitakan bahwa dalam surat tersebut, Paus Fransiskus mengekspresikan rasa duka yang mendalam atas meninggalnya pemimpin dan pendiri Plaza de Mayo, Hebe de Bonafini, dengan menuliskan, “Perjuangan dan keberaniannya di kala hening, selalu menghidupkan pencarian akan kebenaran dan merawat memori.”   Kenangan Paus Fransiskus atas Plaza de Mayo sekiranya teresonansi pada Aksi Kamisan. Dengan cita-cita yang serupa, Paus Fransiskus juga mendukung Aksi Kamisan yang diperjuangkan oleh Bu Sumarsih, ibu-ibu lainnya, serta mereka yang berkehendak baik untuk terus menerus merawat memori kolektif dan terus menyuarakan keadilan di tengah rezim yang sedang berjalan di negeri ini. Paus Fransiskus dengan gamblang berpesan untuk melanjutkan perjuangan ini. Kadangkala tak dipungkiri keputusasaan yang terjadi karena rasa-rasanya pemerintah tak pernah mendengarkan seruan-seruan moral serta tuntutan-tuntutan nyata dalam Aksi Kamisan. Akan tetapi, lagi-lagi, Paus Fransiskus melalui bulla “Spes non Confundit” terus mengingatkan kita akan harapan yang tidak pernah mengecewakan. Perjuangan Aksi Kamisan tidak pernah sia-sia, tetapi menjadi asa untuk terus merawat harapan yang bersumber pada cinta.     Paus Fransiskus, Keadilan, dan Kedamaian Paus Fransiskus adalah pribadi yang telah banyak ditempa hidup hingga akhirnya memiliki komitmen pada keadilan. Komitmennya terbentuk melalui jatuh-bangunnya sebagai  Provinsial (1973), Rektor Colegio de San Jose (1975-1985), Uskup Agung Buenos Aires (1998), Kardinal Argentina (2001), hingga bertugas menjadi Paus (2013-2025). Belarasanya pada ibu-ibu Plaza de Mayo (1976-1983) yang berlanjut dalam masa-masa pontifikalnya menunjukkan komitmennya yang semakin jelas pada keadilan. Dalam kunjungan di Indonesia, Paus Fransiskus turut menyapa para migran dan pengungsi serta anak-anak disabilitas. Di negara-negara lain yang Paus Fransiskus kunjungi, pilihan-pilihannya

Feature

Antara Keberanian, Kasih dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus (1936-2025), pemimpin Gereja Katolik Roma pertama dari Amerika Latin dan anggota Serikat Jesus pertama yang menjabat sebagai Paus, wafat pada usia 88 tahun pada Senin, 21 April 2025, di kediamannya di Domus Sanctae Marthae, Vatikan. Kabar duka ini diumumkan oleh Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo Kepausan, pada pukul 09.45 waktu setempat.   Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, Paus Fransiskus dikenal luas karena pendekatan pastoralnya yang penuh kasih, kesederhanaan hidup, dan komitmennya terhadap keadilan sosial. Sejak terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, ia membawa angin segar dalam kepemimpinan Gereja Katolik dengan menekankan pentingnya merangkul kaum miskin, memperjuangkan lingkungan hidup, dan mendorong dialog antaragama.   Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus secara konsisten menyuarakan keprihatinannya terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan krisis kemanusiaan akibat peperangan serta migrasi-paksa. Ia juga mencatatkan langkah penting dalam reformasi internal Gereja, khususnya dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penanganan lebih serius terhadap skandal pelecehan seksual yang menjerat banyak tokoh klerus.   Kesehatan Paus Fransiskus menurun dalam beberapa bulan terakhir akibat pneumonia ganda yang dideritanya. Namun, hingga saat-saat terakhir hidupnya, ia tetap menjalankan tugas-tugas kepausan dengan penuh dedikasi, termasuk penampilan publik terakhirnya saat Misa Minggu Paskah di Lapangan Santo Petrus, sehari sebelum wafatnya.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3–6 September 2024 menjadi tonggak sejarah penting dalam hubungan Vatikan dengan dunia Islam dan negara-negara selatan (Global South). Sebagai Paus pertama yang mengunjungi Indonesia sejak 1989, kehadiran beliau disambut antusias oleh masyarakat lintas iman dan budaya. Dalam pertemuan kenegaraan dengan Presiden Joko Widodo, Paus Fransiskus menekankan bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh hidup bagaimana pluralisme tidak hanya bisa ditoleransi, tetapi dirayakan dan dijadikan fondasi keadilan sosial.   Salah satu momen paling monumental adalah kunjungannya ke Masjid Istiqlal, tempat di mana bersama Imam Besar Nasaruddin Umar, ia turut menyatakan “Deklarasi Bersama Istiqlal” yang menyerukan kerja sama antaragama dalam menghadapi krisis global, mulai dari kemiskinan struktural hingga bencana ekologis. Pesan universalnya tentang kasih sayang dan keadilan ekologis kemudian digaungkan kembali dalam homili di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang dihadiri lebih dari 80.000 umat, di mana ia menyerukan agar Indonesia menjadi “bangsa pembawa harapan” bagi dunia.   Dalam konteks sosial-politik Indonesia, pesan-pesan Paus Fransiskus mengandung makna mendalam. Di tengah meningkatnya politik identitas, pembelahan sosial, dan tren otoritarianisme yang merongrong institusi demokrasi, ajakannya untuk mengedepankan welas asih, penghormatan pada martabat manusia, dan dialog yang tulus menjadi suara profetik yang sangat relevan. Dalam pernyataannya, Paus Fransiskus menekankan bahwa pembangunan harus tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan dan perlindungan atas kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan minoritas agama. Dalam pandangannya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai penyelenggara birokrasi, tetapi harus menjadi pelindung kemanusiaan.   Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia meninggalkan bukan hanya kesan, tapi warisan yang mendalam, bukan hanya dalam bentuk seremonial atau simbolik, tetapi dalam substansi etis dan moral yang dihadirkannya pada ruang publik nasional. Pesan-pesannya memperkuat komitmen terhadap dialog antaragama, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan, tiga pilar yang saat ini tengah diuji dalam dinamika politik dan pembangunan Indonesia. Di tengah meningkatnya politik dan politisasi identitas, erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara, serta memburuknya kualitas demokrasi deliberatif, kehadiran Paus Fransiskus menjadi pengingat akan pentingnya menempatkan martabat manusia, kesetaraan, dan kasih sebagai fondasi tata kelola yang beradab.   Lebih dari sekadar seruan moral, kunjungan Paus Fransiskus membawa implikasi langsung terhadap arah kebijakan publik. Dalam konteks pembangunan yang kerap meminggirkan suara komunitas adat dan marjinal, ia menggarisbawahi pentingnya model pembangunan yang partisipatif, adil, dan ekologis. Hal ini relevan dengan tantangan Indonesia hari-hari ini: bagaimana memastikan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) termasuk Ibu Kota Nusantara tidak mengulang pola eksklusi, bagaimana perlindungan sosial dan berbagai reformasi publik sungguh menyentuh yang terpinggirkan, dan bagaimana negara melindungi kebebasan beragama serta ruang sipil yang semakin menyempit. Warisan ajaran Paus Fransiskus bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi untuk seluruh warga bangsa: bahwa kepemimpinan sejati ditandai bukan oleh kuasa, melainkan oleh keberpihakan kepada yang lemah. Dan bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun jika keberagaman dirawat, bukan diperalat; jika suara yang kecil didengar, bukan dibungkam.   Sebagai penghormatan atas wafatnya Paus Fransiskus, lonceng-lonceng gereja berdentang di seluruh Roma, dan berbagai negara mengumumkan masa berkabung nasional. Di Italia, seluruh pertandingan sepak bola Serie A ditunda. Jenazah beliau disemayamkan di Basilika Santo Petrus dan akan dimakamkan dalam prosesi agung yang akan dihadiri para pemimpin agama dan negara dari seluruh dunia.   Paus Fransiskus meninggalkan dunia ini yang akan dikenang sebagai pemimpin rohani yang berani, penuh kasih, dan visioner. Seorang Paus yang menyatukan iman dengan tindakan nyata, yang meletakkan kasih sebagai hukum tertinggi, dan yang menjadikan keberpihakan kepada yang tertindas sebagai spiritualitas utama kepemimpinannya. Dunia kehilangan suara nurani yang langka. Namun warisan moral dan perjuangannya akan terus hidup -dalam doa, dalam tindakan, dan dalam semangat zaman yang ia wariskan.   Yogyakarta, 21 April 2025   Kontributor: Yanuar Nugroho

Feature

Dalam Bayang-Bayang Gempa: Mengabdi, Menginspirasi, dan Membangun Kesiapsiagaan

Semburat matahari pagi lengkap ditambah raut antusias dan senyum cerah anak-anak Pingit. Momen itu seolah menjadi sambutan hangat kala kami menginjakkan kaki di Perkampungan Sosial Pingit (PSP). Di tengah kebisingan kendaraan, kami merasakan energi positif menyelimuti mereka. Raut penasaran dan tatapan mereka mewarnai kegiatan pagi itu. Kami merasakan keingintahuan anak—anak akan hal baru, tentang apa yang akan mereka dapatkan. Mengabdi dan berbagi di Kampung Pingit pada 29 September 2024 adalah perjalanan bermakna yang tak terlupakan. Kegiatan sosial mengajar ini dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi (HMSaIG). Ini merupakan bagian program kerja Departemen Sosial Masyarakat, hasil kolaborasi dengan Realino SPM. Tema yang diangkat “Kenali Gempa: Tetap Tenang dan Siap Siaga.” Bahasan ini ingin memberikan edukasi penting tentang mitigasi bencana gempa bumi kepada masyarakat, khususnya anak-anak di daerah Yogyakarta yang memiliki risiko gempa bumi.   Seiring kami memulai sesi pertama, rasa cemas yang sempat menghinggapi digantikan kegembiraan. Dalam sesi belajar, kami bukan hanya mengajarkan teori-teori dasar gempa bumi dan langkah-langkah keselamatan yang harus dilakukan, tetapi juga memastikan bahwa anak-anak paham akan apa yang sedang terjadi di bumi ini ketika gempa berlangsung. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dan memperdalam pengetahuan mereka bahwa gempa bumi dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya pergerakan lempeng tektonik. Melalui video dan alat peraga simulasi gempa bumi yang menarik dan edukatif, materi disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami. Setiap sesi pun menjadi interaktif dan bermakna. Anak-anak juga diajak untuk mencoba menggerakkan alat peraga supaya merasakan dampak yang gempa bumi. Selain menyampaikan materi, kami mengadakan games, kuis sederhana, dan makan bersama sebagai jembatan membangun kedekatan dengan anak-anak Pingit. Setiap tawa dan tanya yang terlontar dari anak-anak menyalakan semangat kami untuk berbagi. Kegiatan ini mengingatkan kami pada ungkapan Mahatma Gandhi, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Ungkapan tersebut menekankan pentingnya mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kepentingan pribadi. Melalui tindakan pelayanan, kami tidak hanya membantu orang lain melainkan juga menemukan tujuan dan identitas kami sendiri. Sebagai fasilitator, kami datang dengan niat berbagi ilmu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kami belajar banyak dari anak-anak Pingit, tentang ketekunan, semangat belajar, dan kemampuan beradaptasi di tengah keterbatasan. Mereka mengajarkan bahwa harapan tetap tumbuh meskipun dalam kondisi sulit, dan pendidikan adalah jembatan menuju masa depan lebih baik.   Dalam interaksi dengan masyarakat Pingit, dirasakan bahwa kehadiran kami sebagai mahasiswa bukan sekadar membawa materi akademik, tetapi juga membawa harapan baru. Anak-anak di sini, dengan keterbatasan mereka, menunjukkan rasa ingin tahu sangat besar. Mereka tidak hanya belajar bagaimana menghadapi gempa, melainkan juga belajar bahwa di luar sana ada banyak kesempatan bisa mereka raih lewat pendidikan. Selain memberikan edukasi gempa, kegiatan ini menjadi kesempatan mendekatkan diri dengan Volunteer Komunitas Belajar Pingit. Kami berbagi cerita, mendengarkan aspirasi, dan memahami permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. Hal ini memperkuat kesadaran kami akan pentingnya kepedulian sosial dan solidaritas. Pengabdian ini mengajarkan perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti kata Malala Yousafzai bahwa “One child, one teacher, one pen, and one book can change the world.” Setiap usaha kami meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana dapat berdampak besar pada keselamatan mereka di masa depan. Kampung Pingit mengajarkan kami bahwa pengabdian bukan hanya tentang apa yang bisa kami berikan, tetapi juga tentang bagaimana kami menerima. Setiap tindakan kecil dengan ketulusan akan memberi dampak lebih besar daripada yang kami bayangkan. Kami belajar bahwa melayani adalah sebuah panggilan, yang ketika dijalankan dengan sepenuh hati, akan membawa kebahagiaan mendalam baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Kampung Pingit akan selalu menjadi tempat kami menemukan makna pada setiap langkah pelayanan.   Kontributor: Himpunan Mahasiswa Sains Informasi Geografi – Universitas Gajah Mada

Feature

Healing yang Cerdas dan Humanis

Dunia perkuliahan memang banyak lika-liku yang harus dilewati. Kesulitan dalam memahami suatu materi, kepadatan jadwal mengurus tugas-tugas, usaha lebih untuk aktif di organisasi dan kepanitiaan mewarnai dinamika anak kuliah zaman sekarang. Seringkali situasi ini dijadikan sekat untuk membatasi “ini urusanku” dan “itu urusanmu.” Di akhir pekan pun mungkin ada yang berpikiran untuk healing setelah sepekan sibuk dalam kuliah dan segala dinamikanya. Namun, apakah semua kondisinya begitu dan berjalan monoton tanpa ada hal bisa dimaknai? Tidak, di Komunitas Belajar Realino di Jombor, kami menemukan pengalaman healing berbeda yang membuat hari kami berarti sekaligus memberikan makna bagi sesama.   Kami melihat dan merasa terinspirasi bahwa masih ada orang-orang berdedikasi untuk anak-anak jalanan, kurang mampu, dan dalam kondisi yang terbatas di tengah hiruk-pikuk kesibukan yang harus dilaksanakan. Itulah yang kami lihat dari Realino SPM yang berisikan para relawan berdedikasi tinggi. Mereka setiap minggu hadir memberikan segala perhatian bagi teman-teman kecil di Jombor. Masing-masing relawan ini pasti memiliki kesibukan dan agenda. Meski demikian mereka tetap menyediakan ruang, tenaga, dan waktu membagikan kasih dengan cara yang menyenangkan.   Syukurlah kami, mahasiswa-mahasiswi Farmasi Universitas Sanata Dharma boleh ambil bagian di dalamnya pada Sabtu, 14 September 2024. Hari itu kami datang dengan segala kecemasan dalam pikiran dan hati kami mengenai materi dan dinamika yang akan disampaikan. Apakah akan bisa menarik dan ditangkap adik-adik di Jombor? Walaupun ada kekhawatiran tetapi muncul optimisme akan keberhasilan acara yang kami siapkan. Ternyata ketika dinamika berjalan, kami menemui bahwa adik-adik di sana adalah anak-anak yang asyik, cerdas, dan aktif menyambut permainan juga materi yang kami bawakan. Namun, bukan berarti semua berjalan lancar begitu saja. Tentu ada beberapa adik di sana dengan kondisi dan kecenderungan dirinya memilih asik sendiri. Beberapa lainnya sedikit enggan dalam momen-momen tertentu mengikuti apa yang telah kami rancang dan tuntun. Meskipun demikian, itu tidaklah menjadi soal besar karena kami tahu bahwa itulah fase anak-anak mengeksplorasi dan mengekspresikan diri sehingga tak bisa untuk dibatasi begitu saja. Dari pengalaman di Jombor bersama mereka, secara keseluruhan, kami rasa apa yang sampaikan dapat ditangkap. Semoga materi kami bisa diaplikasikan dalam keseharian dan diceritakan kepada keluarga di rumah.   Healing bagi kami di hari itu adalah mencari pengalaman baru memberikan hati kepada adik-adik di Komunitas Belajar Realino – Jombor. Kampanye Kesehatan merupakan salah satu bentuk cerdas dan humanis, pengetahuan kami tidak berhenti hanya pada kami saja, melainkan disebarkan untuk semakin memanusiakan manusia. Mendidik bukan hanya tugas seorang guru saja tetapi kami sadari juga bagian tugas kami sebagai mahasiswa farmasi yang mempelajari tentang obat-obatan termasuk obat tradisional. Hal yang sebelumnya mungkin bagi adik-adik itu terasa jauh dan tidak pernah ditemui, kami coba letakkan di dekat mata supaya akrab dan jadi bagian hidup mereka.    Lewat pengalaman di Jombor, kami menemukan rancangan Tuhan yang menarik. Refleksi kami, Tuhan ingin menunjukkan bahwa cara menambahkan nilai pada diri sendiri itu tak melulu dari mencari prestasi akademis, memperkaya diri, atau mengejar IPK sempurna. Memperkaya orang lain dengan pengalaman juga menjadi sarana menambahkan nilai pada diri sendiri dengan jalan cinta kasih. Refleksi lainnya, dalam dunia farmasi, semua eksperimen itu memiliki hasil dan parameternya. Dalam pengabdian ini, ada parameternya pula, peningkatan pengetahuan adik-adik lewat hasil post test, diskusi, dan tanya jawab yang berjalan seru. Kemudian, tak kalah pentingnya juga senyum tersungging penuh kepolosan dari anak-anak yang belajar hal baru. Semoga pengalaman dan dinamika ini membawa perkembangan bagi kita semua. Akhir kata, terima kasih kepada Realino Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) yang memberikan kesempatan kepada kami untuk bergabung dalam pengabdian di Komunitas Belajar Realino – Jombor.   Kontributor: Alfonsus Stanley – Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma  

Feature

Tidak Akan Menjadi Beban Jika Sudah Berkomitmen

Refleksi PKL Siswa SMK St. Mikael Surakarta Untuk memperkaya kompetensi siswa, SMK St. Mikael Surakarta mengadakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) bagi para siswa kelas XII. Di SMK St. Mikael Surakarta, kegiatan belajar para siswa kelas X masih mengenai dasar-dasar teknik mesin, seperti kerja bangku, mengelas, dan menggambar teknik manual. Di kelas XI, para siswa mulai mengoperasikan mesin bubut dan milling konvensional maupun CNC dan menggambar dengan software CAD.    Di kelas XII, para siswa mulai mendapatkan pengayaan materi dengan ditempatkan magang di beberapa perusahaan yang berada di dalam maupun luar kota Surakarta. Kegiatan PKL diharapkan mampu memberikan pengalaman kerja sekaligus kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan karakter dalam dunia kerja. Selain itu, selama berdinamika di tempat PKL, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tambahan yang mungkin tidak didapatkan saat belajar di sekolah. Para siswa juga akan diuji komitmennya selama melaksanakan magang, apakah bisa melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai tuntutan tempat PKL masing-masing atau tidak.   PKL siswa SMK Mikael dilaksanakan dalam dua gelombang. Di tahun ajaran ini, gelombang pertama dilaksanakan pada 22 Juli-27 September 2024, sedangkan gelombang kedua dilaksanakan pada 7 Oktober-19 Desember 2024. Siswa yang menjalani PKL dengan baik akan mendapatkan sertifikat yang menjadi syarat kelulusan. Saya dan Jona Alfaloqita menjalani PKL gelombang pertama dan ditempatkan di lokasi terjauh dibandingkan dengan teman-teman yang lain, yaitu di P.T. KJL Plastic Indonesia, Tangerang. Pabrik ini memproduksi sedotan minuman plastik/drinking straw. Selama kurang lebih 10 minggu kami mendapatkan banyak pengalaman berharga dan menemukan semangat bekerja yang sesungguhnya.   Selama berproses di tempat PKL, kami membantu tim mekanik di bagian produksi. Di tempat tersebut, para karyawan harus mengenakan seragam khusus yang hanya dikenakan di dalam ruangan karena tempat tersebut adalah area hygiene. Tim mekanik yang sudah selesai memperbaiki mesin harus membersihkan alat dan mencuci tangan menggunakan hand sanitizer yang tersedia di setiap mesin. Semua kebiasaan itu bertujuan agar produk yang dihasilkan tetap higienis.   Selama menjalani PKL, kami mengikuti program training setiap Sabtu bersama tim maintenance. Hal ini tentu saja menambah pengetahuan dan keterampilan kami di dunia permesinan. Bonusnya, kami dapat berjumpa dengan Pak Richard, Alumni Kolese Mikael yang merupakan pengisi materi training. Selain bertemu alumni, kami juga bertemu Pak Tri Budiyanto selaku Kepala Bagian Produksi. Beliau sangat ramah, suka bercerita, dan senang berbagi ilmu. Cerita-ceritanya sangat menginspirasi, misalnya pengalamannya ikut berkontribusi dan berjuang membangun perusahaan dari awal hingga berkembang seperti saat ini. Dulunya, beliau hanya seorang mekanik biasa. Meskipun hanya seorang mekanik, beliau mempunyai semangat bekerja yang luar biasa. Beliau tekun mempelajari mesin-mesin di pabrik hingga setiap mesin di pabrik ini beliau kuasai. Tentu kemahiran tersebut bukan sebuah proses yang instan. Ada komitmen yang kuat dalam diri Pak Tri.   Salah satu core values atau nilai dasar yang diajarkan di Kolese Mikael dan juga di sekolah-sekolah Jesuit lainnya adalah commitment. Komitmen tidak hanya berlaku saat di sekolah saja, tetapi berlanjut sampai di dunia bekerja. Komitmen adalah sebuah janji. Dalam pengalaman ini, nilai komitmen adalah kehendak penuh untuk melakukan kewajiban dengan rasa tanggung jawab. Ada banyak peraturan yang harus dilaksanakan dalam bekerja, mulai dari aturan sederhana sampai yang rumit. Contohnya seperti datang tepat waktu, bekerja dengan baik, harus menjaga kebersihan, hasil produksi harus banyak dan berkualitas, hingga dituntut untuk belajar lebih. Aturan-aturan yang terkesan ribet tidak akan menjadi beban bila sudah memiliki komitmen. Tidak ada ruginya jika berkomitmen pada nilai-nilai yang baik. Ketika semua peraturan atau perintah sudah ditaati, maka lama-kelamaan itu menjadi sebuah kebiasaan. Kendati sudah terbiasa, jangan dianggap sebatas rutinitas. Semua itu perlu disadari dan dimaknai. Tidak akan ada keluh kesah atau reaksi negatif ketika sudah berkomitmen penuh, seperti halnya ketika menjalani PKL ini.   Kontributor: Syam Andriyanto Nugroho – SMK St Mikael Surakarta

Feature

“Manusia dan Ketahanan Lingkungan”

Refleksi Atas Studi Ekskursi 2024 Pada 30 September hingga 5 Oktober 2024, siswa kelas 10 SMA Kolese de Britto Yogyakarta mengikuti kegiatan formasi studi ekskursi. Pada tahun ini, studi ekskursi yang mengambil tema “Merawat Alam Ciptaan Tuhan Dalam Bingkai Kearifan Lokal,” mengajak para siswa untuk semakin memperhatikan lingkungan yang selama ini ditinggali sambil mengenali kearifan lokal di sekitar. Para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan pengamatan dalam bidangnya masing-masing, baik itu energi, pangan, maupun pengelolaan sampah. Tak hanya mengamati, para siswa juga ikut merasakan usaha mewujudkan kelancaran proses yang ada demi stabilnya kehidupan. Tangan kami menjadi kotor dan raga mengalami kelelahan, namun pengalaman kami terbentuk hingga mampu mengambil pelajarannya.   Melalui pengamatan, kami disadarkan bahwa menghasilkan pangan, menghasilkan energi listrik, dan mengelola sampah yang dihasilkan demi ketahanan kehidupan manusia memerlukan proses yang panjang dan tidak selalu instan. Supaya proses bisa berjalan lancar, diperlukan teknologi yang maju dan didukung oleh sumber daya dan sumber dana yang memadai. Sayangnya, hal tersebut rupanya masih menjadi mimpi yang terlalu jauh bagi para pelaku usaha pemberdayaan pangan, listrik, dan kebersihan lingkungan. Beberapa dari mereka mengalami kekurangan tenaga manusia dan keterbatasan teknologi sehingga hasil maksimal tidak mudah dicapai. Kurangnya dukungan ini juga membuat beberapa pelaku menjadi terancam, contohnya para produsen rambak di Desa Gantiwarno yang berkurang banyak jumlahnya. Dari yang semula berjumlah 15 rumah produksi, turun menjadi hanya 6 rumah produksi dalam waktu 1 dekade.   Kita diundang untuk bisa membantu para pelaku usaha pemberdayaan lingkungan dan ketahanan hidup, setidaknya dengan mendukung usaha pemberdayaan lingkungan. Tak perlu analisis mendalam, kegagalan kita untuk bisa membantu pemberdayaan lingkungan mampu kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Sampah plastik tercecer di mana-mana, sampah makanan menumpuk, suhu yang memanas akibat pemanasan global yang semakin parah. Ini semua menjadi bukti nyata yang dengan mudah kita temui. Justru semua ini terjadi ketika lingkungan semakin tidak stabil. Terjadi krisis pangan, energi, dan kebersihan lingkungan hidup yang semakin diperparah oleh kesulitan para aktivis pemberdayaan lingkungan hidup.   Saya sendiri sering merasa malu karena sedemikian tega terhadap lingkungan yang saya tempati. Sampah tidak saya pilah. Saya mengandalkan plastik sehingga sampah plastik semakin menumpuk. Makanan yang tersisa juga dibuang begitu saja. Saya juga menikmati dinginnya AC hampir sepanjang hari, menghamburkan energi. Manusia mungkin hanya menginginkan kenyamanan. Kita semua juga melakukan hal yang sama dan ini mengajak kita untuk berefleksi, mengapa kita setega itu? Sebagai makhluk yang telah diberi kehendak bebas oleh Tuhan, kita mampu menentukan keputusan sesuai akal budi dan hati nurani. Apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki lingkunganku?   Kontributor: Bumi Praba Murti – SMA Kolese de Britto